9. Keluar!

1339 Kata
"Tapi, Bu ...." Senja merasa ini tidak adil. Hanya karena dia tidak mengakui hal tidak benar itu dan Raya langsung murka. Apa lagi-lagi semesta berusaha mempermainkannya? Baru saja diterbangkan ke langit biru dan dalam sekejap langsung dihempas ke bumi. Tidakkah itu terlalu kejam? "Keluar!" teriak Raya membuang pandangan. Senja menatap Raya bingung. "Ini bukan ulah Abang Wala, kan? Arya ... dia nggak terlibat mainan aku, bukan?" batinnya bertanya-tanya. Selama ini, Senja selalu gagal ketika melamar pekerjaan. Baru pertama kali diterima dan tetap saja berakhir ditolak. Apa kualifikasinya tidak sesuai atau memang dia tidak pantas menerima pekerjaan apa pun? "Apa aku kerja di perusahaan Papa atau butik Mama aja?" bisik Senja dalam hati. Dia terlihat sangat putus asa dan tidak memiliki semangat untuk mencari pekerjaan lain. Senja berdiri dan berjalan ke arah pintu. Tidak baik terlalu lama di sana, sedangkan pemilik ruangan sudah mengusirnya berkali-kali. Tidak mungkin bukan kalau dia memaksa untuk berada di tempat dan meminta pekerjaan? Rasanya akan sangat memalukan seolah dirinya benar-benar membutuhkan pekerjaan itu. "Tunggu!" seru Raya mencegah langkah Senja. "Maaf, Bu. Jika bekerja menjadi bawahan Ibu harus menjadi kekasih adik Ibu, maaf bukan saya orangnya. Saya dan Pak Arya tidak memiliki hubungan apa-apa dan kami baru saling mengenal." Senja hanya menghentikan langkahnya sejenak. Setelah ucapannya terlontar, dia kembali berjalan. Membuka pintu dan keluar tanpa ada keraguan sedikit pun. Tidak masalah jika dia gagal karena ini bukan yang pertama. Sudah lebih dari puluhan bahkan hampir ratusan dia ditolak ketika melamar pekerjaan. Baik di perusahaan besar maupun kecil itu sudah biasa. "Senja, tunggu!" Raya mencekal lengan Senja. Raya bukan wanita berkepribadian ganda bukan? Belum genap tiga menit dia mengusir Senja dan sekarang justru dia sendiri yang mencegah langkah wanita itu. Sebenarnya apa yang ada di kepalanya? "Ada apa, Bu? Bukankah Ibu yang menyuruh saya keluar?" tanya Senja heran. "Memang benar, tapi itu hanya bercanda. Saya hanya ingin memastikan saja hubunganmu dengan Arya apa. Dan ternyata, apa yang Arya katakan benar kalau kalian memang tidak ada hubungan apa-apa," sanggah Raya menjelaskan. "Jadi?" Senja masih tidak mengerti. Kalau memang Raya hanya ingin membuktikan sesuatu, lalu bagaimana dengan nasibnya? Apakah dia masih diterima sebagai pengganti Sandra atau tidak? "Kamu tetap bekerja sebagai sekretaris saya. Untuk yang tadi, mohon jangan diambil hati." Raut wajah Raya menunjukkan rasa bersalah sekaligus tidak enak. "Baik, Bu, terima kasih." Senja tersenyum diiringi hembusan napas lega. Ternyata kali ini semesta berada di pihaknya. Dalam hati, dia meminta maaf pada Arya karena sempat berpikir buruk tentangnya. "Oke." Raya beralih menatap sekretarisnya. "Sandra, tolong ajari Senja tentang apa-apa saja pekerjaannya. Jadi, sebelum kamu pergi dia sudah bisa melakukan pekerjaannya dengan baik." "Baik, Bu," jawab Sandra. "Senja, sini." Sandra memanggil untuk memulai tugasnya mengajari Senja. Sementara Senja menuju meja kerja Sandra, Raya kembali ke ruangannya. Dia meraih ponselnya di tas dan bergegas menghubungi Arya. "Kenapa? Baru aja ketemu udah kangen aja lo sama gue." "Iya, gue kangen banget sama lo. Cepet ke ruangan gue sekarang." "Ogah, ah, gue sibuk." "Ya udah gue aja yang ke ruangan lo." Raya langsung menekan tombol merah dan bergegas keluar ruangan. Dia menatap Senja sekilas dan berjalan setengah berlari menuju ruang kerja adiknya. Dia amat sangat penasaran dengan Senja. Padahal, dia baru berinteraksi selama beberapa menit saja. "Ya ampun! Lo beneran ke sini, Kak?" tanya Arya terkejut. "Ya iyalah. Gue tuh penasaran akut sama si Senja tahu," sahut Raya sambil berjalan ke arah sofa dan duduk. "Hah? Penasaran? Apaan, sih, Kak, gue nggak ngerti?" Arya cukup terkejut mendengar penuturan kakaknya. Baru bertemu Senja belum ada lima belas menit menit dan sudah langsung penasaran. Memangnya apa yang telah Senja lakukan? "Gue pikir dia cewek lo, tapi ternyata bukan yah?" Jika tahu Senja bukan kekasih sang adik, Raya tidak akan bersikap seperti itu. Memaksa wanita itu mengakui sesuatu yang memang bukan fakta dan berakhir mempermalukan diri sendiri. "Ya ampun, Kak!" Arya menepuk dahi. Dia bergegas menutup dokumen dan menghampiri sang kakak, "Harus berapa kali, sih, gue bilang? Gue sama Senja cuma sepasang orang asing yang baru kenal beberapa hari lalu," lanjutnya menggebu. "Abisnya lo mencurigakan banget, sih." Raya hanya tersenyum sambil mengerucutkan bibir. "Ish!" Arya mencebikkan hidungnya. "Jadi, yang bikin lo penasaran apa?" Arya mendaratkan bokongnya di sofa single. Jika Raya begitu penasaran terhadap Senja, maka Arya penasaran dengan apa yang membuat sang kakak ingin tahu tentang wanita itu. "Pak Esa beneran punya anak cewek?" tanya Raya. "Ya. Senja itu anak dari istri kedua Pak Esa," sahut Arya tidak terkejut. Pasalnya, waktu itu pun dia mempertanyakan hal yang sama. "Tapi kenapa dia mau jadi sekretaris gue? Kenapa nggak kerja di perusahaan bokapnya sendiri?" Jika Mahesa tidak memiliki perusahaan sendiri, Raya tidak akan sepenasaran ini. Bahkan dirinya dan Arya saja bekerja di perusahaan sang kakek. Perusahaan yang saat ini dipimpin sendiri oleh Lugio, ayah mereka. "Nggak tahu," sahut Arya mengedikan bahunya malas. Arya tidak mau menebak-nebak. Memikirkan Cakrawala yang selalu memblokir Senja ketika ingin bekerja di luar membuatnya malas berpikir. Dia yakin suatu saat nanti akan tahu dengan sendirinya. Sama seperti pepatah yang mengatakan bahwa bangkai meski disimpan rapat-rapat perlahan akan tercium juga. "Kok nggak tahu, sih?!" tanya Raya sedikit kesal. Arya yang membawa Senja, tetapi ditanya justru tidak tahu. "Ya, emang faktanya gue nggak tahu," sahut Arya kembali mengedikan bahu. "Aduh, capek deh. Tapi, beneran lo nggak ada hubungan apa-apa sama dia?" Arya menatap kakaknya dengan terkejut. Tentu saja karena lagi-lagi Raya melontarkan pertanyaan konyol. Bukankah sang kakak sedikit mirip Cakrawala? Belum apa-apa sudah berpikir sesuatu yang tidak-tidak. "Gue cuman tanya dan reaksi lo nggak usah begitu banget kali." Raya menatap adiknya sinis. "Tapi, lo beneran nggak ada apa-apa sama Senja? Nggak ada perasaan suka, gitu? Dia cantik, loh. Dia juga kayaknya beda dibanding cewek-cewek lain yang pernah deket sama lo. Gue suka, gue setuju kalo punya adek ipar kayak Senja." Meskipun Senja berasal dari kalangan atas, tetapi penampilannya tidak glamor. Riasan wajahnya tipis dan natural, cara berpakaiannya yang sopan, dan sikapnya tidak menunjukkan bahwa dirinya anak dari konglomerat. Tidak seperti perempuan-perempuan yang pernah dekat dengan adiknya. Mereka memperlihatkan bahwa mereka kaya dari cara berpakaian dan bersikap. "Nggak usah mikir aneh-aneh deh, Kak. Lo tahu sendiri 'kan kalo gue ada perjanjian sama Kakek. Jadi, gue nggak mikir cinta-cintaan," sanggah Arya menghela napas pasrah. Bukan karena wanita itu adalah Senja. Itu ditujukan pada siapa saja yang nanti akan singgah di hati Arya. Karena pada akhirnya, dia akan dinikahkan dengan sosok yang mampu menguntungkan perusahaan. Jadi, percuma memuja cinta jika pada akhirnya dia akan menikah dengan perempuan pilihan sang kakek. "Nggak usah mikirin perjanjian biar gue yang gantiin lo. Gue kasih lo kartu VVIP buat raih kebahagiaan bersama cewek yang lo cinta." Raya menatap adiknya sendu. Jika bukan demi melindunginya, mana mungkin Arya akan membuat perjanjian konyol bersama kakek mereka. "Udah mau jam sepuluh. Sebentar lagi kita ada meeting dan nggak boleh telat." Arya berdiri sambil menatap jam di pergelangan tangan kanan. Bukan karena ada rapat, bahkan jika tidak ada pun dia tetap akan mengakhiri pembicaraan itu. Dia tidak ingin pembahasan mengenai perjanjian yang dibuat dengan kakeknya semakin jauh. "Gue boleh bawa Senja nggak yah, Dek?" tanya Raya mendadak bersemangat. "Bawa ke mana?" tanya Arya malas. Pertanyaan yang Arya lontarkan seolah dirinya lupa dengan apa yang tengah mereka bicarakan. Tidak mungkin bukan kalau Raya membawa Senja ke rumah dan menjadikan wanita itu sebagai adik ipar? "Ya, ke ruang rapat lah. Emang lo pikir gue mau ajak Senja ke mana? Ke rumah Kakek buat minta restuin kalian berdua?" sahut Raya meledek. "Apaan, sih, Kak? Udah deh nggak usah aneh-aneh." Arya benar-benar malas meladeni candaan Raya yang sangat tidak penting itu. "Tapi, kenapa? Lo mau uji dia di hari pertama kerja?" "Gue cuman pengen tahu kemampuan dia aja. Apa bener dia secerdas itu?" Dari CV yang Raya baca, Senja merupakan mahasiswi manajemen bisnis terbaik. Nilainya hampir sempurna dan kuliah menggunakan jalur beasiswa di sebuah universitas bergengsi. Dia mendapatkan beasiswa bukan karena mahasiswa tidak mampu, tetapi karena kepintaran otaknya. "Maksud lo?" tanya Arya mengerutkan kening penasaran. "Kita lihat nanti aja, deh. Gue bakal tunjukkin siapa Senja sebenarnya." Raya tersenyum menyeringai. Sikapnya saat ini seolah dia tahu pasti seperti apa sosok Senja.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN