"Selamat, istri Bapak positif hamil tiga minggu."
Saat itu, di sana adalah awal mulanya. Sera teringat pada masa dia dan Abian bersama, momen paling bahagia sepanjang mereka hidup berdua.
Di usia pernikahan mereka yang terbilang baru, Sera divonis hamil oleh dokter. Sekitar dua bulan setelah menikah perut Sera ada isinya, Abian Lorenzo memang setokcer itu benihnya. Sera terkekeh jika ingat bagaimana bahagianya Abian kala itu.
"Mama! Mama! Mama!"
Abian langsung mencari mamanya, dia membopong tubuh Sera sejak turun dari taksi hingga sampai di dalam kamar mereka. Bahkan sebelumnya, ketika menemukan sang mama, Abian masih menggendong Sera-- seolah tak merasa berat, padahal beban tubuh Sera saat itu terbilang dua kali lipat karena ada makhluk lain di rahimnya.
Oh, di hari itu pula Mama Rahee sedang ada di kediaman Abi. Kali ini beserta Papa Altarik.
"Sera hamil, Ma! Bentar lagi Mama punya cucu!" heboh Abian, sementara Sera saat itu menyembunyikan wajahnya di dalam gendongan.
Mama Rahee senangnya bukan kepalang. Dia bahkan segera berkabar dengan keluarga kesebelasan, yang paling utama Rahee bagi kabar itu dengan Mr. Altarik dulu yang sedang bokep (bobok cakep) di kamar.
Sera tersenyum saat ingatan itu begitu membekas, membuat sakit hatinya di masa kini karena sudah tak lagi sama, senyumannya berubah miris.
Sera menengadah dan menghela napas panjang. Dia sudah di rumah, sepulangnya dari kediaman mantan suami, Sera langsung bernostalgia.
"Sayang, aku mau makan ayam geprek."
Saat itu Sera meminta kepada Abian yang sedang bekerja, konon katanya suaminya itu sedang rapat.
"Oke, aku beliin."
Tapi yang namanya Abian Lorenzo tidak menolak, dia selalu menomorsatukan istrinya. Seperti saat malam di mana Abian sudah terlelap, pukul satu dini hari Sera terbangun dan sangat ingin makan tahu bulat.
Harus saat itu juga.
Abian terpaksa menyingkirkan kantuk dan menyanggupi kemauan Sera. Padahal, nyari di mana?
Hanya Abian orang waras satu-satunya yang menghubungi banyak pihak demi mencari tahu keberadaan tukang jual tahu bulat. Sekali dia menemukan, penjualnya juga tutup, tahu bulat hanya beroperasi di siang hari. Namun, kegigihan Abian yang sampai jam tiga pagi dia berkeliaran di luar demi sebongkah tahu bulat, akhirnya dia dapatkan.
Abian memberi harga mahal pada satu bulatan tahu dan tiap serbuk bumbunya yang dibungkus terpisah.
Begitu sampai rumah, Sera tidur nyenyak. Abian membangunkan dan berkata bahwa, "Tahu bulatnya udah ada."
Tapi Sera malah bilang, "Buat kamu aja, aku ngantuk. Oh, ya ... besok bikinin aku nasi goreng pakai telur sama sosis, harus kamu yang buat."
Perjuangan Abian berakhir mengesalkan. Saking kesalnya, Abian sampai memakan tahu bulat secara ganas sambil menatap wajah tidur Sera. Kesabarannya benar-benar diuji.
Sera membuat kisah Abian menjadi hiperbolis.
Tapi Abian tidak marah. Sera ingat dengan betul seperti apa sosok Abian di saat menghadapi keinginan menyebalkannya. Abian selalu siaga, selalu mau mengabulkan permintaan Sera bahkan yang paling rumit sekalipun.
Hingga tanpa terasa ada air mata yang jatuh. Semua itu sangat manis pada masanya, tapi begitu pahit saat dikenang.
Karena sungguh di masa kini ... mereka sudah jadi mantan.
***
"Gak mau tahu, pokoknya aku mau cerai!"
Abian mengerang. Dia tidak bisa lupa pada kalimat Sera yang sampai menangis memohon pisah dengannya.
"Aku gak mau seranjang sama kamu! Aku maunya cerai aja!"
Sampai saat kini Abian terlentang di atas ranjang yang dulu dia bagi dengan Sera, kalimat-kalimat menyakitkan itu masih terngiang di tiap kali dia akan pergi tidur. Rasanya masih semenyakitkan dulu, dan masih setidak terima itu.
Padahal dulu ...
"Kalau anak kita lahir, aku mau bikin rumah yang ada kolam dan tamannya di tengah-tengah. Terus nanti kamarnya ada empat."
Janji Abian kepada Sera saat sedang bahagia.
"Aku pengin anak kita yang ini cowok, nanti kalo dikasih lagi ... cewek juga gak pa-pa. Tapi bebas sih, mau cewek atau cowok aku gak masalah. Duh, aku jadi gak sabar. Sayang, jaga anak kita baik-baik, ya. Semoga lancar dan kedepannya kita bikin lagi sampai kamar empat itu penuh."
Harapan Abian untuk masa depannya dengan Sera saat dulu sedang bahagia.
Semua kesakitannya di masa sekarang berakar dari sana, sebab tak ada satu pun yang dijanjikan dan diharapkannya itu menjadi nyata.
Abian menahan napasnya, masih saja sesesak itu hatinya jika ingat bahwa rumah impiannya dengan Sera sudah dibangun, tetapi betakhir semu. Ada, tapi seolah tak berwujud. Abian sudah merealisasikan janjinya, namun isi dari tujuan janji itu tidak ada.
Anaknya meninggal dunia. Istrinya menggugat cerai di saat dia sedang sayang-sayangnya.
Abian terisak, sial. Dia bisa semenyedihkan ini sekarang. Yang namanya cinta itu ... benar kata D'Masiv, cinta ini membunuhku.
***
Bayi itu dinyatakan meninggal dalam kandungan di usia sembilan bulannya. Kenyataan bahwa yang ditunggu-tunggu hadirnya malah gugur lebih dulu, hal yang paling menyakitkan.
Sera terus menangisi kepergian anaknya. Dia terduduk di ranjang dalam sepi meratapi kegagalannya.
Itu sangat menyakitkan, yang hanya tinggal menunggu waktu kelahiran, bayinya malah tak dapat bertahan dan tak bisa diselamatkan.
Konon, bayinya meninggal dalam kandungan karena masalah plasenta yang tidak bekerja dengan benar. Plasenta merupakan organ penyaluran asupan-asupan penting yang dibutuhkan janin selagi di dalam kandungan. Pada saat plasenta mengalami gangguan, perkembangan janin dapat terhambat dan memungkinkan terjadinya janin meninggal di dalam kandungan.
Sera mengalami hal itu, dia melahirkan seorang bayi yang sudah tiada. Dan saat itu hatinya remuk, kenyataan yang Abian tegaskan dengan perilakunya bahwa Sera tidak bisa menjaga anak mereka dengan baik.
Abian terpuruk. Sera ingat dengan jelas di mana Abian tidak meliriknya, Abian yang malah pergi pasca kelahiran anak mereka yang tak bernyawa. Sera melihat air mata Abian saat itu, yang paling menyakitkan ... seakan-akan hanya Abian yang terpuruk sendirian, seolah-olah hanya Abian yang merasa kehilangan.
Keinginan bercerainya dengan Abian timbul di sana.
Abian memang tidak mengatakan hal-hal yang menyinggung hatinya, tapi justru diamnya Abian membuat Sera merasa berasalah-- sangat besar.
Ketidaknyamanan itu bermula di sana.
"Aku mau lanjut study, kuliah."
"Diem aja di rumah ... kenapa, sih?"
"Aku bosen, Mas. Kamu juga diemin aku terus kan, selama ini? Daripada nganggur ... ya, aku kuliah aja."
"Gak usah macem-macem."
"Macem-macem gimana, sih? Lagian aku masih muda, aku mau kuliah biar nanti aku juga punya karier."
"Buat apa? Kamu hidup juga aku biayayain, kan? Kartru debit yang aku kasih emang udah abis? Pakai aja kartu kredit no limit punya aku kalau kamu pengin beli apa-apa mah. Kurang apa lagi coba?"
Hal itu menyakiti hatinya. Sampai sekarang pun masih membekas. Sera memang dinafkahi dengan baik oleh suaminya, tapi nafkah batinnya kurang-- jujur saja, dia butuh kasih sayang dan perhatian.
Yang tiba-tiba menjadi serba salah. Sera marah. Dia sudah kecewa dengan diri sendiri dan semakin dibuat kecewa oleh suami. Kekecewaannya terpampang nyata.
Saat itu ...
"Bagus, ya, mainnya sama cowok sekarang."
"Apa, sih? Dia calon temen kampus aku."
Ya. Sera memutuskan untuk kuliah dan tidak mengindahkan izin Abian yang belum dia dapatkan.
"Ngeles aja terus kayak bajaj!"
"Terserah, deh. Orang beneran cuma temen, ini tuh abis kerja kelompok buat tes masuk kuliah nanti."
"Halah, jago ngarang ya sekarang? Kenapa gak daftar jadi penulis Drimi aja?"
"Bodo amat ya, Bi. Terserah mau percaya atau nggak, ribet amat."
"Mikir dong, Ra! Kamu itu udah punya suami, gak pantes pulang-pulang diantar cowok lain. Anak kamu aja masih bulan-bulan kemarin dikubur, otak kamu tuh di mana, sih?!"
Pertengkaran bermulai di sana. Tiap hari tak pernah tenang, Sera semakin tidak nyaman. Dia benar-benar makan hati.
Mengungkit soal anak, titik paling sensitif dalam hidup Sera.
"Tadi kan aku minta jemput, tapi kamu bilangnya sibuk!"
"Naik taksi kan bisa. Atau angkot, kek!"
"Gak kepikiran sampai sana, sih."
Sera tersedu. Adu bacot itu terus berlanjut, seringkali ditegur oleh Mama Rahee. Beliau ada di sana saat tragedi meninggalnya buah hati Sera dan Abi. Seringkali diceramahi, tapi semua itu tak berefek. Sera dan Abian seolah tak ada harapan untuk kembali nyaman.
"Terserah, deh."
Kalimat itu yang Abian ucapkan sebelum akhirnya Abian kembali diam, tidur pun mulai saling memunggungi.
Sera menangis saat itu, sama seperti sekarang. Tangisan Sera yang dulu sama pilunya dengan yang saat ini.
"Kita cerai aja, ya?"
Malam di mana Sera menyerah, dia merasa sedih dan mulai membuat keputusan.
"Kita pisah ranjang aja sebagai permulaan."
Seperti itu ... sekalipun Abian memeluknya dan mengecupi seluruh bagian wajahnya, membantu menghapus air matanya, tetap saja Sera tak tahu bagaimana cara untuk bertahan.
Saat satu bulan lebih kepergian anak mereka. Sera memohon.
"Pokoknya aku mau kita cerai!"
Yang saat marah, dibalas dengan amarah, akhirnya berantakan.
"Ceraiin aku atau aku nyusul anak kamu!"
Sampai sedrama itu keinginan Sera untuk berpisah. Di saat amarah mengusai dirinya, kesedihan yang membelenggu, Sera membuat keputusan.
Jalan satu-satunya mungkin memang lebih baik berpisah.
Sera tergugu, isakannya semakin jelas di ruang dan malam yang sepi. Dia menekuk lututnya, membenamkan wajah di sana. Hatinya sakit sekali.
"Abian bego!" makinya frustrasi, di masa kini dia menyalahkan Abian, meski sepenuhnya dia sadar ... memang keduanya tak ada yang bisa dibenarkan.
***