Damasa senang akhirnya ayahnya bisa pulang dari rumah sakit. Tak ada kebahagiaan yang gadis itu inginkan selain melihat keluarganya bahagia dan bisa berkumpul seperti ini.
"Kamu nggak kerja? " Tanya ayah yang duduk di ruang tamu.
Damasa yang duduk di sebelahnya sambil mengupaskan buah apel menggeleng.
"Ini hari minggu, ya, " Jawabnya.
Tiga hari lagi adalah hari pernikahannya, Damasa sudah mengambil cuti yang selama ini tidak pernah ia ambil selama bekerja.
"Maafin ayah, ya, sa, " Ucap ayah lirih.
Damasa menyunggingkan senyum. Mencoba bersikap semuanya baik-baik saja.
"Kenapa ayah minta maaf? " Tanyanya seceria biasanya. "Memangnya ayah punya salah apa sama aku? " Damasa menyodorkan potongan buah pada sang ayah.
"Ayah merasa nggak ada gunanya. Ayah menjadi beban buat kamu. Gara-gara ayah kamu harus menikah dengan anaknya Wiguna."
"Ayah nggak boleh mikir gitu. Aku nggak apa-apa, kok, ya! Kata siapa aku nggak bahagia." Bohong Damasa.
"Kamu bahagia? "
"Tentu saja, ayah. Keluarga pak Wiguna itu baik banget."
"Ya, keluarga Wiguna memang baik. Apa anak mereka baik sama kamu?"
"Ya, dia baik. " Damasa tersenyum. "Dan juga menyebalkan. " Lanjut gadis itu dalam hati.
"Siapa namanya?"
"Gavin."
"Waktunya minum minum obat dan istirahat." Ibu datang dengan membawa obat-obatan untuk sang suami.
"Kak, bagi uang, dong. " Pinta Ferdi, adik Damasa yang masih duduk di bangku SMP. Jarak usianya dengan sang adik lumayan jauh yakni dua belas tahun.
"Mau kemana kamu, Fer? " Tanya sang ibu.
"Mau beli cat air, bu. Ada tugas prakarya."
Damasa mengeluarkan uang berwarna biru dari saku celananya.
"Nih, kembaliannya di balikin. " Pesan sang kakak.
"Dasar pelit. " Ejek Ferdi sambil mengambil uang dari kakaknya.
Sebelum pergi Ferdi mencium punggung tangan kedua orang tuanya. Damasa sudah mengulurkan tangan agar di cium juga tapi sang adik ogah melakukannya dan melipir begitu saja.
"Dasar adik kurang asem. " Gerutu sang kakak.
***
Rumah itu masih tampak sama seperti terakhir kali Gavin kesana sekitar kurang lebih sepuluh tahun yang lalu. Mungkin yang membedakan hanya catnya yang diperbaharui. Dulu dia pernah kesini tapi hanya sebatas sampai depan pagar rumah.
Seorang remaja laki-laki keluar dari rumah itu dengan menaiki sepeda roda dua. Mata bocah itu persis seperti mata gadis yang ingin Gavin temui.
Sebelum keluar dari mobil Gavin mengambil tas paper bag yang ada berada di bagasi. Hari ini dia pergi ke rumah Damasa karena dia mendengar ayah gadis itu sudah pulang dari rumah sakit. Kemarin ayah dan ibunya sudah bertemu orang tua Damasa. Sayangnya ia tidak bisa ikut karena sibuk dengan pekerjaannya sebagai seorang pengacara.
Butuh hampir dua menit setelah ketukan pintu sampai pintu rumah Damasa di buka. Senyum tengil Gavin muncul saat melihat calon istrinya membuka pintu. Berbeda dengan Gavin, mata Damasa langsung melebar saat melihat sosok didepannya.
"Ngapain kamu disini? " Damasa hampir berteriak karena melihat Gavin. Tapi buru-buru ia memelankan suaranya.
"Halo, sayang... " Sapanya sok manis.
"Kamu ngapain disini Gavin? " Damasa hampir berbisik saat mengucapkan kalimat itu. Takut orang tuanya tahu kalau calon suami dadakannya datang ke rumah mereka.
"Kangen sama kamu, lah. "
Gadis itu mencibir. Mana ada Gavin merindukannya. Calon suaminya memang sudah rada-rada gila. Kenapa juga harus datang ke rumahnya?
"Siapa yang datang, Sa? " Tanya ibu dari dalam rumah.
"Tukang s**u, bu, " Jawab anaknya asal sambil menengok sekilas ke belakang dengan tangan masih memegangi gagang pintu agar daun pintu tidak terbuka lebar.
Ayah dan ibu saling pandang sesaat. Jawaban anaknya membuat dahi mereka berkerut. 'Tukang s**u' sejak kapan ada tukang s**u di daerah perumahan mereka.
"Kamu mendingan pergi sekarang. " Perintah Damasa.
"Tega kamu ya. Mana ada orang bertamu malah di usir. " Balas Gavin tidak Terima sambil membuka kaca mata hitamnya.
"Ssssttt... Jangan keras-keras ngomongnya. Siapa suruh kamu kesini. Aku nggak pernah suruh kamu datang kesini."
Ibu yang merasa ada yang aneh, berjalan ke depan. Ingin melihat apa yang terjadi.
Damasa langsung memejamkan kesal saat ibunya datang dan melihat Gavin.
"Selamat pagi tante. " Sapa Gavin ramah sambil mencium punggung tangan calon mertuanya.
"Selamat pagi, " Jawab ibu. Dia memperhatikan Gavin tapi tidak mengenal pemuda itu. "Teman kamu, Sa? Kok nggak diajak masuk.
" Perkenalkan, saya Gavin, tante. "
"Gavin." Ulang ibu Damasa. " Tidak sampai lima detik mata ibu Damasa langsung membulat. Ternyata yang datang adalah calon menantunya.
"Astaghfirullah... Kok masih disini. Ayo masuk-masuk. " Ajak ibu Damasa. "Kenapa nggak diajak masuk, Sa. Malah di suruh berdiri didepan pintu. " Omel calon mertuanya.
Sedangkan didalam hati Damasa kesal bukan main.
Gavin merasa menang karena Damasa di marahi ibunya.
"Jadi kamu yang namanya Gavin, anaknya Wiguna? " Tanya Surya dengan kondisi yang masih lemah.
"Iya, om, " Jawab Gavin yang duduk di sofa tunggal yang ada disana. "Maaf, saya baru bisa jenguk om. Kemarin saya tidak bisa datang bersama mama dan papa. "
"Tidak apa-apa. Ayah kamu bilang kamu sibuk dengan pekerjaan kamu. "
Gavin tersenyum seraya mengangguk.
"Bagaimana keadaan om sekarang? "
"Alhamdulillah... Sudah agak mendingan. "
Surya merasa anak sahabatnya adalah pria yang baik. Semoga calon menantunya ini bisa menjadi pasangan yang baik untuk anak perempuannya.
Di dapur Damasa sedang membuat minuman untuk tamu agung yang baru datang. Ibunya sedari tadi mengoceh tentang Gavin yang tampan, ramah, sopan, serta pekerjaan laki-laki itu.
Damasa baru tahu jika Gavin adalah seorang pengacara.
Suara air mendidih menyadarkan Damasa dari kediamannya. Dia akan membuat kopi. Sesaat pikiran jeleknya muncul. Ia ingin mengerjai Gavin. Memasukkan garam sebagai pengganti gula biar keasinan atau mencampur air panas kopi dengan air kobokan. Sepertinya itu sedikit menyenangkan.
Sayang itu cuma angan-angan sebab ada ibunya disana. Menata cemilan untuk calon menantunya yang tampan.
Tidak lama setelah Damasa muncul membawa baki berisi minuman kedua orang tuanya meninggalkan mereka berdua dengan dalih ayahnya harus beristirahat.
Dehaman Gavin menarik perhatian Damasa yang lebih fokus pada layar televisi sedari tadi. Memang gadis itu menghindari Gavin. Dia masih marah dengan tingkah lelaki itu kemarin.
"Kopinya enak, " Ucap Gavin yang ingin mencairkan suasana.
"Syukurlah, " Jawab Damasa cuek.
"Pasti buatnya pakai perasaan. " Canda Gavin yang entah kenapa selalu ingin menggoda gadis itu.
"Enggak, tuh. Buatnya tadi pakai air kobokan sama gula yang udah kadaluarsa. " Bohong Damasa.
Mendengarnya Gavin menahan tawa. Dia yakin Damasa tidak sejahat itu. Mulutnya saja yang pedas tapi hatinya tidak.
"Jadi ngapain kamu kesini? Dan dari mana kamu tau rumah aku? "
Sepertinya Damasa lupa jika dulu ia pernah mengantarkannya pulang. Ya, walaupun itu sudah lama sekali.
"Ketemu calon mertua. Kemarin sudah diajak sama papa mama tapi sayangnya aku nggak bisa. "
Damasa tidak perduli.
"Kamu udah ketemu sama orang tua aku, jadinya kamu sekarang bisa pulang. " Usirnya.
"Astaga... Kamu kenapa, sih, sa? Kayaknya benci banget sama aku. Apa aku punya salah sama kamu? "
"Banyak." Batin Damasa.
"Apa kamu marah sama aku gara-gara kemarin aku cium kamu. "
"Tumben nyadar. " Batin Damasa lagi, disertai dengan lirikan tajam.
"Kamu nggak mikir, ya? Bisa-bisanya kamu cium aku didepan umum." Sedari tadi Damasa berbicara pelan agar ayah dan ibunya tidak mendengar.
Dia tidak ingin orang tuanya ataupun siapapun tahu jika dia dan Gavin mempunyai masa lalu.
"Dan gara-gara kamu juga semua temen-temen kantor aku tau kalau aku bakalan nikah. "
"Memangnya kenapa kalau mereka tau?"
"Aku nggak ingin ada yang tau."
"Kenapa? "
Damasa memilih diam. Yang jelas dia tidak mau saja ada yang tahu dirinya menikah. Apalagi menikahnya mendadak.
"Aku mau tanya sesuatu sama kamu. "
"Apa? "
"Apa alasan kita menikah secepat ini? Aku merasa ada sesuatu dibalik pernikahan kita yang mendadak. Kamu tau alasan aku menikah sama kamu karena uang. "
Ada sedikit kecewa yang Gavin rasakan saat mendengar alasan Damasa menerima pernikahan ini. Ada keraguan juga untuk mengungkapkan alasan sebenarnya kenapa dirinya harus menikah dengan Damasa. Dirinya di tinggal pergi oleh calon istrinya. Sungguh, kasihan sekali dirinya...
Dan untuk tidak menghindari malu keluarga besarnya, dia harus mau menikah dengan pengganti yang sudah disiapkan oleh orang tuanya. Yang tidak pernah Gavin sangka-sangka pengantinnya adalah Damasa, mantan pacarnya.
Ada keengganan untuk menceritakan yang sebenarnya pada gadis itu.
"Kenapa dulu kamu tiba-tiba mutusin aku? Padahal kita pacaran baru satu minggu. "
Gavin apa-apaa ini. Dia yang bertanya kenapa sekarang malah balik dia yang di tanya.