Kayu Aro

1234 Kata
Walaupun sudah memejamkan mata, tapi tetap saja aku tidak bisa tidur. Hari ini jumat di kelasku ada pelajaran olahraga, dan aku selalu suka pelajaran olahraga karena bisa keluar kelas, apalagi kalau pak Syaiful, guru olahraga kami menyuruh kami lomba lari, aku selalu menjadi pemenang karena lariku paling cepat. Aku tersenyum sendiri membayangkan betapa dongkolnya Wirza kalo udah olahraga lari. Badannya yang gendut dan nafasnya yang ngos-ngosan terlihat lucu. Apa mereka merasa kehilanganku ya? Atau mereka sudah melupakanku? Masih 12 jam lagi ke tujuan, masih lama, bahkan meninggalkan perbatasan Kota Pekanbaru saja belum. Jalan di luar terlihat tidak begitu ramai kendaraan, mungkin karena ini hari kerja, dan hanya terlihat pertokoan di kiri kanan jalan. Memperhatikan mobil, sepeda motor dan orang-orang yang berlalu lalang ternyata bisa membuat mataku lelah, aku memutuskan membaringkan badan di kursi. “Del bangun, kita istirahat bentar dulu”, dari kursi depan, mama menjulurkan tangannya mengoyang-goyangkan badanku dengan lembut. Sambil mengucek-ngucek mata, aku duduk dan melihat sekeliling, “ini dimana ma?” tanyaku sambil melihat jam tangan, masih jam 10 pagi kurang sedikit. “Masih di taluk kuantan say, masih lama. Masih kira-kira 8 jam lagi, kita istirahat disini dulu, biar papa lurusin pinggang dulu.” Taluk kuantan, kota yang terkenal dengan adat pacu jalurnya. Aku pernah kesini dulu, ketika mama penasaran dengan lomba pacu jalur. Aku yang waktu itu masih kelas 4 SD, gak menyangka kalau jalur itu sejenis perahu panjang yang didayung oleh banyak orang, dengan salah seorang yang menari di ujung perahu, seru sekali. Rupanya aku tak sadar sudah tertidur tadi, sudah meninggalkan Kota Pekanbaru. Selamat tinggal Pekanbaru, kota tempat aku dilahirkan 14 Tahun yang lalu. Kata mama, aku anak melayu karena lahir di Pekanbaru walaupun papa suku Jawa dan mama suku Sunda. Mereka pindah tugas dari Bandung ke Pekanbaru ketika aku masih dalam kandungan berumur 4 bulan. Selamat tinggal kota kelahiranku, selamat tinggal kawan-kawan, semoga suatu saat bisa kembali kesini. “huffft… Masih 8 jam lagi”, kataku dalam hati, lalu beranjak turun dari mobil mendekati papa yang sedang melakukan senam ringan. “eh udah bangun anak gadis papa, yuk kita ngopi dulu,” kata papa sambil menggandeng tanganku masuk ke restoran padang, yang karena masih jam 10 belum banyak menu yang terhidang sehingga kami memutuskan untuk minum teh saja. Masih 8 jam perjalanan lagi…. Pemandangan disini benar-benar diluar dugaan. Aku takjub dengan hamparan daun teh seluas ini. Dari tadi mataku tak henti-henti menatap takjub ke hamparan kebun teh seperti karpet hijau dengan latar Gunung Kerinci di kejauhan dan kuningnya matahari sore. Tidak banyak kendaraan lalu lalang karena ini sudah bukan jalan lintas lagi, dan waktu juga menunjukkan sudah jam 5. Wow, ini luar biasa, Mira, Fitri, Naya, dan Wirza wajib kesini nih. “Pa, boleh buka kaca jendela?” tanyaku. “Boleh dong sayang,” kata papa sambil mematikan AC mobil, “yuk kita hirup udara segar.” Begitu kaca mobil terbuka lebar, aroma teh langsung menyeruak masuk kedalam mobil. Seumur hidup baru kali ini aku merasakan aroma teh yang begitu segar. Tadinya kupikir akan sama dengan bau teh seduh yang disediakan mama tiap pagi untukku. Tapi tidak, ini aroma yang berbeda. Aroma segar daun teh bercampur dengan embun sore yang mulai turun. “Sudah sampai pa?” tanyaku. “Kalo kebun teh nya udah sampai, tapi rumahnya paling cepat masih sejam-an lagi,” jelas papa. Makin lama, jalan yang ditempuh semakin sepi dan gelap seiring dengan terbenamnya matahari dan kabut yang turun pun semakin tebal. Perjalanan yang diperkirakan 1 jam lagi ternyata tidak sesuai dengan rencana karena jam sudah menunjukkan pukul 18.15. Tidak ada penerangan jalan disini, hanya diterangi cahaya lampu mobil dan sesekali sepeda motor yang berpapasan. Setelah beberapa belokan, tibalah kami di gerbang kompleks pabrik kebun teh yang sekaligus menjadi kompleks perumahan bagi karyawan dan pekerja pabrik. Papa menghentikan mobil tepat di depan palang yang melintang dibawah gerbang. Seorang penjaga keamanan keluar dari pos menghampiri papa, “selamat malam pak” sapa nya. “iya pak, Selamat malam juga, saya Aryo yang dipindahtugaskan kesini dari Pekanbaru. Mungkin bapak sudah mendapat kabar dari pak Budi kalau saya datang hari ini?” kata papa. Seketika wajah petugas keamanan yang tadinya waspada menjadi ceria, “astaghfirullah pak, maafkan saya. kemaren pak Budi emang ada ngasih kabar ke saya kalo bapak mau datang tapi saya gak tau kalo bapak datang hari ini, maafkan saya pak.” “Iya gak apa-apa pak, salah saya juga tadi gak nelpon pak Budi dulu. Maaf dengan bapak siapa ya pak?” tanya papa. “Dengan Teguh pak. Sebentar saya bukakan portal nya dulu pak,” pak Teguh pun beranjak pergi, masuk kedalam pos dan keluar lagi dengan seorang penjaga keamanan lainnya dan membuka simpul tali yang mengikat portal. Portal besi yang tadinya melintang meghalangi jalan masuk perlahan-lahan naik, papa pun menjalankan mobil dengan perlahan dan berhenti lagi tepat di depan pos. “Ini teman jaga saya malam ini pak, namanya Yono. Kami ada berempat malam ini pak, cuma yang dua, Mardi dan Dani lagi patroli,” pak Teguh menunjuk teman disampingnya dengan jempol. “Selamat malam pak, selamat datang,” kata Yono sambil sedikit membungkukkan badan, “mari pak saya antar ke rumah, saya pake motor, mobil bapak ikut saya aja dari belakang ya pak” “Baik pak Yono, terima kasih. Mari pak Teguh, saya jalan duluan, besok kita ngobrol-ngobrol lagi ya.” “Baik pak, silahkan pak, selamat datang,” kata Pak Teguh. Pak Yono menuju ke motor yang diparkir di samping pos, menyalakannya dan mulai berjalan memasuki kompleks. Penerangan disini jauh lebih baik dari jalan diluar tadi. Setiap beberapa meter ditempatkan lampu jalan yang cukup terang. “baru jam 18.30, tapi suasana sudah begini sepi. Mungkin karena ini kompleks perumahan”, batin adel. Dari kejauhan terdengar suara imam mesjid melantunkan ayat suci Al Quran sholat maghrib berjamaah melalui pengeras suara. Dibandingkan hiruk pikuk kota Pekanbaru, suasana sepi jalanan yang berkabut serta pohon-pohon besar di kiri kanan jalan seakan membawaku ke dunia berbeda. Setelah beberapa kali belokan, barulah terlihat beberapa rumah yang bentuknya terlihat seragam, rumah model lama dengan teras dan jendela yang besar dengan dinding motif batu gunung yang besar-besar. Terlihat juga beberapa rumah yang gelap tanpa penerangan bahkan ada beberapa diantaranya yang rusak berat. Setelah melewati beberapa rumah, Pandanganku tertarik pada satu rumah yang berbeda dari yang lain, jauh lebih besar dengan halaman yang memiliki gerbang di depan halaman nya. Sepertinya rumah ini dulunya memiliki pagar karena masih tersisa beberapa tiang batu diskelilingnya. Rumah itu gelap gulita, namun dengan bantuan cahaya lampu jalan, aku masih bisa melihat bentuk nya dengan cukup jelas, atap genteng yang berbentuk limas dengan jendela-jendela yang sangat besar, serta teras di depan rumah dengan dua tiang penyangga. Halamannya dipenuhi semak belukar, tapi aku masih bisa melihat dengan jelas jalan masuk mulai dari gerbang sampai di teras depan. Dibandingkan dengan rumah-rumah sebelumnya yang rusak berat, rumah satu ini terlihat masih cukup bagus dan paling besar. Hanya berjarak beberapa meter dari rumah itu, pak Yono menghentikan motornya di depan halaman sebuah rumah yang terletak sudut jalan yang terlihat jauh lebih modern dibanding rumah lain, walaupun kesan klasik masih terlihat jelas. Pak Yono bergegas turun dari motor dan menghampiri mobil, “sebentar pak, saya ijin kerumah pak Budi dulu, gak jauh kok, cuma dibelakang situ. Soalnya kemaren beliau pesan kalo bapak udah nyampe, dia minta dijemput.” Papa mempersilahkan pak Yono pergi, yang langsung menghilang di tikungan yang ditutupi kabut yang turun semakin tebal.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN