Bab 7 : Debaran Khusus

1356 Kata
Siang ini, seperti kemarin, Chandra ke rumah Mishall lagi untuk mengapeli muridnya itu. Ia buru-buru turun dari motor saat mengetahui Mishall sudah siap dengan penampilan rapinya. "Kamu mau ke mana?" tanya Chandra, langsung, saat berhadapan dengan Mishall. Kali ini, ibu Mishall entah ke mana. Jadi seharusnya, bisa bebas jika ingin bertengkar. Mishall menatap malas gurunya itu, dengan sebelah tangan berkacak pinggang. "Menurut Pak Chandra, ke mana?" Mishall malah balik, bertanya. "Jangan bilang kalau kamu mau balik ke kerjaan lama kamu itu! Saya nggak akan biarkan, Mishall!" "Yang bilang kayak gitu siapa? Kan Pak Chandra yang kemarin kasih saya pekerjaan baru. Ya saya mau berangkat kerja, lah." Mishall menjawab dengan nada tinggi, usai membawa arah pembicaraan ke mana-mana. Ia mengeluarkan masker dari selempang kecilnya, lalu memakai benda tersebut. "Pak Chandra mau antar saya, atau mau cegah saya kerja?" "Anak pinter!" Chandra tanpa segan menempelkan telapak tangan kanannya di atas kepala Mishall, mengusap rambut cokelat gadis itu dengan gemas. Namun, hanya beberapa detik saja, karena Mishall menepis tegas. Chandra tampak tidak keberatan dengan sikap siswinya ini. "Ayo, saya antar!" Mishall masih tetap bergeming sementara Chandra sudah berbalik, berjalan menghampiri motor kesayangannya. Bukannya apa, skinship yang dilakukan Chandra, walaupun terbilang sederhana selayaknya ayah ke anak, tetap saja membuat jantung perempuan itu berdetak khusus. Ia harus mengatur napas, dan menekan perasaan itu, sebelum menyusul Chandra naik ke motornya. Sesampainya mereka di area parkir, Chandra segera ingin masuk ke restoran, tetapi Mishall menahan lengan gurunya itu. Membuat Chandra mengerutkan kening sejenak. "Pak Chandra lupa status atau gimana, sih?" Mishall menunjukkan pandangan masam kentara. "Pak Chandra itu udah nikah. Kalau ada yang liat Pak Chandra bonceng perempuan, nanti jadi omongan publik." Ia lalu mengeluarkan masker lain dari tasnya. "Ini, jangan sampe ada yang tahu. Nanti nama saya juga keseret." Chandra menerima uluran masker tersebut. Sebelum memakainya, ia tersenyum, menciptakan sebuah lesung dalam di pipi kanannya. Manis. Mishall meneguk ludah tanpa sadar ketika melihat pemandangan langka tersebut. "Ayo!" ajak Chandra, lebih dahulu masuk ke kawasan restoran. Salah satu perempuan yang menyapa di dekat pintu langsung mengenali Mishall, dan menuntunnya ke area dalam restoran. Chandra tetap menyusul, meski seharusnya, tugas sudah selesai setelah memastikan Mishall benar-benar mulai berubah. "Pak Arfan cerita tentang kamu. Katanya, selama percobaan, kamu akan melayani pengunjung publik terlebih dahulu. Setelah lolos percobaan, kamu bisa diangkat jadi pelayan VVIP nanti." Pekerja perempuan itu menjelaskan secara rinci pada Mishall mengenai pekerjaannya, juga memberikan seragam cokelat mengkilap yang khas, dengan rok bawahan hitam selutut, serta dasi hit senada. "Tugas kamu nanti cukup antar pesanan. Jadi usahakan stay di dekat dapur, dan tunggu arahan, ya. Karena sebelumnya kamu tidak menjalani masa trainee, jadi usahakan, langkah kamu tegap, elegan, dan profesional. Itu menentukan banget kamu maju sebagai pelayan VVIP, atau tidak." "Okey," jawab Mishall. Sedikit, ada kecemasan di wajahnya. Baru kali ini, ia akan berinteraksi dengan banyak orang, yang siapa pun bisa mengenalinya. Namun, saat ia melirik Chandra yang berada di belakang pekerja wanita ini, kegelisahannya sedikit berkurang. Apalagi, saat Chandra menekuk lengan kanannya, dengan tangan mengepal menunjukkan dukungan semangat. Mishall tersenyum tipis di balik maskernya. Mishall diarahkan untuk mengganti pakaian terlebih dahulu di ruangan samping dapur. Hanya butuh lima menitan, ia sudah siap. Rambutnya sengaja diikat tinggi pendek, agar sedikit berbeda. Kacamata persegi khas gadis culun yang semula ia pikir tidak akan terpakai, terpaksa digunakan. Demi mengurangi kemiripannya dengan hari biasa. Jangan sampai ada yang mengenali. Saat keluar, Mishall sedikit kelimpungan mencari Chandra yang sudah tidak ada di tempat. Namun, pencariannya tidak bisa dilanjutkan saat seseorang memanggilnya, memberikan nampan. "Bawa ke meja nomor 27." Ucapan tegas wanita dewasa itu menunjukkan bahwa keprofesionalan tidak main-main di sini. Mishall segera memperbaiki gestur tubuhnya. Berjalan anggun menuju tengah keramaian manusia asing. Ia semakin gugup, saat ekor matanya menangkap sebuah meja yang diisi oleh beberapa mantan sahabat SMP-nya, ketika Mishall masih kaya. Sedikit gentar, tetapi Mishall berusaha fokus ke tujuan. Ia bahkan tidak mengatakan basa-basi ramah pada pengunjung usai meletakkan makanan. Rasanya ingin langsung berlari, sembunyi di dapur agar tidak ada yang mengenali. "Ini, antarkan untuk meja nomor 11!" Namun, baru saja berada di kawasan dapur, ada titah lain. Mishall bergeming di tempat. Meja yang dimaksud berdampingan dengan kenalannya. Jika melakukan kesalahan, ia pasti akan dikenali dan dicemooh. "Hei! Cepat antar!" Perempuan itu menaikkan intonasi suaranya, membuat Mishall tersentak kaget di tempat. "Sorry. Bisa yang lain dulu? Ini hari pertama dia kerja. Belum terbiasa." Chandra entah dari mana muncul, berdiri di samping Mishall dan mencoba mengatur segalanya sebisa mungkin. "Makanya, jangan sok-sok kerja di tempat elit kalau nggak ada pelatihan apa-apa!" Perempuan itu menyinyir kesal. "Huh, mentang-mentang direkomendasikan sama temen bos, gampang banget dapat kerjaan. Kita-kita di sini harus latihan dulu sebulanan, itu pun kalau diterima." Caciannya masih panjang, tetapi dengan nada yang lebih pelan. Chandra tidak acuh, dan fokus pada perempuan yang setinggi lehernya ini. Ia menggenggam lembut pergelangan tangan Mishall, menyeretnya ke ruangan tempat Mishall berganti pakaian tadi. Karena hanya di sini yang sepi. Chandra membantu Mishall duduk di lantai, lalu ia menyusul khawatir. "Kenapa?" tanya Chandra. Mishall melepaskan maskernya. "Ada temen saya, Pak. Saya malu kalau mereka liat saya menderita kayak gini." Ia mendengkus geli pada keadaannya sekarang. "Pasti saya diejek terus. Udahlah, saya males kerja beginian. Gampang dikenalin. Mending jadi p*lacur aja." "Hei, Mishall." Chandra memajukan sedikit tubuhnya. Menggunakan kedua telapak tangan yang menempel di pipi Mishall, ia membawa gadis itu memandangnya. "Jalan yang baik emang selalu berbatu. Tapi pasti bisa dilewatin. Karena k*****s ujian manusia, dipecah-pecah jadi kecil. Sementara jalan buruk, awalnya aja mulus, karena k*****s kehidupan ada di akhir, menggunung. Karena terbiasa dengan jalan mulus, kamu bakalan susah buat hadapi ujian hidup sesungguhnya. Alhasil, kamu bisa hancur dengan gampangnya. Saya nggak mau kamu begitu. Kamu jalanin jalan berbatu ini pelan-pelan. Kamu nggak sendiri. Ada saya yang akan bantu kamu lewatinnya." Mishall menatap dalam mata gurunya itu tanpa berkedip. Terpukau oleh segala pesona yang Chandra tawarkan. Tubuh menarik, iya. Suara menawan, iya. Juga ucapan yang selalu memberikan debaran keras. Mishall benar-benar tersihir selama beberapa menit. Sampai, dering ponsel mengejutkan kedua manusia itu. Chandra secara otomatis mundur, mengeluarkan ponsel dari saku celana jeans-nya. Ia menggeser ikon hijau, lalu menempelkan benda pipih itu di telinga. "Halo," sapa Chandra lebih dahulu. Peneleponnya adalah Widya, pastinya menyangkut masalah penting tentang Shila. "Pak Chandra, Anda bisa pulang sebentar sekarang? Beberapa orang kepercayaan Bu Shila datang menuntut hak urus Bu Shila. Saya bingung di sini. Sementara Bu Shila tidak boleh stres selama masa terapi." Chandra tidak langsung menjawab, untuk pertama kalinya, urusan Shila tiba-tiba sedikit tergeser dari prioritas hidupnya. Ia menoleh pada Mishall yang memasang wajah kepo nan lugu. Namun, jika melihat status, Chandra tidak bisa mengabaikan Shila sama sekali, karena perempuan itulah tanggungjawab utamanya. Sementara Mishall, hanya seorang siswi, yang asalkan tidak berada di dalam lingkungan sekolah serta tidak mengenakan seragam, bukan tanggungjawab Chandra lagi. "Okey. Saya segera ke sana," jawab Chandra kemudian. Usai sambungan dimatikan, ia menghampiri Mishall lagi. Mengulurkan tangan yang langsung disambut gadis itu. Chandra membantunya berdiri. "Saya harus pergi. Istri saya butuh saya sekarang." Chandra memberikan penjelasan dengan ekspresi tidak nyaman. "Kamu baik-baik, ya, di sini? Jangan mundur, okey? Saya tahu, Mishall bisa menghadapi semuanya dengan tenang. Kamu kan perempuan berani." Pria itu hendak memberikan usapan lagi di kepala Mishall, tetapi siswinya malah mundur dua langkah. "Silakan, Pak." Mishall memalingkan wajah ke lantai. "Nggak usah balik, ya? Saya bisa hadapi semuanya sendiri, kok." "Saya akan balik lagi ke sini nanti, setelah urusan istri saya selesai." "Pak Chandra sadar, nggak, sih? Pak Chandra itu udah melewati batas guru-murid?" Mishall memasang topeng kesalnya, agar ketidakrelaannya bisa disembunyikan. "Terlalu ikut campur! Urusin sana, istri Pak Chandra yang gila itu!" Sungguh, Mishall tidak tahu-menahu mengenai keadaan istri gurunya, tetapi demi memancing kemarahan Chandra, ia perlu melakukan itu. Sehingga Chandra tidak perlu menunjukkan kepeduliannya pada Mishall lagi. "Mishall ...." Benar saja, Chandra langsung menggeram marah. Mishall memasang maskernya, ingin keluar dari ruangan. Namun, lengannya ditahan kasar sehingga ia terpental dan kembali ke tempatnya berdiri tadi. "Saya akan kembali ke sini. Suka atau tidak suka," bisik Chandra tegas. "Saya akan bantu dan temani kamu menghadapi semua masalah. Ini janji saya, Mishall." Sementara Chandra berujar penuh keyakinan, Mishall menjatuhkan pandangan ke ubin putih. Ia malah ragu dengan pertahanan hatinya sekarang. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN