"Dyra!"
Melva memanggil anaknya yang baru saja hendak masuk ke kamarnya namun dibatalkannya. Melva sedang ber-sama laki-laki barunya. Lebih tepatnya para brondong sewaan yang ia jadikan sebagai pemuas nafsunya.
"Sayang, biarkan saja dia!"
Dibalik selimut tebal itu seorang laki-laki memeluk pinggang Melva yang sudah tanpa busana. "Anak kamu itu sekali-sekali harus dikasih yang enak-enak. Biar dia enggak protes kalau kita kaya gini."
Melva memukul lengan laki-laki yang umurnya terpaut 20 tahun itu dengan kuat. "Jangan bahas anakku, kamu tidak punya hak! Kalau kamu masih butuh uang. Cukup layani aku saja."
Si laki-laki mengangguk seraya mengusap wajahnya Melva dengan manja.
"Baiklah sayang. Tapi anakmu itu sangat menggiurkan, tidak boleh kah aku mencicipinya?"
Melva mendengus, "Jangan pernah! Atau kamu mampus!" meletakan telunjuk di lehernya seolah Melva akan memotong lehernya.
"Ikhh, becanda sayang." Dan laki-laki itu pun segera kembali menarik Melva, "...sudah jangan bahas anak mu yang cantik itu. Gimana kalau kita bahas tentang kita aja?"
Menaik-turunkan kedua alisnya dia kembali merayu. Menghadirkan rona merah dari wajah perempuan yang semalaman meminta jatah padanya.
Melva tersenyum. "Bilang kalau aku masih cantik. Dan aku masih lebih menarik ketimbang Dyra anaku. Maka gajih kamu akan aku naikan."
Ah, perempuan mana yang tidak suka dipuji. Lihat perempuan tua bangka ini. Meski sudah terlihat tua dan keriput, ia tetap ingin dipuji cantik bahkan lebih menarik dari putrinya yang sudah jelas-jelas lebih segalanya darinya. Tapi baiklah, tidak akan susah hanya untuk mengatakan sebuah kebohongan. Mengusap wajah-nya pelan laki-laki itu pun menaikan wajahnya dan mencium Melva tepat dibibirnya. "Kamu yang paling cantik, dan aku ingin bermain lagi!"
Lain halnya dengan kedua manusia berlawan jenis yang terpaut dua puluh tahun itu. Dyra saat ini sedang menangis sambil memukul stir mobil ber-kali-kali. Disaat ayahnya sedang koma di rumah sakit. Mamahnya malah melakukan hal gila yang sungguh membuatnya malu luar biasa.
Maafin Dyra, Papah. Maaf...
Memilih mengetepikan mobilnya. Dyra menundukan kepala di depan stir mobil itu.
Papah kamu itu enggak ada gunanya! Kamu harus tahu Dyra. Sejak kamu kecil, mamah yang kerja. Mamah yang nyukupin keluarga! Papah kamu hanya laki-laki lemah yang tidak bisa melakukan apa-apa!
Wajar bukan, kalau saat ini Mamah bahagiain diri mamah sendiri. Mamah bosan dampingi papah kamu!
Sangat penat jika mengingat semua kalimat pedas itu. Dyra keluar dari mobilnya dan berdiri di luar ber-sandar pada pinggiran mobil itu.
Mengambil sebatang rokok di dalam tasnya, Dyra mulai mengalakan rokok itu dengan pemantik. Berhasil menyala dengan sempurna Dyra mulai menyesap rokok itu dengan air matanya yang mengalir lirih.
Tidak bisa memberikan apa pun pada mamah. Mamah berharap lebih baik papah kamu mati!
"Argghhh!"
Dyra mengacak rambutnya, teriakan gila yang membuatnya tidak sadar bahwa rokok yang melekat pada kedua bibir manis itu jatuh ke aspal. Dan ia menunduk dengan nelangsa melihat rokok itu terkapar.
Papah!
Dyra gak mau tinggal sama mamah Pah. Dyra harus ke mana?
Berhasil meraih rokok itu kembali Dyra menyesapnya lebih lama agar bara yang sempat mati menyala kembali.
Tidak peduli dengan waktu yang terus ber-gulir. Dyra seolah lupa pada jam sekolah yang hampir telat. Ia hanya melihat sang surya pagi itu dengan tatapan lelahnya yang kosong.
Kalau Dyra ikutan koma enggak apa-apa kan pah?
***
Hampir sampai menuju sekolah tercinta, tatkala mobil yang sedang dikendarainya mendadak mati. Dyra memukul stir dengan kuat dan keluar setelah ia puas.
Mencari taxy yang mungkin saja bisa ia tumpangi. Tapi sepertinya dewi portuna sedang tidak mendukung, Dyra beberapa kali melihat pada jam tangan yang melingkar indah di lengan indahnya ketika sebuah mobil yang ia kenali berjalan mendekat.
Sangat hafal dengan si pengemudi, muncul ide gila dari otak-nya. Dyra segera ber-lari ke-tengah jalan, merentangkan kedua tangannya seolah menantang. Sehingga berhasil membuat sipengemudi menghentikan mobilnya dengan sebuah dengusan.
Tidak menunggu lama, Dyra segera ber-jalan ke arah pintu penumpang dan mengetuk jendela-nya.
"Dewa! Mobil gue mogok!"
Rengekan menyebalkan itu lagi, berhasil membuat Dewa menarik napas dalam. Sempat melirik ke arah mobil yang terparkir di sisi jalan. Dewa membuka kan pintu bagian penumpang.
Mendapatkan sambutan yang manis, Dyra segera masuk dengan senyumannya. "Lo emang cowok ter-ganteng gue."
Tidak mau menanggapi ekspressi aneh gadis di sampingnya Dewa lebih memilih menyalakan mobil-nya.
Berhasil memakai seatbelt Dyra melirik wajah tampan di sampingnya. "Gue enggak akan marah cuma gara-gara lo jalan bareng sama si Tahanaya itu."
Dewa melirik sekilas.
"Tapi lo jangan keseringan ngobrol sama dia, gue kan cemburu." Dyra menambahkan, merasa si tampan tetap diam. Dyra meraih tangannya dan menautkan jari-jemari mereka. Dewa yang belum sempat menolak hanya bisa mendengus takjub saja.
"Gue tahu, lo itu jarang ngomong. Makanya biar gue yang bawel."
Dyra menggenggam tangan kekar itu, dan memejamkan kedua matanya tatkala semua ingatan tentang kejadian tadi pagi kembali menyelimuti.
"Gue butuh lo Dewa..." diantara kedua matanya yang terpejam itu ia bergumam. "You are my angel, you will save me. Please take me to your world, Dewa?"
Merasa tangannya tidak bisa bergerak lebih leluasa. Dewa menariknya, membuat Dyra membukan kedua matanya dan hendak protes, tapi kedua mata menawan itu berhasil menghentikan hanya dengan sekali lirikan saja.
"Gue lagi nyetir!"
"Gue tahu!" Dengan gilanya Dyra mendekat dan menyandar pada bahu Dewa. "Kalau gitu, biarin gue kaya gini ya?"
"Gak!"
"Ikhh, Dewa. Boleh yaaa..."
Menatap dengan kedua mata yang dibuat semenggemaskan mungkin, berhasil membuat Dewa mendengus dan membuang tatapannya.
"Serah!"
Satu kata ketus itu nyatanya tidak mampu membuat Dyra marah atau pun menyerah. Gadis itu malah melingkarkan satu tangannya di perut Dewa, membuat laki-laki itu berdecak kesal karena gadis itu cukup mengganggu dirinya yang sedang menyetir.
"Dyra!"
"Please, Dewa..."
"Lepasin enggak?!"
Terdengar suara Dewa yang sedikit tegas. Tapi hanya ditanggapi Dyra dengan sebuah gelengan pelan dan suara serak-nya.
"Bentar aja."
Dan kali ini gadis itu terdengar terisak pelan. Cukup membuat Dewa terdiam dengan kedua mata yang menunduk sekilas demi memastikan apa yang terjadi pada gadis nakal itu. Sempat ingin memarahinya tatkala baju seragam yang ia kenakan terasa basah.
"Gue lagi nyetir." akhirnya dengan suara yang pelan tidak seperti tadi. Dan Dyra merasakan perubahan itu, tapi dasar gadis nakal itu memang tidak tahu diuntung. Sudah dikasih hati pastinya minta jantung.
Karena kata sebentar yang ia maksud itu nyatanya lama. Dewa bahkan sangat terdengar kesal.
"Dyra!"
"Hmmm..."
"Gue lagi nyetir!"
"Gue tau."
"Lo minggir, gue susah nyetirnya."
"Tapi gue butuh lo!"
Untuk kesekian kalinya Dewa menarik napas dalam. "Lo mau sekolah enggak sih?" Dyra menggeleng.
"Kalau gitu turun!"
"Kenapa?"
Dyra menegakan dirinya dan menatap wajah tampan itu begitu dekat, bahkan Dyra bisa melihat bagaimana mulusnya kulit yang dimiliki Dewa.
Merasa jarak mereka terlalu dekat, Dewa berdeham, "Jangan deket-deket!" Dewa mendorong kening gadis itu risih.
Dyra cemberut dan mengerutkan keningnya. "Kenapa?"
Dewa terdiam, terlihat menelan salivanya kuat-kuat. Lalu...
"Lo bau!"