Suara azan subuh membangunkanku dari tidur yang terasa sangat nyenyak ini. Mengucek-ngucek mata, melihat sekeliling dan sejenak sedikit bingung dengan keberadaanku saat ini. Baru tersadar bahwa aku tidak lagi di Pekanbaru, tapi Kayu Ara (atau Kayu Aro?) membuatku melamun sejenak. Rasanya suhu terlalu dingin untuk keluar dan bangun dari selimut tebal yang sepanjang malam menghangatkan tidurku. Tapi membayangkan omelan papa kalo nanti mengetahui aku tak sholat subuh dengan sengaja, membuatku memaksa diriku sendiri untuk duduk, merenggangkan kedua tanganku dan menguap lebar. Walaupun ini didalam kamar, tapi hawa dingin bercampur embun subuh yang melewati kisi-kisi diatas jendela terasa memenuhi rongga dadaku. Perlahan menjejakkan kaki di lantai yang dingin dan melangkah ke kamar mandi membuatku berpikir nanti untuk membeli sendal karena setiap subuh melangkah di lantai yang sedingin ini serasa membuat telapak kakiku mati rasa.
Setelah sholat subuh, aku tergerak untuk membuka pintu akses ke teras dan halaman samping. Baru kali ini aku memiliki kamar sendiri yang ada pintu langsung ke halaman. Rasanya luar biasa sekaligus lucu, terasa udah besar aja gitu, dipercaya untuk memiliki pintu keluar sendiri, hehehe...
Dan keputusan untuk membuka pintu di waktu subuh dengan pakaian tidur seperti yang aku kenakan di tempat seperti ini ternyata merupakan keputusan yang salah. Angin subuh yang terasa menusuk membuat badanku seketika menggigil kedinginan. Dingin tapi segar dengan aroma teh dan embun pagi, merupakan sensasi baru yang luar biasa bagiku. Sensani yang tidak bisa ditemukan di Pekanbaru yang bahkan di subuh hari pun terasa panas.
Aku harus membiasakan badanku untuk menerima kondisi iklim disini, batinku, karena sangat disayangkan jika kondisi seperti ini dilewatkan, bertekad untuk berolahraga kecil diteras setiap pagi, walau cuma sekedar jalan-jalan kecil atau meregangkan badan, lalu berpikir untuk merayu papa membelikan peralatan olah raga, barbel atau tali skipping terdengar menarik.
Tak tahan dengan hawa dingin yang menusuk, aku kembali masuk kedalam, mengunci pintu dan kembali berbaring. Terlalu pagi untuk memulai percakapan video dengan teman-temannya, aku memutuskan untuk kembali tidur, menarik selimut tebal dan menutup mata.
Rasanya baru beberapa menit melanjutkan tidur setelah sholat subuh tadi, aku merasa tubuhku diguncang-guncang dengan lembut.
“Del ayo bangun, udah siang, udah sholat subuh tadi?” tiba-tiba saja mama sudah duduk di tepi ranjang mengguncang-guncang tubuhku.
“mmmm…udah ma, tapi adel tidur lagi.”
“Ya udah, mandi dulu sana, trus sarapan, udah jam 7 lewat lho. Papa udah nungguin tuh, katanya mau ke sekolah adel pagi ni. Pak Budi juga udah datang,” kata mama sambil berdiri, membuka semua gorden jendela yang berukuran besar. Saking besarnya, aku rasa aku bisa melangkah dengan mudah menyelinap keluar melewati jendela. Seketika matahari pagi menerangi kamar membuat mataku silau sejenak.
Sambil memperhatikan mama yang beranjak keluar kamar, dengan sedikit malas aku mengambil handuk yang digantung di rak dan melangkah ke kamar mandi. Untuk pagi yang sejuk dan segar seperti ini, aku memilih mengenakan celana jeans panjang dan baju kaos lengan panjang.
Keluar dari kamar, aku mendengar obrolan papa dan pak Budi diruang tamu, yang sesekali diselilingi tawa khas bapak-bapak. Dengan langkah cepat aku menuju dapur, melihat mama dengan seorang perempuan sedang mengobrol sambil menikmati secangkir teh dan roti bakar di meja makan.
“Nah ini yang namanya Adel mbak, anak gadisku yang paling cantik,” kata mama sambil mengulurkan tangan ke arahku, “sini del, kenalin dulu ini mbak Yanti yang akan bantu-bantu mama ngurus rumah, mulai hari ini dia tinggal disini sama kita di kamar belakang.”
Aku mengulurkan tangan dan tersenyum, “Adel bu.”
“Eeeeh…jangan panggil ibu, panggil mbak aja ya non” kata mbak yanti.
“Iya mbak, tapi gantian panggil Adel aja, jangan panggil non,” balasku.
Entah mengapa, dipanggil non dengan suasana rumah seperti ini membuatku serasa jadi anak penjajah Belanda, hahaha…
Mama dan mbak Yanti tertawa mendengar permintaanku, “Adel lucu ya… iya deh, mbak panggil Adel aja ya? Adel mau makan? duduk aja, biar mbak siapin,” kata mbak yanti sambil berdiri. Aku mengangguk sopan dan menarik kursi disebelah mama.
“Adel ni biasa bangun subuh mbak, pakaian dan perlengkapan sekolahnya dia siapkan sendiri, emang dibiasakan untuk mandiri. Sarapan dia gak milih, apa aja dia makan, nasi goreng, mie atau roti aja udah bisa kok, tapi teh hangat harus ada, dia gak suka s**u,” jelas mama.
“Waaah cocok itu Del, teh disini enak lho, dari jaman dulu sampai sekarang teh Kayu Aro emang the best lah” kata mbak yanti sambil mengangkat kedua jempol tangannya, “Pagi ini roti bakar aja ya? Besok pagi mbak buatin nasi goreng spesial buat Adel” tambahnya.
Oh ternyata Kayu Aro, bukan Kayu Ara, pikirku sambil mengangguk-angguk kecil.
Setelah menghidangkan secangkir teh panas dan roti bakar yang dioles mentega dihadapanku, mbak Yanti pamit ke mama mau ke ruang tamu, katanya mau melihat papa dan pak Budi yang barangkali mau nambah kopi atau roti bakar lagi.
“mbak Yanti orang Jawa Del, tapi lahir disini. Katanya dulu nenek buyutnya dibawa kesini sama orang belanda untuk dijadikan pekerja di kebun teh, udah turun temurun gitu kerja disini.”
Aku mengangguk dan menyeruput teh panas dihadapanku. Rasanya emang beda dari teh yang sering kuminum. Selain rasanya lebih pekat, aroma nya juga luar biasa memenuhi rongga mulut. Tak heran, kebun teh kayu aro menjadi komoditi andalan sejak jaman belanda dulu.
“Enak kan del? Mama juga suka lho. Coba pake roti bakar, tambah enak lhooo…,” mama menyodorkan roti bakar ke arahku.
Mbak Yanti muncul didapur membawa nampan berisi cangkir dan piring kosong bekas roti bakar.
“Nambah lagi kopi nya mbak?” tanya mama.
“Nggak bu, udah cukup katanya. Tadi papa adel bilang, kalo adel udah siap ditunggu didepan, mau diajak ke sekolah Adel katanya.”
“Iya mbak, terima kasih,” jawabku sambil menghabiskan sisa roti yang kupegang dan meminum sisa teh di cangkir sampai habis.
Setelah pamit ke mama dan mbak Yanti, aku beranjak dari kursi dan menuju ke ruang tamu.
“Naaah ini Adel, udah siap Del?” tanya papa.
“Ya pa udah, tinggal pake sepatu,” jawabku, tersenyum dan menggangguk ke arah pak Budi yang membalas senyumanku.
“Ya udah, mari pak Budi kita berangkat,” papa berdiri dari kursi diikuti oleh pak budi.
“Kita pake mobil atau jalan kaki pak?” tanya pak budi.
“Kita jalan aja ya del? Sekalian olahraga pagi, gak jauh kok palingan cuma 20 menit,” kata papa.
Karena hari sabtu pabrik libur, tidak banyak aktifitas disekitar kompleks, bahkan dari tadi tidak ada kendaraan yang berlalu lalang.
“Sisi sebelah sini emang sepi del, karena disini bloknya untuk direktur dan manajer pabrik jadi tidak banyak orangnya. Kalo disebelah sana tu baru rame soalnya itu perumahan untuk karyawan pabrik, hampir semua rumah disana udah penuh bahkan nggak cukup. Masih banyak karyawan yang ngontrak atau beli rumah di luar kompleks,” jelas pak Budi sambil terus berjalan di jalanan yang beraspal basah karena embun dan hujan kemaren.
“Sebenarnya disini ada juga anak-anak sebaya Adel, Cuma karena ini hari Sabtu libur sekolah, jadi mungkin masih pada tidur.” tambahnya lagi.
Setelah berjalan beberapa lama, aku melihat rumah yang tadi malam kulihat, rumah yang fotonya juga tergantung di dinding ruang tengah. Rumah kosong satu lantai dengan bekas pagar dan gerbang di depan nya. Walaupun dipenuhi semak belukar, tapi aku masih terlihat jalan masuk mulai dari gerbang sampai di teras depan. Tapi mungkin karena kondisi tadi malam yang gelap dan berkabut, sekarang aku baru menyadari kalau rumah tersebut terlihat hitam gosong sebelah kiri, terlihat kontras dengan kondisi sebelah kanan yang walau sudah kotor dan sebagian ditutupi tanaman menjalar, tapi masih bisa dilihat kalau dulunya rumah ini di cat warna putih. Banyak jendela besar disisi kiri dan kanan, walaupun sebgaiannya sudah tidak memiliki daun jendela lagi.
“Itu rumah kosong pak?” tanyaku.
“Iya, itu bekas rumah jaman Belanda dulu. Fotonya kan ada dirumah adel yang bapak tunjukin tadi malam. Udah tua rumah tu Del, udah seabad lebih. Mau dirubuhin sayang pulak karena ada nilai historisnya disitu. Dulu sejarahnya ada kebakaran yang menewaskan tuan Jasper Willem Hendrik, si kepala perkebunan bersama dengan istri dan putrinya. Ada yang bilang kalo kebakaran disengaja oleh perusuh yang membenci tuan Willem, ada juga yang bilang kalo kebakaran karena hal yang biasa saja kayak kena api lilin atau puntung rokok gitu. Tapi setelah kematian tuan Willem dan keluarga, kepala perkebunan pengganti yang juga orang belanda gak mau tinggal disitu, karena dia dengar-dengar cerita kalo warga banyak yang sering lihat hantu anak perempuan tuan Willem disana. Ternyata orang belanda juga percaya hantu ya, ha..ha..ha.. tapi gak tau lah namanya juga cerita,” jelas pak Budi sambil tertawa.
“Tapi yang jelas, adel dilarang keras masuk kesana, bukan karena hantu, tapi karena kondisi rumah yang emang sudah rusak berat, pasti panyak puing-puing atau kayu lapuk yang berjatuhan,” tambah papa mengingatkan, “untuk tahun depan, rehab rumah ini bisa kita masukkan jadi program kerja kita pak Budi. Nanti saya bicarakan juga dengan pemerintah Kabupaten, siapa tau bisa diusulkan jadi situs peninggalan sejarah.”
“Baik pak, ide yang bagus. Nanti foto-foto lama kayak yang dirumah bapak bisa dipajang disana. Sebetulnya masih banyak foto-foto lama yang masih disimpan di gudang arsip kita pak, cuma tempat majangnya yang gak ada.”
Aku sekali lagi memperhatikan rumah itu, sambil membandingkan dengan foto di ruang tengah. Kalau foto hanya menampilkan sisi depan rumah, apa yang kulihat di depanku ini sangat luar biasa. Ternyata rumah ini memiliki halaman yang sangat luas di kedua sisi jalan masuk menuju teras. Bahkan disisi sebelah kanan aku melihat semacam kolam ikan bundar terbuat dari mamer abu-abu dengan hiasan seperti menara kecil di tengahnya. Aku membayangkan anak perempuan Belanda sebayaku yang berlarian mengenakan gaun putih di halaman yang ditumbuhi rumput hijau, mengejar kupu-kupu atau bermain dengan anjing peliharaan atau sekedar duduk santai dipinggir kolam sambil memberi makan ikan. Walaupun dia anak penjajah, tapi sebagai sesama anak perempuan, aku cukup bersimpati dengan nasibnya yang tragis, padahal dia tak tau apa-apa tentang politik, kolonisasi, kerja rodi dan hal-hal seperti itu.
“Del dengar papa? Jangan main kesitu ya?” papa mengulangi lagi ucapannya.
“Iya del, bahaya,” tambah pak Budi.
Aku mengangguk setuju, walaupun aku tidak ingin masuk kerumah, sebenarnya aku ingin sekali melihat kolam ikannya, siapa tau masih ada ikannya, pikirku.
Perjalanan selanjutnya dipenuhi dengan obrolan papa dan pak Budi yang membahas perkembangan pabrik, program-program kerja, karyawan dan hal-hal lain yang tidak kupahami. Aku berusaha mengimbangi langkah kaki mereka berdua yang berjalan didepanku. Sesekali bertemu dengan orang yang berpapasan, bersalaman saling memeperkenalkan diri dan sedikit basa basi, “kapan sampai?” atau “selamat ya pak, selamat bertugas” dan dilanjutkan dengan “ini anaknya pak?” atau “kelas berapa?” atau “cantik ya?” yang membuatku sedikit tersipu malu.
Setelah berjalan beberapa lama, suasana komplek semakin berubah, yang sangat berbeda dengan komplek dirumahku yang sepi. Disini jauh lebih ramai dengan rumah-rumah yang juga lebih modern, walaupun struktur rumah kuno masih ada terlihat, berupa atap limas dengan jendela-jendela besar. Ya, rumahnya terlihat seragam, walaupun ada yang menambahkan garasi mobil atau warung kecil di depan rumah. Satu hal yang kusuka, semua rumah disini tidak berpagar besi atau kayu, tapi berupa pagar tanaman berupa pohon-pohon teh yang dipangkas rapi sedemikian rupa sehingga terlihat seperti kotak-kotak hijau yang disusun di depan rumah, atau sebagai pembatas rumah dengan rumah sebelahnya, cantik sekali.
“Pa, pohon teh ada bunganya gak?” spontan aku bertanya dibelakang papa dan pak Budi.
Papa menghentikan langkah dan obrolannya. Membungkuk ke arahku, “ha? nanya apa say?”
“Pohon teh ada bunganya gak?” ulangku.
“Ooooh, bunga teh? adalah. Cuma karena pucuknya sering dipetik, tak banyak yang pernah lihat bunga teh. Bunga nya cantik, warnanya putih dan baunya harum. Gak besar sih, kira-kira 3 cm aja. Nanti kalo papa jumpa bunga teh, papa ajak Adel lihat.” jelas papa.
Sekolah yang kami tuju ternyata tidak jauh dari perumahan. Walaupun terletak di dalam komplek, tapi SMP nya adalah SMP negeri yang berada dalam satu lingkungan dengan SD juga. Kata papa, dulunya sekolah ini dibangun oleh perusahaan, tapi karena karena gedung dan fasilitas nya yang tergolong bagus dan lengkap, banyak juga warga sekitar yang menyekolahkan anak nya disini,. Perusahaan lalu mengusulkan perubahan status menjadi sekolah negeri ke Pemerintah dan disetujui, bahkan rencana nya mau dibuatkan SMK juga.
Kami memasuki halaman SMP yang luas tapi kali ini tidak dipagari pohon teh melainkan pagar besi yang bercat hitam, menyusuri jalan paving blok yang membelah halaman sekolah menjadi dua bagian dengan pohon teh yang tidak terlalu tinggi disisi kiri dan kanan jalan. Dibagian kiri, sepertinya area untuk berolahraga karena terlihat olehku lapangan basket, volley dan badminton yang dikelilingi pagar kawat yang tinggi. Sedangkan di bagian kanan ada halaman rumput yang sangat luas dengan tiang bendera ditengah halaman, yang kutebak ini adalah lapangan upacaranya. Berbeda dengan sekolah-sekolah dikota yang halaman nya terbatas dengan fasilitas lapangan olahraga yang seadanya, sepertinya sekolah disini tidak memikirkan keterbatasan lahan dan fasilitas, atau mungkin karena berada di dalam dan dibantu perusahaan? Entahlah.
“Kita langsung ke ruangan kepala sekolah saja ya pak,” kata pak budi. Papa mengangguk setuju, lalu meraih dan menggandeng tanganku.
“Kepala sekolahnya perempuan Del, namanya bu Fatma. Waktu papa kesini bulan kemaren, papa udah jumpa beliau. Katanya Adel pasti betah sekolah disini, udaranya segar, anak muridnya baik-baik.”
Di teras depan, kami disambut oleh seorang wanita yang tampak anggun mengenakan blouse biru muda, mempersilahkan kami masuk ke ruangannya. Ruang kepala sekolahnya termasuk besar untuk sekolah negeri, dengan sofa dan hiasan bunga, lemari kaca yang berisi plakat-plakat dan berbagai bentuk piala. Di dinding tergantung banyak sekali sertifikat penghargaan dan foto-foto kegiatan sekolah. Di tengah ruangan ada meja rapat oval yang cukup untuk untuk sebuah rapat kecil. Disudut ruangan dekat jendela, terdapat meja kerja dengan dua kursi yang menghadap ke meja. Walaupun ruangan ini tidak ber AC, tapi udara di dalam sini masih terasa cukup dingin. Setelah mempersilahkan kami duduk di sofa, bu Fatma tersenyum kearahku.
“Ini pasti Adel kan?” tanyanya sambil mengulurkan tangan.
Aku menyambut uluran tangan bu fatma, bersalaman dan mencium punggung tangan beliau. Setelah sedikit basa basi, pak Budi berkata “Ini bu, sesuai janji saya tadi malam, saya bawa ini pak Aryo, yang bulan kemaren sudah saya perkenalkan ke ibu. Nah ini Adel, yang mau sekolah disini” kata pak Budi sambil menunjuk ke arahku dengan jempolnya.
“Tolong Adelnya dibimbing bu, maklumlah anak baru belum ada kawannya,” tambah papa pula.
“Oh iya, pasti pak. Jangan kuatir, Insya Allah Adel akan banyak dapat kawan disini. Murid disini ramah-ramah, tidak pernah ada kasus pembulian kok disini. Saya tempatkan adel nanti di kelas 8.b, wali kelasnya bu Intan. Dia orangnya baik dan penyabar. Malah tadinya bu Intan mau gabung kita disini, tapi dia mendadak ijin karena anaknya sakit.”
“Gak apa-apa bu, kami senang sekali sudah disambut langsung sama bu Fatma, apalagi ini hari libur, maaf sudah mengganggu liburan nya,” kata papa
“Gak masalah pak,” bu Fatma tersenyum dan menoleh ke arahku, “hari Senin kita mulai ya Del? Nanti senin pagi keruangan ibu aja dulu, nanti ibu bawa ke kelasnya. Gak usah ditemanin papa lagi, udah gede ini. Rumahnya juga gak jauh kan? banyak murid disini yang pergi sekolah sendiri lho, naik sepeda atau jalan kaki, lebih sehat, udaranya juga segar.”
“Iya bu,” jawabku.
“Baiklah bu, kalau begitu kami mohon pamit. Sekali lagi terima kasih banyak atas bantuannya. Maaf sudah menggangu waktu bu Fatma. Kalau ada sesuatu hal terkait dengan sekolahnya Adel, jangan sungkan nelpon saya.” Kata papa sambil berdiri diikuti oleh pak Budi dan bu Fatma.
“Baik pak, sama-sama. Insya Allah kami akan memberikan yang terbaik buat murid-murid kami disini.”
Setelah bersalaman, kami pun beranjak pergi meninggalkan gedung sekolah.
“Gimana Del, bagus kan sekolahnya? Bu Fatma juga baik. Dia orang jawa, tapi lahir disini. Kakek dan neneknya bahkan merupakan termasuk rombongan pekerja kebun teh pertama yang dibawa Belanda kesini dulu,” jelas papa sambil terus berjalan, “ide bu kepala sekolah tadi bagus juga lho Del, kesekolah jalan kaki atau nanti papa belikan sepeda ya?” tanya papa lagi.
“Iya pa, hari Senin nanti adel mau jalan kaki aja, tapi kalo papa mau beliin sepeda bagus juga sih, sekalian olahraga. Beliin juga barbel dan tali skipping ya?” rayuku.
Papa tertawa mengiyakan permintaanku, bahkan berucap kalo papa juga mau berolahraga tiap pagi. Sayang kalo tempat seindah dan sesegar ini dilewatkan untuk tidak berolehraga, katanya.