#Derita Chiko#
Derita Chiko rupanya tidak akan selesai sampai di sana. Chiko harus merasakan sakit hingga ke dalam lubuk hatinya. Chiko lelah seperti itu, namun dia tidak akan pernah menyerah. Sekarang ini dunianya seolah sedang dipermainkan. Chiko sudah siap diadili. Mama muncul dengan wajah galak, melotot ke arah Chiko. Chiko yakin kalau sekarang dia akan segera diadili.
Kaca belakang hancur berantakan. Mbak Yur muncul dan menatap Chiko, menatap Gigih setelah itu. Gigih menunduk dengan wajah sedih. Dia pasti akan menangis sebentar lagi.
"Lihat apa yang kamu lakukan!" Mama marah.
"Bukan salah Chiko, Ma!" Chiko membela diri. Keduanya panik, namun Chiko lebih panik lagi. Meski bukan dia yang menendang bola, namun dia yakin kalau akan disalahkan oleh mama. Mama pilih kasih. Chiko mungkin anak pungut.
"Lalu salah siapa ini?"
"Mas Gigih yang nendang, Ma!" Chiko menunjuk Gigih, sementara yang ditunjuk hanya pasang wajah takut.
"Maaf, Ma. Gih salah..." katanya. Chiko menggeram kesal. Sekarang ini Gigih mulai pintar berulah. Chiko berdehem, menatap Gigih dan menyenggol lengannya.
"Ini salah Mas."
"Gih salah."
"Mas harus jelasin kalau bukan aku yang nendang bola."
"Gih yang salah."
"Iya, emang Mas yang salah. Mas yang bikin kacanya pecah." Chiko kembali mengadili. Gigih merengut, namun setelah itu matanya menatap mama. Mama masih berdiri di sana, mengerjap ketika melihat dua anaknya berdebat.
Mereka sudah remaja, namun kelakuan mereka masih seperti anak-anak. Kalau Gigih, mama bisa maklum. Kalau Chiko? Mama tidak bisa mengerti kenapa Chiko harus terseret dalam arus yang super kekanakan ini.
"Yur, kamu bersihkan pecahannya, ya! Hati-hati terluka." Mama berbalik dan pergi dari sana tanpa kata lagi. Chiko menelan ludah. Mama bukan memaafkannya, namun mama sengaja mengabaikannya. Nanti, pasti dia diadili.
"Lihat, mama marah!" Chiko membentak Gigih. Gigih menelan ludah.
"Maaf, Chiko."
"Kalau kayak gini, dari awal aku nggak bakalan ngajarin Mas main bola!"
"Chiko..."
"Mungkin Mas hanya bisa mewek dan juga nangis, tapi aku yang kebagian getahnya. Aku yang kena marah dan omelan tiap kali Mas berbuat salah. Aku ngerasa ini nggak adil, Mas. Aku capek diperlakukan kayak gini!" Chiko menggerutu.
"Chiko, maaf, Chiko!"
"Aku nggak butuh permintaan maaf Mas!" Chiko berteriak kencang, mengomel pada Gigih. Gigih sedang menatapnya dengan pandangan sedih. Chiko sudah lelah diperlakukan seperti ini. Kali ini dia harus melawan, harus membela diri. Bukan karena Gigih yatim piatu, lalu mama memperlakukannya dengan sangat luar biasa. Tidak, tidak! Ketika Gigih bersalah, tetap saja bersalah.
Tidak ada pengecualian untuk itu!
"Chiko..."
"Aku nggak mau ngomong sama Mas!"
"Maaf, Chiko!"
"Mas pikir maaf bisa balikin semuanya? Ntar lihat aja apa yang akan terjadi!" Chiko membentak. Mbak Yur menatap mereka yang sedang bertengkar dan berdebat. Mbak Yur menghampiri Chiko dan Gigih lalu tersenyum.
"Sudah, sudah... Ini Mbak sudah bereskan semuanya. Kalian jangan bertengkar. Mas Chiko lebih dewasa daripada Mas Gigih, kan? Jadi Mbak harap Mas Chiko memaklumi tingkah Mas Gigih."
Sialan! Semuanya sama saja! Dengan wajah marah, Chiko pergi dari sana tanpa kata. Chiko berlari, mengungsi untuk sementara waktu ke rumah Mas Bejo. Mengabaikan teriakan Gigih yang meminta Chiko untuk kembali.
#Rumah Mas Bejo#
Chiko mengadu. Mas Bejo tergelak ketika mendengar curhatan Chiko. Chiko makin kesal. Seharusnya Mas Bejo tidak boleh tertawa seperti itu. Mas Bejo harusnya menanggapi dengan bijaksana. Mas Bejo lebih mengerti bagaimana cara menghadapi manusia seperti Gigih.
"Jadi sekarang kamu melarikan diri, nih ceritanya?" tanya Mas Bejo cepat. Chiko mengangguk.
"Untuk sementara aku males lihat muka Mas Gigih!"
"Mau sampe kapan? Mau nginep?"
Chiko mengedikkan bahu. "Nggak mungkin, Mas. Kalau aku nginep, bisa-bisa dia nyusul ke sini. Dia kadang aneh, tahu, nggak?"
"Aneh gimana?"
"Kadang dia marah kalau aku main sama orang lain. Marahnya itu juga serem, lho, Mas. Dia bisa teriak-teriak dan jadi kuat gitu."
Mas Bejo tergelak geli. "Dia kan emang tunagrahita, Chiko. Bukan tunadaksa. Fisiknya nggak ada masalah. Bahkan dibanding badan kamu yang kecil gini..."
"Jangan diterusin, Mas! Aku nggak punya tempat lain buat melarikan diri."
"Awalnya kan Mas bingung, dia itu tunagrahita atau tunalaras, makanya Mas sempet nanya kamu, kan dulu." Mas Bejo kembali mengingat awal pertemuannya dengan Gigih. Tunalaras adalah individu yang mengalami hambatan dalam mengendalikan emosi dan kontrol sosial. Biasanya individu ini menunjukkan perilaku menyimpang yang tidak sesuai dengan norma dan aturan yang berlaku di sekitarnya.
Dulu Gigih pernah menggigit Mas Bejo ketika cowok itu mengajak Chiko pergi sembari merangkulnya. Gigih kalap, marah, lalu menggigit Mas Bejo hingga pergelangan tangannya berdarah.
"Dia tunagrahita, Mas."
"Tahu, makanya Mas nanya sama kamu. Kelakuannya jadi serem gitu kalau marah, Chiko."
Chiko mengangguk. Sekarang ini lebih baik dia tidak menghubungi Gigih terlebih dahulu. Jangan bertemu Gigih! Kalau kamu tidak ingin melukai hati Gigih yang rapuh itu, lebih baik kamu jangan pulang dulu!
"Mungkin karena aku yang bisa dia percaya, Mas. Makanya dia takut kalau aku ninggalin dia."
"Kamu sayang dia, kan?"
"Dia sepupuku, Mas. Udah aku anggap sebagai kakakku sendiri. Nggak, sih... adikku. Kelakukannya lebih mirip adikku."
Keduanya bungkam. Hingga akhirnya Chiko melihat panggilan tak terjawab di HP-nya. HP-nya dalam keadaan silent, jadi Chiko santai saja. Ketika melihat siapa yang menelepon, Chiko harap-harap cemas. Apalagi ketika muncul pesan dari si Penelepon.
"Cpt plng. Ditunggu Papa di rumah."
Itu SMS dari mamanya. Dengan berat hati, Chiko pulang.
#Interogasi Papa#
Papa duduk di ruang keluarga bersama mama dan Gigih. Sebenarnya ini masalah sepele, namun entah kenapa sekarang masalah ini jadi berat sekali. Papa tidak pernah menjadikan kasus ringan sebagai sebuah alasan untuk marah, namun kali ini papa memanggil Chiko. Menginterogasinya.
"Duduk, Chiko." Papa berkata dalam. Chiko menurut. Dulu dia pasti sudah menangis dan gemetar ketika papa mengatakan itu, namun sekarang tidak lagi. Chiko sudah besar dan bisa mengerti. Juga sedikit muak dengan perlakuan orang tuanya dan juga Gigih.
"Ada apa, Pa?" Chiko bertanya tenang. Tidak akan ada lagi teriakan dan tangisan Chiko karena disalahkan. Sekarang waktunya Chiko mandiri.
"Apa yang terjadi tadi, Chiko? Kenapa kaca belakang pecah?"
Chiko menatap papanya dengan mata sedih. Papa masih menatapnya tajam. Apa Chiko tidak bisa dipercaya hingga papa sampai hati menginterogasinya begini? Chiko lebih berani lagi. Pengalaman organisasi sudah mengajarinya untuk berani bicara. Apalagi Chiko juga disiapkan untuk ikut lomba PMR di sekolahnya.
Papa dan mama mana tahu? Chiko tidak akan pernah menceritakan hal itu pada mereka. Chiko tidak perlu pengakuan. Chiko tahu itu percuma. Mereka lebih bangga pada Gigih meski Gigih tidak normal.
Tidak perlu iri, Chiko. Kamu punya hal yang tidak dimiliki Gigih, jadi kamu hanya perlu hidup dengan apa yang kamu miliki saja. Kelak ketika kamu sudah cukup mampu untuk menemukan obat bagi penyandang tunagrahita, kamu bisa mengusir Gigih dari rumah ini. Namun apa itu mungkin, Chiko? Kecuali ada alien seperti di film India itu, yang bisa mengubah anak i***t menjadi anak yang super jenius.
Khayalan apa itu?
"Chiko yakin Papa sudah tahu alasannya." Chiko menjawab tenang.
"Papa masih ingin denger versi kamu. Tadi Gigih sudah cerita."
"Apa versi Chiko penting? Papa sudah denger dari Mas Gigih."
Papa melotot dengan wajah tak terima. Sekarang Chiko sudah berani membantah dan melawan? Papa tidak bisa percaya kalau Chiko melakukan itu sekarang ini. Papa menatapnya sekali lagi.
"Kamu harusnya paham kenapa Papa nanya ini sama kamu."
"Untuk disalahkan dan dipaksa bertanggung jawab?"
"Chiko!" Mama ikut marah. Chiko menelan ludah, namun setelah itu dia berdiri dengan wajah terluka. Chiko menatap wajah papa dan mamanya, lalu tersenyum sedih.
"Papa bisa ambil uang jajanku buat benerin kaca belakang yang pecah itu." Dan Chiko pergi ke kamarnya dengan hati terluka.
Chiko kembali terdiam dengan wajah kesal. Dia ingin sendiri sekarang ini, namun kamar itu bukan miliknya seorang. Ada orang lain yang sudah siap masuk ke dalamnya ketika Chiko sedang tidak ingin diganggu. Tentu saja, Gigih pelakunya.
"Chiko..." Gigih memanggil. Chiko menatapnya kesal.
"Jangan ngomong sama aku dulu, Mas! Aku lagi nggak pengen diganggu!"
"Chiko..."
"Aku nggak mau ngomong sama Mas!" Chiko membentak marah. Gigih menelan ludah ketakutan. Sekarang ini Chiko terlihat sangat putus asa dan juga terluka. Semua ini gara-gara dirinya. Gigih bersalah.
"Chiko, maaf..." bisik Gigih pelan.
"Aku lagi nggak pengen ngomong sama Mas. Mas nggak paham juga, ya? Ah, emang Mas nggak paham! Aku lupa kalau Mas adalah..." Chiko, tahan! Kamu sedang emosi, jadi kalimat yang keluar dari mulutmu pasti kalimat yang sangat menusuk dan menyakitkan. Tolong, Chiko! Jangan katakan apa pun lagi, nanti Gigih bisa terluka.
"Gih salah, Chiko."
"Aku lagi nggak pengen bahas itu, Mas! Aku pengen sendiri!" Chiko menggerutu. Gigih menangis diam-diam. Chiko tahu kalau Gigih sedang menangis, namun dia tidak bisa melakukan apa pun untuk menghiburnya.
Sekarang ini keduanya sama-sama sedang terpuruk dan terluka.
"Chiko..."
Chiko bungkam.
"Chiko..."
Chiko masih enggan bersuara.
"Chiko, jangan benci Gih, Chiko! Gih sayang Chiko. Gih nggak mau Chiko marah. Gih sayang Chiko. Kalau Chiko marah, Gih bagaimana, Chiko? Gih yang salah, Chiko. Chiko baik, Chiko nggak salah!" Gigih menggeleng, lalu menangis kencang.
Chiko hanya diam saja. Sebentar lagi papa dan mamanya pasti akan melihat adegan paling dramatis seumur hidup mereka. Gigih menangis di depannya, membuatnya terlihat seperti orang jahat. Bagus!
Gigih masih menangis, namun Chiko sudah menutupi tubuhnya dengan selimut. Chiko tidak peduli lagi dengan Gigih sekarang. Dia sudah telanjur sakit hati.
#Curhat Lagi#
Menjelang tengah malam, Chiko menghubungi seseorang. Seseorang tempatnya bergantung dan juga curhat. Siapa lagi? Pasti Mas Bejo. Mas Bejo itu ibarat pahlawan yang mampu mendengarkan segala keluh kesah Chiko setiap saat. Mas Bejo selalu begitu, paham dengan keadaan yang sedang menimpanya.
"Trus kamu langsung pergi?" tanya Mas Bejo pelan. Gigih sudah tertidur dengan posisi aneh. Selimutnya terjatuh ke bawah, sementara kakinya sudah bergerilya ke sana kemari.
"Iya, aku males disalahin, Mas."
"Kan papa kamu nggak nyalahin, Chiko. Beliau masih nanya."
"Papa nanya pake nada tajam, Mas. Mengintimidasi dan terkesan mengadili." Chiko menggerutu.
"Papa kamu nggak ngomong apa-apa setelah itu?"
Chiko berdehem. "Aku selalu menghindar."
Mas Bejo tergelak geli dan kembali mencibir. Sekarang ini Chiko sedang ingin bicara banyak hal dengan Mas Bejo, hanya saja dia takut mengganggu waktu tidur Mas Bejo. Mas Bejo memang mengatakan tidak terganggu. Dia sedang mengerjakan laporan sekaligus mendengar curhatan katanya.
"Kamu nggak mau dengerin dulu, sih!" kata Mas Bejo lagi.
"Aku udah telanjur marah, Mas."
"Lalu apa kata Gigih?"
"Dia nangis terus sambil minta maaf."
Mas Bejo di sana menggeleng heran. Padahal Chiko tidak tahu kalau Mas Bejo sedang membayangkan kejadian itu versinya sendiri. Chiko tidak mengerti kalau Mas Bejo juga sibuk menerka dan menebak apa yang akan Gigih lakukan selanjutnya. Gigih adalah kepribadian yang sangat sulit ditebak. Mental yang sangat lemah dan juga tidak sesuai dengan usianya.
Mas Bejo malah membayangkan Gigih dengan mental anak-anak.
"Kasihan dia, Chiko."
"Biar aja, Mas! Aku capek!"
"Mental kamu kan lebih dewasa daripada mental dia. Lagian dia juga terlalu bersemangat karena kamu ajarin main bola, Chiko."
"Aku lagi marah dengan perlakuan papa dan mama, Mas."
Mas Bejo menghela napas lagi. Sekarang ini Chiko jadi sangat kekanakan dan tidak bisa bertingkah seperti biasanya. Mas Bejo tersenyum di sana, lalu kembali menatap jendela kamar Chiko yang sudah gelap.
"Kamu teleponan di mana?"
"Kamar mandi, Mas."
"Oh, pantesan."
"Kenapa?"
"Kamar kamu udah mati gitu lampunya."
Chiko tersentak. Dia sadar apa yang terjadi sekarang ini. Dia memutus sambungan teleponnya dan segera keluar dari kamar mandi. Kamarnya mati. Mereka tidak pernah tidur dengan lampu dimatikan. Di sudut ruangan, Chiko melihat bayangan Gigih. Gigih meringkuk ketakutan. Chiko mencoba menekan saklar lampu, namun lampu masih tidak mau menyala. Lampunya putus.
Chiko mendekati Gigih. Gigih menyembunyikan wajahnya di antara lutut. Chiko menyentuh bahu Gigih dan... bruk!
Gigih menubruknya, memeluknya erat dengan tubuh gemetar. Chiko sudah jatuh ke lantai dengan Gigih yang menindih tubuhnya. Mereka sama-sama bingung dengan keadaan ini.
"Gih takut, Chiko. Takut!"
"Nggak ada apa-apa, Mas."
"Chiko jangan pergi! Gih takut, Chiko! Takut!"
Chiko mengelus punggung Gigih meski punggungnya sakit akibat menghantam lantai tadi. Gigih gemetar dan menindih tubuh Chiko seperti itu. Gigih juga menangis.
"Jangan takut, Mas! Gelap nggak jahat."
"Gelap jahat, Chiko. Gelap sudah makan ayah dan bunda."
Chiko sakit hati. Gigih masih belum bisa melupakan kejadian beberapa tahun silam ketika dia masih kecil. Gigih trauma dengan kejadian itu hingga akhirnya dia jadi takut gelap. Bagi Gigih, gelap adalah kematian. Dan itu artinya, Gigih bisa ditinggalkan seorang diri.
"Nggak apa, Mas. Aku di sini."
"Jangan pergi, Chiko! Gih takut!"
"Aku nggak pergi."
Gigih memeluk tubuh Chiko erat. Tubuh besarnya menindih tubuh Chiko. Chiko menggerutu. Kalau terus begini, tubuh Chiko bisa kram nantinya.
"Mas tidur, ya!"
Gigih menggeleng. "Kalau Gih tidur, Chiko pergi lagi!"
"Aku nggak akan pergi, Mas. Janji!" ucap Chiko pelan. Gigih berdehem sebentar, lalu memeluk Chiko makin erat. Gigih makin mengeratkan pelukannya tak percaya. Chiko terbatuk karena pelukan Gigih begitu menyiksa tubuh kecilnya.
"Mas, kalau Mas peluk gini terus, aku bisa mati."
Spontan, Gigih melepas pelukannya. Cowok itu tidak melepaskan begitu saja, namun sudah menarik Chiko mendekat, lalu ganti memeluk Chiko dengan posisi berganti. Chiko berada di atas Gigih, sementara Gigih memeluknya seperti tadi. Dengan kaki terkait di paha Chiko.
#Kelaparan#
Chiko itu keras kepala dan sangat egois. Dia bisa saja sakit hati dan tidak ada obatnya. Karena perlakuan papanya kemarin, Chiko berjanji tidak akan mengambil uang sakunya. Dia sengaja meninggalkan uang sakunya di tempat biasa, tidak menyentuh uang itu sama sekali.
"Chiko..." panggil Gigih pelan.
"Apa, Mas?"
"Uang saku Chiko ketinggalan." Gigih mengulurkan uang sakunya, namun Chiko menggeleng kencang. Gigih sudah terlatih untuk mengambil uang saku sendiri, berbagi dengan Chiko. Meski uang saku Chiko lebih besar, namun Gigih tidak pernah iri. Gigih tahu kalau sekolah Chiko selalu pulang sore hari.
"Biarin aja, Mas. Buat benerin kaca belakang." Oh, Chiko baper dan pendendam rupanya!
"Ayah nggak marah, Chiko."
"Tapi aku bertanggung jawab."
Gigih diam. Chiko pergi ke sekolah setelah itu, mengabaikan Gigih yang masih sibuk di meja makan. Chiko bahkan sudah terburu-buru dan lupa belum sarapan. Sudah dapat dipastikan, Chiko kelaparan di sekolah. Perutnya keroncongan, namun harga dirinya sangat tinggi untuk itu. Dia sudah berjanji pada papanya. Oh, keras kepala sekali kamu, Chiko!
TBC