“Pak, rumah sakitnya di sebelah kanan! Bapak mulai nyebrang saja dari sini. Di depan ramai.” Mira mengalihkan perhatian semua orang pada jalan raya, karena ia tidak ingin perkataan melantur Edgar ditanggapi lebih lanjut.
Apa kata Edgar?
Status teman itu akan berubah?
Berubah menjadi apa? Majikan dan babunya? Masuk akal!
Mira hanya bisa geleng-geleng kepala dan menatap Edgar dengan tatapan kesal penuh dendam. Edgar sendiri dapat melihat tatapan kesal Mira di belakang melalui spion depan. Edgar puas dengan mengulum senyum penuh kemenangan. Ia merasa lagi-lagi menang selangkah di depan Mira.
Sesampainya di rumah sakit, Cinta segera mendapatkan penanganan. Itu semua juga atas campur tangan Edgar Bos Maha Baik di mata Andika dan Erna. Setelah dirasa tugasnya dalam membantu sesama itu selesai, Edgar segera berpamitan. Namun Edgar membawa serta Mira. Pria itu menarik pergelangan tangan Mira.
Mira tidak sempat menolak. Apa yang bisa ia lakukan di rumah sakit? Berteriak-teriak? Yang ada justru Mira terkena masalah baru!
Sabar..
Gadis itu hanya bisa menghela napas pasrah. Sampai langkah kaki keduanya tiba di parkiran mobil rumah sakit. Sekuat tenaga Mira berusaha melepaskan tangannya dari kuasa tangan Edgar.
“Pak, saya ingin bicara,” ucap Mira setelahnya. Bukankah ini kebalik? Seharusnya Edgarlah yang mengatakan hal itu, karena di sini Edgar yang menarik tangan Mira hingga menciptakan ruang sepi yang hanya diisi oleh mereka berdua.
Tapi Edgar dengan lapang d**a mempersilahkan. “Ya, silahkan.” Ia bisa berbicara setelah Mira.
“Bapak yakin kita berbicara di parkiran mobil? Panas, Pak..” keluh Mira. Ia yang biasanya tidak pernah mengeluh, mulai menyadari perubahan yang tidak masuk akal dalam dirinya.
Ternyata dampak berdekatan dengan Edgar bisa membuat Mira yang tahan banting akan kerasnya kehidupan, menjadi sosok yang mengeluh hanya karena panas!
“Lalu di mana?”
Mira masih kesal dan memberi tanggapan dengan senyum mematikan. “Di neraka, Bapak bersedia?”
“Saya belum ingin mati, Mira.”
“Tapi saya mempunyai hasrat untuk mencekik leher Bapak yang senang sekali berbicara melantur!” Luapan emosi Mira barusan seperti nyanyian anak kecil yang sangat menghibur Edgar.
Bukannya kesal, Edgar malah menantang Mira. “Kapan saya berbicara melantur? Saya tidak merasa, tuh.” Diiringi dengan mengangkat bahu.
Benar-benar menyebalkan! Jadi jangan salahkan Mira bila naik pitam karena Edgar.
Mira berkacak pinggang. “Tadi di mobil! Untung saja Mas Andika dan Mbak Erna tidak berbicara lagi! Setelah saya mengalihkan perhatian mereka pada jalanan yang hampir sampai rumah sakit ini!”
“Saya tidak berbicara melantur, Mira. Saya bersungguh-sungguh memberi kamu tawaran menarik itu.” Edgar masih saja kukuh. Membuat Mira jengah karena lagi-lagi harus menolak tawaran gila itu. “Pak, saya–”
Edgar mengangkat telapak tangannya, menghentikan perkataan Mira yang sudah pasti kemana arahnya. “Pikirkan dulu, Mira. Kita akan sama-sama untung. Ekhm..kamu ingin berapa?”
“Apa?” Mira menatap Edgar dengan tatapan tidak percaya. Sekaligus kecewa.
Apa senjata yang dimaksud oleh Edgar adalah uang?
“Saya menyediakan sejumlah uang. Kamu tinggal sebut saja berapa nominalnya.”
Tidak seperti di film-film bahwa si wanita akan menampar keras si pria. Suara perut yang keroncongan justru menyela sebelum si wanita bertindak untuk meluapkan amarahnya.
‘Ya ampun..kenapa harus bunyi sekarang, sih!? Nanti-nanti aja ‘kan bisa! Bunyinya juga enggak bakalan berubah jadi bunyi ayam berkokok! Malu banget..’ Mira meringis, memegangi perutnya sendiri seraya memaki suara perut keroncongannya dalam hati.
Ini momen memalukan. Harusnya Mira tadi bisa melampiaskan kemarahannya dengan menampar pipi Edgar atau menendang kemaluan Edgar, karena menganggapnya akan luluh dengan uang.
Tapi kenyataan tidak sesuai dengan harapan Mira. Situasi pun juga enggan berpihak padanya.
Sementara itu, Edgar terus saja memandanginya. Seolah mengejek. Membuat Mira tidak berani mengangkat kepalanya. Kepercayaan diri Mira yang sebelumnya telah habis terserap oleh suara keroncongan perutnya yang tidak tahu diri.
“Ayo kita ke kantin rumah sakit. Di sana makanan tidak kalah enak dengan yang di restoran.”
Mira menggeleng. Tapi tak kunjung mengeluarkan suara.
“Kenapa? Kamu ingin makan di tempat lain? Baiklah, ayo!” Edgar sih, semangat-semangat saja. Ia malah terlihat puas sekali.
Mira sendiri sudah kehilangan muka. Ingin kabur saja dari Edgar!
“Saya ingin pulang saja..” cicit Mira. Lantas bermaksud kabur dengan melangkah cepat meninggalkan Edgar. Toh, banyak angkutan umum di depan sana.
Namun secepat itu juga tangan Edgar berhasil mencekal tangan Mira. Menyeret kembali Mira, hingga berhenti di samping pintu mobil penumpang bagian depan. Edgar memberi isyarat melalui gerakan kepalanya. Pelan. Tapi sarat akan perintah. Mira tidak bisa berkutik. Apalagi Edgar menatapnya dengan tatapan tajam.
Aksi Mira melarikan diri pun gagal.
Sepanjang perjalanan, Mira lebih memilih menatap jendela di sampingnya. Ia tidak menganggap Edgar sama sekali. Padahal Edgar pemilik mobil ini dan telah berbaik hati mengantarnya pulang.
Edgar sendiri tampak santai. Bahkan ia mengingat momen sebelumnya. Di mana wajah Mira memerah malu karena perutnya berbunyi nyaring pertanda minta diisi. Kasihan gadis ini. Pasti tidak sempat makan siang karena mengkhawatirkan Cinta.
Edgar bermaksud membelokkan mobil ke sebuah restoran. Namun sebelum hal itu terjadi, Mira sudah lebih dulu menoleh padanya dengan memberikan tatapan tajam. “Pulang.” Satu kata yang meluncur dari bibir Mira dengan penuh penekanan. Ia juga bisa menjadi sosok yang tidak bisa dibantah. Tidak hanya Edgar saja.
Alhasil, Edgar menghela napas dan menuruti permintaan Mira Si Keras Kepala ini.
Sesampainya di depan rumah. Mira mengucapkan ‘terima kasih’ secara singkat pada Edgar. Lalu, buru-buru turun dari mobil dan memasuki rumahnya. Bahkan Rosiana yang sedang menemani Aza belajar di ruang tamu hanya disapa singkat oleh Mira. Ia tadi masih sempat mencium tangan ibunya. Tapi setelahnya langsung melangkah ke belakang. Entah ke kamar mandi atau dapur, Rosiana mengabaikannya begitu saja.
Namun, saat Rosiana memandang jendela yang mengarah ke teras rumahnya. Rosiana dibuat terkejut dengan berdirinya sosok Edgar yang tadi mengaku sebagai Teman Dekat Mira. Pria itu berdiri di samping mobilnya. Sepertinya tengah kebingungan, harus mampir atau tancap gas pulang.
Sebagai pemilik rumah, Rosiana memutuskan untuk menghampiri Edgar. Rosiana menganggap Edgar tamunya. Walau Mira sepertinya tidak menganggap Edgar begitu.
Diikuti dengan Aza yang langsung dapat mengenali sosok Edgar. “Lohh! Pak Edgar!?”
“Hai, Aza? Kita berjumpa kembali,” sapa Edgar yang dibuatnya seramah mungkin. Padahal Edgar bukanlah sosok yang ramah. Khusus diperuntukkan anak kecil saja keramahannya ini.
“Iya! Bapak ke sini cari Mbak Mira, ya?” tanya Aza antusias. Sepertinya gadis itu senang sekali dengan kehadiran Edgar di sini.
Ditanya demikian, Edgar justru kebingungan harus menjawab apa. Ia menggaruk rambutnya yang tak gatal. “Mmm…” Ragu-ragu mengangguk.
Melihat interaksi akrab antara Edgar dan Aza, Rosiana menyipitkan kedua matanya. Wanita paruh baya itu merasa banyak ketinggalan cerita. Ia bertekad akan mengorek kisah selengkapnya dari Aza. Karena Mira sepertinya tidak akan seterbuka Aza.
Baiklah, untuk saat ini Rosiana akan mengurus tamunya lebih dulu. Dengan memasang senyum tak enak hatinya, Rosiana mempersilahkan Edgar. “Mari masuk, Nak Edgar. Maafkan sikap tidak sopan Mira, ya. Mungkin dia buru-buru hendak ke kamar mandi. Jadi langsung nyelonong begitu saja tanpa menawari kamu untuk mampir.”
“Ah, i—iya, Bu.” Edgar mengangguk.
Kali ini Edgar benar-benar masuk untuk mampir. Ternyata, lain kesempatan datang lebih cepat dari apa yang Rosiana perkirakan.
Tidak masalah baginya. Toh, sepertinya Edgar sosok pria yang baik. Walau tidak seramah Dhafi.
Astaga, apa yang Rosiana pikirkan? Bisa-bisanya Rosiana membandingkan Edgar dengan Mantan Kekasih Mira yang telah menikah. Tidak seharusnya Rosiana membandingkan keduanya. Lagipula status Edgar belum jelas.
Teman dekat ‘kan bisa jadi memang pure teman. Tidak ada rasa cinta atau kekaguman.
Edgar dipersilahkan duduk di kursi ruang tamu minimalis rumah Mira. Yang di atas meja ruang tamu itu, berserakan buku-buku Aza.
Rosiana memberi isyarat pada Aza supaya membereskan buku-bukunya. Namun sayangnya, Aza tidak mengerti dengan kode Rosiana. Sehingga membuat Rosiana menghela napas dan hendak membereskan buku-buku Aza dengan kedua tangannya sendiri.
“Tidak perlu dibereskan, Bu Rosiana. Aza sepertinya belum selesai belajar,” cegah Edgar menghentikan pergerakan Rosiana.
Rosiana lagi-lagi hanya bisa memasang senyum tak enak hatinya. Mau bagaimana pun, ini pertama kalinya Edgar mampir. Tapi justru disuguhi buku-buku Aza yang berserakan. Astaga..apa kata Edgar dalam hatinya? Semoga pria itu tidak kapok mampir ke kediaman Mira yang katanya teman dekatnya itu.
Ditambah dengan reaksi Aza yang polos. “Iya, Bu. Aza belum selesai belajarnya. Malah masih banyak PR Bahasa Inggris Aza!”
“Sini..Om ajarin, Za.”
“OM!?”
Rosiana dan Mira yang baru saja kembali dari belakang sama-sama terkejut dengan cara Edgar menyebut dirinya kala berinteraksi dengan Aza.
OM-OM JIN!?
Dhafi yang berpacaran dua tahun dengan Mira saja..tidak pernah menyebut dirinya ‘Om’. Tapi Edgar yang baru dua kali ini bertemu dengan Aza, berani-beraninya..
‘Lagipula kalaupun kami menikah. Pak Edgar seharusnya menyebut dirinya ‘Mas’ atau ‘Kakak’. Bukan Om!’
Eh, apa yang dipikirkan oleh Mira!?
Mira menggetok kepalanya sendiri yang berpikiran sejauh itu. Ia saja selalu menolak tawaran gila Edgar.
Ekspresi Rosiana tampak bahagia. Berbanding terbalik dengan ekspresi Mira yang memberi Edgar pelototan galak. Pria itu bila dibiarkan tingkahnya akan semakin menjadi-jadi.
“Maksud Bapak apa, ya? Menyebut diri Bapak ‘Om’ seperti barusan?” tanya Mira dengan nada biasa saja. Tapi sukses menyalurkan rasa tidak terimanya.
Edgar memberi jawaban sebijak mungkin. Apalagi Rosiana turut mengamati perbincangannya dengan Mira di sini. “Saya masih terlalu muda untuk dipanggil ‘Bapak’, Mira. Lagipula, saya bukan Bapak Aza atau Bapak kamu. Jadi..”
“Oke! Kalau begitu saya juga akan memanggil ‘Om’ mulai dari sekarang,” potong Mira. Edgar sendiri hanya bisa geleng-geleng kepala.
Rosiana mencubit pinggang Mira supaya diam. “Maafkan Mira ya, Nak Edgar. Mira ini ngawur memang bicaranya.” Edgar tersenyum senang. Ternyata Ibu Mira berada di pihaknya sebagai pembela. Baguslah kalau begitu.
Bahkan beliau juga sampai menasihati Mira di hadapannya. “Mir, kamu harusnya manggil ‘Mas’. Memang benar, kok, kata Nak Edgar. Nak Edgar masih terlalu muda untuk dipanggil ‘Bapak’. Kalau Ibu dipanggil ‘Nenek’ juga masih terlalu muda, Mir. Ibu enggak terima. Kecuali..”
“Kecuali apa, Bu?” Mira menatap sang ibu dengan tatapan curiga.
“Y–yaa..kecuali kalau kamu memang sudah menikah dan mempunyai anak. Anakmu wajib manggil Ibu ‘Nenek atau Eyang Putri’. Benar begitu ‘kan, Nak Edgar?”
Hmm, terbukti sudah kecurigaan Mira! Ibunya mulai ketularan ucapan melantur Edgar. Memang pria itu pembawa virus melantur.
Diangguki pula oleh Edgar. “Bu Rosiana benar sekali! Saya sependapat dengan Ibu. Jadi, kapan Mira akan menikah dan mempunyai anak?”
Mira yang biasanya tidak pernah sensitif bila ditanya seperti itu, kini rasa-rasanya ingin menabok mulut besar Edgar dengan buku paket Aza. Biar tahu rasa betapa sakitnya. Tapi tentu saja hal itu tidak terealisasikan.
Ibunya justru semakin menjadi. Membeberkan masalah asmaranya pada orang baru seperti Edgar. “Nah, itu dia Nak Edgar! Mira ini baru saja ditinggal menikah–awwwhh..sshh..Mir!? Kok kaki Ibu diinjak, sih!?” Terpaksa Mira menjadi anak durhaka sesaat karena dengan sengaja menginjak kaki Rosiana. Supaya ibunya itu diam. Memalukan sekali rasanya karena Edgar berhasil mengantongi permasalahan asmaranya tanpa harus mengorek darinya. Luar biasa Mira kesalnya.
Rosiana diam. Ia melihat ekspresi Mira semakin memerah menahan amarah. Wanita paruh baya itu menyadari bahwa dirinya sudah melewati batas. Tidak seharusnya membeberkan apa yang dialami Mira pada orang lain. Ia merasa bersalah.
“Pak Edgar tidak perlu repot-repor mengajari Aza mengerjakan PR Bahasa Inggrisnya. Biarlah itu menjadi tugas saya. Sekarang, Bapak boleh pulang.” Mira mengusir Edgar secara halus. Padahal di bawah sana kedua tangannya terkepal kuat. Menahan sebisa mungkin supaya emosinya tidak meledak-ledak. Mira juga telah memaafkan sang ibu yang saat ini menunjukkan raut wajah bersalahnya.
Tapi, ibunya masih kukuh menahan Edgar. “Mir, jangan seperti itu. Enggak sopan. Anggap saja Nak Edgar ini tamunya Ibu.” Kemudian sebelum ke belakang untuk membuatkan minum. Ibunya berkata pada Edgar yang sejak tadi hanya terdiam, “Duduk manis saja, Nak. Sebentar ya, Ibu buatkan teh hangat.”
“Terima kasih, Bu Rosiana. Maaf bila kehadiran saya di sini merepotkan Ibu.”
“Ohh enggak-enggak. Enggak ngerepotin sama sekali kok, Nak. Ibu malah senang kalau Aza mau belajar bersama Nak Edgar.” Mira hanya bisa menghela napas pasrah ketika ibunya sepercaya itu pada Edgar. Padahal Edgar orang baru.
Aza yang sangat polos semangat empat-lima menyahuti perkataan ibu. “Aza mau, kok, Bu! Bosan belajar terus sama Mbak Mira!” Bosan katanya. Anak ini.. “Enggak apa-apa ‘kan Mbak, kalau Aza belajarnya sama Om Edgar?”
‘PAPA, ZA! KAMU KENAPA SIH, MAU-MAU AJA!?’ kesal Mira yang hanya mampu tersuarakan melalui batinnya.
Akhirnya, Aza menyelesaikan PR Bahasa Inggris dengan bantuan belajar dari Bapak Guru Dadakan Edgar. Hal itu membuat Mira diam tidak berkutik. Ia duduk manis di depan dua orang yang sangat akrab. Mereka persis kakak-beradik. Edgar sukses menyingkirkan posisi Mira yang sebenarnya di rumah ini.
Aza mengucapkan ‘terima kasih’ dan terus memuji-muji kemampuan Edgar. Padahal, pelajaran Bahasa Inggris kelas satu ‘kan memang sangat mudah. Orang dewasa yang pernah belajar Bahasa Inggris semasa sekolahnya..pasti tahu. Kosa katanya ringan-ringan dan mudah dimengerti. Sesuai kelasnya.
Gadis kecil itu membereskan buku-bukunya dan ngacir ke belakang. Meninggalkan Mira dan Edgar berduaan di ruang tamu dengan pintu rumah yang sejak tadi memang terbuka.
Hari telah sore, Mira berniat mengusir halus Edgar. Namun menunggu pria itu selesai menyemil pisang goreng dan menyeruput teh hangat buatan ibunya. Ibunya memang sebaik itu sampai repot-repot membuatkan Edgar pisang goreng. Padahal biasanya Mira sampai merengek pun, ibunya beralasan malas. Toh, Mira sendiri sebenarnya bisa membuat pisang goreng. Tapi Mira merasa pisang goreng buatan ibunya tiada duanya, rasanya berbeda dengan buatannya. Tangan ibu memang ajaib.
“Sudah, Pak?” Edgar mengangguk, tak mengeluarkan sepatah kata pun. “Terima kasih sudah repot-repot menjadi guru dadakan Aza sampai menjelang sore begini. Dedikasi Bapak memang luar biasa. Mengapa tidak memutuskan menjadi guru saja? Cocok sekali kok, Pak.”
Dengan santai, Edgar memberi jawaban di luar perkiraan Mira. Padahal niat Mira tadi mengejek Edgar. “Ya, saya memang akan menjadi guru bagi anak-anak saya di masa depan.” Mira memutar kedua bola matanya, malas. Apa iya? Kok rasa-rasanya perkataan Edgar barusan sulit Mira percaya. Ekspresi pria itu kemudian berubah. Seperti muncul sebuah ingatan yang menyadarkannya. “Ahh..itu ‘kan tugas mamanya anak-anak. Apa kamu sudah berubah pikiran, Mira? Barangkali kamu bersedia menjadi madrasah pertama anak-anak kita nantinya?”
Mira menepuk dahinya sendiri sampai menimbulkan suara yang cukup keras. Panasnya dahi Mira oleh tepukan itu..tidak sebanding dengan panasnya d**a Mira. Megap-megap ia menghadapi Edgar. “Astaga! Ditinggal kabur calon istri bukan berarti otak Bapak ikut dibawa kabur ‘kan!? Kok Bapak semakin ke sini-semakin ke sana ya, Pak.” Mira geleng-geleng kepala saking herannya.
Edgar mengedikkan bahunya. “Terserah.” Ekspresi Edgar yang sebelumnya tampak jahil, berubah total seperti sediakala. Dingin. Serius. Dengan tatapan mata setajam elang. Serta, segelap malam tanpa bintang dan bulan. “Saya tidak peduli bagaimana anggapanmu tentang saya. Yang saya butuhkan adalah kesediaanmu menggantikan istri saya yang kabur. Sekarang coba beritahu saya berapa nominal yang kamu inginkan? Saya tidak punya banyak waktu lagi, Mira.”
Mira menahan diri supaya tidak berteriak dan memicu keributan. Mengingat ibu dan Aza ada di belakang entah sedang melakukan apa. “Saya tidak mau. Sudah berapa kali saya bilang? Lagipula, kenapa harus saya? Sedangkan di luaran sana masih banyak wanita yang pasti tidak akan menolak kalau diiming-imingi sejumlah uang sebagai imbalan, Pak Edgar.”
“Lalu? Kenapa kamu menolak, Mira? Apa kamu bukan wanita?”
***