Ailen hanya diam, duduk di dekat jendela kamar dengan kedua kaki dinaikkan. Kepalanya disandarkan dengan kusen, menatap jalanan yang terasa begitu sepi. Hanya beberapa kendaraan yang melintas di depan rumahnya. Selain karena memang ini hari weekend dan banyak tetangganya yang berlibur, kawasan perumahan yang ditinggali Ailen memang tidak banyak yang melintas. Semua hanya sibuk dengan pekerjaannya sendiri-sendiri.
Ailen membuang napas kasar. Dengan tenang, dia turun dari kursi dan melangkah pelan. Sejak pagi, dia sudah duduk di tempat yang sama, tidak berpindah sama sekali. Bahkan, hal itu berlangsung berjam-jam. Hingga kali ini, Ailen berpindah ke arah ranjang. Dia mulai menghentikan langkah dan membuat laci nakas.
“Apa aku harus menggunakannya?” tanya Ailen ketika melihat alat kecil yang disarankan Aruna. Ya, Ailen memang menceritakan semuanya, tetapi dia tidak menyebutkan nama Kenzo sama sekali. Pria itu sudah cukup membencinya. Jadi, Ailen tidak ingin menambah kebencian Kenzo terhadapnya.
Ailen kembali diam dan memasang raut wajah berpikir. Banyak hal yang harus dia pertimbangkan sebelum memutuskna untuk menggunakannya. Ailen takut jika hasilnya positif. Akan jadi apa anak dalam kandungannya nanti? Selain itu, apa yang akan dilakukan kedua orang tuanya ketika mengetahui jika dia hamil tanpa suami? Kedua orang tuanya pasti akan menekan dan bertekad mendatangi pria yang menghamilinya, membuat Ailen semakin bingung.
Namun, di lain sisi, dia juga penasaran dengan hasil yang akan didapat. Meski dia sering terlambat datang bulan dan tidak merasakan gejala kehamilan, tetap saja Ailen takut. Hingga dia membuang napas kasar dan mengambil benda tipis tersebut.
“Aku harus memastikannya,” gumam Ailen yakin.
Ailen segera melangkah ke arah kamar mandi. Kedua tangannya mengepal, mencoba menahan rasa takut yang sejak tadi hadir, tetapi langkahnya tidak berhenti sama sekali. Dia bertekad, apa pun yang akan terjadi nanti, Ailen akan menghadapinya.
Jika pun hamil dan tanpa suami, aku pasti akan membesarkannya dengan caraku sendiri, batin Ailen.
Ailen yang sudah berada di kamar mandi langsung melakukan pemeriksaan. Hatinya benar-benar berdegup cukup cepat. Hingga dia yang sudah selesai menatap lekat.
“Aku harap segera keluar hasilnya,” gumam Ailen, menatap benda pipih itu lekat. Dia tidak mengalihkan pandangan sama sekali. Jantungnya benar-benar bertalu cukup kencang, tidak sabar menunggu hasil. Sampai sebuah garis di alat itu terlihat, membuat Ailen langsung mengambilnya.
“Apa ini benar?” tanya Ailen dengan diri sendiri, masih tidak percaya dengan dua garis yang terlihat. Tubuhnya benar-benar lemas, membuat Ailen langsung bersandar dengan tembok kamar mandi. Semua ketakutan yang sejak tadi ditahan pun langsung meluap begitu saja.
“Sekarang aku harus bagaimana?” Ailen menundukkan kepala, menatap ke arah perutnya yang masih rata. Dia tidak menyangka jika kesalahan semalamnya akan menghasilkan sebuah nyawa dalam rahimnya.
“Ailen, kamu di dalam?”
Ailen yang sejak tadi bingung pun langsung mengalihkan pandangan, menatap ke arah pintu. “Iya, Ma,” jawab Ailen, tetap berusaha tenang.
“Bisa keluar sebentar, Sayang? Papa menunggu kamu di ruang tamu,” ucap Bellona.
“Iya,” sahut Ailen. Dia segera menatap cermin, membasuh wajah dan berusaha menghilangkan bekas air mata di pipi. Dia tidak ingin sang mama curiga dengannya.
Ailen yang sudah merasa lebih baik segera menuju ke arah pintu. Tidak lupa, dia menyimpan test pack supaya sang mama tidak tahu. Sebisa mungkin, Ailen harus menyembunyikan mengenai kehamilannya. Setidaknya sampai dia memiliki cara untuk bisa menyelesaikan semuanya.
Ailen membuka pintu dan melihat sang mama yang masih menunggu. Dengan tenang, dia melangkah keluar kamar. Sesekali, dia menatap ke arah sang mama yang tampak begitu tegang.
Apa ada masalah?
“Ma, sebenarnya kenapa?” tanya Ailen, mulia penasaran.
“Kamu akan tahu setelah sampai di bawah, Sayang,” jawab Bellona.
Jujur, Ailen kesal dengan jawaban yang malah semakin membuatnya penasaran, tetapi Ailen tidak lagi bertanya. Pikirannya sedang kacau karena kehamilan yang baru saja dia ketahui. Meski Ailen sudah menerima bayi dalam kandungannya, tetap saja dia berharap hasilnya salah. Dia masih berkuliah. Masih banyak masa depan dan hal yang harus dia lakukan. Selain itu, Ailen tidak ingin membuat kedua orang tuanya marah. Hingga Ailen yang sudah berada di anak tangga terakhir pun segera menuju ke arah ruang tamu.
Biasanya di ruang keluarga, terus kenapa sekarang di ruang tamu? Sebenarnya ada apa?, batin Ailen, masih mencoba menerka. Hingga Ailen berada di ruang tamu dan menghentikan langkah.
Ailen melebarkan kedua mata ketika melihat tamu yang ada di rumahnya. “Pak Kenzo,” gumam Ailen. Pandangannya beralih, menatap ke arah dua orang dewasa dan satu anak kecil yang berada di kursi yang sama dengan Kenzo.
“Ini ada apa?” tanya Ailen, masih bingung karena kedatangan Kenzo yang tiba-tiba. Selain itu, dari mana sang dosen mendapatkan alamat rumahnya?
“Apa kamu mengenalnya, Ailen?” Raka balik bertanya dan menatap putrinya lekat.
Ailen yang ditanya hanya menganggukkan kepala. Dia memang mengenal Kenzo. Bahkan, mereka pernah melalui malam panas bersama.
“Kalau begitu, bawa dia ke ruang yang lain. Aku mau berbicara empat mata dengan pria ini,” ucap Raka kembali.
Bellona hanya menganggukkan kepala, setuju dengan apa yang dikatakan sang suami. Dia menarik tangan Ailen dan membawanya ke ruangan yang lain. Jujur, Ailen yang diombang-ambing tanpa penjelasan kali ini bingung. Belum lagi, dia melihat tatapan tajam dan tidak bersahabat dari sang papa.
“Mama, sebenarnya ada apa?” tanya Ailen, mulai merasakan hal yang tidak beres.
“Tidak apa,” jawab Bellona, terlihat senyum tipis di bibir yang semakin membuat Ailen tidak tenang.
Sedangkan di ruang tamu, Raka menatap ke arah Kenzo. Tatapannya begitu tajam dan tidak bersahabat. Bahkan, tidak ada senyum di bibir pria itu sama sekali.
“Kalau begitu, katakan tujuan kamu datang ke sini,” ucap Raka serius.
Kenzo yang mendengar tidak langsung menjawab. Dia mengalihkan pandangan, menatap ke arah sang mama dan memberikan isyarat. Beruntung, wanita itu mengerti dan langsung membawa bocah kecil yang sejak tadi hanya diam.
Kenzo menatap ke arah sang mama yang sudah melangkah pergi. Hingga wanita itu tidak terlihat, membuat Kenzo menatap ke arah Raka. Mulutnya masih diam dengan raut wajah berpikir, mencoba merangkai kalimat yang tidak akan memancing emosi pria di depannya. Sampai tidak berselang lama, Kenzo yang yakin pun membuang napas kasar.
“Perkenalkan, saya Kenzo, salah satu dosen di universitas Ailen berkuliah,” ucap Kenzo, mencoba untuk berbasa-basi.
“Lalu?” Raka menaikkan sebelah alis dan menatap tajam.
“Kedatangan saya ke sini untuk meminta maaf dan berniat menikahi anak Bapak.”
“Hah?” Raka melebarkan kedua mata, terkejut dengan apa yang baru saja Kenzo katakan.
“Saya dan Ailen pernah melakukan hubungan yang tidak sewajarnya dan sekarang saya akan bertanggung jawab. Jadi, saya ingin menikahi Ailen,” ucap Kenzo kembali.