UNTUK beberapa saat Olivia menahan napasnya, ia bingung sendiri seolah tidak tahu arah tujuan. Yang sedari tadi ia lakukan hanyalah memandangi wajah Dion dengan bola mata yang melebar. Degup jantung sudah tak terkendali lagi, sementara telapak tangannya sudah mendingin. Astaga, mendadak saja Olivia tidak tahu caranya mencabut telapak tangannya dari sana. s**l, tatapan mata dari Dion seolah menghipnotisnya.
Di sela-sela rasa canggungnya, Olivia mengangkat tubuhnya yang kini jatuh di atas tubuh Dion, mungkin jika di lihat dari belakang, mereka sedang melakukan tindakan yang tidak-tidak. Tapi, tangan Dion mendorong tubuh Olivia kembali ke seperti semula membuat Olivia memekik.
"Jangan coba-coba kabur," ujar Dion, masih dengan suara berat dan dingin. Tatapannya menajam, membuat Olivia menahan napasnya untuk sejenak.
Olivia tidak menghiraukan, ia berusaha bangkit lagi. Dan akhirnya napasnya kini berjalan normal kembali kala ia sudah berdiri seperti semula.
"Lo apa-apaan sih! Kalo ada yang lihat gimana?" Olivia berteriak kencang.
Dion tergelak, ia tersenyum, kemudian melipat kedua tangannya di depan dadaa. "Kalo gitu, sebaiknya lo cepetan obatin luka gue sebelum ada lihat."
"Nggak mau.," tukas Olivia, tanpa pikir panjang.
"Tapi gue nolak itu, lo harus mau. Bagaimanapun juga di sini lo yang salah. Emangnya lo mau gue aduin ke polisi hm? Mumpung sekolah kita deket lho sama kantor polisi." Dion mengangkat salah satu sudut bibirnya, bermaksud menggoda Olivia agar cewek itu kesal setengah mati.
Sesuai dugaan Dion, Olivia langsung mencak-mencak. Mulutnya menggerutu, bahkan sebuah sumpah serapah Dion dapatkan dari cewek itu. Tapi Dion mencoba tidak peduli, ia mengendikkan bahu acuh tak acuh.
"Gue saranin lo ya, pekerjaan bakal cepet selesai kalo lo mulai dari tadi. Lagian, semakin siang entar bakal di lihat siswa lain gimana? Apa lagi guru!" Kembali Dion menatap Olivia dengan pandangan remeh, ia merasa menang sekarang.
Olivia mendesaah, namun ia menurut, kakinya berjalan mendekat, lalu bokoongnya ia daratkan di brankar lagi. Sebelum mengambil salep yang berada di nakas, Olivia melempar tatapan tajam.
"Kalo di lihat guru atau siswa lain, bukan gue juga yang kena omelan atau masalah. Lo juga dapet juga. Jadi nggak usah ngerasa kalo lo sendiri nggak salah." Olivia mendelik tajam, disusul bibirnya yang mencibir.
Alis Dion menukik, ia langsung mengangguk. "Bisa jadi sih, tapi gue punya alasan dan ada barang bukti yaitu luka di punggung gue. Lagipula lo cewek kenapa kekuatannya kayak badak bercula satu sih!"
Olivia memejamkan matanya, kalimat terakhir yang Dion layangkan tidak ia resap ke dalam otaknya.
"Gue juga punya alasan kali, mobil gue lecet tuh. Dan semua salah siapa? Elo yang nabrak b**o!" Dikarenakan tangannya sudah gatal ingin melakukan sesuatu terhadap Dion, alhasil Olivia mendorong kening cowok itu kuat-kuat ke belakang hingga cowok itu mengaduh kesal.
Dion menghela napas, Olivia mempunyai pikiran yang sempit menurut dirinya. "Lo lihat nggak posisi kita ada di mana? Ada di UKS kalau lo linglung. Dan itu udah pasti orang lain yang melihat kita di sini, orang itu pasti bakal akan tanya siapa yang sakit, bukan benda apa yang mau di obati seperti mobil lo!"
Sial!
Olivia memutar kepalanya menyamping, perkataan telak dari Dion tidak mampu ia balas. Olivia mengembuskan napas panjang, pasrah adalah jalan satu-satunya untuk situasi sekarang. Bagaimana lagi? Perkataan Dion memang benar, dan Olivia tidak bisa melakukan apa-apa selain mengobati bekas pukulan di punggung cowok itu.
"Yaudah, mana luka lo," ucap Olivia ketus, mulai pasrah.
"Nah, kayak gitu dong dari ta—"
Seketika ucapan Dion terhenti, melayang ke udara karena sudah di potong terlebih dahulu oleh Olivia.
"Buruan, gue nggak punya waktu lagi!"
Dion tersenyum, ia seketika berbalik badan dan sudah pasti memunggungi Olivia. Memang benar, ada bekas kemerahan memanjang di punggung lebar Dion. Olivia kemudian menatap kedua tangannya, sedikit gemetar, ia tidak menyangka bisa menyakiti orang lain seperti ini. Olivia meneguk ludahnya susah payah ketika tiba-tiba saja seruan dari Dion membuatnya tergelak kecil.
"Ngapain aja lo, kok bengong!" Kepala Dion sedikit menoleh ke belakang.
"I-ya ini gue mau ambil salepnya dulu nih."
Kedua mata Olivia sedikit terpejam, setelah jari tangannya sudah dipenuhi colekan salep, dengan segera ia mengoleskannya di punggung Dion yang luka. Demi apapun, detak jantung Olivia kembali tidak terkontrol. Ia tidak pernah bersentuhan langsung dengan seorang cowok, ralat, maksudnya punggung seorang cowok. Apalagi membayangkan kejadian beberapa menit yang lalu saat dirinya jatuh di atas tubuh Dion. Mungkin jika saat itu Dion masih mengenakan seragam, Olivia bisa sedikit lebih tenang, tapi keadaan yang sesungguhnya justru kebalikannya.
Kurang lebih tiga menit Olivia bisa menyelesaikan tugasnya. Napasnya berembus panjang, lega akhirnya ia bisa melakukan itu walaupun dengan tangan yang masih gemetar. Dion sudah berbalik badan, tapi masih belum mengenakan seragam sekolah.
"Sebelum ada yang lihat, baiknya lo pakai seragam lo!" Olivia mendengus, menunjuk-nunjuk seragam Dion yang teronggok tepat di samping bantal.
"Gue kasihan sama lo."
Sudut mata Olivia memicing, perkataan Dion ambigu sekali menurutnya. "Kok gue?"
Dion tersenyum. "Lo nggak mau lihat perut gue yang keren ini? Coba lihat."
Olivia melirik sekilas, lalu mencebikkan bibirnya. "Sombong banget lo."
"Bukan sombong, emang kenyataan kalo tubuh gue bagus. Lo nggak bakal nyesel kalo lihat lama-lama." Dion memamerkan senyuman sombongnya.
"Ya ya ya, terserah lo aja. Tugas gue udah beres, gue mau balik ke kelas. Dan pulang sekolah lo harus janji harus tangung jawab mobil gue yang lecet!" Tidak butuh lama untuk mengubah tatapannya agar menajam, Olivia mengangkat kepalan tangannya tinggi-tingi ke udara. "Awas aja kalo lo kabur, gue pastikan muka lo bakal hancur saat itu juga."
"s***s amat mbak!" Dion terkekeh, ia mulai sibuk kembali memakai seragam sekolahnya.
"Diam! Gue nggak main-main, ya?" Olivia melotot, jari tangannya menunjuk-nunjuk ke wajah Dion.
Dion membuang napas lelah, "iya, gue nggak bakal ninggalin tanggung jawab gue."
Olivia mengangguk kecil, tanpa perkataan apapun, ia segera berbalik badan dan berjalan keluar. Namun, ketika kakinya sampai di ambang pintu. Ia berbalik badan, teringat akan sesuatu.
"Oh iya, jaket yang kemarin lo pinjami, besok pagi gue bawa. Sori, hari ini kelupaan."
Olivia berniat kembali melanjutkan langkah kakinya, tapi pekikan dari Dion menghentikannya.
"Tunggu dulu."
"Apaan?" Kening Olivia bergelombang, tanda ia bingung dan butuh kalimat penjelas dari Dion.
"Gue anterin lo ke kelas."
"Gue bisa sendiri, nggak butuh bantuan lo. Makasih," ujar Olivia, cepat dan terdengar ketus.
Dion berjalan mendekat, lalu berdiri di hadapan Olivia. Wajahnya datar, lalu beberapa detik kemudian ia berkata, "tapi gue maksa."
"Gue nolak." Olivia berniat berjalan kembali, tapi s**l, salah satu tangannya di cekal oleh Dion.
"Karena ini paksaan, sebagai korban lo cuma punya satu jawaban, yaitu mengiyakan."
"Bodo amat, gue nggak peduli. Lagian lo aneh banget, tiba-tiba mau nganterin gue ke kelas." Olivia memutar bola matanya dengan jengah.
Dion terkekeh sebentar, sangat samar sampai tidak masuk ke telinga Olivia. "kalo lo bersikeras untuk nolak, ada satu hal yang akan gue lakukan detik ini juga."
"Apa?!" Olivia menantang, ia berkacak pinggang sambil mendongakkan wajah sangarnya.
"Gue bakal cium lo!"
Olivia melotot lebar mendengar kalimat yang Dion utarakan.