Chapter 18 (rev)

1374 Kata
Sore ini, Jenar dan yang lain sedang merancang kegiatan belajar sambil bermain untuk hari esok. Mereka semua menginginkan konsep belajar yang seru dan tidak membosankan agar dapat menarik minat dari anak anak di desa tersebut. Karena memang terlihat jelas minat mereka terhadap pendidikan sangatlah minim. Mereka lebih suka seperti kehidupan biasa mereka. Bahkan anak anak pada kelas mengajar itu setiap hari nya tidak pernah lengkap. Pasti satu diantara mereka setiap hari nya ada saja yang tidak menghadiri kelas dengan alasan yang tidak jelas. Dan itu tentu nya membuat bingung sekaligus sedih Jenar dan yang lain. Dijaman sekarang, pendidikan anak itu sangatlah penting. Karena tanpa pendidikan, kita akan terlihat seperti kertas yang terbawa oleh angin, seperti daun yang jatuh pada aliran sungai dan akan mengikuti arusnya. "apa kita buka kelas di alam?" ujar Ucup dengan bungkus cemilan di dalam genggaman nya. "Gimana sih?? ini kita udah di tengah tengah hutan, kurang alam gimana sih, Cup?!" sahut Monic yang tidak mengerti dengan ide yang Ucup ucapkan. pria itu menggaruk kepala nya yang tiba tiba terasa gatal, sembari menatap Monic dengan tatapan kesal. "Elu diam dulu bisa nggak? ini mumpung lancar otak gue" Athar terkekeh melihat adegan yang terjadi di hadapan nya, "Okeh okeh.. gimana, Cup? coba elu jelasin ke kita semua" "Nih dengerin. jangan ada yang potong dulu!" "Jadi gini, kita buat kelas di alam terbuka. kaya piknik gitu, tapi kita belajar.. paham nggak?" beberapa dari mereka menganggukkan kepala, seolah setuju dengan usulan yang Ucup berikan. Akan tetapi, ada juga dari mereka yang masih belum mengerti dengan usulan tersebut. "Di alam terbuka tuh dimana sih?" tanya Dodi dengan wajah lugu nya. "Nah coba, Cup. punya rekomendasi alam nggak?" sahut Jaya. Ucup menerangkan semua yang ada dalam benak nya. pria itu memiliki konsep belajar dengan alam pada kawasan air terjun. Ucup berpikir, anak anak akan lebih menikmati pelajaran dengan di temani lembut nya suara air terjun, dan sejuk nya udara yang ada. "Tapi emang disini ada air terjun?" sergah Bella, menghilangkan semua bayangan indah yang ada dalam benak Ucup. pria itu dan teman yang lain terdiam, memikirkan pertanyaan dari Bella yang ada benar nya. Karena selama beberapa hari mereka di desa itu, mereka sama sekali tidak tau. yang mereka tau hanyalah rumah singgah dan lingkungan sekitar nya. "ada" setiap mata langsung tertuju pada Jenar yang tiba tiba bersuara. tatapan heran sekaligus bingung, tentu saja membuat Jenar menyadari ucapan nya barusan. Jenar menelan saliva nya seraya membenarkan posisi duduk nya. Di tatapnya satu persatu teman yang ada, "Gue.. gue nggak tau, ada yang bilang ke gue" ujar Jenar dengan ragu. "Beliau bilang di belakang desa ini ada air terjun" lanjutnya dengan menatap manik Athar. setelah Jenar menghentikan ucapan nya, semua terdiam, hening. tidak ada satu pun yang berbicara. Mereka menunggu Athar selaku ketua yang memutuskan nya. Athar menghela napas nya, "Apa kita bakal aman? atau ini justru jebakan mereka buat kita?" tanya nya pada Jenar. Jenar menggelengkan kepala nya lemah, "Gue nggak tau, gue bingung" "Hmm.. nggak usah deh, ganti aja tempatnya" sahut Ucup. pria itu nampak ketakutan dengan saran nya sendiri. Lalu setelahnya, berdasarkan musyawarah antar anggota lain, Athar memutuskan untuk tetap belajar pada kelas. Namun, mereka menyiapkan kejutan lain nya untuk anak anak. sebenarnya, sistem ini bisa di sebut sebagai sogok menyogok, agar banyak anak desa yang datang untuk belajar. Athar dan anggota lain nya tentu saja tidak menginginkan hal ini terjadi. Akan tetapi, mereka semua melakukan ini, agar anak desa mendapatkan pendidikan dasar. mereka tidak berharap, kalau anak anak Desa akan jago dalam semua pelajaran. yang mereka harapkan, setidaknya mereka mengenal huruf, tau membaca dan menulis, itu saja. "Okeh, kesepakatan udah kita dapatkan. Sekarang kita bubar, bersih bersih badan, dan jangan lupa masak untk makan malam" seru Athar dengab tegas. * "Ra.." ucap Ayana memanggil sahabat nya itu yang sedang berada di kamar. Ayana menghela napas nya ketika melihat Jenar yang sedang menatap keluar jendela sana. Dengab cepat, Ayana menghampiri sahabat nya itu. "udah mau maghrib, tutup jendela" ujar nya seraya menutup jendela tersebut, dan itu membuat Jenar sedikit terkejut. Suara dering panggilan masuk, yang sudah ketiga kalinya itu membuat Alena Andhara menghempaskan pintu kamar mandinya dengan sedikit keras. Wajah bete terlihat begitu jelas, serta dumelan yang terlontar menggambarkan betapa kesalnya ia saat ini. "Enggak bisa sabaran banget, bikin pagi gue jadi ancur aja!" dumelnya seraya berjalan menghampiri ponselnya yang terletak diatas ranjang kecilnya. Akan tetapi, gadis yang memiliki paras cantik itu menghela napasnya dan mencoba menghilangkan kekesalannya ketika membaca nama yang tertera pada layar ponselnya. "Ida.." gumamnya dengan pelan, kemudian ia menerima panggilan itu seraya menjatuhkan tubuhnya pada ranjang. "Hallo, Da. Ada apa?" ujarnya berusaha tenang. Sejujurnya setiap kali Ida menelpon dirinya, dengan seketika hatinya merasa cemas dan khawatir dengan kabar apa yang akan dia dapatkan tentang keluarganya di Desa sana. "Hallo, mbak. Ini si ibu mau bicara" Mendengar jawaban adiknya itu, seketika gadis itu menelan salivanya. Dara, begitulah panggilan akrabnya, menunggu sang Ibu menyapa di sebrang telpon sana. "Hallo, Ra. Gimana kabar mu, sehat?" Suara dari wanita yang melahirkan nya itu terdengar begitu lembut di telinga nya. Rasa rindu yang selalu dirinya pendam untuk keluarganya terutama Ibu nya itu, seketika menguap begitu saja setelah mendengar kalimat yang sama yang selalu menyapanya setiap kali Ida menelpon. Walaupun Ibu dan Ida tidak dapat melihat Dara, namun senyum manis tetap terlukis pada wajahnya. "alhamdulillah, Bu. Dara baik kok" "Kalau Ibu dan keluarga yang lain bagaimana? Sehat 'kan?" lanjutnya dengan semangat. Perasaan kesal dan bete nya hilang begitu saja. Akan tetapi, cemas pada hatinya tetaplah ada, karena Dara belum mengetahui alasan apa yang membuat Ibu sampai menelpon dirinya di pagi hari ini. "kami disini baik. Ibu cuma mau bilang sama kamu, kalau tadi kami sudah mengirimkan uang kuliah mu. Tapi maaf, kami masih belum bisa ngasih lebih ke kamu. Kamu paham 'kan, nak?" Senyum pada wajahnya tidak serta merta luntur begitu saja, saat mendengar ucapan sang Ibu. Dara sangat paham akan kondisi yang sedang keluarga nya hadapi, dan ia akan menerimanya. Tidak mungkin dia protes dengan pemberian kedua orangtua nya itu. ia justru mengucapkan syukur dan berterimakasih kepada keluarganya karena telah mengirimkan nya uang kuliah. "Iya, bu.. Yasudah, Dara tutup dulu. Assalamu'alaikum" pamitnya sesaat setelah ia menerima wejangan yang selalu di ingatnya. Helaan napasnya terdengar begitu berat. Alena Andhara, gadis cantik dengan warna kulit eksotis itu adalah salah satu mahasiswi jurusan hukum pada Universitas Angkasa Raya di kota Jakarta. Terhitung dua bulan ini, hidupnya sedang terasa berat karena ujian yang sedang ia hadapi. Bukan ujian kuliah, ujian ini adalah ujian hidup. Keluarganya di Desa, sedang mengalami kesulitan ekonomi yang berimbas pada uang bulanan dirinya. Dara hanya menerima uang pokok untuk kuliah saja, tidak untuk kebutuhan sehari-hari nya. Ditambah lagi, jika ia mendapatkan tugas kuliah yang mengharuskan nya mengeluarkan banyak uang untuk lembaran kertas print. Rasa nya, Dara ingin sekali menyerah dan kembali ke desa. Namun tentu saja itu tidak mungkin. Dara sudah berjuang sejauh ini untuk pendidikan dan cita-cita nya. Begitu juga keluarganya yang sudah bersusah payah membantu mewujudkan semua nya itu. Ia harus membuat semua orang bangga dengan pencapaian dirinya. Terlebih di balik pendidikan dan cita-cita nya itu, Dara tentu memiliki maksud dan tujuan yang sudah lama ada dalam benak nya. Tidak ingin berlama-lama merasakan pusing karena masalah ekonomi, Dara pun dengan segera bersiap-siap untuk berangkat ke kampus yang jarak nya lumayan memakan waktu dari kostan dirinya itu. Seperti biasanya, gadis berusia 23 tahun itu hanya mengenakan hiasan wajah yang sewajarnya saja, seperti bedak, blush on, maskara, dan lipstik berwarna nude. Sedangkan untuk pakaian nya, hanya atasan blouse dan celana panjang jeans. Itu adalah style andalan dari seorang Alena Andhara. Jarak dari kostan menuju kampus nya itu memakan waktu selama 30 menit lama nya menggunakan sepeda motor yang sengaja keluarganya itu belikan untuk Dara ketika pertama kali masuk kuliah. "Buset! Udah jam 7 aja!" pekik Dara merasa terkejut dengan jam dinding yang menunjukkan pukul tujuh pagi. Gadis yang sedang merapihkan rambut nya dengan sisir itu, segera menyambar tas yang berada tak jauh dari jangkauan nya. Meletakkan sisir miliknya begitu saja, dan segera meninggalkan kamar kost nya tanpa sarapan terlebih dahulu. Dara menghidupkan motor matic nya dengan hati yang berharap bahwa jalanan hari ini tidak macet. Karena tepat jam 8 pagi, di kelasnya di adakan quiz. Dan tentunya, Dara tidak ingin melewati hal yang penting itu. "Bismillah.."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN