Hening, seolah tak ada siapa pun di ruangan itu. Tiga orang pria berbeda usia yang duduk di tiga sofa berbeda di ruangan itu, sama-sama terdiam. Tak ada satu pun dari mereka yang berinisiatif memulai percakapan. Pria berambut sewarna tembaga terlihat sibuk dengan ponselnya. Sudah beberapa kali sejak beberapa menit yang lalu ia menjawab panggilan yang masuk ke ponselnya. Felix Aguri sebenarnya sangat sibuk, tapi ia menunda segala kesibukannya hari ini agar dapat berbicara dengan pria muda yang sudah mencuri perhatian putrinya
"Can you speak English?" tanya Felix pada pria muda yang duduk di depannya. Pria berambut hitam itu sudah mengganti jubah mandinya dengan kaus lengan pendek berwarna hitam, kontras dengan kulitnya yang putih pucat.
Pria muda itu, Arion, mengangguk. Sebenarnya ia tidak tahu, tapi ia mengiakan saja karena sepertinya Tuan Felix tidak terlalu lancar berbahasa Indonesia. Jika ia tidak paham dengan perkataannya nanti, ia bisa meminta bantuan dokter Steven untuk menerjemahkan.
"How are you now? What do you feel? Jemi said, you often have bad dreams."
Arion mengusap wajah, kemudian mengangguk. Ia menegakkan punggung sebelum menjawab. Sungguh, ia tidak menyangka jika dirinya benar-benar bisa memahami perkataan Tuan Felix "I am better now, sir," jawabnya menganggukkan kepala sopan. "Thank you so much to let me stay in your home." Napas lega diembuskan melalui mulutnya, ternyata ia memang benar-benar mengerti dan bisa menjawab pertanyaan Felix dengan lancar.
Felix mengangguk. "Sound good!" katanya tersenyum. "You don't have to be shy, A. Think of this house as your own home. Besides, I think you will be my son-in-law someday. You know, right, if my daughter likes you so much." Senyumnya berubah menjadi tawa. Meskipun bukan tawa lebar, tapi juga bukan jenis tawa yang mengejek. Satu lagi, ia serius saat mengatakan Arion adalah calon menantunya.
"I love Jemi too!" sahut Arion cepat. "She's an angel who has always helped me since I was still asleep. She always strengthens me, gives me encouragement to keep going. She means a lot to me."
Felix berdehem satu kali mendengar perkataan panjang lebar itu. Ia melirik Steven yang duduk di sampingnya, sekilas. "I see!" katanya seraya menganggukkan kepala. "So, stay here. I left my daughter with you while I was on a business trip. Take care of her, A!" pintanya sungguh-sungguh.
Sebagai seorang pria yang sudah memiliki pengalaman hidup, tentu ia dapat membaca gerak-gerik Arion, dan mengetahui bagaimana pria itu bergantung terhadap putrinya. Ia yakin, Arion pasti akan menjaga Jemi-nya dengan baik. Entah kenapa ia memercayainya, instingnya yang tajam mengatakan jika Arion adalah pria yang tepat untuk mendampingi putrinya.
"You gonna go again, when? Is it soon?" tanya Arion. Ia tak berniat apa-apa, hanya ingin memastikan saja. Felix Aguri baru dua hari yang lalu tiba di sini, sudah akan meninggalkan Jemi lagi? Bukankah itu terlalu cepat? Ia yakin Jemi masih merindukan ayahnya.
"It's tomorrow, son," jawab Felix lirih Sebenarnya ia masih ingin bersama putrinya, juga masih ingin mencari tahu tentang pria muda yang entah bagaimana bisa mengambil kepercayaannya dengan mudah. Meskipun bisa menyuruh orang untuk mencari tahu tentang Arion, tapi kali ini ia lebih senang jika bisa melakukannya sendiri.
"Did Jemi already know about this?" Arion sudah berusaha menahan diri untuk tidak bertanya lagi, tapi ia tidak bisa. Rasa penasaran dan cemasnya akan perasaan Jemi mengalahkan rasa sungkannya terhadap Felix Aguri. "Does she agree?"
Felix tidak segera menyahut. Ia menatap lekat pria yang duduk tepat di depannya. Sebuah meja berukuran sedang yang terbuat dari batu kali menjadi penghalang mereka. Mata jelinya dapat menangkap sebuah tahi lalat kecil tepat di bawah bibirnya, letaknya di tengah-tengah. Juga sebuah lagi di leher bagian kiri. Namun, bukan itu yang membuatnya tertarik untuk memperhatikan, tetapi raut wajah cemas dan nada suara penuh kekhawatiran itulah yang menariknya. Arion memperhatikan perasaan Jemima.
Felix berdehem satu kali, sudut matanya melirik Steven yang sejak tadi hanya diam menu mak. Ia yakin sahabatnya itu juga menangkap apa yang dilihatnya. "I haven't told her yet." Ia menarik napas dalam, mengembuskannya perlahan. Mengubah posisi duduknya menjadi lebih santai sebelum melanjutkan. "You don't have to worry, she always understands my busy life. Promise me one thing, A. That you will always be by her side, so she doesn't feel alone."
Arion mengangguk mantap. "You can keep my promise, sir. I will never leave her alone. She is my life, I will not let the beautiful light in her eyes turn into scars."
"I've kept your promise!" Felix mengangguk. "Don't let me down, kid, I trust you. I'm sure you are a good man."
Sekali lagi Arion mengangguk. "You can trust me!" sahutnya yakin. Entah mendapatkannya dari mana, tapi ia merasa kepercayaan dirinya meningkat. Tuan Felix Aguri sudah menaruh kepercayaan yang besar padanya maka ia harus menjaganya sekuat tenaga.
Steven yang sejak tadi hanya memperhatikan, akhirnya ikut bersuara. Ia tidak dapat menahan diri lagi untuk mengungkapkan pendapatnya. "His English so good, I'm sure he doesn't come from a random family." Ia berbisik di telinga Felix.
Pria berambut sewarna tembaga mengangguk. Sejak pertama kali melihatnya empat tahun yang lalu, ia yakin Arion bukan dari keluarga sembarangan. Kulitnya putih bersih meskipun dipenuhi luka dan lebam. Arion juga sangat sehat, tidak ada terdapat satu pun penyakit di tubuhnya. Oleh sebab itu ia mengizinkan Jemi untuk merawatnya di sini. Bukan hanya atas kemanusiaan, tapi ada sesuatu yang lain yang membuatnya memberikan izin.
***
Satu jam yang menegangkan. Ketika Felix memutuskan untuk mengakhiri percakapan mereka dan pergi ke kantornya yang terletak di salah satu gedung yang berada di pusat perkantoran elit, ia merasa sangat lega. Seolah batu besar yang menindih dadanya telah terangkat. Meskipun bisa mengimbangi sifat dominan Felix Aguri, ia tetap merasa terintimidasi. Felix mungkin tidak berniat demikian, tapi aura bossy yang dimilikinya terlalu kuat. Beruntung tadi ia menahannya sesekali, tetap saja ia merasa tertekan. Udara di sekitarnya seakan menipis, membuatnya sedikit sulit untuk bernapas.
Jarum pendek jam dinding yang tergantung di dinding di atas televisi menunjuk ke angka tiga. Itu artinya sekitar satu jam lagi Jemi akan pulang. Sepertinya ia bisa tidur beberapa menit sebelum gadis kesayangannya pulang. Ia sangat lelah, berbicara dengan Felix ternyata sangat menguras tenaga.
Arion bangkit dari kursi malas yang didudukinya. Kursi malas yang diletakkan di dekat jendela supaya siap saja yang duduk di kursi ini bisa menikmati pemandangan indah di luar jendela. Dokter Steven yang meletakkannya di sana, katanya agar ia tidak bosan karena tidak ada satu pun yang dikerjakan. Menonton televisi pun ia tidak suka. Televisi yang terletak berhadapan tepat dengan tempat tidur, tak pernah sekalipun mendapat perhatiannya. Ia lebih suka menunggu Jemi dengan duduk di kursi malas sambil berusaha mengingat masa lalunya.
Namun, kali ini ia akan menunggunya dengan beristirahat sebentar. Setelah Jemi pulang mereka akan ke rumah sakit untuk memeriksakan perkembangan kesehatannya. Dokter Steven sudah menunggu di sana. Pria berkebangsaan Australia itu pergi beberapa jam lalu, berbarengan dengan Tuan Felix, katanya ke rumah sakit lebih dulu untuk mempersiapkan segala sesuatunya agar saat ia tiba nanti bisa langsung melakukan pemeriksaan.
***
Mata yang terpejam bergerak liar, keringat membasahi pelipisnya. Dadanya naik turun dengan cepat seiring napasnya yang tersengal. Ia kembali merasakan berada di dalam mobil yang terparkir. Suara percikan api terdengar semakin lama semakin dekat dengan telinga. Ia berusaha membuka mata sekuat tenaga, tapi tak bisa. Matanya sangat lengket, seakan dilem dengan lem super kuat di dunia. Seluruh tubuhnya terasa kaku, ia tak dapat bergerak sementara hawa panas terasa semakin menyengat. Mulutnya terbuka untuk berteriak kala lidah api terasa menyentuh kakinya, panas. Namun, tak ada suara yang terdengar.
"A, wake up!"
Seruan itu terdengar samar. Tubuhnya terasa berguncang, atau diguncang dengan lembut. Perlahan wajah cantik itu tampak, semakin lama semakin jelas. Rambutnya cokelat kemerahannya tampak serasi dengan kulit seputih porselen. Dia tersenyum manis, mengulurkan tangan padanya untuk membantunya bangun, dan menjauh dari tempat itu.
"Ayo, Arion, bangun!"
Mata Arion seketika terbuka. Menatap sekeliling dengan liar, sebelum jatuh pada wajah cantik yang menatapnya khawatir.
"Thanks God you are awake!" Jemi tersenyum manis, sepasang tangannya membingkai wajah Arion yang berkeringat. "Another nightmare, eh?"
Arion tak segera menjawab. Ia kembali memejamkan mata selama beberapa detik. Mengatur napasnya yang memburu. Hawa panas itu seakan masih dapat dirasakannya, perlahan naik sampai ke jantung membuatnya berdetak semakin cepat, seperti seseorang yang habis berlari kencang.
"A?"
Arion membuka matanya perlahan. Meraih tangan kanan Jemi yang masih berada di pipinya, membawanya ke mulut, dan menciuminya dengan hangat. "Makasih udah bawa aku balik ke sini lagi."
Senyum manis kembali menghiasi wajah cantik. Ini adalah kesekian kalinya dia mendengar kata-kata itu terucap dari mulut Arion. Pria itu selalu mengucapkan terima kasih padanya setelah terbangun dari tidurnya. Awalnya dia merasa risi karena merasa tidak melakukan apa-apa untuk Arion, tapi kelamaan akhirnya dia terbiasa juga. Bahkan terkadang dia membalasnya dengan bercanda, seperti yang dilakukannya sekarang. "Apa aku perlu ngucapin selamat datang buat kamu?" tanyanya sambil memainkan mata menggoda.
"Kayaknya nggak perlu." Arion menggeleng. Senyum tipis menghiasi bibirnya yang pucat. Perlahan ia bangun, duduk di depan Jemi dengan sebelah kaki menekuk. Tangannya terangkat membingkai pipi mulus itu, dan mengecup bibirnya sekilas. "Itu lebih berharga dari ucapan selamat datang," balasnya.
Jemi memutar bola mata jengah. Sejak ciuman pertama di rumah sakit seminggu yang lalu, Arion selalu saja menciumnya setiap kali bangun tidur, juga setiap momen romantis tercipta di antara mereka. Dia memang tidak keberatan, dia menikmati semuanya. Arion seorang pencium handal. Setiap kali bibirnya bergerak di atas bibirnya, dia merasa seperti melayang.
"It's up to you lah, A." Jemi mengedikkan bahu. "Yang penting sekarang kamu harus siap-siap karena sebentar lagi kita pergi ke rumah sakit. Tadi uncle Steven nelpon, katanya semuanya udah siap."
Alis tebal Arion berkerut mendengar perkataan Jemi. Matanya mengamati penampilan gadisnya, ia meringis menyadari Jemi yang sudah tidak lagi mengenakan seragam. Gadisnya sudah menggantinya dengan pakaian kasual. Dress tanpa lengan berwarna soft purple terlihat sangat pas di tubuhnya. Namun, tunggu dulu! Jika Jemi sudah berganti pakaian, sudah berapa lama dia pulang dari sekolah? Pukul berapa sekarang?
Arion melirik jam digital di atas nakas sebelah kanannya, meringis melihat angka yang tertera di sana. Sudah hampir pukul lima sore, pantas saja Jemi sudah berada di rumah. Ia menggelengkan kepala pelan, ternyata tidur siangnya cukup lama. "Aku mandi dulu!" katanya memutar tubuh dan menurunkan kaki. Menyeretnya ke kamar mandi setelah mendaratkan sebuah ciuman di bibir cherry Jemi.
Tak sampai lima menit, Arion sudah keluar dari kamar mandi. Ia mengenakan jubah mandi, selembar handuk kecil tergantung di lehernya. Tak lagi terlihat Jemi di kamarnya, hanya ada beberapa potong pakaian saja si atas tempat tidur. Pakaian terdiri dari kaus lengan pendek berwarna putih, kemeja lengan pendek berwarna merah polos, celana berbahan denim berwarna hitam. Perpaduan warna yang sangat unik, pasti Jemi yang sudah menyiapkannya. Cepat ia mengenakan pakaiannya, menata rambut seadanya dengan bantuan jari-jarinya yang bertindak sebagai sisir. Beberapa kali ia melakukannya. Rambutnya yang sedikit agak panjang menyulitkannya mengatur rambut.
"You need to cut your hair, A!"
Arion menoleh cepat ke arah pintu mendengar suara itu. Jemi berdiri di sana, dengan penampilan yang berbeda dari yang dilihatnya tadi. Tak ada lagi gaun cantik yang membungkus tubuh ramping itu, Jemi mengganti pakaiannya, dia mengenakan atasan, tak lagi terusan. Kaus berwarna putih dengan puluhan gambar hati kecil di bagian d**a, ditutupi oleh jaket berbahan denim sebagai outer. Dipadukan dengan celana gombrong dari bahan dan warna yang sama sepeti jaket. Jemi melengkapi penampilannya dengan sneaker berwarna putih. Dia juga menutupi kepalanya dengan baseball cap, membiarkan rambut cokelat keberatannya jatuh di punggung karena dia menggerainya.
"Rambut kamu udah panjang lagi."
Arion tergagap saat jari-jari lembut Jemi menyisir rambutnya. Merapikannya dengan mudah seolah saja rambutnya tunduk pada sentuhan gadisnya.
"Kita bisa singgah di barber shop pas pulang dari rumah sakit nanti."
Arion menelan ludah susah payah. Aroma vanilla yang menguat dari tubuh Jemi membangkitkan sesuatu di dalam dirinya. Cepat ia memejamkan mata, berusaha meredam sesuatu yang luar yang bergolak di dalam tubuhnya. Bayangan-bayangan berkelebat, beberapa orang wanita yang tergolek di atas tempat tidur mereka. Dilihat dari kondisinya yang kelelahan dan berkeringat, para wanita itu sepertinya baru saja mendapatkan kepuasan dari sebuah hubungan primitif manusia. Arion menggelengkan kepala beberapa kali, mengusir bayangan-bayangan itu yang membuatnya sakit kepala.
"Kamu kenapa, A? Are you okay?"
Cepat Arion membuka matanya lagi mendengar pertanyaan itu. Wajah Jemi yang khawatir membuatnya melupakan semua bayangan itu. Suhu tubuhnya yang tadi memanas langsung berubah menjadi seperti semula. Dipeluknya lembut tubuh mungil yang selalu memberikannya ketenangan, menciumi puncak kepalanya beberapa kali. Dalam hati bertanya siapa dirinya sebenarnya, dan berharap semoga ia bukan seorang monster.