GCS -7-

1041 Kata
Adakah yang lebih menyakitkan saat kau hanya dijadikan sebagai pembantu oleh suamimu sendiri? Saat ini aku merasakan hal itu, aku harus menahan rasa cemburu dan sakit hati ketika melihat kemesraan pengantin baru yang sedang tertawa di kamar mereka. Suamiku bisa tertawa lepas bersama wanita bernama Calya namun saat bersamaku tersenyum saja tidak. Aku sibuk menyiapkan makanan untuk mereka sedangkan mereka sedang memadu cinta. "Kau masak apa?" Aku terkejut mendengar pertanyaan itu, karena terlalu lama melamun aku tidak sadar jika maduku itu ada di sampingku. Aku menoleh ke arahnya dan detik itu juga aku menemukan alasan suamiku bisa begitu mencintainya. Wajah yang mulus, bibir tipis berwarna merah muda alami, senyum yang sangat manis, dan rambut yang wangi serta indah, tak lupa latar belakang wanita itu. Aku langsung mengalihkan pandanganku ke arah masakanku, jika aku terus memandangnya, aku hanya akan menambah penderitaanku sendiri dengan membandingkan antara diriku dengan dirinya. Aku pura-pura sibuk membuat sop ayam, ayam goreng, sate, dan lain-lain karena tak minat bicara dengan maduku ini. Namun wanita ini sepertinya tak mengerti penolakan halus dariku, dia malah terus mengajakku bicara. Padahal aku sudah siap jika nantinya maduku akan bersikap seperti ratu di sini, yang akan terus memerintahku. Namun sikap ramahnya ini membuatku bimbang karena berniat membencinya. "Masakanmu sangat wangi, pasti enak." "Kau sering memasak ya?" "Aku tidak pernah memasak jadi tak bisa memasak, jadi maaf karena tidak bisa membantumu. Tapi maukah kau mengajariku memasak agar kita bisa berbagai tugas?" "Aku sibuk, bisakah kau pergi?" Aku tak tahan dengan keberadaannya di sampingku, wanita ini terlalu baik dan jauh dari perkiraanku. Aku menatap tajam ke arahnya sekilas lalu kembali sibuk. Aku tahu jika aku sudah kasar padanya dengan mengusirnya dengan cukup kasar, bagaimana pun aku tetap wanita biasa yang tak akan bisa akur dengan wanita perebut suamiku. "Aku Calya Humeera, kau pasti Sekar Aulina ya?" Wanita itu tetap saja berada di sampingku bahkan mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan denganku, ingin berkenalan, namun aku lagi dan lagi tak menganggap ada kehadirannya. Aku bisa melihat sekilas tatapan sedih di matanya ketika melihat responku, dia pun langsung menurunkan tangannya namun tidak kunjung pergi dari sini! "Kau pasti membenciku karena sudah menjadi duri dalam pernikahanmu, jika aku menjadi dirimu, aku akan melakukan hal yang sama. Tapi aku ingin kita menjadi teman, bukan musuh." Setelah mengatakan kata-kata itu dengan nada pelan, yang masih mampu aku dengar. Akhirnya maduku itu duduk di meja makan bersama suami kami yang juga baru turun dari kamar. Hatiku terbakar api cemburu saat suamiku terus menggoda istri keduanya yang sedang mogok bicara, aku sangat yakin jika suamiku itu bisa melakukan apapun demi kebahagiaan istri keduanya, termasuk memarahiku. "Kamu berbuat apa sama Calya sampai dia sedih seperti ini?!" "Gavin, ini bukan salah Sekar. Aku hanya malas bicara." Aku memejamkan mataku sejenak, membiarkan air mata mengalir di pipiku saat mendengar tuduhan tanpa alasan atau tanpa bukti yang dilontarkan oleh suamiku. Aku memilih untuk diam dan makan dengan tenang, membela diri pun percuma karena suaraku tak akan didengar. Aku tahu istri kedua suamiku pasti sedang menatap kasihan padaku, aku benci dikasihani seperti ini. Aku tidak tahu banyak tentang maduku ini, tapi kesan pertama pertemuan kami, dia adalah sosok yang baik, hangat, lembut, dan anggun. Rasa iri tumbuh di hatiku karena melihat hidup maduku ini begitu indah, bagaikan bidadari di Negeri Dongeng. "Sekar?" "Hah?" Karena terlalu banyak melamunkan kehidupan maduku, membuat aku tak sadar jika objek yang aku lamunkan, sedari tadi bertanya padaku. Aku jadi salah tingkah karena malu, terlihat sekali kebodohanku ini yang lambat respon. "Dari tadi kau memikirkan apa? Calya bertanya padamu, apa telingamu sudah copot dari tempatnya sampai tidak bisa mendengar." "Maafkan kesalahanku, kau tadi bcada apa, Calya?" Aku menatap wajah cantik di depanku ini, ia tersenyum maklum karena kejadian tadi namun kenapa malah suamiku yang marah-marah? Entahlah, suamiku sepertinya alergi padaku sehingga apapun yang berurusan denganku, pasti akan dikomentari pedas. "Aku ingin mengenalmu lebih jauh, apa boleh?" "Buat apa mengenalku jika kau sudah berhasil mengambil suamiku." Aku tak pernah bersikap kejam seperti ini, biasanya aku akan berbicara lembut dan tak pernah menyindir seseorang. Namun saat berbicara dengan maduku, entah kenapa aku tidak bisa menahan gejolak kebencian dalam diriku. Alhasil maduku itu menjadi diam dan aku yang menjadi sasaran kemarahan suamiku. "Kau pikir dirimu artis sampai tidak mau berkenalan dengan Calya? Dia sudah baik padamu, tapi lihat perbuatanmu!" "Mas, kehidupanku adalah privasiku, hanya karena istri kedua kamu, bukan berarti dia berhak tahu tentangku." Pertama kalinya aku berani membalas hinaan suamiku, aku sudah muak selalu disalahkan dan dihina oleh suamiku. Sampai kapan dia sadar bahwa dia sudah sangat melukai diriku hingga aku tak tahu bagaimana caranya mengobati luka itu. "Oh sudah berani kamu, ingat kamu itu hanya alat untuk membayar hutang keluargamu! Kalau aku menolak tawaran ayahmu dulu, mungkin kamu sudah dijadikan p*****r oleh ayahmu!" Aku mengangkat pandanganku untuk menatap suamiku yang baru saja mengatakanku tak lebih dari w************n. Tak ingin terlihat lebih hina dan lemah di depan maduku, aku lebih memilih langsung beranjak dari kursi dan berjalan ke kamarku, mengunci pintu kamarku, lalu kembali menangis. Suamiku tidak salah, apa yang dia ucapkan benar adanya. Itu juga yang merupakan alasanku tetap bertahan di sini sebagai ucapan terima kasihnya atas kehadirannya yang menolongku dari musibah besar. Namun bukan berarti dia harus memperlakukanku di depan orang asing, menurutku Calya adalah orang asing dalam pernikahan kami. "Aku juga mau hidup seperti Calya, Mas. Hidup bergelimang harta dan dari keluarga terhormat, mendapat cinta kamu walaupun kamu sudah menikah, siapa yang tidak mau takdir seperti Calya? Tapi aku bisa apa jika terlahir dari keluarga miskin dan tidak berpendidikan sehingga terpaksa ingin menjual puterinya demi uang. Aku engga bisa mengendalikan takdir, Mas!" Di kamar, aku menangis. Sedangkan sepasang suami istri itu sedang bertengkar di luar, aku bisa mendengar jelas teriakan maduku yang membelaku, lalu disusul teriakan suamiku yang tidak suka dengan pembelaan Calya padaku. Apa aku wanita yang jahat karena membenci Calya bahkan saat wanita itu membelaku mati-matian di depan suamiku? Apa aku sudah salah menyalahkan Calya karena takdirku yang buruk sehingga dimadu oleh suamiku? Aku terlalu lelah memikirkan pelik kehidupanku, aku mencoba menutup telingaku agar tidak mendengar pertengkaran maduku dengan suamiku, aku tidak mau dihantui rasa bersalah, hingga akhirnya aku berakhir dengan tertidur di lantai, di depan pintu kamar setelah lelah menangis. Tangerang, 20 Desember 2020
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN