bc

Rumah Puzzle

book_age4+
0
IKUTI
1K
BACA
BE
family
HE
time-travel
mystery
small town
like
intro-logo
Uraian

Adel merupakan seorang anak perempuan yang mengikuti orangtuanya pindah ke kayu aro, area perkebunan teh di kaki gunung kerinci yang telah berdiri sejak jaman Hindia Belanda. Di komplek rumahnya, terdapat satu rumah tua yang merupakan rumah peninggalan belanda bekas pemilik kebun dan pabrik teh yang tewas terbakar bersama dengan isteri dan anaknya pada satu kejadian. Adel yang menemukan dan merangkai sebuah puzzle yang terdapat dirumah tersebut tiba-tiba menemukan dirinya berada di alam yang berbeda dengan waktu yang seakan-akan berhenti berputar, bertemu dengan Jasmine, putri pemilik kebun teh belanda yang dulu dikabarkan tewas serta dua anak lainya, Siti dan Fitri. Mereka ternyata juga terjebak selama puluhan tahun ditempat tersebut karena merangkai puzzle yang sama. Adel, Jasmine, Siti dan Fitri pun terlibat konflik karena perbedaan kultur dan jaman namun sekaligus menumbuhkan rasa persaudaraan dan kekompakan karena merasa senasib sepenanggungan. Adel pun memulai petualangan dalam usaha untuk mencari jalan keluar dari rumah puzzle tersebut.

chap-preview
Pratinjau gratis
Pindah
“Selama menempati kamar ini, rasanya baru kali ini aku duduk di sisi bawah jendela”, batinku. Ternyata duduk disini nyaman, merasakan angin pagi yang mengalir di ujung kepala memberikan sensasi tersendiri. Ah, kenapa pula baru sekarang mengetahuinya? Saat beberapa menit lagi kamar ini ditinggalkan? Sekarang pula aku menyadari bahwa kamarnya ternyata cukup luas setelah barang-barangnya diangkut semua. Sudut sana biasanya ada lemari pakaian, di tengah ada tempat tidur dengan meja kecil disampingnya, dan tepat disebelah aku duduk sekarang ada meja belajar yang cukup besar, lengkap dengan rak buku untuk menampung buku-buku pelajaran dan n****+ kesukaannya. Namun masih banyak tersisa ruangan bagi dia dan teman-teman mengerjakan tugas kelompok atau sekedar bermain. Ah, teman-teman kelas 8 yang sebentar lagi juga aku tinggalkan. Seminggu yang lalu setelah makan malam, papa dan mama memberitahu kalau papa dipindahtugaskan dari Pekanbaru ke salah satu kebun teh di Jambi. Mereka bilang kalau aku pasti suka tempatnya karena kebun teh tersebut berada daerah sejuk karena terletak di kaki Gunung Kerinci. Mereka mengatakan kalau semua kepindahan sekolahku sudah diurus, dan aku disuruh mulai mengemas barang-barang dikamar. Tidak ada drama penolakan, karena sebagai anak satu-satunya, aku tak ingin menambah beban pikiran mereka dan keputusan terbaik ada ditangan papa dan mama, termasuk keputusan pindah. Kemanapun mereka pergi, aku akan selalu ikut serta. Cuma bisa berharap disana akan ada sekolah yang baik dengan teman-teman yang baik pula. Perpisahan dengan teman-temannya kemarin masih menyisakan kesedihan yang mendalam. Mira, Fitri, Naya, dan Wirza, semuanya akan ditinggalkan walaupun mereka masih bisa komunikasi dalam satu grup w******p, tapi rasanya pasti tidak akan sama. Apakah disana akan ada teman-teman seasyik mereka? Apakah disana akan dapat kamar seluas ini? Entahlah. Tapi kata papa, aku masih dapat kamar sendiri, bahkan dengan jendela besar yang menghadap ke kebun teh yang luas di kaki Gunung Kerinci. Hmmmm….sounds great.. “Issssh enak kali kau del,” kata wirza, ketika kuceritakan kalu aku bakalan dapat kamar dengan view yang menakjubkan. “gak ngerasain lagi panas nya Pekanbaru dong!” lanjut Mira. “Besok kalo liburan sekolah, kita harus ke tempat Adel,” timpal Fitri pula. “tapi kawan nya disana pasti gak seasyik kita kaaaan?” kata Naya. Ah, mereka memang pandai menghibur aku. “Pasti dong, nanti aku beri shareloc rumahku disana. Kalian semua harus datang libur sekolah nanti. Jangan lupa bawa jaket karena kata papa, suhu siang disana cuma 20 derajat dan kalo malam bisa 10 derajat lho…” “beneran lo? wuuiiiihhh kereeeen” ucap wirza. Tiba-tiba mama melongokkan kepalanya di pintu kamar yang setengah terbuka, “Del, udah selesai? Udah hampir jam 7, ntar kita kesiangan, yuk kita berangkat. Papa udah nunggu di depan.” “Iya ma, bentar lagi,” aku berdiri dengan sedikit malas. “Jangan lupa tutup jendelanya ya sayang, mama tunggu didepan ya?” Aku menutup jendela, menatap halaman samping yang sudah menjadi pemandanganku setiap pagi, dengan pohon mangga yang mulai berbunga. Tersenyum ketika mengingat buah mangga tu selalu menjadi sasaran ngerujak bersama kawan-kawannya. Pernah suatu ketika wirza yang tubuhnya agak gempal memaksa ikut manjat memetik mangga, terpeleset di salah satu dahan yang licin karena malam sebelumnya turun hujan. Tubuhnya yang gempal terhempas ditanah menimbulkan bunyi seperti mangga raksasa yang jatuh, mengakibatkan kakinya terkilir. Tersenyum sendiri, aku menutup jendela dan menarik gorden. Sebelum menutup pintu kamar, di menoleh lagi ke dalam kamar dan berkata dalam hati, “selamat tinggal kamar, terima kasih sudah memberikan pengalaman yang indah” Diteras depan, papa dan mama sudah menunggu sambil ngobrol dengan seseorang. “Sudah del?” tanya papa ketika melihatku keluar dari pintu depan. Aku pun mengangguk pelan. “Ini om Adi, karyawan bagian perlengkapan di kantor. Beliau ni yang menyiapkan kepindahan kita kesana.” kata papa memperkenalkan om Adi. “Jangan sedih del, disana nanti lebih enak lho, gak panas kayak disini. Om dulu pernah ditugaskan disana, tempatnya asyik, udaranya segar”. Aku cuma tersenyum mendengar perkataan om Adi. “Baiklah pak Adi, terima kasih sudah mengurus semuanya. Ini kunci rumah dinas dan kunci mobil dinas saya kembalikan ke perusahaan, surat serah terima nya sudah saya tandatangani kemaren, nanti minta sama pak Heru, kemaren saya titipkan sama dia.” Kata papa sambil menyerahkan serangkaian kunci ke om Adi, “terima kasih juga pak Adi sudah membantu kami, mohon maaf jika ada kata-kata yang salah, sudah beberapa kali merepotkan pak Adi juga. Semoga pak Adi sekeluarga sehat dan murah rejeki. Oya, salam buat Lisa ya? Udah lima bulan kan? Semoga nanti lahiran nya lancar. Insya Allah, kalau nanti lahiran kami usahakan datang.” “Siap pak bu, selamat jalan, selamat menempati posisi baru di sana. Semoga bapak ibu dan Adel selalu diberi kesehatan dan rejeki. Terima kasih sudah membimbing kami selama 14 Tahun ini. Insya Allah nanti salamnya saya sampaikan, mohon doa nya untuk kelancaran dan kesehatan anak pertama kami.” “Insya Allah, aamiin…” jawab papa dan mama hampir berbarengan. “Baiklah pak Adi, kami jalan dulu.” “Baik pak, hati-hati pak, bu, Adel, semoga perjalanannya lancar. Nanti saya hubungi pak Budi yang kan bantu-bantu bapak disana”, jawab pak Adi. “Oke, terima kasih pak Adi. Assalamualaikum” “Waalaikum salam” Papa pun berjalan kemobil diikuti mama yang menggandeng tanganku. Aku menoleh ke pak Adi, sambil tersenyum aku memberikan lambaian tangan, “bye om adi. Adel pergi dulu ya…” “Iya del, hati-hati ya…” Pak Adi membalas lambaian tangan ku. Satu persatu kami masuk kemobil dan perlahan meninggalkan rumah yang sudah aku tempati sejak aku lahir 14 tahun yang lalu. Sekali lagi aku menoleh ke belakang, melihat om Adi di kejauhan yang juga beranjak pergi dengan sepeda motornya. Perjalanan ke kebun teh akan memakan waktu kira-kira 11 jam perjalanan darat melewati beberapa kota-kota kecil. Suara lagu dari speaker mobil membuat lamunan ku semakin dalam membayangkan bagaimana kehidupanku disana nanti. Kata papa, aku sudah diterima di salah satu sekolah negeri disana, yang termasuk sekolah favorit yang masih berada dalam satu komplek perusahaan. Kampung di lereng gunung Kerinci yang kata papa sudah ada sejak tahun 1880-an itu merupakan salah satu kampung tertua di Jambi yang dibuka sejak kolonial Belanda datang kesana untuk membuka kebun teh. Seiring dengan itu, mereka pun membawa pekerja-pekerja dari jawa untuk dipekerjakan disana, yang pria dipekerjakan sebagai perambah hutan untuk membuka lahan dan penanam pohon teh, sedangkan yang perempuan dijadikan buruh pemetik daun teh. Seiring dengan meluasnya perkebunan, pemerintah kolonial waktu itupun semakin banyak mendatangkan pekerja, termasuk keluarga kolonial itu sendiri untuk menetap disana. Mereka mendatangkan juga tentara untuk menjaga perkebunan dan keluarga-keluarga kompeni yang ada disana, sehingga pada awal abad ke 20, atau tahun 1900-an, kaki gunung kerinci yang awalnya hutan belantara berubah menjadi kampung yang cukup ramai dengan hamparan kebun teh yang luas. Namun kehidupan disana waktu itu bukan lah kehidupan yang menyenangkan bagi inlander, sebutan orang-orang kolonial untuk masyarakat pribumi, karena mereka dipekerjakan oleh pemerintah kolonial dengan upah yang sangat kecil. Pada waktu itu, pemerintah kolonial melarang mereka bersekolah dan belajar baca tulis, sehingga turun-temurun profesi mereka hanyalah pekerja pemetik teh. Pada awalnya, banyak yang berusaha melarikan diri, namun kondisi alam sekitar yang masih hutan rimba yang dihuni oleh hewan buas dan dikejar-kejar pasukan Belanda lama kelamaan menyurutkan niat mereka untuk pergi dan akhirnya pasrah menerima keadaan. “Del, kalo mau snack ada tuh dalam tas kresek putih. Minum juga ada disana,” kata mama membuyarkan lamunanku. “iya ma, belum lapar. Belum haus juga” “Merenung apa sih? masih ingat kawan-kawan lama? papa yakin disana disana nanti pasti Adel dapat kawan-kawan yang asyik juga,” papa mencoba menghiburku. Aku cuma mengangguk dan tersenyum tipis, “iya mudah-mudahan aja,” ucapku dalam hati. “Coba usahain tidur deh, soalnya perjalanan masih lama. Nanti kita makan siang, mama bangunin.” “iya ma.” jawabku pendek.

Pindai untuk mengunduh app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook