Pernikahan merupakan titik awal dari sebuah perjalanan panjang yang tak mudah
Dan katanya, perceraian menjadi pilihan ketika di tengah perjalanan itu sudah terlalu banyak alasan untuk
Menyudahi perjalanan panjang yang tadinya terang, menjadi gelap
- anonim -
***
- Sekitar 10 tahun yang lalu -
Pertemuan pertama Hani dengan Fadli terjadi saat Hani baru saja menjadi mahasiswa baru di kampus terbaik di Indonesia dan bahkan nomor 56 di seluruh dunia. Hani pindah dari Bandung tempat dia lahir dan dibesarkan, menuju “Kota Pelajar” yang dia impikan untuk menuntut ilmu lanjutan.
Saat itu Fadli adalah kakak tingkat yang cukup populer karena tampan dan ramah dibanding kakak tingkat lain yang berteriak dan marah-marah ketika OSPEK berlangsung. Menjadi seksi dokumentasi tentu membuatnya terus mondar-mandir setiap waktu. Yang tanpa sadar telah menebarkan pesona yang begitu adem dan juga friendly, sehingga memukau banyak mahasiswi, termasuk Hani yang menetapkan bahwa Fadli adalah kating favoritnya.
Bahkan dalam laporan OSPEK, nama Fadli terpampang paling besar di laporan Hani.
Karena dengan segala cara Hani ingin mencari perhatian dari Fadli yang ternyata tidak banyak bergaul dengan mahasiswa perempuan meski pembawaannya yang ramah. Itu hasil dari pengamatan Hani setelah mejalani OSPEK 1 minggu penuh dan terus memusatkan pandangannya hanya pada Fadli semata.
“Kamu mau aku tandatangan sampai 1 halaman penuh?” tanya Fadli pada Hani.
Seperti tradisi OSPEK di tempat lain, akan ada sesi meminta tanda tangan kepada kakak tingkat yang bertugas menjadi pemandu selama acara ini berjalan. Dan yang paling pertama Hani mintai tentu saja adalah Fadli, dia bahkan menulis nama pria itu sampai memenuhi satu halaman sehingga cuma ada nama cowok ini di sana.
“Iya, kak. kalau mau nulis nomor hapenya sekalian juga boleh,” kata Hani dan disambut sorakan teman-temannya di belakang yang mendengar modusnya ini.
“Ngiri aja kalian!” cibir Hani mengabaikan teman-temannya yang ikut mengantri.
Fadli tertawa melihat betapa beraninya Hani meminta nomor ponselnya begitu saja, apalagi di depan banyak orang dan tidak berusaha untuk memelankan suaranya pula.
“Tanda tangan aja, ya,” kata Fadli yang memang tidak bisa memberikan nomor ponselnya pada orang yang baru dia kenal.
“Yah ...” Hani menggumam kecewa, tapi pada akhirnya dia mengangguk pasrah.
Bolpoin hitam menari di atas buku laporan OSPEK milik Hani, Fadli menorehkan tanda tangan satu halaman penuh sesuai permintaan adik tingkatnya ini.
“Oke, ini. Ha ... ni?” Fadli membaca nama dari pemilik bukunya lalu tersenyum manis.
Hani yang menerima senyuman itu hampir saja pingsan kalau saja tidak ingat harus menyelamatkan harga dirinya.
“Makasi, kak. Oh iya, nama aku Tihani, tapi panggil aja Hani,” ucap Hani seraya memperkenalkan dirinya karena tadi dia belum melakukannya.
“Sip, Hani. Akan coba aku ingat,” kata Fadli yang dia sendiri ragu akan bisa mengingatnya.
Dalam setiap OSPEK pasti dia akan bertemu dengan banyak orang baru dan otaknya ini tidak bisa memuat semua nama orang yang dia temui.
Namun Hani begitu terharu karena kata-kata Fadli barusan. Dia berharap Fadli benar-benar akan mengingat namanya. Kakak tingkat favoritnya yang sudah membuat hatinya berdebar sangat kuat ketimbang saat dia merasakan jatuh cinta pertama kali saat di jenjang SMA. Hani seolah melupakan mantan “teman dekatnya” yang pernah membuat hari-harinya sangat berwarna.
“Makasi, Kak! makasi!” seru Hani dengan riang, Fadli sampai geleng-geleng kepala melihat tingkah adik tingkatnya itu.
***
Selanjutnya ketika OSPEK berakhir, Hani makin mencari tahu soal Fadli yang selalu menenteng kamera kemana-mana. Cowok itu masuk ke dalam organisasi BEM dan kini sudah semester 6 menuju 7. Sebentar lagi sudah akan berhenti dari organisasi tersebut karena ketentuannya demikian.
Sayangnya mereka berada di fakultas berbeda karena Hani mengambil jurusan manajemen dan Fadli ada di ilmu komunikasi. Walau untungnya gedung fakultas mereka masih berdekatan jadi Hani tidak perlu jauh-jauh untuk menjadi pengagum Fadli yang sungguh sungguh menyita perhatiannya.
“Kak Fadli anak pesantren?” tanya Hani pada Risma yang menjadi teman dekatnya sejak mereka kenal saat Ospek.
“Iya. Makanya kan kalem banget dia, kan? Serasa dinaungi oleh pepohonan tiap waktu kalau ketemu dia tuh,” jawab Risma seraya memikirkan wajah Fadli yang juga menyihirnya.
Berbeda dengan Hani yang sangat terkejut mendengar informasi ini. Pantas saja dia jarang melihat interaksi Fadli berasama mahasiswi di kampus, ternyata karena ini.
“Gimana nasib aku yang udah agresif banget ke dia ya, Ris???? Aku kelihatan ngarep banget nggak sih?” tanya Hani frustasi.
Risma meringis lalu menganggukkan kepalanya. “Sayangnya keliatan banget. Elo sih pake ngadi-ngadi kebanyakan tingkah kalau ketemu dia,” jawabnya seraya menabok pundak temannya untuk sadar.
“Arghhh, gimana donggg ...” Hani mengerang tertahan karena menyesali perbuatannya yang tiap kali bertemu Fadli pasti akan memanggil nama cowok itu tanpa ragu-ragu.
Lagi-lagi karena dia ingin sekali bisa menarik perhatian seorang Fadli yang ramah tapi sangat tidak tergapai. Dia mencari tahu siapa mantan cowok itu di kampus ini, tapi ternyata nihil. Tidak pernah ada nama cewek muncul yang mengaku sebagai mantan seorang Fadli yang ganteng ini. Cuma ada nama-nama cewek yang dekat saja dan cewek itu sekarang justru sudah punya pacar semua.
“Sabar aja ... siapa tahu ke-agresifan lo selama ini membuahkan hasil,” ujar Risma seraya menepuk pundak Hani memberikan kekuatan.
“Lagian, kenapa dia ganteng banget tapi kok nggak punya cewek sih?!” keluh Hani padahal mah terserah Fadli mau punya atau tidak.
Risma sampai tertawa geli mendengarnya, konyol sekali keluhan temannya ini. “Dihi ngatur, lo siapanya kak Fadli, hah?”
“Calon istrinya!” kata Hani dengan percaya diri.
“Dasar sinting!” umpat Risma yang kesal dengan tabiat temannya ini.
***
Calon istri.
Hani pernah begitu mendambakan menjadi calon istri seorang Muhammad Fadli. Kakak tingkatnya yang ternyata sangat agamis dan menjadi senior yang dihormati di pondok pesantrennya. Tapi pasti bukan cuma dia saja yang waktu itu ingin menjadikan Fadli menjadi suami.
Dan 5 tahun yang lalu Hani benar-benar menjadi istri dari Muhammad Fadli yang selalu dia impikan untuk bisa menjadi suaminya melalui perjodohan. Yang tadinya perjodohan itu tidak pernah Hani kira kalau Fadli lah yang muncul menjadi calon suaminya karena Hani justru mendengar jika Fadli punya cewek yang dia sukai makanya tidak pernah mau menerima ungkapan cinta dari cewek lainnya.
Tapi pernah menjadi istri, Hani juga sekarang menjadi mantan istri.
Suatu kenyataan miris yang Hani juga tidak pernah prediksikan akan terjadi. Bagaimana bisa pernikahan impian yang dia dambakan justru kandas di perihakan mereka yang masih berjalan 2 tahun dan di saat umur Hani bahkan masih sangat muda karena dia menikah dengan Fadli saat masih berada di semester 5 menuju 6.
“Ngelamunin apa?” tanya Riri pada Hani yang sama-sama duduk untuk menikmati makan siang di rumah makan padang dekat kampus.
Salah satu tempat langganan untuk menghabiskan waktu istirahat para staf kampus dari berbagai fakultas. Tapi kali ini tidak ada Fadli karena pria itu sedang pergi sejak pukul 10 tadi untuk mengurus sesuatu, Hani tahu karena dia sendiri yang menyusun jadwalnya.
Dia ibarat tahu segala apa yang dilakukan Fadli di kampus ini karena dia yang mengaturnya.
“Bukan lagi jadi istrinya tapi kenapa aku harus tahu dan mengatur segalanya untuk dia?” tanya Hani dengan suara pelan. menggumam tidak jelas sehingga Riri cuma mengabaikannya saja.
“Eh ada pak Fadli.”
Wafa tiba-tiba menyeletuk lalu mengayunkan tangannya heboh pada Fadli yang baru saja muncul di pintu masuk rumah makan yang ramai di siang ini. Fadli pun membalas dengan emlambaikan tangan juga, dia segera menghampiri warga fakultas dakwah berada tapi kursi panjang yang mereka duduki tampak sudah penuh.
“Duduk aja di sebelah Hani, Pak. Masing bisa kayaknya,” kata Wafa lalu tersenyum miring karena tadi dia sebenarnya sengaja memenuhi posisi duduk di areanya supaya Fadli tidak ikut duduk di sana.
Fadli yang tahu maksud Wafa pun mengangguk dan juga memberi jempol sebagai kode terima kasih. Beberapa staf lain juga sepertinya mendukung rencana Wafa itu karena kelihatan kentara oleh mereka jika Fadli sangat ingin mendekati Hani.
“Oke deh.”
Tidak seperti Hani yang sudah menggigit bibirnya merasa kesal karena dia kira bisa makan siang tanpa kehadiran Fadli hari ini, tapi ternyata semesta tidak berkata demikian. Hani berpikir mereka bahkan sudah bercerai dan 3 tahun tidak bertemu, tapi malah sering menghabiskan waktu bersama karena satu tempat kerja begini.
“Kok belum dimakan?” tanya Fadli pada Hani setelah melihat piring Hani masih tersisa banyak nasinya.
Hani terkesiap karena mendengar suara Fadli di dekatnya. Tanpa sadar dia menggeser tubuhnya menjauh dari Fadli tapi sudah terlalu mentok dengan Riri yang ada di sebelah kanannya.
“Cuma ingin makan pelan-pelan,” jawab Hani sekenanya.
“Kamu nggak lagi sakit, kan?” tanya Fadli.
Fadli dengan segala spekulasi di kepalanya, mengira jika Hani sedang tidak enak badan. Bahkan hampir aja ingin menyentuh kening Hani untuk memeriksa suhu tubuh wanita ini. Maklum saja, kegiatan staf dan dosen kampus seminggu ini cukup padat. Tidak jarang mereka akan pulang malam dan Fadli akan selalu membuntuti motor yang ditunggangi oleh mantan istrinya ini sampai setidaknya Hani masuk ke dalam komplek rumahnya.
Baru kemudian Fadli akan merasa tenang.
“Aku baik-baik saja,” jawab Hani supaya Fadli diam.
Dan karena ingin Fadli terus diam, Hani pun sengaja sibuk menyuapkan makanan supaya tidak diajak bicara lagi. Sebab setelah kejadian di aula kompetisi saat Fadli menitipkan tas padanya, hal itu kemudian menjadi gosip yang santer terdengar jika ada janda dan duda di kampus yang sedang PDKT.
Julukan “janda dan duda” itu sangat mengganggu bagi Hani. Seolah itu bermakna sangat buruk bagi orang-orang dan Hani tidak mau jika itu nantinya akan menjadi gosip lain dan identitasnya disebut-sebut.
Karena di masyarakat, menyandang status duda lebih “terhormat” ketimbang menyandang status janda.
***
Namun tampaknya niat Hani tidak sejalan dengan niat Fadli. Pria ini tetap melancarkan aksinya yang memang sudah sejak awal ingin mendekati Hani lagi. Saat makan siang waktu, Fadli yang pesanan minumannya belum datang tiba-tiba minum dari gelas Hani. Suatu hal yang tidak biasa karena mereka berdua bukan teman dekat. Beberapa orang yang melihatnya tentu mengira jika hubungan dua orang ini telah menjadi berkembang.
Padahal tidak sama sekali.
Di hari berikutnya, Fadli bahkan akan selalu duduk di sebelah Hani saat makan siang. Sengaja juga menyapa Hani tiap masuk ke kantor tata usaha meski tidak memiliki urusan dengan sang mantan istri. Selain itu kerap juga membelikan minuman atau camilan ketika sore hari tiba.
Seperti kali ini, Fadli masuk ke dalam kantor tata usaha yang cukup sepi karena baru saja istirahat sholat Ashar dengan Fadli yang jika tidak ada halangan akan menjadi imamnya. Pria ini menyapa Hani serta membawakan lutis buah yang kemudian dia letakkan di meja Hani.
“Masih suka lutis buah, kan?” tanya Fadli seraya menatap Hani yang tampak tidak suka dengan kehadirannya.
Sudah lebih dari seminggu Fadli begini pada Hani dan wanita ini tidak suka dengan cara Fadli yang terang-terangan mendekatinya. Karena gosip mengenai mereka berdua makin tidak terbendung sekarang. Hani bahkan beberapa kali mendapat pertanyaan dari staf fakultas lain tentang hubungannya dengan Fadli. Yang tentu saja akan dibantah secara tegas olehnya.
“Masih, tapi saya harap bapak jangan berikan apapun kepada saya lagi, Pak,” jawab Hani seraya menatap tegas pada Fadli, membuat percakapan ini menjadi serius.
Fadli yang mendengar itu seketika menghilangkan senyum di wajahnya. Dia kira Hani akan menerimanya dalam diam seperti biasanya. Tapi kali ini rupanya tidak, Hani bahkan berani menolaknya saat ada banyak staf di sekitar mereka.
Lantas staf lain pun meski kepo tapi berpura-pura untuk tidak menguping percapakan dua orang yang mereka kira sedang PDKT.
“Kenapa?” tanya Fadli walau dia sudah tahu jawabannya.
Apalagi kalau bukan karena Hani masih dingin padanya?
Hani menghela napas lalu menatap Fadli lagi. “Karena saya tidak mau jika digosipkan dengan bapak. Hubungan kita hanya rekan kerja, kan?”
Senyum di wajah Fadli makin hilang karena kalimat Hani, namun dia berusaha tegar akan penolakan ini.
“Ya, rekan kerja. Dan siapa tahu nantinya jadi rekan dalam rumah tangga, kan?” ujar Fadli dengan berani juga.
Hal itu membuat tatapan tegas Hani tadi sempat goyah. Suara Fadli saat mengatakan kalimat barusan tentu bisa didengar oleh orang lain secara jelas dan kini dia cuma bisa memejamkan mata mengalah. Dia tidak mau ini makin ramai saj.
“Terserah bapak,” kata Hani lalu kembali fokus pada laptopnya.
Senyum Fadli kembali lagi karena telah membuat Hani tak berkutik walau ada rasa bersalah yang dia rasakan juga. Dia tidak bermaksud mempermalukan Hani dan dia juga sudah tahu soal gosip yang beredar tentang mereka, tapi menurut Fadli itu bagus. Sebab dengan gosip itu, saingannya akan tahu jika cuma dia yang bisa sedekat itu dengan Hani.
“Baiklah ... dimakan ya, lutisnya. Jangan lupa untuk minum vitamin zinc supaya nggak tumbang,”tutur Fadli sebelum melenggang pergi dari kantor tata usaha.
Meninggalkan tatapan mata penuh rasa penasaran dari staf lain yang tampak bingung karena Fadli seperti sangat kenal pada Hani. Sampai soal vitamin jenis apa yang harus Hani minum pun tahu, Riri saja yang sudah dekat cukup lama dengan Hani tidak tahu soal ini.
Maka Riri pun mendekat ke arah Hani karena sudah sangat penasaran.
“Kalian udah kenal sebelum jadi rekan kerja di sini, kan?” tanya Riri dengan suara pelan disebelah Hani.
Hani mendongak dan menatap temannya itu sinis. “Apa? Kenapa kamu bisa tanya begitu? Kan aku baru kenalan sama dia belum sebulan ini,” jawabnya dengan tenang.
“Masa sih?” Riri berpikir sejenak. “Soalnya kalian tuh kalau lagi ngobrol kaya udah kenal lama tapi saling benci aja gitu,” sambungnya.
“Ngaco!” tandas Hani.
Dia sudah merasa waspada sekarang karena menemukan satu orang yang bisa mencium kalau ada hubungan masa lalu antara dirinya dan Fadli.
“Apa aku harus resign aja dari sini?” gumam Hani.
***