"Bu Ris, Pak Erlang mana, ya?"
Dosen Ilmu Hukum itu menoleh kepada sumber suara.
"Mana saya tahu, Pak Bimo. Kok nanyain Pak Erlang ke saya, memangnya saya ini ibunya apa?!"
Bimo Banyumas terkekeh. Dosen Bahasa Indonesia itu memang gemar menggoda pasangan fenomenal yang satu sama lain tinggi gengsi tapi terlihat sekali hasrat tertarik dari keduanya.
"Lho, bukannya Bu Airis ini calon jodohnya, ya?"
"Hih, amit-amit! Saya nggak suka sama cowok telinga lebar, nggak bagus buat keturunan."
"Jangan gitu dong, Bu. Kalau Pak Erlang dengar nanti--"
"Saya udah dengar kok, Pak Bimo," vokal basnya memangkas kalimat Bimo. Airlangga Cakra Gerhana, dosen Hukum Pidana itu menebarkan senyum gantengnya. "Wajar lah, cewek kalau suka sama cowok suka gitu, malu-malu meong."
Bimo tertawa, berlainan dengan Airis yang justru mencibir. Seluruh semut beserta telur-telurnya pun mengakui kalau yang namanya Airlangga Cakra Gerhana itu ganteng sekali, hanya saja lidah Airis pantang mengiyakannya. Ada bagian di mana hati Airis tidak mengizinkan untuk itu, karena Erlang terkesan banyak memberi harapan palsu.
Airis adalah salah satu korbannya. Yang menjadi juara, Erlang mendekati Airis hingga begitu dekat dan diprediksi akan jadian besok, tapi nyatanya tidak. Dosen Hukum Pidana itu malah pacaran dengan yang lain.
Kasusnya seperti ... dekat dengan siapa, jadiannya dengan siapa yang bukan dia. Kan Airis sakit hati, makanya dia kesal setengah mampus kepada sebongkah daging yang diberi nama Airlangga Cakra Gerhana. Erlang itu kurang ajar bagi Airis.
"Hati-hati lho, ya, kalian jodoh."
"Amit-amit, Pak Bimo! Tahu amit-amit gak, sih?!" Airis menjawab keki.
Erlang tertawa ganteng. Dia tidak merasa tersinggung barang sedikit pun, baginya itu seru.
Lalu tak lama di ruangan dosen itu kehadiran tamu, Abian Lorenzo beserta kawan baiknya ... Kinan Putra Samudra.
Ah, bukan kawan. Nyaris dosen di kampus itu isinya satu keturunan.
***
Sera mendapat tugas dari Bu Reva sebelum pulang untuk mengantarkan tas beliau ke ruangannya, sementara dosen Metodologi Penulisan Ilmiah itu sendiri sudah hengkang sebelum jam kelas berakhir.
Sesampainya di lantai dasar Sera pun segera memasuki salah satu ruangan yang bertuliskan 'Ruang Dosen' di depan pintunya. Di dalam sana terdapat beberapa meja dosen yang memang tidak memiliki ruangan khusus, beda dengan ruangan dosen Advokasinya yang ... sial ... Abian Lorenzo juga ada di sana.
"Aduh, saya penasaran ... Pak Kinan kapan, ya, mau halalin Bu Reva?"
Yang namanya Bimo Banyumas itu memang kompor bagi kedekatan tiap orang. Dia gemar sekali menjodoh-jodohkan pasangan yang menjadi shiper-nya. Usia mereka nyaris sama sekitaran kepala tiga, terkesan awet muda, mungkin karena bahagia.
Tanpa diminta Sera pun mendengar obrolan mereka sambil mencari-cari meja dosen cantik yang baru saja Pak Bimo sebutkan.
"Kapan nih official? Saya pantengin dari dulu kok gak ada kemajuan, ya? Nanti Bu Reva diambil Pak Abian, lho."
Sera berdecak dalam hati, nama si Bangsul di sebutkan. Dia mengerling malas tanpa sadar. Namun, dengan begitu tatapannya justru jadi bersirobok dengan Abian.
Ada tawa ganteng di sana, Abian sampai sengaja mengeraskan suaranya. "Boleh, tuh. Apalagi Reva, kan, cantik ... gak kayak mantan istri saya, buluk dan gak ada manis-manisnya."
Sial. Sera mengerang, bukan karena ucapan mantan suami, tapi karena meja Bu Reva adalah meja yang sedang Abian sandari.
"Eh, udah jam pulang nih ... saya pulang duluan, ya!"
"Saya ikut, Bu Ris!"
Airis dan Erlang pun lengser dari sana sambil yang satu menggoda dan satunya lagi misuh-misuh tidak jelas.
"Saya lupa, saya tuh masih ada kelas," ringis Bimo. Tanpa pamit dia hengkang begitu saja.
Lalu Kinan menatap Abian dan hendak memberikan berkas yang Abian minta, tapi urung terjeda saat ada panggilan masuk di ponselnya. Dari Reva yang mustahil mau Kinan lewatkan.
"Bentar, Bi. Gue angkat telepon dulu, calon bini nelepon."
Antara Abian dan Kinan memang sedekat itu, di tempat kerja pun mereka tidak menggunakan embel-embel Pak seperti yang lain. Bagaikan di rumah saja.
Sejak tadi berhasil menjadikan Sera obat nyamuk yang masih berpikir keras tentang mendekat atau balik lagi ke kelas.
"Ngapain kamu berdiri di sana?" tegur Abian saat ruangan sudah sunyi.
Sera tersenyum kaku. "Ini, Pak, tas Bu Reva. Saya dapat perintah untuk menaruhnya di meja."
Abian mencibir, "Halah, bilang aja mau modusin saya!"
Sebisa mungkin Sera hormat kepada dosennya tanpa mengindahkan masa lalu mereka yang dulu pernah sayang-sayangan. Dia menaruh tas itu di mejanya, tepat di sisi Abian Sera berdiri.
Jujur, berat dia meninggalkan pria itu. Tapi mau bagaimana lagi? Sera punya alasan yang lebih kuat daripada rasa beratnya.
"Saya permisi, Pak."
"Iya, sana pergi! Daripada lama-lama berdekatan dengan saya nanti kamu maksa minta balikan."
Terserah. Sera tidak mau peduli dengan segala ungkapan Abian.
Yang justru perginya Sera hari ini membuat Abian menyeringai, mengikuti.
***
"Anjir, ban motor gue kok kempes?"
Sera berjongkok dan mengeceknya sekali lagi, benar kempes.
"Perasaan waktu pagi baik-baik aja."
"Jadi kamu masih punya perasaan? Saya pikir perasaan kamu udah dibuang ke laut sejak minta cerai."
Sera terkesiap, dia lekas berdiri dan menghadap sumber suara yang menyahuti gumamannya.
"Pasti ini ulah Bapak, kan?" tuding Sera dengan mata memicing.
Abian bersedekap. "Cuma kempes doang, kan?"
"Ya, tapi saya jadi susah pulang!" geram Sera tak tahan lagi.
"Lebih susah mana sama saya yang dulu ditingalin istri pas lagi butuh-butuhnya? Anak saya gak ada, terus istri saya malah minta cerai."
Sera menahan napasnya. Pembahasan anak adalah hal yang paling sensitif baginya. Hal yang membuat hatinya terjepit, pertahanannya pun terusik.
"Pak--"
"Kenapa? Kamu sakit hati?"
Sera membuang napas berat. "Iya."
Abian tertawa remeh. "Emang kamu masih punya hati? Bukannya udah dibuang ke laut bareng perasaan?"
"Saya juga manusia, punya hati dan bisa sakit juga."
Yang ada Abian tertawa, matanya sampai berair. Memang menyakitkan. "Oh, gitu? Lebih sakit mana sama saya yang dulu kamu tinggalin pas lagi sayang-sayangnya?"
Sera terdiam. Dia berusaha sabar sekali lagi. Memang benar semua ini adalah salahnya. Jadi, pantas kalau Abian sampai mengempesi ban motornya.
Lalu berikutnya Sera memilih untuk mengendarai motor kempesnya dan dia akan berhenti di bengkel depan kampus.
"Saya belum ngasih izin kamu pergi ya, Sera!"
Tapi mantan istrinya itu terus menjauh. d**a Abian bergemuruh.
"Gak akan pernah saya izinkan kamu pergi," gumam Abian tepat di saat sosok Sera sudah tak lagi terlihat.
Sakit hatinya Abian itu tidak terukur, karena cintanya untuk Sera saja sampai tidak terbilang. Bukannya bucin, tapi tidak terima saja ditinggal pergi pas lagi sayang-sayangnya.
Sera harus merasakan sakit yang sama, setidaknya cewek itu harus menyesal karena sudah meninggalkan Abian di saat dia sedang terpuruk karena kehilangan anak mereka.
***
"Halo, Ma?"
Di bengkel Sera mendapatkan telepon dari mantan mama mertua. Ya, Mama Rahee.
"Sera lagi di bengkel. Ada apa ya, Ma?"
"Sera sehat, kan? Mama dengar kamu sempat di rawat bulan lalu?"
Sera terkekeh. "Itu kan udah lewat, Ma. Sera sehat, alhamdulillah."
"Kenapa nggak bilang? Kamu sakit apa, Sayang? Abian udah tahu?"
Yang membuat Sera meringis, merasa berat pisah dengan Abian adalah sosok ibu mertuanya. Beliau itu baik sekali, kasih sayangnya seperti ibu kandung sendiri. Sera agak tidak tega menghadapi kenyataan kalau nanti ibu mertua itu akan jadi ibu mertua untuk gadis lain. Tapi ya sudahlah ... mau tidak mau dia harus ikhlas. Toh, alasan Sera cerai dengan Abian lebih kuat dari apa pun.
"Gak apa-apa, Ma. Bang Abi nggak nanya, jadi dia gak tau."
"Kamu ini! Oh iya, Mama ada di rumah kalian dulu loh. Habis dari bengkel bisa mampir, kan? Mama abis masak banyak nih, gak kemakan kalo cuma sama Abian."
"Maaf, Ma. Kayaknya Sera nggak--"
"Sayang, kamu belum maafin Abian, ya?"
Sera terkesiap. Ban motornya sudah diisi angin sejak tadi, tapi obrolan di telepon itu belum usai. Sera tak enak kalau mau mengakhiri.
"Ya udah, nanti Sera mampir."
Suasana berubah canggung. Terdengar helaan napas panjang dari arah seberang. Lagi-lagi Sera mengalihkan pembicaraan.
"Oke, Mama tunggu."
Setelah itu, Sera memasukkan ponselnya. Dia memberikan ongkos isi anginnya.
Hari ini dia akan berhadapan dengan masa lalunya ... yang memang sejak kuliah di Universitas itu pun Sera sudah di hadapkan dengan masa lalu, karena Abian terus mengungkitnya.
Namun, belum juga Sera melajukan motornya, dia dicegat. Abian menodongkan tangannya dari bagian kaca mobil yang dibuka.
"Saya lihat STNK kamu."
"Buat apa, Pak?"
"Sini aja dulu, ada sesuatu yang mau saya cek. Kalau kamu gak mau, berarti kamu emang pengin saya gangguin terus."
Sera berdecak. Ada-ada saja dosennya itu. Dia pun mengeluarkan STNK-nya, lalu menyerahkannya kepada Abian yang dua detik berlalu mobil itu melaju.
"PAK ABIAN!"
"PAK!"
"BALIKIN STNK SAYA!"
Percuma. Sera sudah dibodohi. Sial seribu sial! Sampai ponselnya berdering dan nama ex-husband tertera di sana.
"Hati-hati di lampu merah pertama, ya! Katanya lagi ada razia, kamu bisa kena tilang karena nggak memenuhi syarat berkendara."
"Kalo iya juga semua ini gara-gara lo, Kampret! Balikin STNK gue!"
"Kampret-kampret begini juga dulu kita pernah sayang-sayangan."
Dan begitu saja panggilan diputus. Sera kesal maksimal. Dia mencak-mencak di bengkel sampai nyaris membuat atensi tiap orang tertuju kepadanya.
"Yang dulu sayang-sayangan juga sekarang jadinya musuh bebuyutan, tai!" Sera kesal pangkat dua.
***