That's What They Call Fate

1322 Kata
Eh, yah gak gitu juga kalik. "Sel, memangnya aku dulu playboy?!" Ibas jadi gak terima sama istilah yang disematkan Selly padanya... Kata-kata itu kurang tepat. Ia bukannya playboy. Hanya pencinta wanita. Ibas gak pernah tuh pacaran dengan 2 orang sekaligus. Yang ada, baru putus, malamnya ia sudah punya gandengan baru. Karena Ibas selalu menyiapkan cadangan untuk move on. Tapi semua itu sah sah saja,'kan. Daripada ia terus meratapi yang sudah pergi?! "Terus kalau bukan playboy apa?" Selly jadi bertolak pinggang dan menantang Ibas lewat tatapan nyalangnya. "Itu.., itu. Ahk, udahlah yang jelas. Aku kangen banget sama kamu!" Ibas mendekati Selly melingkarkan tangannya kebelakang pinggul Selly dan merengkuhnya erat. Suara teriakan anak-anak polos itu terdengar, "Ciie. Pak Doktel sama Bu Gulu!" comel Kenzie, pasien berusia 5 tahun yang kini giginya mulai tanggal, Jadilah ia cadel. Semakin diteriaki, Ibas semakin senang memeluk Selly. Ternyata memang ini yang ia nantikan. Ibas bisa sangat serius dan dewasa ketika memposisikan diri sebagai kepala rumah sakit. Tetapi ketika memeluk Selly dan menjatuhkan kepalanya ke bahu kecil itu. Ia langsung merasa seperti anak-anak yang pulang kepelukkan hangat sang ibu setelah lelah seharian bermain. Kelembutan dari aroma parfum yang Selly pakai sungguh memenangkan batinnya yang tandus. Perjalanan mencari telah usai sampai sini. Kini, hanya tubuh itulah yang ingin terus ia peluk sepanjang hari. Sayangnya Selly berusaha menjauhkan badan kekar Ibas dengan mendorongnya kuat. "Iiih, Ibas jangan peluk-peluk gitulah. Malu!" "Biarin," gumam Ibas masih mempertahankan posisinya. "Idiih. Kamu gak malu emang dilihatin sama anak anak. Minggir gak?!" "Ogah!" jawabnya tegas. Kesal membuat Selly menginjak kakinya. Digerus pakai ujung heels. Kalau gini, masih mau bilang gak mau? "Wadaaw!" teriakan Ibas mengundang tawa anak anak. Dikira bohongan kalik, "Kamu tega!" Ia tertunduk, lesu. Selly tidak tahu jika kini ia digandrungi bocah kecil. Rata rata pasti memihaknya. "Yah, nangis!" goda Winter. Sejak kapan anak itu masuk. Tapi yang jelas ia bersama ibunya yang juga mantan Ibas. Camelia memandang Selly dari atas sampai bawah. Sepertinya ia cukup dekat sama Ibas. Tapi siapa dia? Seperti itu arti tatapannya. 'Apa dia juga mantannya, Ibas. Posisi ku sama posisinya apa sejajar di hati Ibas?' Camelia menimbang dalam hati. Sedang Selly merasa tatapan wanita itu sangat menyudutkannya. Bagaikan sedang melihat musuh. Ia jadi melirik ke Ibas. 'Gila,ya. Sampai orangtua pasien naksir sama kamu. Jadi gimana aku bisa percaya kalau kamu kangen sama aku?!' runtuknya dalam hati "Ibas, dia siapa?" Camelia gak bisa menutupi rasa penasarannya. Bibirnya tersenyum, tapi matanya berharap agar Ibas bilang wanita di depannya bukan siapa-siapa. Ibas mengidikkan bahu. Ia bukan orang yang suka kehidupan pribadinya diikut campuri orang luar. Camelia hanya boleh tahu tentang dirinya saat mereka masih menjalin kasih. Selebihnya, tolong jaga privasi. Ia malah semakin ingin menggoda Selly. Rasanya berapa kalipun. Ibas gak bisa puas membuat Selly kesal. Dasar jail! Tangannya mengacak rambut Selly. Membuat Selly memberengut dan memelintir jemarinya. "Hei, Hei.., kok kamu jadi galak, sih?" Ibas tanya sambil meringis. Ia tahu menjaili pacarnya di depan anak anak bukan contoh yang baik. Tapi gimana lagi. Ketemunya disini. "Dia mantan kamu juga?" gumam Camelia hambar karena diacuhkan. Selly mengutip kata 'juga' yang artinya wanita yang menatap curiga sejak tadi adalah mantan Ibas... "Bukan, aku bukan mantannya Ibas!" Selly yang menjawab dengan lantang. Camelia tersenyum, bukankah keadaannya setingkat lebih keatas. Seenggaknya ia pernah berhasil memenangkan hati Ibas. Jika dirinya mengulang kesuksesan masa itu. Apa mungkin, Ibas jadi miliknya. Dan bila itu terjadi, ia gak akan lagi melepaskan Ibas. Sisi Ibas, ia setuju dengan pernyataan Selly. Ia memang bukan mantan Ibas. Karena hubungan mereka tidak pernah berakhir. Di malam itu, ketika semuanya terasa asing dan menyesakkan. Ibas tidak pernah sempat bertanya. Apa alasan Selly mengucapkan kata kata menyakitkan. Dan selama ini, ia selalu menyesali moment tersebut. Andai ada saatnya ia bertemu kembali. Ibas ingin menanyakan hal tersebut ke Selly. Tentunya dengan kepala dingin. "Baguslah, karena setahuku. Daripada balikan sama mantannya. Ibas lebih suka melupakan wanita yang pernah jadi kekasihnya. Kecuali.., mantan special!" Camelia meruntutkan tentang Ibas sambil menautkan rambutnya ke belakang telinga. Ia sedang bertingkah feminimisme. Supaya Selly tahu. Kalau dialah mantan terindah itu..., sedang Selly, apa. Dia bahkan menyakiti tangan Ibas sampai cowok itu meringis kesakitan. "Dia memang bukan mantanku. Soalnya kita baru saja mulai," ujar Ibas malah merangkul Selly. Meski wanita itu menggeliat. Camelia tertawa sumbang. Dalam hatinya 'Sialan, memang bukan mantan tapi ternyata gebetannya. Kenapa aku gak mikir,ya tadi?' Ini lebih berbahaya. Ia yakin, seiring berjalannya waktu. Ibas bisa lebih dewasa. Gak mungkin hubungannya dengan wanita masih sama seperti dulu. Yaitu sekedar main main. Dan sialnya wanita yang berada disisi Ibas bukanlah dia. Kebetulan Ibas cukup peka dengan ketidak suka'an yang dipancarkan Camelia ke Selly. Sebetulnya ia gak tahu apa penyebabnya. Tapi bukankah para wanita suka merasa tersaingi untuk hal hal kecil. Yah, mungkin karena sekarang Selly lah yang memilikinya. Sifat narsismenya ternyata masih cukup kental. Namun, sekarang ia lebih bisa mengendalikan. Ibas sengaja mendekatkan bibirnya ke pipi Selly lalu mengecupnya kilat. Lewat ciuman itu. Ia ingin tegas,'kan. Bahwa hubungan ia dan Selly itu nyata. "Ibas!" Selly menggosok pipinya. Dan Camelia yang memarahi Ibas begitu saja, "Kamu tuh gak bisa lihat,ya kalau disini ada anak anak?!" Entah mengapa ia lebih marah ketimbang Selly. Sampai wanita itu termanggu. Perasaan, dia yang dirugikan. Tapi kenapa jadi mantan Ibas yang marah. Ibas menggeleng, ia bukannya gak sopan. Tapi sekarang. Ibas jadi tahu.., apa arti tatapan nyalang Camelia. Gak lain karena cemburu. Sudahlah, buat apa. Kisah aku dan kamu sudah selesai. Kalau sekarang aku dengan yang lain. Tolong juga jaga sikap! "Kamu juga perlu tahu. Dibandingkan suara bentakkan yang barusan saja kamu keluarkan di depan anak anak. Ciuman atau menunjukkan kasih sayang jauh lebih baik untuk mental mereka!" papar Ibas. Membuat Selly ingin tertawa. Boleh juga, kayak sudah siap sekali punya anak. Ibas merasa kalau Selly sedang menatapnya bangga. Jadi gimana, masih mau tolak dia? Hah..., mau cari dimana lagi. Kaya, tampan, sayang anak dan yang pasti statusnya sudah mantan playboy. Ingat apa kata pepatah, resep bahagia. Yaitu.. jauhi buaya, dekati anak tunggal kaya raya. *** Manda melirik area kedatangan para penumpang pesawat. Sudah setengah jam ia menunggu kedatangan pacarnya yang baru pulang dari luar negeri demi menuntut ilmu. Manda memang tidak pernah melarang Rian pergi jauh asalkan semua itu untuk kehidupannya yang jauh lebih baik. Bukan cuma tentang mendapat gelar sarjana luar negeri. Tetapi, bagaimanapun lelaki adalah mahluk visioner. Ada saatnya mereka perlu dibebaskan supaya tidak merasa terkekang. Sayangnya semua malah gak berlaku ke Rian. Walau diluar negeri pun. Ia bisa sangat posesif ke Manda. Malah lelaki itu yang terkesan tidak rela melepaskan. Manda sengaja berdandan seimut mungkin. Ia juga memotong rambutnya sampai sebahu juga memblow bagian bawah. Ia fikir, Rian pasti senang dengan perubahannya. "Manda, sini duduk!" ajak Jane sembari menikmati roti kopi yang terkenal itu. Yah, wanita itu ikut menjemput anaknya. Ia juga sudah kangen sekali sama Rian. Terakhir pulang 3 bulan yang lalu. Dan apa sekarang anak itu semakin gagah seperti papinya. "Iyah, Mi!" Manda berlari kearah Jane, calon ibu mertua. Oh, bukan hanya itu. Tapi Jane sudah seperti ibu bagi Manda. Apalagi sekarang Manda tinggal di rumah Rian, "Mih, kalau Rian pulang. Aku mending ngkost aja lagi,ya, Mi?!" Jane menyipitkan mata. Buat apa? Kan, kamar dirumahnya banyak "Aku.., aku nervous kalau satu atap sama Rian!" Manda melanjutkan ucapannya sembari mengulum senyum. Jane jadi tertawa. Ia malah menjahili Manda "Ooh, takut tiba-tiba Rian masuk kamar kamu,ya. Kamarnya kamu kunci saja. Apa kita pasang alarm. Jadi kalau Rian masuk diam-diam. Alarmnya bunyi!" idenya. Tapi bukan gitu, gimana kalau malah Manda yang gak tahan berkunjung ke kamar Rian. Yah, namanya kangen,'kan... "Enggaklah, Mi. Aku nanti cari kostan lagi saja!" Jane mendelik tidak setuju. Pokoknya Manda gak boleh keluar lagi dari rumahnya. Kalau perlu ia dan Randi cepat mengesahkan keduanya. Jadi gak masalahkan kalau satu atap. "Eeh, itu Rian!" pekik Randi yang juga disana. Ketiganya menatap sosok tinggi tegap dengan kaca mata hitamnya sedang berjalan mendekat. Rian tersenyum sembari menarik koper kecilnya. Tangan satu lagi melambaikan tangan dengan aktif. "Babe," teriak Rian memanggil Manda.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN