Ucapan Ayah malam itu membuatku usah tidur. Semalaman, aku sibuk membayangkan bagaimana caranya kusampaikan keputusan Ayah ini pada Natasha. Aku sibuk menduga-duga respon yang akan diberikannya.
Hari ini, Natasha memintaku untuk datang ke apartemennya. Natasha sudah menempati apartemen sejak awal hubungan kami dimulai. Apartemen ini adalah salah satu dari berbagai macam fasilitas yang diterima dari pihak agensinya. Aku dan Natasha sering bertemu di sini demi untuk menghindari jepretan kamera para wartawan. Semua akan aman untuk Natasha. tapi, tidak untukku. Terlebih jika sampai keluargaku mengetahui aku masih menjalin hubungan dengannya. Untuk menghindari sesuatu yang tidak diinginkan, aku selalu meminta April, asisten Natasha untuk menemani kami selama di apartemen.
“Kamu nyuruh aku ke sini ada apa?” tanyaku.
“Lusa aku berangkat ke Santo Rini. Ada kerjaan di sana.”
“Kenapa kamu baru kasih tau aku? Nggak mungkin dong kamu juga baru dapet kerjaan ini kemaren.”
“Tawaran kerjanya bulan lalu. Sengaja aku baru bilang ke kamu karena aku nggak mau kamu ngelarang aku untuk pergi.”
“Apa kamu harus pergi sejauh itu, Nat?” tanyaku. Natasha menjawabnya dengan sebuah anggukkan. “Berapa lama?”
“Sekitar sebulan. Itu juga paling lama. Kalo kamu tanya apa aku harus pergi ke sana, jawabanku iya. Aku harus banget pergi ke sana. Ini kesempatan baik untuk aku. Aku harap kamu paham, ya.”
“Itu berarti, kita nggak bisa rayain ulangtahun kamu bareng?”
“Semoga bisa. Kamu bisa kan siapin pesta ulangtahun untuk aku?” ucapnya. Aku mengangguk. “Nanti aku kasih detailnya via WA, ya. Aku mau pesta kayak yang biasanya. Aku mau undang banyak temen sesama model. Tolong kamu bantu aku ya, Tha.”
“Okay. Aku bakal urus semua kebutuhan untuk pesta ulangtahun kamu.” Sha terlihat Natasha mengangguk sambil berjalan menuju lemari es di sudut ruangan. Diisinya gelas dengan s**u cokelat dingin dan kembali duduk di sofa. “Aku mau ngobrol serius sama kamu.”
“Harus sekarang ya, Tha?” sahutnya. Aku mengangguk. “Kamu mau ngomongin apa?”
“Aku tanya sekali lagi. Kapan kamu bisa nikah sama aku?” ucapku. Natasha terlihat menghela napasnya sedkit kesal. Wajar baginya merasa jenuh karena aku sering mempertanyakan hal ini. Andai saja dia memberikan jawaban yang pasti, bisa kujamin aku tak akan sering menanyakan hal ini padanya.
“Would you please stop it, Tha? Aku bakalan ada kerjaan sangat penting. Dan, kamu malah nanyain hal ini lagi.”
“Nat, kamu nggak pernah kasih aku kejelasan. Yang kamu mau ya hubungan kita kayak begini terus. Aku mau kita nikah, Nat. Nikah.” Natasha melirik ke arah managernya yang duduk tak jauh dari kami. Kutangkap sebuah gerakan menggeleng dari keduanya. “Pril, agensi nggak ngebolehin Natasha untuk nikah?”
April hanya mejawabnya dengan sebuah anggukkan. Sekarang, aku yang balik menghela napas.
“Kamu udah tau jawabannya dari April, kan. Selama ini, mungkin kamu pikir aku yang ngada-ngada untuk menghindar setiap ada obrolan tentang pernikahan di antara kita.”
“Nat, seenggaknya coba kamu mendekatkan diri sama keluargaku. Buka hati mereka. Rubah pandangan mereka tentang kamu. Buktikan kalo kamu pantas bersanding sama aku.”
“Athaya sayang, bukannya aku nggak mau deket sama keluarga kamu. Tapi, aku tuh emang lagi sibuk banget. Kamu kan tau,” ucapnya.
“Sesibuk-sibuknya, kamu kan bisa dong nyempetin untuk ketemu sama orangtuaku. Selama aku berhubungan sama kamu, sekalipun kamu nggak pernah ketemu sama mereka. Mereka tau kita punya hubungan juga gara-gara nonton TV. Gimana keluargaku mau suka sama kamu kalo kamunya aja nggak ada effort.”
“Athaya, mereka kan taunya kita udah putus.”
“Aku bisa bilang ke mereka kita balikkan lagi kalo emang kamu mau coba deket sama mereka.”
“Nanti aku coba pikirin deh, ya.”
“Aku nggak tau kenapa aku masih bisa bertahan sama kamu sampe detik ini. Aku nggak tau kenapa aku bisa cinta dan sayang banget sama kamu, Nat.”
“Karena emang cuma aku yang bisa bikin kamu kayak begini, Tha. Kamu tuh nggak akan bisa hidup tanpa aku. Kamu udah terikat sama aku.”
“Nat, please. Tolong pikirin ini semua. Aku mohon.” Kugenggan kedua tangannya dan kukecup kedua punggung tangannya.
“Aku usahain ya, Tha.”
“Ayah sama Bunda mau jodohin aku lagi. Aku nggak tau pastinya kapan. Yang jelas, mereka udah ngatur perjodohan ini.”
Natasha termenung. Memijat-mijat pelipisnya.
“Kamu mau?”
“Terpaksa aku mengiyakan. Itu semua aku lakukan demi mengulur waktu sampe kamu kasih kepastian ke aku. Karena, imbasnya bakalan jelek banget kalo aku nolak perjodohan ini.”
“Apa konsekuensinya?” tanyanya.
“Namaku bakalan dicoret dari daftar ahli waris. Dan nggak akan berhenti di situ. Ayah juga pasti akan mengerahkan semua kemampuannya. Termasuk blacklist aku di semua perusahaan rekanan bisnis keluarga kamu. Aku bisa jadi gembel, Nat.”
“Nanti aku coba pikirin solusinya, ya. Biar kita tetep bisa berhubungan dan kamu nggak kan dihapus dari daftar ahli waris keluarga kamu. Sekarang, kamu tenang aja. Selama aku tinggak kerja, kamu jangan aneh-aneh, ya.”
“Apa pernah aku berkhianat dari kamus elama kita berhubungan?” sahutku. Natasha menggeleng. “Justru, kamu yang harus jaga diri selama di sana. Kamu bakalan jauh dari aku selama berhari-hari. Kamu kerja di dunia dimana banyak laki-laki yang jauh lebih ganteng dari aku.”
“Tenang aja. Cuma kamu yang ada di sini, Athaya.”
OoO
Satu minggu sudah Nasha meninggalkanku ke Yunani demi pekerjaannya. Natasha mengirimiku semua detail untuk kelengkapan pesta ulangtahunnya yang akan diselenggarakan sepulangnya dia dari Yunani. Natasha adalah tipe wanita yang sangat perfeksionis. Semuanya harus sesuai dengan keinginannya. Bahkan, dia tak akan segan mengecek semuanya langsung. Tapi, berhubung keadaaan yang tak memungkinkan Natasha mempercayakan semuanya padaku. Dia percaya dengan seleraku.
Aku sudah memesan private room di sebuah restoran ternama di bilangan Kemang. Sengaja kusiapkan semuanya dari jauh hari. Untuk dekorasi tempat, kuputuskan untuk memakai jasa event organizer yang disediakan oleh pihak restoran. Kusampaikan juga pada mereka untuk membuat pesta ini seprivate mungkin dan jangan sampai ada media yang menyelinap masuk untuk meliput saat acara berlangsung.
Kusiapkan hadiah khusus untuknya. Sebuah cincin berlian yang sengaja sudah kupesan sejak beberapa bulan yan lalu. Cincin ini kuperispkan untuk melamarnya di hari ulangtahunnya. Tak peduli apa jawabannya nanti, yang penting dia harus tahu bagaimana kesungguhan dan harapanku pada hubungan ini.
Semua hal kuurus, kecuali undangan. Natasha mengatakan padaku bahwa dia yang akan mengambil alih semuanya. Bisa kubayangkan pesta ulangtahunnya nanti akan bertabur begitu banyak model ternama dan juga artis-artis terkenal.
Masih ada satu hal yang belum kulakukan. Aku belum memesankan kue ulangtahun untuknya. Dari pesan WA yang kuterima, beruntung dia tak menginginkan kue ulangtahun dengan warna dan detail dekorasi yang teramat rumit. Di pesta ulangtahun yang sebelumnya, kue ulangtahun rumit bertemakan semua barang-barang bermerek yang mungkin sangat digilai kaum wanita. Kue ulangtahunnya sukses menyedot perhatian publik karena unggahannya di media sosial miliknya kala itu.
Tahun ini, permintaannya rumit. Setelah kue dengan tema barang-barang bermerk, kali ini Natasha memintaku untuk memesankan kue ulangtahun yang sewajarnya, dengan catatan warna krimnya harus sesuai dengan warna favoritnya, ungu. Menjadi sebuah ketenangan bagiku. Aku tak harus dibuat repot karena mengikuti keinginannya.
“Kamu darimana, Run?’ tanyaku saat melihat Seruni yang baru saja masuk ke rumah. Kulihat Seruni menenteng kantong belanjaan di tangannya. Seruni yang berniat langsung naik ke lantai atas segera berbelok dan memutuskan untuk duduk denganku di ruang tengah. “Kamu abis belanja?”
“Aku baru dari mall, Mas.”
“Beli apa?” Kulirik tas belanjaan yang masih ditentengnya. “Beli makanan, Run?”
“Makanan terus pikirannya, Mas. Aku ke mall beli bingkisan untuk guru les bikin kueku. Sebagai tanda kenal di awal kelas nanti.”
“Kamu beli apa?” ucapku.
Seruni mengeluarkan apa-apa saja yang ada di dalam tas belanjaannya dan menaruhnya di atas meja.
“Aku beli ikat rambut karena kebetulan rambut guruku lumayan panjang. Aku nggak tau sih dia suka sama warnanya atau nggak. Tapi, dari pengamatanku dia orangnya simple dan tenang. Jadi, aku pikir warna ini cocok untuk dia. Bagus nggak menurut Mas?”
Seruni menunjukkan sebuat ikat rambut berwarna merah muda dengan hiasan pita dan beberapa mutiara yang dijahit dibagian atasnya. Aku mengangguk karena menurutku ikat rambut itu memang sangat manis.
“Itu juga buat guru kamu?” tanyaku sambil mengunjuk kemasan body scrub dan lilin aroma terapi. Seruni mengangguk.
“Iya, Mas. Karena menurutku setelah seharian penuh di dapur bikin kue kan pasti panas banget meskipun ada AC. Jadi, bakalan enak kalo setelah pulang ke rumah mandi pake scrub ini. Wanginya seger banget. Terus, setelah mandi nyium aroma dari lilin ini bakalan bikin kita tenang dan tidurnya juga ikutan nyenyak.”
“Kapan mulai lesnya?” ucapku.
“Aku sama guruku sepakat untuk mulai lesnya minggu depan, Mas. Kenapa?”
“Nggak apa-apa.”
“Nggak usah bohong. Mas tuh nggak bisa bohong dari aku. Ada apa, Mas?”
Sruni mulai menatapku dengan pandangan yang menelisik. Seruni memang paham betul kelemahanku. Dengannya, aku bagaikan seorang pecundang. Aku tak pernah bisa menyembunyikan apapun darinya.
“Natasha mau ulangtahun,” ucapku pelan.
“Terus kenapa? Yang ulangtahun kan dia. Kenapa Mas yang ribet?” sahutnya. Seruni kemudian menaruh telapak tangannya menutupi mulutnya. “Oops, aku lupa. Dia kan pacarnya Mas, ya.”
“Run, nggak usah mulai.”
“Ya terus kenapa, Mas? Kenapa Mas yang galau?”
“Natasha ada kerjaan di Yunani. Dan bulan depan dia ulangtahun.”
“Berapa lama dia perginya?”
“Sekitar sebulan.”
“Kenapa nggak selamanya,” gumam Seruni. Aku yang mendengarnya bergumam hanya bisa meresponnya dengan dehaman yang lumayan tegas. “Sorry, Mas. Aku kelewat seneng denger berita dia pergi ke luar negeri.”
“Natasha minta aku untuk atur pesta ulangtahunnya.”
“Mas mau?” tanya Seruni. Aku mengangguk. Seruni menyandarkan kepalanya ke sofa. Menatap ke arah langit-langit rumah, kemudia kembali duduk dan bertepuk tangan 3 kali. “Gila. Kamu tuh kayak nggak ada kapok-kapoknya ya, Mas. Kapan Mas mau pinternya, sih? Mas nggak ambil pelajaran dari pengalaman pacaran sama Marissa? Mau sampe kapan Mas jadi bucin kayak begini. Mas, mau aku kasih tau sesuatu nggak?”
“Apa?” sahutku.
“Bucin sama bego itu beda tipis.”
“Runi...”
“Aku bingung ngadepin Mas. Bener-bener nggak habis pikir. Terus, apa yang bikin Mas galau?”
“Aku belum pesen kue ulangtahunnya.”
“Apa urusannya sama aku, Mas?”
“Aku tanya kamu karena siapa tau kamu ada rekomendasi toko kue enak. Kalo toko kue yang bakalan jadi tempat kamu les gimana?” tanyaku. Seruni mengendikkan kedua bahunya. Aku tahu Seruni sangat kesal denganku yang sangat memikirkan tentang persiapan pesta ulangtahun Natasha sementara dia tahu seluruh keluarga kami tak ada yang menyetujui hubungan kami berdua. “Kalo aku pesen di toko itu gimana menurutmu?”
“Terserah Mas aja. Tapi, sesuai nggak sama selera pacarnya Mas? Selera dia kan tinggi banget,” sindir Seruni.
“Natasha percaya sama pilihanku. Untuk kue ulangtahunnya, dia nggak punya permintaan khusus selain warna krim. Itu aja, sih.”
“Ya kalo Mas emang mau pesen di sana langsung aja dateng ke sana. Gimana kalo aku aja yang buatin? Biar aku racunin sekalian kue buat dia.”
OoO
Pekerjaan membuatku tidur lebih awal dari biasanya. Tapi, dering ponsel benar-benar mengganggu tidurku. Kulihat jam yang sudah menunjuk waktu tengah malam. Kuraba ponsel untuk meraih ponsel. Saat kulihat nama penelepon yang nampak di layar, aku segera mencoba untuk mengumpulkan kesadaranku.
“Hai, kamu udah tidur?”
“Iya. Aku tidur cepet hari ini. Banyak kerjaan di kantor.”
“Kamu nggak kangen sama aku, Tha?”
“Jangan ngaco, Nat. Aku kangen banget sama kamu. Gimana kerjaan kamu di sana? Kapan kamu bisa pulang?”
“Aku kangen banget sama kamu. All is well, kok. So far, aku enjoy banget kerja di sini. Aku betah di sini.”
“Jangan bercanda, Nat. Aku nungguin kamu di sini. Tapi, kamu malah bilang betah di sana.”
“Tha, kalo semisal aku berkarir di sini gimana?”
“Maksud kamu apa?” sahutku.
“Ya, aku jadi model di sini. Gimana?”
“Terserah kamu, Nat. Toh, pendpatku selama ini pun nggak pernah kamu dengerin.”
Kudengar gelak tawa yang sangat menyebalkan dari seberang sana. Natasha tertawa dengan sangat puasnya seakan baru saja disuguhi banyolan yang mengocok perut.
“Aku cuma bercanda.”
“Bercandamu nggak lucu.”
“Gimana persiapan pesta ulangtahunku?”
“Aku udah sewa tempat untuk bulan depan. Tempat sama dekorasinya beres. Sesuai kemauan kamu. Tapi, aku belum sempet untuk pesen kue. Aku mau make sure dulu ke kamu.”
“Oh, iya. Aku lupa bilang ke kamu. Untuk kuenya, aku mau base cakenya rasa vanilla aja. Kebetulan aku pernah coba makan kue yang dioles selai mawar di bagian tengahnya. Aku mau kuenya pake selai mawar ya, Tha. Dan tolong kuenya disemprot juga pake cairan madu.”
Percayalah dengan apa yang sudah kukatakan sebelumnya. Natasha adalah seorang wanita yang sangat memperhatikan sampai detail terkecil.
“Itu aja, Nat?” tanyaku. Natasha bergeming. “Kalo masih ada yang kamu mau, kamu bilang ke aku. Biar nanti bisa aku buat catatannya.”
“Itu aja, sih. Warna krimnya jangan lupa ya, Tha. Aku mau warnanya lilac. Nanti aku kirim warnanya.”
“Okay. Kamu kapan pulangnya?” tanyaku.
“Kalo semuanya lancar-lancar terus, kemungkinan 2 minggu lagi aku balik. Jadi, aku bisa ngerayain ulangtahun sama kamu. Kamu seneng nggak?”
“Kamu jelas tau apa jawaban aku, Nat.”
“Tunggu. Tinggal 2 minggu lagi. Pokoknya kamu harus atur pestanya sesempurna mungkin. Aku nggak mau sampe ada hal yang nantinya bisa bikin kacau pestaku, ya. Aku nggak akan mentolerir itu.”
“Kamu tenang aja. Aku yang akan urus semuanya. Kamu nggak akan kecewa dengan hasil kerjaku.”
“Ah, kamu bikin aku tambah cinta sama kamu. I love you, Athaya.”
“I love you more than you do, Natasha.”
oOo
Pesta ulangtahun Natasha kurang dari 2 minggu lagi. Aku masih belum bisa meluangkan wktu untuk memesan kue ulangtahun sesuai permintaannya. Jangankan untuk memesan kue langsung ke tokonya, untuk mengisi perut saja belum sempat karena saking menumpuknya pekerjaan. Sebuah notifikasi pesan muncul di layar ponselnya. Dari Natasha.
[Baby : Sayang, kamu belum pesen kue untuk aku, kan?]
[Athaya : Belum, Sayang. Kenapa? Ada yang mau kamu rubah?]
[Baby : Iya. Kayaknya aku mau kuenya bertemakan Royal cake aja, deh. Bisa nggak?]
[Athaya : Royal cake? Maksud kamu gimana?]
Aku sudah sangat bersyukur Natasha tidak menginginkan desain kue ulangtahun yang rumit kali ini. Tapi, nampaknya semesta tak berpihak padaku.
[Baby : Aku mau kuenya kayak ada ukir-ukiran dari emasnya. Biar ada sensasi mewahnya. Tolong kamu atur kayak begitu, ya. Hmm, kayaknya aku mau warnanya ungu tua, ya. Biar pas sama warna gold. Aku mau kuenya tingkat 3, ya. Itu aja, sih. Aku sarapan dulu, ya. See you when I see you, Babe.]
[Athaya : I love you, Honey.]
Segera kuminta sekretaris pribadiku untuk memanggil asistenku, Andhika ke ruanganku. Aku sungguh butuh bantuannya. Andhika lah yang bisa kupercaya tiap kali kubutuhkan bantuan.
“Permisi, Pak. Tadi Katrin telepon saya. Katanya Bapak cari saya. Ada apa ya, Pak?” ucapnya.
“Tolong kamu pesan kue ulangtahun untuk saya.”
“Seingat saya ulangtahun Bapak bukan dalam waktu dekat-dekat ini.”
“Bukan untuk saya. Tapi, untuk Natasha. Dia ulangtahun bulan depan. Kamu tolong pesan 1 kue ulangtahun untuk dia, ya.” Andhika mengangguk.
Kujelaskan semua detail kue yang diinginkan Natasha pada Andhika.
“Baik, Pak. Warna krim ungu dengan detai ukiran emas. Rasa kue vanilla dengan isians elai mawar dan semprotan cairan madu di setiap layer. Kuenya tiga tingkat,” ulang Andhika. Aku mengangguk memastikan. “Baik, Pak. Nanti akan saya pesankan.”
“Alamat toko kuenya nanti saya kirim via WA, ya. Bilang ke mereka kuenya untuk acara tanggal 10 bulan depan.”
“Baik, Pak.”
Baiklah, satu urusan selesai. Aku hanya tinggal memastikan semua persiapan berjalan dengan sempurna seperti keinginan Natasha. Aku ahrus bisa memenuhi rencanaku saa pesta ulangtahunnya nanti. Aku harus melamarnya di depan teman-temannya agar Natasha tak bisa lagi menghindar setiap ditanya soal pernikahan. Mungkin cara ini sedikit keterlaluan. Terpaksa aku harus mengambil cara ini.
Kutekan intercomm yang menghubungkan ruanganku dengan meja sekretarisku, Katrin.
“Rin, saya ada jadwal lagi nggak untuk hari ini?” tanyaku
“Nggak ada, Pak. Jadwal Bapak kosong. Tapi, besok jadwal Bapak full untuk seharian.”
“Jadwal saya untuk besok apa aja ya, Rin?”
“Besok Bapak ada meeting di tiga tempat. Meeting dengan PT. SariFood di Restoran Guzel sekalian makan siang di sana. Meeting ke dua dan ketiga di kantor dengan PT. Nusa Pangan Indah dan PT. Gamala Food.”
“Agendanya apa aja , Rin?”
“Ketiganya sama, Pak. Membahas kesepakatan kerjasama untuk memasarkan produknya di supermarket dan minimarket kita.”
“Oh, yaudah. Kalo begitu saya pulang cepat ya hari ini. Ada hal yang harus saya urus.”
“Baik, Pak.”
Sesampainya di rumah, aku segera naik ke lantai atas untuk membersihkan diri dan langsung istirahat. Jam makan malam masih terlalu lama. Selesai membersihkan diri, kurebahkan tubuhku di atas tempat tidur. Kuambil tas kerjaku dan kukeluarkan buku catatan itu dari dalam sana. Tak pernah merasa bosan tiap kali mengulang untuk membacanya. Seluruh tulisan yanga da di sana seakan menghipnotisku. Aku sudah begitu jatuh cinta dengan apa yang tertulis di sana.
Aku ingin kita bagaikan siomay dan sambal kacang.
Saling melengkapi sebagai tanda sayang.
Tak bisa kutahan untuk mengukir senyuman di bibir tiap kali membaca kalimat-kalimat lucu yang ditulis di sini. Buku ini lengkap dengan semua yang ada di dalamnya. Kata-kata yang di tulis lengkap dan mewakili segala macam emosi yang dirasakan oleh sang penulis.
Aku bisa dengan mudahnya dibuat tersenyum bahkan tertawa tiap kali membaca kata-kata lucu yang ada di sana. Dan, tak jarang aku juga dibuat ikut terenyuh dan kesal dengan kata-kata yang menggambarkan betapa kesalnya hati si penulis saat mencurahkannya.
Kamu pernah janji satu.
Untuk selalu menjadikan aku ratu di hatimu.
Tapi, aku sadar kamu memang bukan seorang raja.
Semua itu jelas sebatas mengukir asa.
Pintaku hanya satu.
Jangan sampai membuatku menutup pintu.