"Ma-maksud P-pak Arya apa?" tanya Senja terbata.
"Semalam, sepertinya kamu lupa memutus panggilan. Jadi, tidak sengaja saya mendengar semuanya," sahut Arya menjelaskan.
"Se-semuanya?!" tanya Senja terkejut.
Senja tidak menyangka bahwa kecerobohannya membuat orang lain tahu tentang masalah pribadinya. Terlebih itu masalah yang sengaja disembunyikan karena berhubungan dengan Cakrawala.
"Ya, semua," sahut Arya mengangguk.
"Ya Tuhan ...." Senja meraup wajahnya kasar. Dia membuang pandangan ke jendela samping dan melanjutkan ucapannya, "Tolong jangan katakan pada siapa pun tentang apa yang Anda dengar, Pak Arya," imbuhnya memohon.
Tiba-tiba, suara Senja berubah datar. Arya bisa merasakannya dan merasa sikap Senja sama seperti sebelumnya yang dingin.
"Tentu saja tidak. Saya tidak berhak menyebar masalah pribadimu pada orang lain," sanggah Arya menggebu.
"Terima kasih," kata Senja menatap Arya sekilas, sebelum akhirnya kembali menatap samping.
"Ngomong-ngomong, apa kamu tidak ingin memberitahu orang tuamu tentang Wala?" tanya Arya penasaran.
Senja menoleh, menatap Arya dengan raut yang tidak bisa dijelaskan. Mungkinkah dia marah karena pria itu berusaha mencampuri urusan pribadinya?
"Maaf, saya tidak bermaksud--."
"Saya hanya tidak ingin membuat masalah. Papa terlalu baik untuk mendengar kenyataan ini," potong Senja menjelaskan.
"Meski kamu harus tersiksa terus-menerus?"
Arya menatap Senja sendu. Dia benar-benar penasaran dengan jawaban apa yang akan wanita itu berikan. Jika menjadi Senja, dia akan melawan Cakrawala dengan seluruh tenaga. Setidaknya, Cakrawala tidak akan bersikap sesuka hati dan terus menginjak-injak harga dirinya.
"Ya, tidak juga." Senja menghembuskan napas berat mengerti maksud Arya. Akan tetapi, cara apa yang harus dilakukan untuk menghentikan kekonyolan Cakrawala?
"Jadi?"
Sejak pembahasan masalah ini, Arya sudah penasaran. Namun, semakin lama berinteraksi membuatnya jauh lebih penasaran. Ingin tahu lagi dan lagi tentang Senja lebih dalam.
"Entahlah, saya juga tidak tahu. Dulu saya pikir, dengan saya memiliki seseorang yang saya suka, Abang Wala akan berhenti. Namun nyatanya, dia justru semakin menjadi-jadi."
Senja mulai terbuka. Mungkin karena dia pikir Arya sudah tahu permasalahannya. Jadi, dia tidak berusaha menutupi. Lagi pula, perasaannya menjadi lebih nyaman setelah isi hati dibagi.
"Kenapa bisa seperti itu?"
"Ya, karena mereka yang dekat sama saya langsung diancam. Setelah itu, mereka langsung menjauh," sahut Senja menatap Arya.
"Wala gila juga, yah?" Arya tersenyum sambil menggeleng tidak percaya.
Arya cukup penasaran dengan apa yang membuat Cakrawala begitu menginginkan Senja. Entah karena Senja cantik meski hanya riasan tipis yang menempel di wajahnya atau ada alasan lain.
"Dia memang gila, Pak Arya," sanggah Senja menahan tawanya.
Sontak, keduanya saling pandang. Sepersekian detik kemudian, mereka tertawa bersamaan. Ternyata, hanya karena satu kata mereka jadi terlihat lebih dekat.
"Abang Wala itu sudah seperti orang yang terobsesi sama saya," lanjut Senja.
"Apa yang membuatmu berpikir seperti itu?" tanya Arya sambil mengerutkan keningnya.
Senja menatap Arya sekilas, lalu kembali menatap ke depan. "Dulu Abang tidak seperti itu, tapi setelah kekasihnya meninggal dia jadi seperti ini."
Senja baru sadar setelah kejadian siang tadi. Dia ingat betul perubahan sikap Cakrawala tidak lama setelah masa-masa sulitnya kehilangan Ivy. Karena sebelum kejadian itu, Cakrawala menganggapnya sebagai seorang adik.
"Maksud kamu gangguan stres pasca trauma?" tanya Arya menyimpulkan.
"Entah, saya juga tidak tahu istilahnya seperti apa. Tapi yang saya tahu, ya, itu tadi," sanggah Senja terlihat lebih santai.
"Kalau seperti ini, Wala harus dibawa ke dokter."
Dokter yang Arya maksud adalah dokter kejiwaan atau sejenisnya. Karena yang terjadi pada Cakrawala merupakan gangguan pada jiwa. Setidaknya, lakukan konsultasi terlebih dahulu agar tahu apa yang sebenarnya terjadi.
"Dia mana mau." Senja menghela napas berat mengingat betapa keras kepalanya sang kakak tiri.
"Belum juga dicoba sudah bilang begitu. Coba saja dulu," kata Arya menyarankan.
Segala sesuatu jika tidak dicoba terlebih dahulu tidak akan pernah tahu hasilnya. Jika sudah dicoba, entah bagaimana hasilnya yang penting sudah mencoba. Jika baik dijalani, jika tidak ya diperbaiki.
"Nanti deh saya coba."
Tiba-tiba, suasana menjadi hening. Bagi Senja yang biasa sendiri merasa nyaman, tetapi tidak dengan Arya. Apalagi sejak awal dia sudah penasaran seperti apa sosok Senja. Namun, setelah kejadian semalam sampai sore ini, dia akhirnya tahu mengapa Senja selalu bersikap dingin.
"Ngomong-ngomong, saya boleh tanya sesuatu, tidak?" tanya Arya meminta izin.
"Boleh. Mau tanya apa?"
"Kenapa kamu tidak bekerja di perusahaan papa kamu saja?"
Pertanyaan ini sempat terpikir ketika Wulan menanyakan posisi sekretaris direktur pemasaran. Selain itu, Raya juga menanyakan hal yang sama dan Arya tidak bisa menjawab. Jadi, sambil mencairkan suasana hening sekalian saja Arya bertanya.
"Tidak ingin saja," sahut Senja malas.
"Oh, oke."
Arya tahu kalau Senja tidak ingin membahas masalah itu. Jadi, dia memutuskan untuk mengganti topik. Ya, meskipun masih seputar wanita itu.
"Dilihat dari CV yang kamu kirim, kamu lulus sejak dua tahun yang lalu. Tapi, kenapa tidak ada pengalaman kerja apa pun?"
Hal ini cukup membuat Arya penasaran. Menurut Arya, Senja memiliki bakat luar biasa. Baru hari pertama bekerja saja sudah melontarkan ide yang menakjubkan. Apalagi kalau bakatnya itu diasah. Dijamin Senja bisa menjadi orang hebat di masa depan.
"Entahlah. Mungkin saya ditakdirkan untuk menjadi pengangguran selama dua tahun."
Arya sudah terlalu jauh mengetahui masalah pribadinya. Jadi, Senja tidak perlu menjelaskan alasan dia menjadi pengangguran selama dua tahun.
"Jadi, kamu menjadi sekretaris kakak saya juga karena takdir?"
"Ya, mungkin seperti itu."
Senja tidak terlalu mempercayai takdir. Namun, tiba-tiba dia percaya karena doa yang selalu dia panjatkan akhirnya terkabul. Mendapat pekerjaan dan Cakrawala tidak bisa mengganggunya.
"Sebenernya saya tidak percaya takdir," ujar Arya tiba-tiba.
"Kenapa?" tanya Senja dengan tatapan menelisik.
"Karena sejak lahir, semuanya sudah diperhitungkan oleh kakek saya," sahut Arya dengan tatapan lurus ke depan.
Yah, benar. Sejak lahir, semua anak cucu keluarga Lazuar sudah ditentukan nasibnya. Di mana bersekolah, dengan siapa berteman, jurusan apa yang harus diambil, bahkan untuk menikah pun sudah ditentukan siapa mempelainya.
"Oh."
Senja terlihat tidak bisa berkata-kata. Dia mengedipkan mata cepat dan langsung menunduk. Dia pikir hanya dia seorang yang memiliki kesulitan dalam hidupnya. Namun, sepertinya Arya jauh lebih dan lebih sulit darinya.
"Sudah sampai," kata Arya sambil menghentikan laju mobilnya.
"Iya. Terima kasih banyak, Pak Arya. Maaf, saya tidak bisa ajak Bapak masuk. Saya takut ada yang mengamuk kalau tahu saya pulang diantar, Pak Arya," ucap Senja merasa tidak enak.
Andai Arya tidak tahu apa-apa, Senja tidak akan menjelaskan. Dia akan langsung keluar tanpa mengucapkan kata lain selain terima kasih.
"Padahal seru, loh, kalau ada yang mengamuk. Kamu juga tidak bisa terus-terusan mengalah. Sekali-kali lawan agar Wala tidak bersikap seenaknya."
Arya hanya merasa kasihan saja pada Senja. Wanita itu terlihat seperti Rapunzel yang dikurung dalam kastil. Mereka hanya berbeda status dan situasi saja.
"Baik, Pak. Sekali lagi, terima kasih."
Belum sempat keluar, terdengar suara ketukan. Sontak, Senja dan Arya menoleh ke asal suara. Di sisi kanan, tepat di sebelah Arya, sosok Cakrawala terlihat.
"Abang Wala!" Mata Senja terbelalak dengan jantung berdegup kencang.
Baru saja dibicarakan dan orangnya sudah ada di depan mata. Meski jarak mereka dibatasi dengan kaca mobil, tetapi ekspresi menakutkan Cakrawala jelas terlihat.