Bab 9. Pusat Semesta

2047 Kata
Telanjang. Itu yang sebenarnya ingin dikatakan Arion, tetapi ia tidak ingin mengotori otak polos Jemi. Meskipun blasteran, Jemi tidak seperti gadis berdarah campuran lainnya yang terkadang menganut pergaulan bebas layaknya di negara barat. Jemi tidak pernah berdekatan dengan lawan jenis selain orang-orang yang dekat dengan keluarganya. Ia adalah pria pertama yang dekat dengannya selain dari kalangan yang sudah disebutkannya tadi. "A!" seru Jemi tepat di depan wajah Arion. Pipinya menggembung menatap pria itu dengan delikan tajam. "Aku nanya sama kamu, lho, bukan nanya sama Pak Bram!" Mulut mungilnya meruncing. Arion tidak langsung menjawab. Ia mengusap wajah kasar, lantas mencoba membingkai senyum agar Jemi tidak khawatir lagi. "Aku mimpi kayak biasa, kecelakaan mobil sama api yang menyala besar." Mata biru Jemi menyipit. "Bohong itu dosa, lho, A," sindirnya terang-terangan. Pak Bram yang mendengarnya, tertawa kecil. Sejak kecil Jemi tidak pernah berbohong, dia selalu mengatakan yang sebenarnya. Dia juga selalu bertindak dan berkata dengan spontan, selalu mengatakan yang ada dalam pikirannya tanpa sadar orang yang menjadi lawan bicaranya akan tersinggung atau tidak. Arion juga tertawa kecil. Ia mengangguk. "Iya, aku tau, kok," jawabnya. "Terus, kenapa masih bohong?" tanya Jemi dengan bibir mengerucut. "Kamu mau hidungnya ntar panjang just look like Pinokio?" "Nggak ada yang kayak gitu!" Arion memencet hidung Jemi gemas. "Adanya di dongeng doang!" Tawanya kembali pecah. Jemi menyipitkan mata menatap Arion. "Berarti bener kamu bohong, 'kan, A!" "Eh, kok, gitu?" Arion menggeleng, sedikit panik melihat sinar mata Jemi yang menuduhnya "Siapa bilang aku bohong?" tanyanya. "You said it yourself!" jawab Jemi dengan dagu terangkat angkuh Kedua tangannya terlipat di depan d**a. Sungguh, di mata Arion, Jemi sangat menggemaskan. Seandainya saja tidak ada Pak Bram yang tengah menyetiri mereka, atau mereka sudah tiba di rumah, akan dipeluk dan digigitnya bibir mungil yang mengerucut itu. Sayangnya mereka masih di perjalanan, belum sampai di rumah. Arion hanya berdeham, melirik bagian bawahnya yang terasa nyeri. Astaga, apa yang sudah terjadi padanya? Ini baru pertama kali terjadi, tubuhnya bereaksi terhadap Jemi. Untungnya, lampu mobil tidak seterang di ruangan, mereka juga duduk, sehingga si kecil yang sudah bangun sempurna luput dari perhatian yang lainnya. Arion kembali mencoba untuk berkonsentrasi. Ia memalingkan muka, tak lagi menatap wajah cantik yang sudah membuat tubuhnya memanas. "Kapan aku bilang kalo aku bohong?" tanyanya serak. "Nggak ada!" Jemi memutar bola mata. "Masih aja nggak sadar!" katanya ketus. "Apa salahnya, sih, A, cuman ngasih tau mimpi aja! Kesel, deh, sama kamu! Arion Adelio, you are so annoying!" Jemi memutar tubuhnya membelakangi Arion yang juga tidak menatapnya. Pria itu sedikit aneh malam ini, di matanya. Dia yakin, Arion menyembunyikan sesuatu. Sepertinya mimpinya kali ini lebih menakutkan sampai-sampai Arion tidak memberitahunya. Arion mengembuskan napas melalui mulut. Ia sudah tahu, jika sudah seperti ini —Jemi memunggunginya— artinya dia benar-benar marah. Beberapa bulan terus bersama membuatnya mengenal bagaimana sifat dan karakter gadisnya. Terkadang Jemi tidak bisa ditebak, keras kepala, dan suka melakukan sesuatu tanpa memikirkan resiko terhadap dirinya. Satu lagi, Jemi sangat polos. Tuan Felix dan dokter Stevan, serta orang-orang di rumahnya, menjaganya dengan sangat baik. Arion meraih tubuh mungil yang memunggunginya, menariknya hingga tubuh itu jatuh di pangkuannya, tanpa ada penolakan dari Jemi. "I'm sorry," bisiknya tepat di telinga Jemi. Ia meletakkan dagu di bahunya. "I did not mean it. Jangan ngambek lagi, ya, Baby. Please, forgive me!" pintanya. Jemi melirik bahu kanannya, di mana Arion meletakkan dagu. Mengembuskan napas melalui mulut, lantas mengecup pipi pria itu. "Aku masih belum maafin kamu, A!" katanya judes melihat wajah tampan itu tersenyum. "Oh, okay!" sahut Arion pasrah. "Besok pokoknya kamu harus potong rambut. Jelek banget rambutnya gondrong!" Jemi mengacak rambut Arion. Berhenti setelah tangannya ditangkap pria itu. Seandainya tidak sadar ada Pak Bram bersama mereka, Jemi pasti sudah memekik. Arion mengecup punggung tangannya, kemudian mengulum jari telunjuk dan jari tengahnya, mengisapnya sambil sesekali menggigit dan memainkan dengan lidahnya yang terasa kasar. Jemi menekankan mata, menggigit bibir agar tidak bersuara. Untungnya mereka sudah memasuki gerbang rumahnya, sehingga tak sampai satu menit mobil sudah berhenti di dalam garasi. Jemi mengembuskan napas lega, Pak Bram keluar lebih dulu dengan meninggalkan kunci kontak mobil tetap terpasang di tempatnya. Pria setengah baya itu juga menutup pintu mobil dengan sopan. "A!" rengek Jemi. Dia menarik jari-jarinya bersamaan dengan Arion yang memutar tubuhnya dengan gerakan cepat. Sekarang mereka saling berhadapan. Jemi duduk mengangkang di pangkuannya, menatapnya sayu sambil menggigit bibir bawahnya. Tak tahan lagi, Arion menarik tengkuknya dan menyatukan bibir mereka. Bibir Jemi manis, ia ketagihan. Arion menggeram sebelum menyesap bibir mungil itu kuat dan melumatnya rakus. Sebuah gigitan lembut membuka mulut mungil itu. Dengan cepat Arion melesakkan indra pengecapnya, mengobrak-abrik mulut hangat itu, mengabsen seluruh isinya. Sesekali lidah mereka beradu, Jemi berusaha membalas gerakan indra pengecapnya yang liar. Jemi mengenakan celana panjang, juga kemeja sebagai outer. Namun, di dalamnya dia hanya mengenakan crop top longgar, sehingga tangan Arion bebas bergerilya masuk ke dalam bajunya, mengusap perut dan punggungnya tanpa kesulitan. Kulit Jemi sangat halus seperti kulit bayi, ia seperri mengusap plastik yang licin. Arion menggeram, terus menginvasi mulut mungil yang mengeluarkan desahan tertahan. Tangannya terus bergerilya, berhenti saat menemukan gundukan hangat pada tubuh bagian depan Jemi. Gundukan itu tidak besar, Jemi masih belum tumbuh, hanya lebih tinggi dari gadis seusianya yang bukan berdarah campuran. Namun, gundukan itu terasa sangat pas di tangannya. Erangan lolos dari mulut Jemi saat ia meremasnya lembut. Tubuh di pangkuannya menegang, tetapi hanya sesaat, Jemi kembali seperti semula beberapa detik kemudian. Arion yakin, ini adalah yang pertana untuknya. Tubuh di depannya masih tersegel, tidak seperti perempuan-perempuan di dalam mimpinya. Arion melepaskan Jemi. Bayangan para perempuan tanpa pakaian di mimpinya tadi siang, menyadarkannya. Tubuhnya bergetar, tetapi bukan lagi karena gairah, melainkan ketakutan. Jemi tersentak kaget, Arion memeluknya erat. Dia juga merasakan tubuh pria itu gemetar. Dengan lembut Jemi mengusap punggungnya, berusaha menenangkannya. "Everything is okay, A," bisiknya tak kalah lembut. Arion mengangguk. Matanya yang terpejam, perlahan terbuka, menatap Jemi setelah gadis itu merenggangkan pelukannya. Telapak tangan Jemi terasa sangat lembut kala membingkai pipinya. "Kamu kenapa, A?" tanya Jemi lirih. Matanya berkaca-kaca. Dia selalu ketakutan setiap kali Arion seperti ini. Dia tak ingin terjadi sesuatu yang tidak-tidak terhadap pria yang sudah membuatnya jatuh cinta sejak pertama kali interaksi mereka. Beberapa tahun yang lalu, yang Arion yang masih pingsan dibersihkan setelah dia dan Pak Bram membawanya ke rumah. Jemi kecil terpesona melihat wajahnya yang seperti boneka. Kenapa dia menganggapnya boneka? Seandainya saja tidak ada bekas luka atau parut apa pun di wajah itu, pastilah sangat tampan. Ketika luka di wajah itu mengering dan hilang sana sekali, Jemi semakin terpesona. Apa yang dipikirkannya benar, pria yang masih saja tak sadar dan dinyatakan koma oleh dokter Stevan, sangat tampan. Kulitnya putih bersih tak bernoda, bibirnya berwarna merah segar. d**a Jemi selalu berdebar setiap kali melihatnya. Sering kali dia mencium bibir pria itu, berharap keajaiban terjadi seperti di dalam dongeng..Namun, pria itu tidak bangun juga. Jemi hampir putus asa, sampai empat tahun kemudian Arion bangun sendirinya tanpa perlu sebuah ciuman. "Are you alright?" tanya Jemi dengan suara bergetar dan serak. Arion mengangguk, mengusap air mata yang perlahan menuruni pipi mulus Jemi. "Aku nggak apa-apa," jawabnya tersenyum. Ia sudah bisa mengendalikan diri, tubuhnya sudah tidak bergetar sehebat tadi. "Tadi cuman biar nggak keterusan aja." Ia meringis agar Jemi tidak semakin curiga. Jemi memicingkan mata. "Kamu tau nggak, A? Rasanya tuh susah banget percaya sama kamu, but I will try it!" "Good girl!" Arion tersenyum, mengacak rambut Jemi gemas. "I love you more than my life itself," bisiknya tepat di depan bibir Jemi kemudian mengecupnya sekilas. Hanya sebuah kecupan, ia tidak ingin lepas kendali seperti tadi. "I love you too!" balas Jemi tanpa berbisik. Dia berseru. "Ayo, keluar! Ngantuk," ucapnya manja. Arion menggangguk. "Mau digendong?" tawarnya setelah berada di luar. Jemi mengangguk cepat, kemudian melompat ke arah Arion yang sudah bersiap. Jika tidak, mereka akan jatuh di garasi. *** "Good morning, Sleeping Beauty. Did you sleep well last night?" Jemi tersenyum mendengar sapaan itu. Sapaan khas setia pagi yang didengarnya beberapa minggu terakhir ini. Selain menyapanya dengan khusus seperti tadi, Arion juga memiliki cara yang ampuh untuk membangunkannya, yaitu dengan cara menciumi seluruh wajahnya. Terkadang juga mencium bibirnya sampai dia kesusahan bernapas. Sejak menemukan Arion terbangun dengan tubuh menggigil dan bersimbah keringat di tengah malam karena mimpi buruknya, dan pria itu tidak bisa lagi melanjutkan tidur setelah itu, Jemi memutuskan untuk tidur di kamarnya, di ranjang yang sama. Dia percaya pada Arion, pria itu tidak akan menyentuhnya selain ciuman bibir. "Good morning too, My Prince!" balas Ki setelah membuka mata dengan sempurna. Kantuknya langsung sirna melihat wajah pahatan sempurna terpampang di depan matanya. Jemi membingkai wajah tampan Arion, mengecup bibirnya beberapa kali. Bibir Arion terasa manis di bibirnya, warnanya yang merah alami membuatnya gemas dan ketagihan untuk menciuminya Hanya kecupan kecupan kecil saja. Jemi tidak berani mencium Arion lebih dalam. Selain karena malu, dia juga tak ingin terlambat ke sekolah. "Ayo, bangun!" ucap Arion setelah balas melumat bibir Jemi beberapa saat. "Ntar telat lagi sekolahnya!" Arion menarik Jemi untuk duduk, memukul bokongnya gemas beberapa kali karena gadis itu yang sangat malas pergi ke kamar mandi Hampir seluruh pakaian Jemi sudah dipindahkan ke kamar ini. Pelayan yang melakukannya atas permintaan Jemi. Walk in closet miliknya jadi penuh dengan pakaian mereka. "A, hari ini kami yang nganterin aku ke sekolah, ya?" pinta Jemi dari dalam kamar mandi. Dia sengaja tidak menutupnya rapat agar dapat berkomunikasi dengan Arion. Setiap kamar tidur maupun kamar mandi di mansion ini dilengkapi dengan peredam suara. Entah kenapa Papi melakukannya, padahal menurut Jemi itu tidak perlu. Keberadaan alat peredam suara di tempat-tempat itu justru sangat mengganggu baginya. Komunikasi jadi tidak lancar. "Maksud kamu, aku ikut nganterin kamu sama Pak Bram?" Arion balas bertanya. Ia tengah merapikan tempat tidur yang berantakan karena ulah mereka. Bukan macam-macam, hanya saja terkadang tidur Jemi sangat kacau. Kaki dan tangannya bergerak tak beraturan, menendang selimut dan melempar bantal dengan mata terpejam. "Iya!" seru Jemi. "Besok-besok kalo kamu udah berani nyetir, biar kamu aja yang nganter sama jemput aku setiap hari!" Terdengar tawa kecil dari kamar mandi. Arion menggelengkan kepala, bibirnya mengulas senyum. Ia memang masih belum bisa mengemudikan mobil sendiri, padahal Tuan Felix susah membelikan sebuah mobil untuknya. Sampai sekarang mobil itu masih tidak tersentuh, masih berada di tempatnya semula dengan manis. Dokter Steven sudah memberi tahu tadi malam, jika ia mengalami trauma, dan mulai besok ia akan berjibaku dengan seorang psikiater kenalan dokter Stevan untuk memulai sesi konsultasi. Semoga saja semuanya berjalan lancar agar ia bisa mewujudkan keinginan Jemi untuk mengantar dan menjemputnya ke sekolah, atau ke tempat mana pun gadisnya ingin pergi. Jujur saja, mimpi buruk setiap malam itu sangat mengganggu. Tak hanya kesulitan tidur, ia juga mengalami sesak napas, tubuh bergetar hebat dan bermandi keringat,jantung yang berdetak lebih cepat dua kali lipat. Seandainya tidak ada Jemi, sepertinya ia tidak akan bisa bertahan. "No problem!" balas Arion. "Aku bakalan jadi supir kamu ke mana pun kamu mau pergi!" "I love you, A!" Arion tertawa kecil mendengarnya. Berjengit saat sepasang lengan melingkari perutnya. Ia sedikit menoleh ke belakang, ke punggungnya yang terasa hangat. Rambut brunette Jemi menyembul. "Kebiasaan bikin kaget!" Arion memijit lengan mulus yang memeluknya. "Kamu nggak bakas pas aku bilang I love you!" rajuk Jemi sambil mengeratkan pelukan. Arion tersenyum. "I love you more, Princess!" katanya sambil memutar tubuh. Arion kurang keseimbangan. Beruntung ia berdiri masih di sisi tempat tidur, sehingga mereka tidak terjatuh ke lantai. Tempat tidur bergerak, meledak lebih sedikit ke dalam karena bobot berat di atasnya. Jemi duduk di pangkuan Arion dengan melebarkan kedua kakinya. "Besok kamu terapinya sendirian aja, A, aku nggak bisa nemenin karena masih sekolah." Jemi mengusap pipi Arion, membingkainya, dan memberikan ciuman kecil di sudut bibirnya. "Nggak apa-apa, 'kan?" tanyanya penuh rasa bersalah. Selain itu, dia juga khawatir. Bagaimana jika terjadi sesuatu pada Arion saat dia tidak ada? Siapa yang akan menenangkannya? Jemi menyadari, Arion seperti ketergantungan padanya. Dia seperti obat bagi pria itu yang bisa menghilangkan kegelisahannya. Oleh sebab itu, mereka harus selalu bersama. "It's okay, aku bakalan baik-baik aja." Arion tersenyum. "Don't you be worry, I can handle it by myself." Arion tidak berbohong. Ia akan berusaha untuk mengatasi semuanya seorang diri, meskipun rasanya tidak mungkin tanpa Jemi. Gadis itu seperti oase baginya, obat yang membuatnya dapat bertahan. Namun, arti Jemi tak hanya itu. Dia adalah segalanya. Jemi adalah hidupnya, udara yang membuatnya bertahan hidup sampai sekarang. Pusat semesta yang menjadi poros kehidupannya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN