Matahari tak pernah ingkar janji, selalu bersinar di setiap pagi meskipun awan mendung menghalangi. Itu yang terjadi pagi ini. Gumpalan berwarna abu-abu pekat menutupi sebagian langit ibu kota, tepatnya di bagian timur sehingga menghalangi sinar matahari pagi. Namun, bukan itu yang membuat Arion risau. Ia merasa lemas dan tidak bersemangat menyambut pagi karena sudah beberapa hari ini selalu memimpikan hal yang sama. Terkadang memang berbeda, ia merasa dirinya sudah dewasa, tapi tetap kejadian yang sama berulang. Ia tetap memimpikan kecelakaan dahsyat seperti malam-malam sebelumnya. Mobil yang ditumpanginya terguling beberapa kali sebelum menabrak pembatas jalan, dan meledak. Yang paling buruk dari itu semua adalah dirinya yang tidak dapat melanjutkan tidur lagi pukul berapa pun ia terbangun sehingga matanya dihiasi lingkaran hitam.
"Good morning, A!"
Arion menoleh ke arah pintu mendengar seruan itu yang terdengar setelah suara pintu dibuka. Kedua sudut bibirnya terangkat membentuk seulas senyum menyambut kedatangan gadis remaja berambut cokelat kemerahan. Semangatnya yang tadi nyaris hilang sama sekali sekarang sedikit terisi, seiring semakin dekatnya Jemi ke arahnya. Jemima Aguri memang selalu mengalirkan energi positif ke mana pun dan di mana pun dia berada. Energi positif yang mengisi kembali semangatnya.
"Astaga, mata kamu kenapa?" tanya Jemi menunjuk mata Arion. Dia mengurungkan diri untuk duduk di depannya, di sisi tempat tidur yang kosong.
Arion duduk dengan punggung bersandar pada kepala ranjang. Sebuah bantal yang diletakkan di posisi memanjang menahan punggungnya sehingga tidak langsung bersentuhan dengan kepala ranjang yang juga empuk.
"Kamu nggak bisa tidur lagi, ya, A? Kok, matanya jadi kayak mata panda?" Jemi sekarang duduk, tepat di depan Arion. Jarak mereka tak sampai satu kaki, hanya beberapa sentimeter. Jemi menatap lekat sepasang mata jernih yang dikaguminya, dia memajukan wajah berniat untuk meneliti lebih dalam. Tangannya terangkat, mengusap kelopak mata Arion yang kehitaman, dengan lembut.
Mata cokelat gelap Arion terpejam menikmati kelembutan yang dihantarkan telapak tangan Jemi. Bayangan-bayangan mengerikan tentang kecelakaan dan mobil yang terbakar perlahan menghilang dari otaknya. Kantuk kembali ia rasakan, bahkan mulutnya menguap, terbuka lebar dengan tidak sopannya. Arion menurunkan tubuh, berbaring masih dengan mata yang terpejam. Tangan Jemi masih mengusap kelopak matanya. "Aku ngantuk," adunya polos seperti seorang anak kecil.
"Just sleep!" sahut Jemi tersenyum. Dia menarik tangannya, membungkuk, dan mengecup kening Arion. "Good night, A. Tidur yang nyenyak, ya, aku mau sekolah dulu."
Dengan pelan dan hati-hati Jemi melepaskan tangan Arion yang menggenggam tangannya. Ditatapnya wajah tampan yang pucat itu, fokus pada lingkaran hitam yang menghiasi kelopak matanya. Jemi menarik napas, membuangnya perlahan melewati rongga hidung. Beberapa hari ini Arion selalu mengeluhkan tidurnya yang tak nyenyak. Pria itu selalu bermimpi buruk tentang dirinya yang terjebak dalam sebuah kecelakaan dahsyat dan mengerikan. Bahkan, terkadang mimpi itu juga datang saat Arion tidur siang. Kemarin sepulang sekolah dia memergokinya tengah menggigil saat sedang tidur siang. Tak hanya itu, wajah Arion juga terlihat ketakutan dan kesakitan, seolah sedang mengalami kejadian yang mengerikan. Arion bergerak gelisah dalam tidurnya, tubuhnya berkeringat, terlihat jelas dari wajah dan lehernya yang berkilat. Dia memekik kemudian terbangun dalam keadaan menyedihkan.
Sekali lagi Jemi mencium pelipis Arion sebelum dia benar-benar beranjak dan keluar dari kamar tidur pria itu. Seandainya saja tidak sekolah, ingin dia menemani Arion tidur agar pria itu tidak mengalami mimpi buruk lagi.
""Are you alone? Where's Arion?" tanya Felix heran saat melihat Jemi hanya sendirian saja memasuki ruang makan. Sepasang alisnya yang berwarna tembaga, berkerut. "I thought he would come down with you."
Jemi menggeleng pelan. "Nah!" jawabnya sambil tangannya menarik mangkuk lebih dekat. Dengan cekatan dia menyiapkan sarapannya, semangkuk sereal madu disiram s**u hangat. "He just fell asleep, it seems like he had another bad dream last night," lapornya. Dia urung menyuap sesendok penuh sereal, kembali meletakkan sendok ke dalam mangkuk. "Uncle Steven udah ngasih tau, Papi, belum?"
Jemi memasukkan sesendok penuh sereal yang tadi urung dilakukannya. Matanya fokus pada Sang Ayah yang tak kunjung menjawab pertanyaannya meski sudah beberapa detik berlalu sejak dia melontarkan pertanyaan. Jemi berdecak, Papi sepertinya tidak mendengar pertanyaannya, dan dia terlalu malas untuk mengulanginya. Menurutnya cukup satu kali saja bertanya, jika tidak mendapat tanggapan berarti pertanyaannya tidak menarik.
Namun, Jemi salah. Felix tidak menjawab pertanyaannya karena mulutnya masih penuh. Ia masih mengunyah roti yang baru saja digigitnya. "Tell me what?" Ia balas bertanya setelah mulutnya kosong.
"A selalu mimpi buruk setiap malam!" jawab Jemi bersemangat. Dia tak menyangka jika Papi akan menanggapi pertanyaannya, dengan mimik wajah yang serius. Sepertinya Papi juga tertarik dengan masalah ini. "Terus dia nggak bisa tidur lagi kalo udah bangun. Papi tau kapan Arion terbangun? Pukul dua atau tiga pagi!" Saking semangatnya, dia menjawab pertanyaannya sendiri.
Felix menganggukkan kepala beberapa kali. Ia memahami hal itu. Sebagian orang memang tidak bisa tidur lagi setelah bermimpi buruk, ia termasuk dari sebagian itu. Mimpi buruk yang baru dialami selalu terbayang sehingga sulit untuk memejamkan mata, bahkan beberapa hari setelahnya.
"Kata A, dia mimpi kecelakaan. Mobilnya meledak!" Sebab mulutnya penuh dan sambil mengunyah, kata-kata Jemi lebih terdengar seperti gumaman.
Felix berdecak tak suka, ia menegurnya dengan menatap putrinya tajam. Sudah berapa kali ia mengingatkan Jemi untuk tidak berbicara saat mulut sedang penuh. Ia tidak bisa memintanya untuk tidak berbicara selama mereka makan karena tidak akan bisa. Jemi terlalu aktif dan selalu bersemangat, nyaris tidak bisa diam barang semenit saja. Rumah tidak akan sepi jika dia ada, celotehannya terus terdengar sepanjang hari.
"I'm sorry, Papi." Jemi meringis. "Jemi nggak sabar buat cerita."
Felix mengangguk. "Jangan ulangi lagi!" katanya lembut, tapi penuh penekanan. Di saat seperti ini, ia harus bisa berperan sebagai Ayah dan Ibu bagi putri tunggalnya.
"Aye aye, Captain!" seru Jemi menirukan salah satu kartun favoritnya. "A bilang mimpinya selalu sama, about an accident the accident than I'm sure happened to him."
Felix mengangguk-anggukkan kepala, menyetujui dugaan putrinya. Ia juga berpikir demikian, mimpi Arion pasti ada hubungannya dengan masa lalu dan ingatannya yang hilang. Ia yakin pria muda yang sampai sekarang masih belum diketahui identitasnya itu, pernah mengalami kejadian di dalam mimpinya.tersebjt. Bukankah Jemi menemukannya dalam keadaan terluka parah yang sampai mengakibatkannya koma selama beberapa tahun? Ia yakin Arion tidak dirampok, melainkan kecelakaan. Atau mungkin keduanya karena mereka tidak menemukan identitas diri satu pun padanya saat ditemukan.
"Do you think so?" tanya Felix memicingkan mata.
Jemi mengangguk cepat, mengusap sudut bibirnya dengan serbet. Dia sudah menyelesaikan sarapannya, semangkuk sereal dan segelas s**u sudah menghuni perutnya.
"Are you sure?" Felix bertanya sekali lagi untuk meyakinkan.
Sekali lagi Jemi mengangguk. Sekarang dia sangat yakin jika Arion kecelakaan. Kepalanya mengalami benturan yang cukup parah sehingga dia kehilangan ingatan.
"When is Arion's checkup again?"
"Two days again," jawab Jemi cepat. Dia bersiap untuk segera pergi ke sekolah. Pak Bram pasti sudah menunggunya di dalam mobil. "I have to go to school right now, or I'll be late!"
Felix mendongak, menatap putrinya yang berdiri di sampingnya. Ia menganggukkan kepala, memberikan pipinya untuk dicium Jemi.
"Bye, Papi. See you!" Jemi melambaikan tangan tanpa menatap Papi. Langkah kakinya lebar menuju keluar.
"Bye, sweet heart. Good study and take care!" balas Felix. Ia menyesap kopinya yang masih tersisa, sampai habis, kemudian beranjak. Ia tidak akan pergi ke kantornya sebelum sahabatnya tiba. Steven akan memeriksa Arion pagi ini, pemeriksaan rutin di pagi hari. Ia ingin melihatnya, ingin tahu apa saja kesimpulan Steven tentangnya. Ia juga ingin berbicara dengan Arion, bertanya mengenai mimpinya dan apa saja yang diingatnya. Semoga semuanya tidak memakan waktu lama, ia tidak ingin terlalu terlambat tiba di kantor.
***
Mata yang masih terpejam itu bergerak liar selama beberapa saat sebelum terbuka karena tepukan lembut di bahunya. Arion terkejut, matanya menatap nanar sekeliling, seolah saja dia baru menemukan dirinya selamat dalam sebuah insiden yang merenggut nyawa.
"Are you okay, A?" Steven tidak bisa menahan diri untuk tidak bertanya. Kondisi Arion sekarang sedikit memprihatinkan. Wajah pucat dan dipenuhi keringat. Dadanya naik turun dengan cepat seiring napasnya yang tidak beraturan.
Sejak masuk ke kamar ini Steven sudah mengamati wajah Arion yang sedang tidur. Kernyitan tajam alis tebalnya membuatnya yakin jika pria muda itu tengah mengalami mimpi yang tidak bisa dikatakan indah. Kepalanya bergerak ke kanan dan ke kiri dengan kacau, erangan lirih sesekali terdengar dari bibirnya yang merah muda pucat. Semakin lama keadaan Arion terlihat memburuk, oleh karena itu ia membangunkannya. Itu pun setelah mendapat tepukan ringan di bahunya dari Felix yang ikut serta memeriksa keadaan pria itu.
Arion duduk perlahan. Tangannya terangkat mengusap wajahnya yang berkeringat. Bayangan-bayangan mengetikan itu kembali menghantuinya, bahkan saat ada Jemi di sisinya. Arion menoleh ke kanan dan kirinya dengan cepat, mencari keberadaan gadis remaja itu.
"Who are you looking for?"
Pertanyaan dari suara khas itu membuat Arion menoleh kembali ke arah kirinya. Ia mengerjapkan mata beberapa kali melihat Felix Aguri berdiri dalam jarak satu kaki di belakang dokter Steven. Mata biru itu menatapnya lekat. Meski tak mengintimidasi, tapi aura itu begitu kental menguar dari diri Felix. Arion menelan ludah kasar, sebab mimpi buruknya ia jadi sedikit merasakan aura itu.
"Jemi sudah berangkat ke sekolah satu jam yang lalu," kata Felix memberi tahu. Ia yakin jika yang dicari pria muda itu adalah putrinya. Tak perlu lama mengawasi ataupun seorang psikolog untuk mengetahui jika Arion ketergantungan dengan putrinya. Steven sudah menceritakan semuanya, Arion akan merasa seperti anak hilang jika tidak bertemu Jemi. Dia akan panik bila tak melihat dan mengetahui kabar putrinya sehari saja.
Arion tak menanggapi. Ia menundukkan kepala. Pantas saja mimpi itu kembali datang lagi, ternyata malaikatnya tak berada di sampingnya, Ini bukan hari libur, Jemi harus sekolah. Arion mengembuskan napas kuat melewati rongga hidungnya. Ia menganggukkan kepala pelan pertanda mengerti.
"Don't you be worry, A. Pemeriksaan kamu besok, dan sore hari saat Jemi sudah pulang sekolah." Steven tersenyum. Ia mengerti kegelisahan pria ini. "Sekarang kita hanya melakukan pemeriksaan rutin biasa," katanya.
Arion menatap pria berambut hitam itu, ia menganggukkan kepalanya masih tanpa suara. Entah kenapa, ia merasa sangat enggan berbicara bila tak ada Jemi di sisinya. Gadis itu adalah penyelamatnya, malaikat suci yang selalu memintanya bertahan dan bangun saat ia masih tertidur lelap.
"Kamu mau sarapan atau mandi dulu?" tanya Steven lagi. Meskipun tahu Arion tidak akan membuka mulutnya saat Jemi tidak ada –kecuali karena terpaksa– ia tetap mengajaknya bicara dengan bertanya.
Arion tak menjawab, ia langsung turun dan melangkah menuju kamar mandi. Ia terhuyung, baris jatuh seandainya saja dokter Steven tidak sigap menangkap tubuhnya. "Thank you," ucapnya lirih nyaris berbisik.
Dengan dipapah dokter Steven, Arion melanjutkan langkah ke kamar mandi. Ia menutup pintu kamar mandi dan menguncinya sebelum melucuti piyamanya yang basah, kemudian berdiri di bawah siraman air dingin yang mengucur dari keran shower. Sengaja ia menyalakan keran air dingin, ia memerlukannya untuk menyegarkan otaknya yang sedang panas.
***
"Was he always like that? I mean, not responding when someone else is talking to him?" Felix bertanya pada Steven setelah pria itu mengantar Arion ke kamar mandi.
"Nah, not always." Steven menggeleng. "Only occasionally, like when Jemi wasn't around."
Felix mengangguk paham. Dugaannya benar, pria muda itu sangat bergantung kepada putranya.
"I think he just felt uncomfortable because there was no one he knew." Steven menatap pintu kamar mandi yang tertutup. Sayup gemericik air terdengar dari sana. "You know what I mean, he lost his memory, so ...." Ia tidak meneruskan ucapannya, hanya mengedikkan bahu dan mengibaskan tangan dengan kacau.
Felix tak menjawab. Ia menanti pintu kamar mandi terbuka dengan sabar. Tak ingin terus menunggu sambil berdiri, ia memilih duduk di salah satu single sofa yang menghadap langsung ke jendela yang terbuka. Steven yang membuka jendela itu karena penyejuk ruangan tidak dinyalakan, juga dua buah jendela lainnya yang terletak masing-masing di tempat yang berbeda. Steven juga membuka pintu yang berhadapan langsung dengan balkon. Tentu saja agar udara yang sudah bercampur dengan karbondioksida semalaman dapat berganti dengan oksigen murni yang bersih.
Lima menit kemudian pintu kamar mandi terbuka. Arion keluar dengan mengenakan jubah mandi berwarna putih dan rambut yang masih menitikkan air. Selembar handuk kecil menggantung di lehernya, ia menggunakannya untuk mengeringkan rambutnya yang basah. Arion memilih untuk duduk di salah satu single sofa yang menghadap pemilik rumah. Ia yakin kedatangan pria itu ke sini karena ingin tahu bagaimana perkembangan kesehatannya, juga ingin berbicara dengannya secara khusus sebelum kembali ke luar negeri untuk mengurusi bisnisnya.
Disiram air dingin, Arion merasakan otaknya lebih fresh, ia dapat berpikir dan menyadari jika kehadiran Felix Aguri pastilah ingin mengenalnya lebih dalam lagi. Arion mengembuskan napas pelan melewati rongga hidung, ia siap untuk menjawab semua pertanyaan dari Tuan Besar.