2. Dewa Penolong

1618 Kata
Tubuh Fathia yang telah diangkat dibawa menjauh dari pagar pembatas gedung, lalu dilepaskan begitu saja dengan berdiri kebingungan tengah atap gedung yang luas itu. Sementara kedua tangannya berusaha mencari-cari sosok yang telah menjauhkan dirinya dari pagar pembatas itu. “Siapa kamu? Dokter Dewa! Apakah Anda yang telah menolongku?” tanya Fathia mencoba menebak-nebak pria yang baru saja mengangkat dirinya dari agar pembatas. Sementara indra penciumannya tidak bisa mengendus aroma parfum dokter yang sangat khas dan sangat maskulin seperti biasanya. Sementara dokter Dewa hanya menatapnya dengan raut wajah marah bercampur kesal pada Fathia. Untuk sesaat pria itu merasa syok dan tidak bisa berkata-kata. Andai dia terlambat sedikit saja datang kemari, nyawa Fathia sepertinya akan sulit untuk diselamatkan. “Apa yang baru saja kamu akan lakukan itu Fathia? Orang tua dan calon suamimu sejak tadi mencarimu ke mana-mana. Apakah kamu pernah memikirkan perasaan mereka andai kamu tadi benar-benar menjatuhkan diri dari atap gedung ini?” tanyanya setelah bisa mengontrol emosi. Dia juga merasa kasihan lihat Fthia yang menatapnya kebingungan. “Aku sudah tidak peduli dengan orang-orang yang Anda sebut itu. Biarkan saja mereka mencariku. Mereka hanya pura-pura peduli padaku. Padahal yang sebenarnya sama sekali tidak peduli padaku. Mengapa dokter selamatkan aku? Seharusnya dokter biarkan aku terjun dari gedung itu. Biarkan aku mati saja, Dok!” tegas Fathia berteriak cukup keras dan penuh emosi. Lalu dia mencoba melangkah dengan sedikit merentangkan tangannya. Fathia tidak tahu persis di mana posisi dirinya sekarang. Namun langkahnya ternyata justru kembali ke tepian gedung lagi. “Stop, Fathia!” seru Dokter Dewa segera bergegas menangkapnya. Tanpa merasa perlu banyak bicara lagi, dia gendong tubuh Fathia dengan memanggul di atas pundak seperti karung saja. Pria tampan berbadan tegap berkulit putih dan tinggi itu melangkah dengan muka terlihat merah padam karena marah. “Dokter turunkan! Aku mau mengambil tongkatku,” pinta Fathia meronta-ronta di atas pundak dokter Dewa. “Tidak akan! Karena aku sudah tidak percaya lagi denganmu, Fathia. Ternyata kamu masih nekat ingin terjun ke bawah sana, hah? Dengar Fathia! Selama aku masih hidup kamu tidak akan bisa mengakhiri hidupmu dengan mudah,” tegas dokte itu seraya terus melangkah membawa tubuh fathia masuk ke dalam ruangan menuju ke tempat lift. “Dokter salah. Aku benar-benar hanya ingin mengambil tongkat,” jelas Fathia yang merasakan tubuhnya terayun-ayun di atas pundak dokter tampan beraroma wangi itu. Namun tidak setajam biasanya. Karena itulah tadi hidungnya tidak bisa mengendus aroma wangi maskulin yang biasa dia pakai itu. “Diamlah, Fathia! Kalau kamu terus melawan aku akan mengurungmu dalam sebuah ruangan. Untuk sementara waktu kamu akan dirawatlagi di rumah sakit ini,” tegas dokter itu di depan pintu lift seraya menunggu lift yang akan membawa mereka turun datang. Fathia mendesis kesal. Namun dia sudah tidak bergerak-gerak meronta lagi. Dia tahu saat ini mereka sudah berada di depan pintu lift. Andai ini di depan umum pasti dia akan ngotot untuk minta turun. Untung saat ini mereka berada di atas atap gedung rumah sakit. Jadi tidak ada orang berdiri di sana. Walau tidak bisa melihat lagi, dia masih punya rasa malu bila masih berada di pundak dokter Dewa karung berisi beras saja. Tak berapa lama lift yang mereka tunggu akhirnya datang. Dokter Dewa segera membawa Fathia masuk ke dalam. Setelah itu dia tekan dua tombol lift lalu dia turunkan Fathia dengan hati-hati. “Berpeganglah padaku,” ucap dokter Dewa seraya meraih tangan kanan Fathia agar memegang pergelangan tangan kirinya setelah lift berjalan turun. “Dari mana dokter tahu aku ada di atas atap?” tanya Fathia, membuka pembicaraan setelah beberapa saat mereka terdiam. Dokter Dewa seolah tidak mendengar pertanyaan itu. Dia hanya menatap gadis cantik berwajah pucat tanpa make up dengan rambut terlihat berantakan itu dengan perasaan kasihan. Sekarang Fathia sudah tidak bisa menata diri lagi. Pasti sebelum kecelakaan itu, dia adalah gadis yang cantik pandai merawat dan memoles diri. Hal itu bisa dilihat dari wajahnya dan kulitnya yang terlihat putih bersih terawat meskipun tanpa polesan make up. Dokter Dewa mengakui bila Fathia adalah gadis yang sangat cantik. Dokter Dewa yakin tidak ada satu pun pria yang menampik kecantikan dan kesempurnaan diri Fathia. Dewa tahu tidak mudah menghadapi musibah seperti ini. Dulu dia adalah gadis sempurna yang punya segalanya. Kecantikan, uang dan juga karir yang bagus di perusahaan papanya sebagai wakil presiden direktur. Namun sekarang, dia harus kehilangan penglihatannya secara tiba-tiba. Siapa pun orangnya, bahkan mungkin dirinya pasti tidak mudah menerima kenyataan pahit ini. Sudah banyak pasien yang dia temui yang memiliki nasib seperti Fathia. Namun, entah kenapa gadis ini cukup menyita perhatiannya akhir-akhir ini. Dokter Dewa sudah biasa menyaksikan bagaimana orang-orang bersedih dan merasa terpuruk karena kehilangan penglihatannya. Namun, kebanyakan itu hanya sesaat. Karena setelah dia lakukan operasi kebanyakan dari mereka berhasil sembuh dan bisa melihat lagi. Walau kadang ada yang tidak sesempurna saat mereka belum mengalami sakit atau cidera, tapi setidaknya itu sudah bisa dikatakan berhasil. Setidaknya mereka sudah bisa melihat lagi. Tapi Fathia sangat membuatnya penasaran. Dari hasil tes yang dia baca, kedua mata Fathia tidak mengalami kerusakan fatal. Kerusakan itu seharusnya sekarang sudah bisa diatasi namun setelah dua kali operasi, dia heran karena hasilnya tetap sama saja. Namun dokter Dewa tidak ingin menyerah. Dia sudah bertekad membantu menyembuhkan kedua mata gadis cantik di dekatnya itu. Fathia tidak bertanya lagi. Dia mengira sepertinya dokter Dewa sangat marah dan kecewa padanya. Atau pria itu mungkin saat ini berpikir mentalnya sudah terganggu dan tidak waras lagi karena kebutaan yang dia alami. Jadi segala ucapan yang keluar dari bibirnya dia anggap tidak penting dan tidak perlu untuk ditanggapi. Sehingga membalas ucapannya pun mungkin dia rasa sebagai hal yang tidak penting. Setelah sampai di lantai enam, Fathia diajak ke ruang kerja dokter Dewa. Pria itu mengatakan akan mengantarnya pulang dan memintanya menunggu sebentar di sana. Fathia menolak dan ingin pulang sendiri. Namun tentu saja dia tidak digubris oleh dokter itu. Dia bilang akan mengantar Fathia pulang sampai ke rumah dan menyerahkan diri pada kedua orang tuanya. Bahkan Fathia dengar, dokter itu menolak kedua orang tuanya dan juga Abrar menjemput dirinya. Dengan tegas dia mengatakan itu pada mereka di telepon akan mengantar sendiri pasiennya itu sampai ke rumah. Dia menelpon hanya untuk memberi kabar saja agar keluarganya tidak cemas lagi. *** “Katakan! Apa yang menyebabkan kamu ingin mengakhiri hidup seperti tadi?” tanya dokter Dewa, membuka pembicaraan setelah keduanya berada di dalam mobil, dalam perjalanan pulang menuju ke rumah. “Aku tahu, musibah ini pasti tidak mudah untuk kamu terima. Tapi mengakhiri hidup bukanlah keputusan bijak. Apa kamu tidak pernah memikirkan perasaan orang-orang yang akan kamu tinggalkan?” tanya dokter Dewa lagi. “Semua sudah aku pikirkan baik-baik sebelum bertindak, Dok. Soal perasaan mereka, Anda tidak perlu cemas,” sahut Fathia ketus. “Oh ya?” sahut dokter Dewa kemudian mencebik sambil mengangkat kedua bahunya. “Mengapa tadi kamu bilang kedua orang tua dan calon suamimu tidak peduli padamu? Selama ini yang aku lihat tidak begitu? Kedua orang tua dan calon suamimu terlihat sangat sayang dan juga perhatian padamu. Selama kamu menjalani perawatan intensif di rumah sakit ini, mereka selalu setia mendampingi kamu, Fathia. Bahkan, aku dengar, calon suamimu tetap bersikeras akan menikahimu meskipun kamu sudah meminta berpisah darinya. Aku rasa alasan yang kamu ungkapkan tadi sangat sulit aku percaya,” ucap dokter Dewa, coba mengusut masalah yang sedang di hadapi Fathia. Dia lihat pasiennya itu sebentar lalu kembali fokus dengan kemudinya. Fathia mendengus kesal. Tidak disangka dokter Dewa telah tahu permintaan dia membatalkan rencana pernikahannya dengan Abrar. “Sepertinya dokter sudah tahu banyak tentang masalah dan kehidupan saya. Aku rasa tidak ada yang perlu saya jawab.” “Aku adalah doktermu, Fathia. Ada beberapa dokter yang saat ini masih memantau kesehatannya di rumah sakit pasca kecelakaan itu. Jadi selain berkonsultasi denganmu. Tentu kadang kami juga berkomunikasi dengan kedua orang tua dan juga calon suamimu. Jadi wajar kalau aku tahu sedikit, perkembangan masalah yang sedang kamu hadapi sekarang,” sahut dokter Dewa. “Saat ini saya sedang tidak ingin bercerita apa pun, Dok. Kali lain saja, kalau perasaan saya sudah merasa lebih baik, saya janji akan ceritakan semuanya. Tapi, asal dokter tahu saja. Semuanya tidak seperti yang Anda lihat. Semuanya palsu dan tidak ada yang memahami keadaan saya sekarang,” jelas Fathia terlihat semakin tidak bersemangat. Tak lama setelah itu dia mendengar suara dokter Dewa membuang napas agak keras. “Ya, sudah. Kalau begitu kita tutup saja topik pembicaraan ini. Bagaimana kalau kita bahas yang lain?” Dokter Dewa menoleh pada Fathia sebentar sambil tersenyum. “Membahas apa, Dok?” tanya Fathia datar. “Apalagi kalau bukan makanan. Sesuatu yang bikin semangat dan menggugah selera. Tiba-tiba aku ingin makan sushi dan juga semangkuk ramen. Apa kamu mau menemani aku makan malam?” tanya dokter Dewa. “Hahh, itu makanan berat semua, Dok. Malam-malam begini dokter mau makan seberat itu?” tanya Fathia, raut muka terlihat sedikit syok. “Kebetulan lagi pengen. Kadang-kadang tidak apa-apa, ‘kan? Bagaimana, kamu mau ‘kan temenin aku?” tanya dokter Dewa, sengaja dia meminta itu demi mengalihkan kesedihan yang masih membayangi Fathia. Dia ingin lebih dekat dengan gadis di sampingnya itu dan mencoba mencari tahu apa sebenarnya masalah yang sedang dia hadapi sekarang. Mengapa gadis itu ingin mengakhiri hidup. Mengapa hubungannya dengan kedua orang tua dan calon suaminya seperti sedang ada masalah. Setelah dibujuk beberapa lama oleh dokter Dewa, Fathia akhirnya menerima ajakan makan malam itu. Dokter Dewa kemudian membawanya ke salah satu restoran jepang yang cukup terkenal di kota ini. Namun di saat dokter itu membawa mobilnya parkir, tepat di samping mobilnya, dia melihat mobil calon suami Fathia. Mobil itu sedang bergoyang hebat. Sebagai pria dewasa dia bisa menebak adegan apa yang sedang terjadi di dalam mobil itu. Namun, dia masih belum bisa memastikan bila yang berada di dalam mobil bergoyang itu adalah Abrar Wardana, calon suami Fathia.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN