Berubah Status?

2150 Kata
Edgar tidak mengerti mengapa hatinya seolah terdorong untuk mengantar salah seorang karyawannya ini pulang. Padahal, ia tidak sepeduli itu pada orang lain. Termasuk karyawannya sendiri. Terlebih saat ini ia tengah dilanda masalah besar. Kabar dari mata-matanya mengenai kaburnya Zola dan Levon ke Amerika, membuat Edgar menyerah untuk menyeret Zola pada klarifikasi batalnya pernikahan mereka. Kini, tersisa dirinya dan harga diri yang telah dihancurkan oleh wanita sialan itu. Memang benar, kedua orang tuanya bersedia mengambil alih klarifikasi. Tapi, apakah Edgar sepengecut itu sampai menyerahkan tugas klarifikasi pada kedua orang tuanya? Ia tentu tetap akan muncul di hadapan semua orang. Dengan membawa kabar duka. Sepanjang perjalanan menuju alamat rumah yang telah diberikan oleh karyawannya–Andika– Edgar hanya terdiam. Ia sibuk dengan persiapan klarifikasinya nanti. Namun keterdiaman Edgar itu diartikan lain oleh Andika. Sejak Edgar tadi memutuskan untuk mengantarnya pulang, Andika merasa segan. Ia tidak menyangka bahwa bosnya akan serepot-repot ini untuk mengantarnya pulang. Demi mencairkan suasana hening ini, Andika mencoba mengajak bosnya berbincang kecil. “Cinta. Nama anak saya, Pak. Saya berharap, semua orang akan mencintainya. Cinta baru berusia tiga bulan. Maka dari itu ketika Cinta tiba-tiba demam tinggi, istri saya sangat panik. Kami tahu, kami harus segera membawa Cinta ke dokter. Maka dari itu istri saya meminta saya untuk pulang sekarang juga. Karena kami sudah tinggal terpisah dari orang tua. Di rumah kami yang sederhana itu hanya ada saya, istri saya, dan bayi kami–Cinta.” Edgar diam saja. Namun ia menyimak dengan baik setiap kalimat yang terucap dari bibir karyawannya yang tadi sempat mengenalkan diri sebagai Andika. “Saya ingin mengucapkan banyak terima kasih pada Bapak. Dan, maaf bila saya merepotkan Bapak. Saya tahu Bapak pasti mempunyai kesibukan lain. Saya juga tidak menyangka Bapak bersedia repot-repot mengantar saya pulang seperti ini. Sekali lagi terima kasih banyak, Pak Edgar. Bapak baik sekali. Semoga Tuhan membalas kebaikan Bapak pada saya hari ini. Sungguh..saya tidak akan pernah melupakan kebaikan Bapak pada saya.” “Aamiin. Saya hanya mengikuti kata hati saya, Pak Andika.” “Sepertinya karena Cinta,” gumam Andika dengan senyum tulusnya, sembari mengingat wajah cantik Cinta. Baru ditinggal kerja setengah hari. Andika sudah sangat merindukan putrinya itu. Tapi, hal yang tak disangka-sangka oleh Andika kembali terjadi. Saat Edgar mengangguk dengan mata yang fokus menatap rumah tetangganya. Rumah Bu Rosiana. Andika melihat, di depan rumah Bu Rosiana tadi ada Mira. Tumben gadis itu sudah pulang dari berjualan yogurt keliling. Kemudian mobil yang dikendarai oleh Edgar berhenti tepat di depan rumah Andika. Keduanya turun, bahkan terlihat Edgar yang lebih dulu turun. Tampak tergesa-gesa. Sehingga membuat Andika penasaran. Pasalnya di sepanjang perjalanan tadi, Edgar tampak santai dalam diamnya. Kini, mengapa bosnya itu sangat bersemangat? Ada apa dengannya? “Ini rumah saya, Pak. Mari masuk.” Andika mempersilahkan bosnya untuk mampir. Walau tidak yakin bosnya bersedia mampir. Ia hanya bersikap sebaik mungkin. Seperti sang bos yang begitu baik padanya. Namun, ucapan Andika tak dihiraukan oleh Edgar. Dengan pandangan yang sejak tadi tercuri pada rumah kecil di samping rumah Andika. Edgar kemudian berkata, “Sebentar, saya ada urusan.” Pria itu melangkah yakin menuju rumah tetangga Andika. Memastikan bahwa sosok yang ia lihat di teras rumah tadi benar-benar Mira. Jika yang tadi dilihatnya tak nyata alias hanya pikirannya saja, Edgar pastikan ia sudah gila! Karena terlalu memikirkan Mira yang bukan siapa-siapanya. “Permisi..” Seorang wanita paruh baya seumuran mamanya keluar dengan membawa wadah berisi sayuran dan pisau di tangan satunya. Sepertinya beliau sedang sibuk memotong sayuran di dalam tadi. “Ya, dengan siapa ya? Mencari siapa, Nak?” Edgar tersenyum tipis. Untung saja ibu ini menyadari bila ia masih muda. Sehingga memanggilnya ‘Nak’ daripada ‘Bapak’. Belum sempat Edgar menjawab. Seseorang yang menjadi alasan kakinya melangkah kemari, muncul. “Bu, Mira pamit ke rumah Mbak Erna ya? Kasihan Mbak Erna. Pasti bingung banget. Katanya, Mas Andika susah dapat izin pulang dari kantor.” Begitu pamitnya pada sang ibu. Mengabaikan kehadiran Edgar atau memang belum menyadari kehadiran Edgar. Edgar berdeham. Membuat Mira menoleh ke sumber suara dan melotot tidak percaya. “PAK EDGAR!? B–bapak ngapain di sini? Ada kepentingan apa, Pak?” “Syukurlah kamu masih mengenali saya, Mira.” Lagi-lagi senyum tipis Edgar tercetak. Ia berusah seramah mungkin karena ada sepasang mata lain yang mengamati interaksi mereka. Mira memutar kedua bola matanya dan menanggapi dengan malas. “Ingatan saya kuat, Pak. Apalagi terhadap orang-orang nyeleneh.” Sindiran Mira langsung membuat rahang Edgar mengeras. Tentu saja pria itu tidak terima disebut ‘orang nyeleneh’! Sekata-kata Mira ini. Rosiana yang menyadari ketidaksopanan Mira pada Edgar yang merupakan tamu. Lantas memberi Mira hadiah berupa cubitan di lengannya. “Husss! Jangan ngomong begitu, Mir. Enggak sopan,” bisik Rosiana menegur putrinya. “Keceplosan, Bu.” Mira beralasan yang paling masuk akal dan umum. Sambil mengaduh pelan, mengusap bekas cubitan maut ibunya pada lengannya. Gadis itu juga menyesali perkataannya. “M–maaf ya, Pak..” Tapi sepertinya Edgar terlanjur kesal dalam diamnya. Mira hanya bisa menelan salivanya sendiri. Memandang wajah Edgar yang tampak sedang menampilkan aura menyeramkan. Salah Mira juga, sih. Sekata-kata! “Hm.” Nah ‘kan. Edgar marah. “Ini Ibu kamu, Mira?” Pertanyaan Edgar barusan, membuat Mira sedikit lega. Ternyata marahnya Edgar tidak bertahan lama. Mungkin karena di sini ada ibunya. Jadi pria itu menjaga imagenya. Ah, Mira menyadari bahwa pikirannya terlalu jauh. Untuk apa juga Edgar menjaga image di depan ibunya? Edgar ‘kan bukan siapa-siapanya. Mira mengangguk, membenarkan. “Iya, Pak. Ini Ibu saya.” Secepat itu pula ekspresi Edgar berubah ramah. Walau sedikit kaku. Dia memperkenalkan dirinya pada Rosiana seraya mengulurkan tangannya. “Perkenalkan, Bu. Saya Edgar. Teman Dekat Mira.” Rosiana segera meletakkan wadah berisi sayuran dan pisau di kursi kayu teras. Tangannya menyambut uluran tangan Edgar dengan rikuh. “Maaf, Nak, tangan Ibu kotor.” Tidak menghiraukan tangan Ibu Mira yang katanya kotor, Edgar mencium tangan beliau. Selayaknya Edgar mencium tangan mamanya. “Saya Rosiana, Ibunya Mira.” Begitu Rosiana memperkenalkan diri. Dilanjut dengan bergumam heran, “Teman dekat?” Tatapan Rosiana lantas beralih pada Mira. Meminta penjelasan Mira. “Sejak kapan, Mir? Kok kamu enggak pernah cerita ke Ibu kalau punya teman dekat pria selain Dhafi?” Dhafi? Edgar mengerutkan keningnya. Pria itu tahu betul bahwa Dhafi merupakan nama pria. Edgar bertanya-tanya, apakah Dhafi kekasih Mira? Sepertinya IYA. Melihat perubahan wajah Mira yang memerah. Hatinya sedang berseri-seri karena ibunya menyebut nama kekasihnya, begitu? Cih.. Edgar menahan mulas melihat ekspresi malu-malu Mira. Kemana hilangnya Mira yang menyebalkan, mengatainya ‘orang nyeleneh’ tadi? Mira gugup, belum siap bila harus menceritakan awal mula pertemuannya dengan Edgar. Lagipula tidak ada hal yang berkesan di pertemuan pertama itu. Selain Mira salah mengira Edgar hendak bunuh diri dan tawaran gila Edgar yang bisa saja membuat ibunya pingsan. Maka dari itu Mira putuskan untuk melarikan diri saja. “Mmm..i–itu..itu ceritanya panjang, Bu! Ya sudah Bu, Mira ‘kan harus ke rumah Mbak Erna. Cinta harus segera dibawa ke rumah sakit. Mira pamit ya, Bu.” Mira mencium tangan ibunya dan berlalu tergesa-gesa begitu saja. Tidak mengindahkan Edgar. “Saya juga pamit, Bu. Mungkin di lain kesempatan saja, saya mampir,” pamit Edgar dengan senyum tulus dan menunjukkan kesungguhannya yang akan mampir di lain kesempatan. Pasti itu! “Iya, Nak Edgar. Ibu tunggu, ya..” Edgar hanya mengangguk sekilas. Kemudian, berjalan cepat menyusul Mira yang melarikan diri. “Lohh, Bapak ngapain ngikutin saya!?” tegur Mira saat Edgar mensejajari langkahnya. Edgar dengan santai menjawab, “Siapa yang mengikuti kamu? Saya hendak ke rumah Pak Andika, kok. Anaknya sakit. Tadi saya-lah yang mengantar Pak Andika pulang.” Mira mengangguk-angguk mengerti. “Ohh..Bapak teman kerjanya Mas Andika. Dunia memang sempit ya, Pak.” Lebih tepatnya sok mengerti! Karena gadis itu tidak mengetahui status Edgar yang sebenarnya adalah Bos Andika. Edgar sendiri pun tidak berniat menjelaskan status aslinya. “Ekhm..iya.” Suka-suka Mira dan anggapannyalah. Ngomong-ngomong perihal dunia sempit, Edgar meneruskan ucapan Mira sebelumnya, “Dunia memang sempit. Kita bertemu lagi dan ini pertemuan ketiga kita, Mira.” “Semoga tidak ada pertemuan keempat, kelima, dan seterusnya ya, Pak.” Mira menunjukkan senyum terpaksanya. Sedangkan Edgar menunjukkan raut wajah datarnya dan melempar tanya singkat, “Kenapa?” “Karena Bapak pasti masih ngeyel menawari saya tawaran gila itu!” “Jelass! Itu masih berlaku, Mira. Tapi sampai minggu depan saja. Semoga sebelum itu kamu sudah berubah pikiran.” Edgar tidak mengerti mengapa dirinya bisa sekukuh ini menawari Mira tawaran untuk menggantikan posisi Zola. Mungkin karena Edgar tidak ingin benar-benar kehilangan harga dirinya. Ditinggal kabur oleh calon istri? Dikhianati sahabat sendiri? Edgar terlalu sempurna untuk diperlakukan sebejat itu! Mira yang muak merasa harus menegaskan sesuatu. “Pak Edgar Yang Terhormat. Asal Bapak tahu, sulit untuk mengubah pikiran saya. Jadi saya sarankan, Bapak segera mengubur dalam-dalam harapan Bapak.” Tidak kehabisan kata guna membalas ucapan Mira barusan. Edgar dengan tegas juga mengungkapkan, “Mbak Mira Yang Terhormat. Asal Mbak tahu, sulit untuk membuat saya mundur. Apalagi saat ini saya sudah mempunyai senjata dan saya sudah mengetahui tempat tinggal Mbak. Jadi saya sarankan, Mbak segera mempertimbangkan tawaran menarik saya. Ini akan sangat menguntungkan kita berdua. Garis bawahi, KITA BERDUA. Bukan hanya saya.” Edgar menganggap, wanita yang bisa ditawari tawaran menarik itu hanya Mira. Atau, Edgar hanya penasaran karena Mira terus menolak tawarannya? Entahlah.. Keduanya masih betah saling melempar tatapan tajam terbaik masing-masing. Tidak ada yang mau mengalah. Sampai langkah kaki terburu-buru, terdengar. Edgar pun mengakhiri perdebatan ini. “Untuk lebih jelasnya, kita bahas setelah mengantar Cinta ke rumah sakit.” Andika dan Erna sempat terkejut dengan kehadiran Mira dan Edgar. Mereka langsung bisa menyimpulkan bahwa keduanya saling mengenal. Edgar sendiri langsung menyuarakan niat baiknya. “Pak Andika? Naik mobil saya saja. Mari saya antar ke rumah sakit.” Untung saja Andika tidak mengulur waktu dengan menolak niat baik Edgar. “Alhamdulillah, Bapak masih di sini. Sekali lagi, terima kasih ya, Pak.” Mengingat Cinta harus segera dibawa ke rumah sakit. Dengan merangkul istrinya. Andika bergegas melangkah berdampingan dengan sang istri menuju mobil mewah bosnya yang super baik hati itu. “Ayo, Sayang. Kita naik ke mobil Bos Mas saja. Daripada mencari kendaraan umum, belum tentu dapatnya segera. Kasihan Cinta kalau masih harus menunggu lagi.” Dibalas anggukan lega oleh Erna. Bos Mas!? Mira yang mendengarnya sontak melotot dengan bibir yang terbuka. Ia terkejut! Pendengaran Mira cukup tajam walau Andika mengatakannya dengan lembut. Dengan bibir yang bergetar Mira susah payah berbicara. “J–jadi..” Walau hanya mampu menggantungkan ucapannya. “Bos juga merupakan teman kerja ‘kan, Mira? Jangan tuduh saya telah membohongi kamu, ya.” Edgar menepuk-nepuk d**a kiri dan kanannya secara bergantian, seolah ada debu yang hinggap di jas mahalnya. Lalu masuk ke dalam mobil, duduk manis di kursi kemudi dengan senyum puas. Tanpa Edgar repot-repot menjelaskan statusnya, karyawannya sendirilah yang mengambil alih tugas itu. Baguslah. Jadi ia tidak perlu buang-buang tenaga. Sementara Mira sendiri membatin kesal dengan kedua tangan terkepal di bawah sana. ‘Pria ini pintar dan licik, Mira. Memohon saja pada Tuhan semoga ini pertemuan terakhirmu dengan dia!’ Tadinya Mira hendak pulang karena merasa kehadiran Edgar sudah sangat membantu Andika dan Erna. Namun, Erna menarik lembut tangannya untuk ikut masuk dan bersama-sama mengantar Cinta ke rumah sakit. Erna menghargai Mira yang rela pulang lebih cepat karena bersedia membantunya yang tadi dilanda panik. Apalagi tadi suaminya tidak mendapat izin pulang. Entah apa yang terjadi sampai suaminya bisa pulang? Diantar bosnya pula. Sungguh keajaiban.. Edgar menyetir mobil dengan cepat. Tapi tidak ugal-ugalan. Ia telah ahli. Di sampingnya ada Andika. Sementara para wanita duduk di kursi penumpang belakang. Daripada suasana hening dan canggung. Andika pun membuka suara membahas apa yang dilihatnya di depan rumah tadi. “Pantas saja Pak Edgar langsung pergi ke rumah Bu Rosiana. Ternyata Pak Edgar mengenal Mira?” “Iya, Pak Andika." “Enggak, Mas Andika.” Jawaban Edgar dan Mira berbanding terbalik. Hal itu membuat Andika menoleh pada istrinya. Seolah berbicara melalui mata. Apa yang sebenarnya terjadi diantara bos dan tetangganya? “Ini..maksudnya bagaimana, ya? Yang mana yang benar? Saya kok jadi bingung.” Andika menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Ia penasaran sekali dengan hubungan bosnya dan Mira. Mira menghela napas. Edgar diam saja, itu artinya Edgar mempersilahkannya untuk berbicara bukan? “Pak Edgar dan saya hanya pernah bertemu. Lebih tepatnya, kebetulan bertemu, Mas, Mbak,” jelas singkat Mira. Berharap pasutri yang merupakan tetangganya itu tidak menggali lebih dalam penjelasan singkatnya barusan. Secepat itu pula harapan Mira dihempaskan melalui pertanyaan Erna lebih lanjut. “Di mana, Mir? Pas kamu jualan yogurt keliling?” Dari binar mata ibu muda itu, menunjukkan keantusiasannya pada kisah Mira dan Edgar. Mira menjawab sekenanya, “Iya, Mbak Erna.” Berbeda lagi dengan tanggapan Andika. “Ohh..Mas kira kamu dan Pak Edgar sudah lama berteman, Mir.” Kali ini saat Mira hendak membuka suara, Edgar lebih dulu menyahut, “Baru berteman, Pak Andika. Tapi sepertinya status teman itu akan segera berubah.” “Berubah?” ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN