Kata siapa habis kesusahan
Maka kesenangan datang,
Karena nyatanya
hidupku tak seperti itu
~Valya Dalton~
Valya duduk di sofa sambil memakan buah apel yang baru saja Sean kupas, sambil menonton berita yang terpampang di layar kaca. Sean sendiri sedang sibuk mencuci piring karena Valya tak boleh banyak pekerjaan yang bisa menyebabkan kelelahan yang berlebihan.
Berita tentang pencurian di rumah mewah berganti dengan berita kematian seseorang yang sangat penting di bidang keagamaan dan merupakan seorang Pendeta yang terkenal, apel yang berada di tangan Valya terlepas begitu saja saat melihat gambar ayahnya yang berada di dalam peti kematian.
Udara di sekitarnya seakan habis tak tersisa yang menyebabkan ia kesulitan bernafas, tubuhnya terasa sangat lemah, air mata tak bisa lagi ditahan dan mengalir deras di kedua pipinya.
"AYAH!"
Sean hampir saja menjatuhkan piring yang ada di tangannya karena terkejut mendengar teriakan Valya dari ruang tamu, ia langsung keluar dapur dan memeriksa Valya namun yang ia lihat adalah Valya berlari keluar dari rumah.
"Valya tunggu! Valya ada apa?!"
Sean berteriak mencegah kepergian Valya namun wanita itu tetap berlari tanpa memedulikan teriakannya, ia hendak mengejar Valya namun langkahnya terhenti saat mendengar berita kematian dari Televisi, sekarang ia tahu kenapa Valya sampai menangis dan berteriak histeris karena terkejut melihat berita kematian ayahnya.
"Kau memang pantas mati Mario Dalton, kau akan menghalangi diriku bersama Valya jika kau tetap hidup."
Sean langsung menyusul Valya yang sudah masuk ke dalam rumahnya, jarak rumah keluarga Valya dan Sean memang sangat dekat dan saling berhadapan, bendera kuning dan papan bunga berisi ucapan bela sungkawa menghiasi kediaman keluarga Dalton.
Di sisi lain Valya menutup mulutnya b tak percaya melihat ayahnya benar-benar sudah tiada, ibunya dan saudara-saudaranya menangis di samping peti mati sang ayah dan ayahnya terbaring tak berdaya dengan wajah pucat di peti mati.
"Ayah."
Maria, Ana, dan William menatap ke arah suara lembut yang memanggil ayah tersebut, tatapan Valya tertuju pada Maria, ibunya yang menatap tajam dirinya lalu berdiri dan langsung menamparnya dengan keras membuat para pelayat lainnya menatap tak percaya bahwa putri sulung keluarga Dalton ditampar di depan umum tepat di hari kematian sang ayah, Mario Dalton.
"Buat apa kamu ke sini?! Enggak cukup kamu buat ayah kamu menderita dan malu karena lebih memilih berandal itu?!"
Maria menunjuk ke arah Sean yang baru saja memasuki kediaman Dalton, Valya menggelengkan kepalanya menolak ucapan sang mama ia berusaha menggapai tangan mamanya tapi sang mama malah mundur dan menatap jijik pada putrinya sendiri.
"Mama, Valya hanya mau bertemu ayah, tolong izinkan Valya menemui ayah untuk terakhir kalinya."
"Sejak kamu memutuskan untuk bersama berandal itu, sejak saat itu juga saya serta keluarga Dalton tak menganggap dirimu keluarga! Kau tak punya hak bertemu suami saya!"
Mata Valya sudah berkaca-kaca dengan air mata menetes di kedua pipinya, ia tak menyangka mamanya akan mengatakan hal yang begitu menyakitinya dan dengan teganya mamanya mendorongnya dengan kuat untung saja Sean sigap menangkapnya, kalau sampai ia terjatuh mungkin bayi di kandungannya tak akan selamat.
Valya tak kuat dengan kondisi ini, ia tak bisa menghadapi kenyataan ini sendirian, ia berusaha melemahkan jiwanya agar jiwa Arnya bisa masuk ke dalam tubuhnya, seperti inilah seorang Valya yang tak pernah mau menghadapi rasa sakit dan langsung memberikannya pada Arnya.
"Arnya, saya enggak kuat, raga ini milik kamu."
"Valya jangan, Valya sadar."
Sean berusaha menyadarkan Valya namun terlambat karena Valya sudah memejamkan matanya dan terjatuh di pelukan Sean, beberapa detik kemudi kelopak mata tersebut terbuka dan menatap tajam siapa pun yang ia rasa bisa menyakitinya, Sean pun menyadari bahwa Arnya yang sekarang di tubuh Valya.
"Saya akan tetap bersama ayah dan menemaninya selama prosesi pemakamannya, meskipun Anda tidak memberikan persetujuan."
Maria menatap terkejut pada putrinya yang berubah 180° padahal tadi Valya menangis dan memohon padanya namun sekarang putrinya itu menatap tajam dan berani melawannya lalu mendorong dirinya yang menghalangi jalan Arnya.
Arnya berjalan ke arah peti mati Mario lalu memeluknya dengan kaku karena sebenarnya ia sangat membenci pria tua ini dan bersyukur pria ini mati dan tak akan menyusahkan dirinya namun saat mengingat kasih sayang Valya yang begitu besar pada ayahnya membuat Arnya terpaksa melakukan ini demi Valya.
"Jangan sentuh ayah, kakak penyebab ayah meninggal!"
"Kamu ini masih anak kecil Ana, jadi jaga sopan santun kamu atau saya yang akan mengajari kamu sopan santun."
Arnya menatap tajam pada remaja tanggung di depannya yang menatap sendu dirinya, Ana sendiri langsung berdiri dan masuk ke kamar karena tak suka dengan kehadiran kakaknya, coba saja kakaknya tak pergi bersama berandal itu pasti ayah tak akan terus kepikiran kakaknya dan menyebabkan kondisinya melemah setiap hari hingga meninggal tepat hari ini.
"Ternyata kamu tidak punya malu dengan tetap berada di sini."
"Buat apa saya malu kak William? Ayah saya meninggal jadi wajar saya bersama dia sampai prosesi pemakaman selesai."
Arnya pura-pura terlihat sedih di depan semua orang dan tak memedulikan William yang menatap tajam dirinya, ia kembali memeluk mendiang Mario namun diam-diam ia tersenyum licik karena senang akhirnya pemisah dirinya dan Sean sudah pergi untuk selamanya, tak lupa ia membisikkan kata-kata yang selama ini ingin ia katakan pada pria tua ini yang selama hidupnya terus memukul, memarahi, dan menyakitinya.
"Tadinya saya berharap kalau saya akan jadi penyebab kematian kamu, tapi tak apa yang penting kau sudah mati Mario Dalton."
Tangerang, 24 Mei 2020