#Gigih dan Sekolah Chiko#
Gigih tahu kalau Chiko sengaja tidak mengambil uang sakunya. Harga diri Chiko terlampau tinggi untuk mengartikan interogasi papa sebagai bentuk kecurigaaan dan pilih kasih. Perut Chiko melilit, namun dia sengaja tidak mengatakan apa pun pada teman-temannya. Hanya ada beberapa orang yang tahu kalau Chiko punya saudara yang bersekolah di SLB, dan itu juga karena mereka tidak sengaja memergoki Chiko bersama Gigih. Chiko tidak pernah ada masalah dengan Gigih. Dia tidak malu meski punya saudara sepertinya. Chiko beranggapan tidak ada yang aneh dengan Gigih. Dia hanya tidak memiliki kemampuan sepertinya. Selebihnya, Gigih sama. Sama-sama manusia.
Pemikiran Chiko itu sederhana, karena itulah dia tidak bisa mengerti dan peka dengan sekitar. Dia hanya paham maksud Gigih yang berputar-putar ketika bicara itu. Gigih sangat pemalu, jadi Chiko selalu muncul sebagai juru bicara Gigih.
"Chiko..." Heru, salah satu temannya memanggil. Heru juga masuk dalam ekskul PMR dan mempersiapkan lomba seperti Chiko. Hanya saja Chiko yang kebagian susahnya. Heru bagian pelaksana kegiatan, sementara Chiko sebagai perwakilan serta juru bicara.
"Ada apaan?"
"Ntar jangan pulang dulu! Ada rapat."
Chiko mendengus tak terima. Dia sudah menghabiskan banyak waktu dan tenaga dalam lomba kali ini. Dia lelah, apalagi perutnya keroncongan. Chiko lupa kalau harga dirinya tidak bisa membeli makanan.
"Kenapa rapat terus?" Chiko menggerutu. Heru tersenyum lebar, lalu menepuk kepalanya sadis.
"Kamu orang penting, jadi jangan pergi dulu!"
Chiko tidak tahu kalau Heru bisa mengatakan hal-hal menjijikkan seperti itu hanya untuk membuatnya jadi pion utama. Chiko tahu kalau dia dimanfaatkan. Tidak, tidak. Chiko juga cukup mampu mengemban tugas ini. Chiko menghela napas, namun beberapa saat kemudian dia sudah tertidur. Hari itu ada rapat guru, jadi pelajaran kosong.
Chiko tidak pernah tahu kalau di depan sekolah ada seseorang yang sedang menunggunya. Sepupu tercinta yang diberi label tunagrahita. Sepupu yang selalu muncul dengan cengiran dan wajah bodoh, sementara Chiko santai-santai saja karena tidak tahu.
"Cari siapa, Mas?" Satpam sekolah Chiko mulai curiga dan bertanya pada Gigih. Gigih menelan ludah takut. Dia juga malu.
"Chiko..."
"Dari kelas berapa?"
Gigih menggigit jemarinya. Dia takut sekali dengan orang asing, apalagi dengan tampilan besar seperti satpam ini. Gigih bergerak gelisah. Beberapa murid menatapnya karena ingin tahu. Gigih memang tidak pintar, namun tubuhnya menarik perhatian. Wajahnya terutama.
"Gih nggak tahu..." Gigih menunduk lagi. Dia benar-benar tidak mengerti bagaimana cara menghubungi Chiko sekarang ini. Dia ingin bertemu Chiko. Apa Chiko baik-baik saja sekarang?
"Mas dari mana?"
Gigih makin ketakutan.
"Kalau ditanya itu jawab, Mas. Jangan nunduk terus! Gimana saya bisa paham Mas mau cari siapa di sini? Mas juga pake seragam sekolah begitu." Pak satpam mungkin kurang peka dengan dasi yang Gigih kenakan. Ada tulisan Sekolah Menengah Atas Luar Biasa di sana. Hanya saja Gigih sudah meremas dasinya hingga tak bisa dibaca.
Identitas lain? Oh, ada! Badge di seragamnya. Oh, Mbak Yur lupa memasangnya semalam. Badge yang lama sudah kerut dan kusam, jadi Mbak Yur melepasnya. Namun sayang sekali tadi malam Mbak Yur lupa memasang yang baru.
"Chiko..." Gigih ketakutan.
"Chiko itu siapa? Dari kelas berapa? Kalau mau cari orang itu yang jelas, Mas." Pak satpam tidak akan pernah mengerti kalau anak SMA di depannya ini bahkan harus benar-benar nyaman dulu untuk bercerita. Pada papa dan mama saja Gigih tidak banyak bicara, berbeda dengan pada Chiko.
"Chiko..." Gigih sudah siap menangis. Beberapa murid memperhatikan mereka. Dua orang siswa dari kelas tiga bahkan ikut menghampiri.
"Cari siapa, Pak?" tanya mereka.
"Nggak tahu, Mas. Ditanyain juga jawabnya Chiko terus. Ditanya dari kelas berapa nggak dijawab."
Gigih makin ketakutan. Semakin banyak orang yang berkumpul, Gigih makin gusar. Matanya mengerling gugup, sementara jemarinya meremas ujung dasinya sendiri. Gigih sengaja bolos hanya untuk menemui Chiko, dan sekarang Chiko tidak bisa ditemui. Di sekolah Gigih, semua orang ramah sekali. Guru-guru sangat baik dan perhatian. Sedangkan di sekolah Chiko...
Gigih merasakan atmosfer yang berbeda, jadi dia mulai merasa tidak nyaman.
"Chiko..." bisiknya lagi.
"Chiko dari kelas berapa, sih?" Dua cowok tadi ikut bertanya pada Gigih.
"Chiko..."
"Jangan-jangan dia gila, lagi! Ditanyain kelas berapa jawabnya Chiko-Chiko melulu!"
Gigih mendongak spontan. Wajah tampannya terlihat marah. Gigih mengerti apa yang mereka ucapkan. Sangat mengerti. Tunagrahita ringan masih bisa paham dan menangkap apa maksud ucapan orang lain, hanya saja mereka kesulitan dengan kata.
"Gih nggak gila!" Gigih membentak marah.
"Kalau kamu nggak gila, kalau ditanya ya jawab!" Cowok itu balas membentak. Gigih tidak takut kali ini. Dia lebih takut kalau tidak bisa menemukan Chiko. Gigih takut kalau Chiko menghilang ketika dia bangun tidur.
Tidak, Chiko adalah dunia Gigih. Jadi ketika Chiko menghilang, Gigih juga jadi galau berkepanjangan!
"Gih sayang Chiko!"
"Chiko siapa, sih?" Yang lain mulai berkasak-kusuk. Gigih merasa diadili. Dia ingin bertemu Chiko sekarang ini. Dia tidak ingin Chiko pergi. Dia ingin melihat Chiko.
Chiko mengerjap pelan. Perut laparnya sudah tidak bisa diajak kompromi lagi. Dia tidak punya uang. Uang saku sisa kemarin sudah ludes untuk print materi lomba. Padahal dia bisa saja minta pada bendahara PMR untuk gantinya. Hanya saja Chiko terlalu malas untuk ini-itu. Kalau tahu begini, mungkin lebih baik Chiko minta dulu pada mereka.
Chiko beranjak ke kantin. Salah satu penjual di kantin itu adalah kenalan Chiko. Bu Tine namanya. Bu Tine sangat baik, bahkan sering membuatkan Chiko mie instan. Anak Bu Tine teman sekolah Gigih di SMALB. Anak beliau mengalami kebutaan sejak kecil.
"Mau ke mana?" tanya Heru tiba-tiba.
"Mau kasbon. Laper."
Heru mengernyit bingung. "Dari tadi tidur, bangun-bangun malah lapar. Mana ngutang, lagi!"
"Kenapa? Kalau mau ribut mendingan traktir aku!" Chiko menarik leher Heru, menyeretnya ke kantin. Lumayan, batinnya. Setidaknya Heru bisa bermanfaat kalau dalam keadaan seperti ini.
Chiko menarik Heru paksa ke kantin. Sepanjang jalan Chiko beralasan kalau dia lupa bawa uang saku, jadi dia tidak bisa makan. Perutnya lapar sekali. Dengan wajah melas dan juga melankolis andalannya, Chiko berhasil membuat Heru menurut. Keduanya melangkah beriringan hingga langkah kaki mereka terhenti. Ketika mereka sengaja berputar untuk sampai di kantin, mata mereka menangkap gerombolan aneh.
Di barisan belakang para cewek terkikik geli dan tersenyum lucu. Kasak-kusuk yang tercipta mirip dengan kerumunan penjual obat yang dijual di pameran.
"Eh, ada apaan, sih?" Chiko kepo. Dia bertanya pada anak kelas satu lainnya.
"Ada anak gila yang nyariin saudaranya."
"Hah?" Chiko melongo. Perasaannya jadi tidak enak tiba-tiba. Heru mengerjap menatapnya.
"Jadi ke kantin, nggak, nih?" tanyanya cepat. Chiko tidak mendengarkan ucapan Heru dan beranjak ke kerumunan itu. Dia menyelinap masuk, hingga mendapati seorang cowok SMA di tengah-tengah mereka. Wajah ganteng itu! Mata tajam, hidung mancung, bibir merah tipis, rahang tegas itu...
Hanya satu orang yang seperti itu dalam hidup Chiko. Kakaknya.
#Gigih Keras Kepala#
"Kalian ngapain di sini? Bubar, bubar!" Chiko mengusir gerombolan itu. Mereka melongo, menatap Chiko dengan ekspresi aneh.
"Mas ini siapanya?" Pak satpam juga kepo.
"Chiko!" Gigih memeluk Chiko erat, menyembunyikan wajahnya di bahu Chiko yang lebih pendek darinya.
"Ah, itu yang namanya Chiko! Sayang banget, ya... Kakaknya cakep, tapi gila!"
Oh, Chiko terusik dengan ucapan itu! Chiko melepas pelukan Gigih dan kembali menatap mereka tajam. "Dia nggak gila! Kalian yang nggak punya otak!"
Gigih menggenggam jemari Chiko. Chiko sedang sakit hati karena Gigih dihina seperti itu. Mereka bahkan tidak tahu kalau Gigih itu waras, hanya saja tingkahnya seperti itu. Gigih hanya penyandang tunagrahita. Inilah hal yang paling Chiko benci. Chiko bukannya malu dengan kondisi Gigih, namun dia takut. Dia takut kalau Gigih terluka. Meski IQ Gigih tidak senormal remaja pada umumnya, namun Gigih juga punya hati!
Kerumunan itu bubar. Heru melangkah ke arahnya, menatap Chiko bengong. "Dia siapa, Ko?"
"Kakakku."
"Kok nggak mirip? Dia lebih ganteng."
Chiko melotot ke arah Heru, yang akhirnya disambut dengan cekikikan jahilnya. Chiko beruntung dan bersyukur Heru tidak seperti yang lain. Heru tidak menghina Gigih, namun malah memuji Gigih.
"Chiko manis!" Gigih protes.
Heru tergelak kencang. Heru memang tidak terlalu dekat dengan Chiko, namun Heru selalu jadi partner in crime. Heru selalu jadi volunteer tiap kali Chiko ketiban sial.
"Kenapa Mas bisa ada di sini?" Chiko menarik dasi Gigih yang sudah tak berbentuk. Dia membenahi dasi kakaknya hingga tulisan SMALB itu terbaca jelas. Pak satpam mengerti sekarang dari sekolah mana Gigih berasal.
"Gih kangen Chiko."
Chiko melongo. Heru lebih shock. "Ucapan apa lagi itu, Mas?" Chiko protes.
"Chiko nggak lapar?" tanyanya. Ah, Gigih itu lumayan peka dengan keadaaan Chiko sekarang ini. Chiko kelaparan akut.
"Mas mau apa ke sini?"
"Gih kangen."
"Nggak lucu, Mas."
"Gih nggak lucu, Chiko."
"Heru, kamu pergi aja dulu. Aku mau ngomong sama kakakku. Nggak apa, kan?" Chiko merasa bersalah pada Heru. Heru mengangguk cepat dan melambai. Dia tidak ingin mengganggu kebersamaan Chiko dan kakaknya.
"Gih takut, Chiko. Teman Chiko galak." Gigih mengadu.
"Siapa yang nyuruh Mas datang ke sini?" balas Chiko galak.
Gigih menelan ludah gugup. Dia tidak tahu kalau Chiko akan membuatnya marah dan kecewa. Chiko sedang tidak ingin berdebat dengan Gigih sekarang. Dia ingin Gigih kembali ke sekolahnya.
"Gih jalan, Chiko. Sekolah Chiko dekat."
"Mas jangan pernah main ke sini lagi!"
"Gih ingin lihat Chiko."
"Untuk apa?"
"Chiko belum sarapan. Chiko nggak bawa uang saku." Gigih menatapnya sedih. Chiko menelan ludah. Kebaikan Gigih terkadang membuat sisi egoisnya seakan luntur. Gigih benar-benar membuatnya galau.
"Aku nggak butuh itu, Mas. Sana balik ke sekolah! Ngapain Mas pake bolos segala?" Chiko mengusir. Gigih menggeleng tak terima. Dia tidak mau pulang. Chiko makin kehabisan akal, apalagi ketika Gigih menatapnya dengan mata berkaca-kaca.
"Gih ke Chiko."
"Ngapain? Mau apa?"
Gigih menelan ludah. Dia tidak tahu bagaimana harus bersikap dengan segala kelakuan Gigih. Gigih terlihat polos dan juga bodoh di mata orang lain, meski di mata Chiko... Gigih sama saja. Gigih hanya tidak memiliki IQ setara dengan orang normal lainnya. Selebihnya, Gigih seperti yang lain.
Chiko menggerutu. Gigih masih keras kepala. Ada hal yang paling Chiko benci dari Gigih selain rasa posesifnya. Sikap itu antara lain kemarahan Gigih, juga keras kepala Gigih. Selain itu, Gigih terlihat biasa saja di mata Chiko.
"Chiko belajar mau?" tanya Gigih sekali lagi. Chiko sudah ketahuan menggeleng.
"Ada rapat hari ini. Jadi pelajaran kosong. Guru nggak mau mulangin murid karena ntar pasti mereka keluyuran nggak jelas di jalan." Chiko mengembuskan napas putus asa.
Gigih mengerling dengan wajah penuh senyum.
"Chiko main?" tanyanya lagi. Chiko menggeleng.
"Nggak bisa main, Mas. Ada tugas di PMR juga aku."
Mungkin kali ini adalah momen paling tepat dan juga memalukan bagi Chiko. Perut Chiko tiba-tiba berbunyi. Ungkapan protes dari perutnya itu sampai di telinga Gigih hingga cowok itu mengerjap dengan wajah polos.
"Chiko lapar?" tanyanya.
Chiko menggeleng. "Mas salah denger."
"Perut Chiko bunyi," ucapnya lagi.
"Nggak, itu cuma suara angin. Aku kentut."
"Chiko bohong."
"Masa? Mas tahu dari mana? Sok tahu, ih!"
"Kalau Chiko bohong, mata Chiko lari-lari." Penjelasan Gigih membuat Chiko tersenyum geli. Mungkin Gigih peka dengan keadaan Chiko, namun tidak dengan suasana hatinya. Gigih begitu bebal dan juga egois ketika Chiko marah.
"Lalu Mas mau apa?" Chiko menantang.
"Makan, Chiko."
Chiko galau. Dia tidak suka diperlakukan seperti ini oleh Gigih. Sekarang ini dia ingin Gigih segera kembali ke sekolahnya. Chiko bisa minta izin sebentar pada guru BP untuk mengantar Gigih kembali ke sekolahnya.
"Mas balik aja!" Chiko bersuara. Gigih menggeleng cepat.
"Gih tunggu Chiko."
"Aku lagi nggak pengen ditungguin, Mas."
"Chiko makan belum. Sarapan nggak."
"Aku nggak bawa uang saku. Uangku habis buat fotocopy kemaren."
Gigih menatap Chiko sedih. Gigih memeluk Chiko spontan. Chiko menggerutu. Matanya menatap wajah Gigih dengan raut kesal dan tidak terima. Sekarang ini Chiko kelaparan. Dia bisa saja pinjam uang pada Heru, namun Heru pasti akan mengancamnya sekali lagi. Heru tidak pernah membantunya dengan ikhlas dan selalu meminta balasan.
"Chiko lapar?"
Chiko mengangguk.
"Chiko nggak punya uang?"
Lagi-lagi Chiko mengangguk.
"Chiko makan. Sakit nanti." Gigih mengeluarkan uang dari sakunya dan menyerahkan uang itu pada Chiko. "Chiko, ambil!"
Chiko melongo. "Ini apaan, Mas?"
"Uang saku Gih. Chiko ambil, beli makan!"
Ini bukan saatnya terharu, Chiko! Namun bagaimana lagi! Chiko merasa perbuatan Gigih kali ini sangat manis dan juga membuatnya terharu.
"Jadi Mas datang ke sini jauh-jauh sampai rela bolos cuma buat nganterin ini?" tanya Chiko cepat. Gigih mengangguk.
"Chiko lapar nanti. Sakit nanti. Gih nggak mau Chiko sakit. Makan, Chiko!"
"Nggak mau, ah!" Chiko menggeleng tegas. Gigih mengulurkan uang sakunya pada Chiko, namun Chiko enggan menerima uang itu. Chiko lebih kuat menahan lapar dibanding Gigih.
"Chiko makan. Uang saku Gih ambil!"
"Nggak perlu, Mas. Aku kuat."
"Chiko sakit nanti."
"Aku kuat, kok. Mas aja yang beli makan. Mas mending balik ke sekolah. Aku izin dulu ke guru BP bentar."
Gigih menggeleng kencang. Dia tidak mau Chiko kelaparan sekarang. Beberapa orang memperhatikan mereka, namun Chiko tidak peduli. Bagaimanapun caranya, Gigih harus kembali ke sekolah.
"Mas kabur dari sekolah, kan?" tebak Chiko yakin. Gigih menunduk karena ketahuan. "Guru nggak ada yang tahu Mas kabur?"
Gigih menggeleng.
"Mas balik aja ke sekolah! Apa perlu minta anterin?"
Gigih menggeleng lagi.
"Gih bisa sendiri, Chiko."
"Ya udah, sana balik ke sekolah! Sekarang belum saatnya pulang. Mas balik, lalu minta maaf ke guru."
Gigih menatap Chiko, namun Chiko sudah melotot marah. Chiko tidak mau Gigih melanggar peraturan hanya karena dirinya. Dengan berat hati akhirnya Chiko berbalik dan pergi meninggalkan Gigih seorang diri di sana.
#Gigih Tidak Kembali#
Awalnya Chiko tidak peduli. Gigih pasti kembali ke sekolah, itu pikirnya. Namun Chiko penasaran juga. Dia berdiri dan beranjak turun ke pos satpam lagi. matanya mengerjap, mengawasi Gigih yang sedang duduk manis di depan sana.
Gigih belum kembali!
"Mas kok masih ada di sini?" Chiko menunduk, memperhatikan jam tangannya. Kira-kira sudah sejam yang lalu mereka terakhir kali bertemu.
"Gih nunggu Chiko."
"Ngapain? Aku masih ada kegiatan sampe sore."
"Gih tunggu."
"Nggak perlu nunggu! Kalau Mas nggak mau balik ke sekolah, Mas pulang aja. Aku panggilin ojek bentar, ya!"
Gigih menggeleng kencang. Gigih itu super keras kepala, apalagi kalau bertemu dengan Chiko. Chiko menyerah. Gigih tidak mau pergi dari sekolahnya. Cowok itu malah duduk manis di dekat pos satpam. Beberapa orang memperhatikannya. Cewek-cewek terpesona dengan ketampanannya, namun mereka cukup sadar kalau Gigih tidak "normal". Jadi mereka hanya terkikik lalu berlalu.
"Mas pulang sana!"
"Nggak mau!"
"Mas mau nunggu di sini sampe aku balik? Aku balik masih lama."
"Gih tunggu Chiko."
"Pulang sana, Mas!" Itu kali terakhir Chiko mengusir, namun Gigih masih enggan.
TBC