Fathia agak bingung. Mengapa dokter Dewa masih diam saja di mobil dan tidak segera mengajaknya keluar. Padahal sudah beberapa saat yang lalu mereka sampai. Dokter itu malah diam dan Fathia tidak tahu apa yang sedang terjadi.
“Ada apa, Dok? Apa parkirnya masih sangat ramai?” tanya Fathia, mencoba mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi.
“Ah iya. Masih agak ramai. Kita tunggu sebentar lagi, ya. Tolong sabar sebentar,” ucap Dokter Dewa tersadar dari ketegangan dan kebingungan yang dialami. Tadi dia benar-benar tidak tahu harus bagaimana. Mau keluar takut tiba-tiba dua orang di dalam mobil itu keluar. Tidak segera keluar kasihan juga dengan Fathia kalau terus di dalam mobil. Dokter Dewa takut, Fathia akan bertemu dengan Abrar secara tidak sengaja. Fathia memang tidak bisa melihat lagi. Tapi bisa saja dia tahu Abrar ada di sini dengan cara lain. “Ya, sudah. Kita keluar saja sekarang,” ucap dokter Dewa kemudian, demi Fathia. Dia berharap, dua manusia di dalam mobil itu tidak keluar dan akan makan ke restoran jepang itu. Tapi sebaliknya, Abrar dan temannya itu sudah dari dalam restoran sana.
Setelah meminta Fathia menunggu sebentar, dokter Dewa segera membuka pintu lalu keluar dari dalam mobil. Dengan perasaan berdebar dia berjalan memutar ke belakang mobilnya untuk menjemput Fathia. Dia lihat mobil itu masih bergoyang. Sayup-sayup dia dengar sayup-sayup lirih suara rintihan dan desahan dari dalam mobil. Langkah dokter Dewa semakin berat menjemput Fathia. Dia tidak tahu harus menggunakan alasan apalagi untuk menahannya di dalam mobil lebih lama.
Namun tidak dia duga, sekitar tiga atau empat langkah saja dia sampai di dekat pintu, Fathia sudah membuka pintunya dan keluar sendiri. Dokter Dewa bergegas menghampirinya.
“Maaf, aku agak telat, Fathia,” ucap dokter Dewa menangkap pergelangan tangan Fathia untuk menolongnya.
“Tidak apa-apa, Dok. Aku memang harus belajar dan membiasakan keluar mobil sendiri. Karena kalau naik taksi, aku tidak mau terus-terusan minta tolong sopirnya untuk membantuku,” jelas Fathia.
“Bagus. Memang harus seperti itu. Kamu harus berusaha untuk selalu mandiri. Jangan pernah bergantung dengan siapa pun. Karena manusia bisa berubah kapan saja,” tutur dokter Dewa.
Tak lama kemudian kedua melangkah di antara sela mobil yang bergoyang dan juga mobil dokter Dewa. Dokter Dewa menuntun gadis itu dengan menggenggam tangan kanannya. Dia berharap Fathia tidak mendengarkan suara desahan dan rintihan dari dalam mobil. Suara Abrar dan seorang wanita saling menyebut bergantian. Namun, setelah keduanya berjalan beberapa langkah tiba-tiba Fathia menghentikan langkah.
“Ada apa?” tanya dokter Dewa menoleh ke belakang ke arah Fathia dengan perasaan cemas. Dia yakin Fathia telah mendengar suara itu. Karena jarak mereka memang sangat dekat dengan mobil berwarna putih itu. “Fathia, ini sudah malam. Ayo, kita segera masuk ke dalam,” bujuk dokter Dewa.
Raut wajah Fathia terlihat tegang dan dia seperti sedang mendengar suara Abrar dan Sonya dari dalam mobil di sampingnya. Fathia melepaskan tangannya ingin menyentuh mobil yang ada di sampingnya. Namun, dokter Dewa segera menarik tangannya berjalan menjauhi mobil itu. Fathia terkejut dan tidak bisa menahan tarikan itu. Dia terpaksa melangkah menjauhi mobil milik Abrar dan suara-suara desahan yang mengusik kedua telinganya.
Napas Fathia tersengal-sengal dan jalannya terhuyung hampir terjatuh mengikuti langkah dokter Dewa yang seolah lupa kalau dirinya tidak bisa berjalan seperti orang normal.
“Tunggu, Dok!” ucap Fathia terengah dan tersengal.
Mendengar itu dokter Dewa sangat terkejut dan segera menoleh pada Fathia yang sedang membungkuk dengan napas terengah. Dokter Dewa segera menghampiri Fathia.
“Fathia kamu tidak apa-apa? Maafkan aku! Tadi aku agak terburu-buru,” ucap dokter Dewa, membantu Fathia menegakkan badan.
Fathia menggelengkan kepala seraya mengatur napas. “Dokter tenang saja. Aku tidak apa-apa.”
Setelah istirahat beberapa saat, Fathia dituntun dokter Dewa melangkah masuk ke dalam Fathia merasakan keanehan pada sikap dokter Dewa. Dokter itu seperti sengaja menariknya menjauh dari mobil itu. Mungkin dia juga mendengar suara Abrar dan Sonya. Namun Fathia tidak yakin bila dokter itu mengenali suara Abrar atau pun Sonya.
“Apa warna mobil yang ada di samping kita jalan tadi, Dok?” tanya Fathia setelah keduanya berada di dalam restoran makanan Jepang itu, penuh selidik.
“Oh! Hitam. Mobil di samping kita jalan tadi berwarna hitam. Ada apa? Mengapa kamu tanya-tanya warna mobil itu?” tanya dokter Dewa, sengaja berbohong. Padahal mobil tadi berwarna putih. Sama dengan yang biasa ditumpangi Abrar.
“Oh, jadi warna hitam ya. Tidak, aku hanya sedang mencoba mengasah indra ke tujuh saja, Dok. Tapi sepertinya, indra ke tujuh tidak tajam,” jawab Fathia sedikit kecewa. Tapi, tidak tahu kenapa dia sangat yakin, suara-suara yang berada dari dalam mobil itu adalah suara Abrar dan Sonya.
“Memang ada indra ke tujuh? Rasanya aku baru dengar,” sahut dokter Dewa dengan menautkan kedua alisnya menatap Fathia.
“Ada, Dok. Itu penemuan baru,” sahut Fathia sambil tersenyum-senyum geli. Wajahnya yang semula terlihat pucat berubah jadi semu kemerahan.
“Apa itu?” tanya dokter Dewa menatap pasien spesialnya.
“Indra tebak-tebakan, Dok. Aku baru saja menemukan ide indra itu. Sebagai orang yang tidak bisa melihat lagi. Aku ingin mencoba mengasah intuisiku. Hanya itu saja,” jawab Fathia sambil tertawa-tawa ceria.
“Aneh! Mana ada indra seperti itu? Indra tebak-tebakan. Namanya saja sudah aneh. Pantas kalau kamu yang temukan,” komentar dokter Dewa.
“Maklum, Dok. Yang menemukan saja juga aneh orangnya. Jadi pas ‘kan!” sahut Fathia lalu tertawa-tawa geli lagi.
Melihat itu, dokter Dewa merasa tersentuh. Fathia sedang tertawa ceria. Dia tidak tahu bila mungkin yang ada di dalam mobil bersama dengan seorang wanita itu adalah Abrar. Andai itu benar dan dia mengetahuinya pasti tawa itu seketika terhenti. Dokter Dewa tidak mengerti. Mengapa Fathia harus menerima cobaan seberat ini. Dia baru saja kehilangan penglihatannya. Sekarang, dokter Dewa menduga calon suami Fathia telah berselingkuh.
Makanan yang telah mereka pesan telah tiba. Dua mangkuk ramen dan sepiring sushi. Fathia mencoba mencari mangkuknya. Dokter Dewa dengan tanggap segera meraih tangan Fathia agar tidak masuk ke dalam mangkuk ramen dengan kuah yang masih panas. Dia juga menuntun tangan Fathia untuk mengambil sumpit dan juga sendok di dekatnya. Pria itu terlihat sabar menuntun tangan Fathia memberitahu hidangan-hidangan yang mereka pesan di atas meja.
Fathia tersentuh dengan perhatian dokter Dewa. Hal-hal kecil seperti ini tidak pernah dia rasakan dari Abrar. Pria itu tidak tanggap dan tidak pernah mau tahu meskipun dia duduk di sampingnya. Hanya di awal-awal ketika dia baru kecelakaan saja perhatian. Sekarang dia sudah tidak lagi. Kemarin malam dia makan malam di rumah meskipun sedang duduk di sampingnya pria itu tidak peduli lagi untuk membantunya. Hingga tanpa sengaja menyenggol cangkir kopi yang masih panas.
Saat keduanya menikmati makanan masing-masing, dokter Dewa melihat Abrar masuk bersama dengan seorang wanita. Namun, dia pura-pura tidak melihat mereka dan juga tidak memberi tahu Fathia. Dokter itu ingin menunggu apakah Abrar akan melihat lalu mau menyapa dirinya dan Fathia.
Sambil terus menikmati makanannya, dokter Dewa melihat wanita yang bersama Fathia menoleh lalu mengatakan sesuatu pada Abrar. Abrar tidak segera menoleh. Namun, dia justru ganti tempat duduk. Dia dan wanita yang bersamanya meninggalkan ruangan lokasi yang sama dengan dirinya dan Fathia. Mereka melangkah masuk ke sebuah ruangan yang terdapat bilik-bilik private.
“Mas Abrar!” panggil dokter Dewa cukup keras.
Fathia terkejut. “Abrar! Anda melihat Abrar di sini, Dok?” tanya Fathia.
“Iya, dia di sini bersama dengan seorang wanita,” jawab dokter Dewa terus terang.