Dave melihat Kim. Wanita itu sudah berada di dalam kantornya, memandang ke arah nama perusahaan Dave yang berwarna keemasan di dinding. Tubuh Dave pun menegang seketika. Meskipun Kim tidak menatap ke arah di mana dirinya berdiri, tapi ia sangat mengenalinya.
Rambut cokelat keemasan yang biasanya hanya bertahan sampai sebahu itu, kini bertambah panjang, hampir menutupi punggung kecil Kim. Tubuh munggil yang dulu lebih menyukai kaos longgar dengan jins berwarna pudar, saat ini pun terbungkus manis oleh sebuah gaun bermotif bunga.
Deg deg deg ....
Sungguh, gemuruh dan hawa panas yang berasal dari dalam dadaa, membuat pita suara Dave tak dapat terkontrol dengan baik, “Kim?”
Dave menunggu, tapi ia tak mendapatkan reaksi atas apa yang dirinya lakukan di kali pertama, dalam beberapa detik. Dari tempatnya berdiri, laki-laki tiga puluh tiga tahun itu dapat merasakan Kim juga sama tegangnya seperti dirinya.
Jadi yang bisa Dave lakukan adalah kembali bersuara, “Kaukah itu?”
Alhasil, langkah kaki Dave yang terasa berat, pun dipaksa oleh debar-debar sialan untuk mendekat ke arahnya. Ketika atmosfer di antara mereka terasa semakin panas, saat itulah jantung keduanya seakan sudah meloncat keluar.
“D..dave? Eh, hai! Apa kabar?” tanya Kim, penuh dengan rasa kikuk, bahkan tanpa sengaja ia menyelipkan rambut cantiknya itu ke daun telinganya.
Senyuman yang terlihat semakin manis dengan netra biru langitnya, menular untuk Dave hingga ke bagian dalam rongga d**a. Namun, yang bisa Dave lakukan hanyalah mengikuti alur dari Kim.
“Hai, Kim. Aku baik-baik saja.” Menjawab sapaan tadi dengan sebegitu ramahnya.
Kim tampak kebingungan dan mungkin juga salah tingkah di bagian perjumpaan mereka ini, sementara Dave, jangan ditanya lagi seperti apa.
Kedua telapak tangan Dave berkeringat di dalam saku celana yang dikenakan, tetapi itu masih lebih baik daripada karena ia harus membuat suaranya menjadi terbata-bata di depan Kim.
“Kau sudah sampai? Siapa yang membawa kau ke ma—?”
“Aku yang menyuruh orangku untuk menjemputnya, Tuan Brown. Kita bertiga perlu membahas banyak hal dan sebagai pengacara, aku butuh kejujuran Anda berdua demi kebaikan kita bersama!” sahut Tuan Andrew Stanton yang memotong ucapanku.
Pria paruh baya yang Dave tunjuk sebagai pengacara itu, masuk ke dalam lobi kantor Brown Corporate lengkap dengan tiga setelan di tubuhnya.
Dave yang sudah naik ke atas dan merasa terhantam kembali ke dunia nyata, menanggapinya dengan anggukan kepala saja.
“Ya, kurasa lebih cepat akan lebih baik. Aku tidak bisa berlama-lama di New York, karena sebentar lagi kami akan menikah.” Namun, yang Kim lakukan adalah sebaliknya.
Deg deg deg ...
Kim membuat degupan jantung Dave kembali berpacu cepat saat mengatakan demikian, lalu kesialan seolah semakin menjadi dengan ulah yang Tuan Andrew lakukan, “Selamat, Nona Jhonson. Tuan Brown juga akan segera menikah dengan Nona Williams dalam waktu dekat, jadi sebaiknya surat perceraian memang itu harus segera kalian miliki.”
“Tuan Andrew, sebaiknya kita bicarakan semuanya di ruangan kerjaku saja.”
Tentu saja rahang Dave mengeras dengan mata setajam pisau menatap ke arah pengacara sialannya itu, bahkan kini kedua kakinya lebih dulu bergerak ke arah lift khusus, menyembunyikan rasa geram yang tak mungkin ia lepaskan di depan Kim.
Langkah Dave melebar cepat ke depan meninggalkan mereka yang tertinggal di belakang. Ia pikir, semuanya akan kembali seperti biasa.
“Nona Jhonson? Kau masih di sana?” Namun, sekali lagi suara Tuan Andrew terdengar dan berhasil mematahkan kekesalan Dave pada Kim atas rencana pernikahan wanita itu tadi.
Ya, Kim yang belum bergerak, membuat Dave pun mencari kebenaran. Terkutuklah seorang Dave Michael Brown, ketika tanpa sengaja ia melihat telapak tangan Kimberly Rosemary Jhonson tengah menyapukan sesuatu dari wajah cantiknya yang kini sudah terpasang sebuah kacamata dengan lensa bening.
Pikiran Dave bercampur menjadi satu saat berada di dalam lift. Tak ada satu suara pun yang keluar di antara mereka dan menurutnya, Tuan Andrew pun merasakan kerumitan ini.
Sepanjang kotak besi itu membawa ketiganya naik menuju ke lantai tiga puluh lima, yang bisa Dave lakukan hanyalah sibuk dengan pertanyaan demi pertanyaan di isi kepalanya, “Kim? Benarkah kau akan menikah? Siapa pria beruntung itu, Kim? Apakah kau mencintainya?”
“Tuan Brown? Anda tidak ikut keluar?” Sampai-sampai bunyi ‘ding’ saat pintu lift terbuka, tidak terdengar sama sekali oleh Dave.
Ya, kecanggungan yang mungkin membuat Dave terlihat bodoh di mata Tuan Andrew itu, tentu saja dapat dengan mudah terdeteksi. Dave yang berupaya keras, kini kembali melangkah lebar dan meninggalkan dua tamu penting itu di balik punggungnya, demi mempertahankan harga dirinya di sana.
Satu ide konyol tiba-tiba saja terlintas dalam benak Dave, saat melihat Lucy berada di balik meja kerjanya dan itu adalah menghubungi nomor ponsel Sasha, “Halo, Honey?”
Saat Sasha sudah menyapa dari seberang sana, Dave pun bersuara sesuka hati dengan intonasi sengaja ia tinggikan, “Halo? Ada apa, Honey? Kau ingin makan siang bersama? Tidak. Aku akan menjemputmu, Honey.”
Sasha yang terdengar kebingungan membuat Dave nyaris meledakkan tawanya, “Dave? What’s wrong?”
“Riaslah dirimu secantik mungkin, karena setelah makan siang aku akan segera menagih makanan penutupku! Hm ... I love you too, Honey.” Namun, hal itu tak terjadi, setelah dengan lugas Dave terus saja menambahkan kalimat gilanya.
“Shitt! Ada apa, Honey?! Kau—”
Klik
Demi Tuhan! Dave yakin Sasha pasti tidak akan berhenti mengintrogasi dirinya, saat mereka bertemu seperti biasanya, akibat ulahnya yang memutuskan sambungan telepon tadi.
Menurut Dave ini merupakan cara paling ampuh untuk membuat Kim merasa kesal, seperti apa yang sudah wanita itu lakukan padanya, saat masih berada di lobi kantor tadi. Dengan satu tarikan di ujung bibir kanannya, Dave kembali bergerak menuju ke pintu masuk ruangan kerjanya.
“Ehem! Maaf, Tuan. Anda—”
“Ck! Batalkan apa pun yang berhubungan dengan pekerjaanku siang ini, karena aku dan Tuan Andrew akan menyelesaikan satu masalah penting. Kau mengerti, Lucy?”
“Baiklah, Tuan.” Lucy berdiri dan berkata pada Dave, tetapi laki-laki bermata abu itu dengan cepat memotong ucapannya.
Untuk saat ini, Dave hanya ingin berkonsentrasi pada masalah perceraiannya dengan Kim saja. Ia berharap dapat secepatnya mengakhiri kegilaan ini dan kembali menata hidup, meski sejujurnya jauh di lubuk hati, keraguan juga muncul semakin banyak saat Kim berada sedekat itu dengannya.
Tanpa memedulikan Tuan Andrew dan juga Kim, Dave membiarkan dirinya nampak angkuh di mata mereka. Menuju ke meja kerja, Dave juga menyempatkan diri untuk melepas jas yang sejak tadi ia kenakan, menggulung lengan kemejanya hingga ke siku, bahkan melepas dua kancing teratasnya dan semua itu tak lepas dari pandangan mata Kim.
“Silakan duduk, Nona Jhonson.” Bukan tak menyadari semuanya, Tuan Andrew pun memilih untuk mencuri start dengan mempersilakan Kim duduk di atas sofa kulit berwarna hitam dan Dave mendengarnya.
“Langsung saja, Tuan Stanton. Apakah dalam tiga hari ke depan surat perceraian itu sudah bisa aku dapatkan?” Ketika pemilik Brown Corporate itu mendekat, sekali lagi bunyi masuk ke liang telinga dan menyebabkan gendang telinganya menjadi bergetar.
Akan tetapi, bunyi tersebut ternyata berasal dari pita suara Kim, jadi yang bisa Dave lakukan adalah memekik dan memasang wajah penuh amarah padanya. “Apa?!”
Permintaan menerbitkan selembar surat cerai dalam waktu tiga hari ke depan adalah sesuatu yang berlebihan menurut Dave dan membuat emosinya mulai tersulut.
“Cih! Apa? Memangnya kenapa jika aku ingin surat sialan itu secepatnya bisa kudapatkan? Kau keberatan, Dave?” Kim bahkan dengan sengaja mengejek keterkejutan yang Dave tunjukkan, seolah-olah laki-laki yang masih berstatus sebagai suaminya itu, tak menginginkan perceraian ini terjadi.
“Apa kau sudah gila? Aku sudah memiliki wanita lain yang jauh lebih baik darimu, Kimberly Rosemary Jhonson! Ayahnya sendirilah yang meminta aku menikahi putri cantiknya, jadi jangan menganggap dirimu lebih dari segalanya!” Tak urung, yang dapat Dave lakukan adalah kembali mengingatkan Kim, jika dirinya kini sudah memiliki Sasha Williams dan hubungan tersebut tentunya sangat jauh berbeda dengan apa yang sudah terjadi di masa lalu mereka.
Ya, miris sekali. Hubungan yang ditentang habis-habisan oleh Mendiang Kenned Jhonson, ayah kandung Kim. Di saat ikatan pernikahan sudah terjadi sekalipun, kebahagiaan bahkan tak kunjung mereka dapatkan hingga di detik ini.