TSURAYYA -3-

4008 Kata
Kedatangan Rajendra ke toko saat itu jelas membuatku kembali mengingat pengkhianatan yang dilakukannya 4 tahun lalu. Hubungan yang sudah dibina selama 3 tahun kandas karena aku yang terlalu bodoh untuk selalu memberinya maaf dan kesempatan setiap kali dia mengulang kesalahan yang tak terhitung. Orang bilang, sebuah hubungan harus dilandasi sikap saling percaya. Rupanya, bukan saling percaya yang dimaksud kebanyakan orang. Aku sepenuhnya percaya dengan dia yang saat itu menjadi pasanganku. Tak pernah sekalipun menaruh curiga dengan apapun yang dilakukannya. Tapi, rupanya kepercayaanku disalahgunakan. Sekali dia melakukan kesalahan, kumaafkan dan kuberi dia kesempatan. Dua kali dia kembali melakukan kesalahan, masih kumaafkan. Tapi tidak untuk selanjutnya. Saat itu, aku benar-benar merasakan ada di titik rendahku. Dikhianati seseorang yang sangat kucintai. Konyol memang. Dibutakan oleh cinta menutup akal sehat dan logika. Saat itu, aku terlalu mencintainya. Sampai rela menutup mata dan telinga pada setiap laporan orang-orang yang kukenal tentang apa yang diperbuat Rajendra. Ya, itu tadi. Rasa percaya yang begitu tinggi. Aku menyesal karena pernah sangat mempercayainya. Harus kuakui, selama berhubungan dengan Rajendra akulah yang selalu menyokong keuangan setiap kali kami bertemu. Saat itu, aku berusaha mengerti keadaannya yang sedang membangun karir sebagai pegawai di salah satu bank di Jakarta. Bagiku bukan masalah besar. Aku mengenal Rajenra secara tak sengaja di sebuah acara yang digelar di kampus. Rajendra adalah salah satu pengurus BEM. Kala itu, pesonanya memang tak terelakkan. Banyak mahasiswi yang tergila-gila padanya. Tapi, ternyata Rajendra memilihku. Banyak orang yang menggadang-gadangkan kami sebagai pasangan yang akan berakhir ke pelaminan setelah lulus kuliah. Setiap kali teringat akan hal itu membuatku tertawa sekaligus bersyukur. Tertawa mengingat itu sangat konyol dan bersyukur karena aku tak harus berakhir dengannya di sebuah pernikahan. Awalnya, hubungan kami memang terasa begitu manis seperti pasangan yang lainnya. Aku dan Rajendra yang kala itu masih berstatus sebagai mahasiswa kerap membuat banyak orang cemburu setiap kali melihat kebersamaan kami di kampus. Semua perlahan berubah tak lama setelah Rajendra mendapatkan pekerjaan. Kesalahan pertamanya adalah saat kupergoki dia yang kala itu tertangkap berbalas pesan mesra dengan salah satu nasabah di bank tempatnya bekarja. Posisi customer service membuatnya sering bertemu dengan para nasabah perempuan. Segala penjelasan coba diberikannya kala itu. Berjanji tak akan mengulanginya cukup untukku memaafkan kesalahannya. Rupanya Rajendra tak jera. Dia kembali membuat kesalahan. Menjalin hubungan dengan rekan kerjanya yang bernama Vanessa. Sebuah informasi dari seorang teman lama yang kebetulan menjadi nasabah di bank tempat Rajendra bekerja. Hubungan mereka memang hanya sebatas ‘Teman Tapi Mesra’, tapi semua tak masuk akal bagiku. Lagi-lagi aku kembali lunak karena penjelasannya. Aku pun kembali memaafkannya. Ujung dari hubungan kami terjadi 4 tahun yang lalu. Saat itu, aku sudah benar-benar tak bisa lagi menahan apa yang kurasakan selama itu dan ingin segera lepas darinya. Ooo Empat tahun yang lalu... Sudah 3  hari ini aku mempersiapkan segala hal untuk merayakan ulangtahun Rajendra. Kue dan kado sesuai dengan keinginannya sudah kusiapkan. Kue ulangtahun kali ini khusus kubuat sendiri. Aku juga sudah memesan satu meja di restoran favorit kami. Membayangkan reaksinya saja sudah membuatku sangat bahagia. [Tsurayya : Honey, aku udah booking tempat di restoran biasa. Kamu jangan sampe lupa, ya. Eh tunggu. Kamu nggak lupa, kan?] Mungkin karena sibuk, Rajendra tak langsung membalas pesanku. Mungkin, baru sekitar 2 jam kemudian dia membalas pesan dariku. [Honey : Besok kan, Yang? Kado yang aku minta udah kamu siapin kan, Yang?] [Tsurayya : Iya, Honey. Untuk besok. Kado kamu udah aku siapin. Besok di restoran biasa jam 7 malem, ya. Kita dinner di sana.] Aku mematut diri di depan cermin. Memakai gaun hijau tosca yang dibelikan Rajendra beberapa bulan yang lalu. Merasa sempurna dengan polesan make-up sederhana. Kulirik jam dinding yang terpasang di dinding kamarku. Berkali-kali menengok ponsel, berharap Rajendra segera mengabariku. Tak lama, kudengar suara motornya yang terparkir di halaman rumah. Dia datang. Rajendra terlihat sangat tampan, seperti biasanya. Aku segera turun ke bawah dan menemuinya. “Eh, udah dateng. Jalan sekarang?” tanyaku. Rajendra mengangguk. Kuserahkan kunci mobilku ke tangannya. “Kamu kenapa cantik banget, sih?” ucapnya yang membuatku bersemu malu. Rajendra menggandengku dan berjalan menuju ke mobil. Dibukakannya pintu mobil dan meletakkan telapak tangannya di atas kepalaku saat memintaku untuk segera masuk ke mobil. Dia selalu melakukannya agar kepalaku tak terpentok pintu mobil. Di sepanjang perjalanan, kami berbincang dan sesekali bercanda. Membahas apapun itu yang kami lihat di sepanjang jalan menuju ke restoran. “Makasih ya, Yang. Kamu yang terbaik,” ucapnya sambil mengenggam telapak tangan kananku. Aku tersenyum dan mengangguk ke arahnya. “Sama-sama, Honey. Kalo kamu seneng, aku juga ikut seneng.” Setibanya di restoran, kami langsung diarahkan ke meja yang sudah kupesan beberapa hari yang lalu. Sengaja kuminta pihak restoran untuk menyiapkan sebuah karangan bunga dan menatap meja seindah mungkin. Kami berdua duduk berhadapan. Akus engaja meminta pihak restoran untuk menyiapkan meja yang agak jauh dari keramaian. Temaran cahaya lilin menambah kesan romantis malam ini. Seorang pelayan restoran datang dengan membawa kue ulangtahun yang sudah kusiapkan. Tadi siang, sambil memastikan persiapan sengaja kubawa kue yang kubuat agar bisa disajikan tepat waktu. Semburat bahagia terpancar di wajah Rajendra. Aku yang melihat senyuman terpatri di kedua bibirnya juga tak bisa menahan bahagia. Kue ulangtahun sudah ada di hadapannya. Sebelum meniuo lilin, kuminta Rajendra untuk berdoa. “Baca doa dulu sebelum tiup lilin ya, Hon.” Rajendra mengangguk. Dia memejamkan kedua matanya dan berdoa dalam hati. Kemudian, setelah membuka kembali kedua matanya Rajendra meniup lilin-lilin yang dipasang di atas kue dengan semangat. Setelah semua cahaya lilin padam, kugenggam kedua tangannya. “Happy birthday ya, Honey. Semoga kamu selalu bahagia dan dilimpahkan rahmat oleh Tuhan.” “Terima kasih ya, Sayang. Terima aksih karena kamu udah nyiapin semua ini. Aku suka banget, Yang.” Segera kutaruh paper bag yang kubawa di atas meja. Kukeluarkan isi yang ada di dalamnya. Mata Rajendra menjadi sedikit tidak sabar. “Sabar, Honey,” ucapku yang direspon dengan kekehan olehnya. Kuserahkan bungkusan yang dibalut dengan kertas berwarna silver itu ke tangannya. “Semoga kamu suka, ya. Semoga ini bisa bantu kamu menyalurkan hobi kamu. Semoga kamu makin sayang sama aku.” Rajendra menyambar bungkusan itu dengan cepat. Segera dibukanya kertas pembungkus kado itu dengan sangat tidak sabaran. Matanya berbinar ketika melihat hadiahnya. “Thank you, Sayang. Terima kasih bsnysk. Aku sayang kamu. Aku janji bakal pake kamera ini dengan sangat baik. Aku janji.” Aku dan Rajendra menikmati menu makan malam yang kami pesan. Setelah makan malam, kami tak langsung pulang. Aku dan Rajendra memilih untuk berbincang sambil emnikmati hidangan penutup. “Kerjaan kamu gimana, Hon?” tanyaku. Rajendra yang sedang menyuap sesendok caramel pudding langsung melirik ke arahku. “Lancar, kan?” “Lancar. Semuanya lancar. Kenapa?” “Nggak apa-apa. Vanessa masih kerja di sana?” “Masih. Kamu nggak lagi curiga sama aku, kan?” tanyanya. Aku menggeleng. “Nggak. Aku percaya sama kamu. Tolong jangan rusak kepercayaan aku lagi. Kalo kamu rusak kepercayaanku lagi, aku nggak tau harus gimana.” Ditaruhnya sendok pudding yang ada di genggamannya di atas piring. Rajendra meraih pergelangan tangan kananku dan meraih telapaknya. “Kamu masih ragu sama aku?” tanyanya. Aku menggeleng. “Aku nggak akan sakitin kamu lagi.” “Aku pegang janji kamu. Kamu tau kan aku sayang banget sama kamu?” sahutku. Rajendra mengangguk. “Aku harap pernyataanku barusan cukup untuk bikin kamu nggak ngulangin kesalahan.” “Aku janji.” OoO Saat ini, aku tengah menunggu kedatangan Rajendra di teras rumah. Beberapa saat yang lalu, Rajendra mengirimiku pesan. Dia meminta izin untuk meminjam mobilku untuk pergi hunting foto dengan teman-teman setongkrongannya. Tak lama, Rajendra datang dengan ojek online yang ditumpanginya. “Yang, weekend ini kita nggak bisa jalan bareng dulu. Nggak apa-apa, ya. Next weekend kita jalan.” Aku mengangguk. “Aku pinjem mobil kamu dulu, ya. Senin kamu kita ketemuan setelah aku pulang kerja. Gimana?” “Iya. Kamu atur aja. Kamu ati-ati di jalan ya, Hon. Nggak usah ke tempat yang aneh-aneh. Jangan bikin aku khawatir, ya.” “Iya. Nanti aku kabarin kamu kalo udah sampe sana, ya.” Aku tak tahu kemana perginya Rajendra dan teman-temannya. Dia memang mengirimiku pesan sesampainya di lokasi hunting foto. Pesannya membuatku sedikit tenang karena dia tiba di lokasi dengan selamat. [Honey : Aku hunting foto dulu. Bye.] [Tsurayya : Ati-ati ya, Hon. Miss you already.] Begitulah Rajendra. Setiap kali asyik dengan kegiatan yang disukai, dia akan mendadak melupakanku. Setelah pesan terakhirnya tadi siang, dia tak lagi mengirimiku pesan hingga malam hari. Pun aku sungkan untuk mengiriminya pesan. Mungkin dia terlalu lelah setelah seharian berkeliling berburu foto dengan teman-temannya, pikirku. Senin sore, sesuai kesepakatan kami bertemu di sebuah cafe. Aku tiba lebih dulu. Segera kupesan segelas minuman dan sepiring kudapan sembari menunggunya. Sebuah notifikasi pesan muncul di ponselku. [Sarah : (sebuah gambar) Ini Jendra, kan?] [Tsurayya : Iya. Lo liat dia dimana?] [Sarah : Gue lagi di parkiran supermarket. Ini mau balik nggak sengaja liat dia. Intu mobil lo kan, Ya?] [Tsurayya : Iya. Itu mobil gue.] [Sarah : Dia sama cewek. Gue kira lo. Ternyata bukan.] [Tsurayya : Lo nggak lagi bohong, kan?] [Sarah : Untungnya gue bohong apaan?] [Tsurayya : Ceweknya masih sama dia?] [Sarah : Nggak, Ya. Dia masuk ke dalem sama cewek. Keluarnya sendirian. Mobilnya udah keluar. Gue nggak bisa ngikutin soalnya nunggu nyokap gue dulu. Sorry, Ay. Nggak bisa bantu banyak.] Kurasakan sesak yang tiba-tiba memenuhi d**a. Rajendra benar-benar mencoba bermain api untuk kesekian kalinya. Tanpa sadar, sudah hampir satu jam aku menunggunya. Tiba-tiba kurasakan seseorang memegang pundakku. “Yang, kamu kelamaan nunggu?” ucapnya. Aku menggeleng. Rajendra  depanku dan menaruh semua barang-barang yang dibawanya ke atas meja, termasuk tas berisikan kamera yang kuahdiahkan padanya.                                  “Kok kamu lama, sih?” tanyaku basa-basi. “Tadi ada briefing dulu di kantor sebelum pulang. Soalnya bulan depan kan bank tempat aku kerja ulangtahun. Kamu udah pesen makanan buat kita?” Kutunjukkan piring kosong bekas kudapan yang tadi kupesan. “Yaudah, aku mau ke toilet dulu. Kebelet.” Rajendra berjalan menuju ke toilet. Ada sesuatu dalam diriku yang mendorong untuk memeriksa barang-barangnya. Ponsel adalah barang pertama yang kuperiksa. Kupastikan Rajendra belum keluar dari toilet. Terkadang, dia memang butuh waktu lama untuk dihabiskan setiap kali ke toilet. Ponselnya terkunci. Tapi, aku tak butuh waktu lama untuk membukanya karena tanggal lahirnyalah yang dijadikan kunci pengaman di layar ponselnya. aku dibuat terkejut ketika kulihat sebuah notifikasi pesan masuk ke ponselnya. Jelas itu bukan dariku. [My Love : Aku udah sampe rumah. Nanti malem kita video call, ya.] Segera kuketik nomor ponselku di layar ponselnya. Kutekan tombol panggilan. Aku kembali dibuat sangat terkejut. Rajendra menyimpan nomorku dengan nama “Ayya”. Setelah selesai memeriksa ponselnya, fokusku beralih ke tas kamera yang ditaruhnya di atas meja. Kurapalkan doa berkali-kali, berharap ketakutanku tak akan pernah terbukti. Semesta tak berpihak padaku. Puluhan foto yang ada di dalamnya seakan menjadi bukti. Dari semua foto yang ada, tak kutemukan satu pun fotonya bersama teman-temannya. Dia sudah membohongiku. Segera kurapihkan semua sebelum akhirnya dia kembali. Aku berusaha setenang mungkin. Kusembunyikan betapa besarnya rasa kecewaku. Rajendra kembali dari toilet dan langsung duduk di bangkunya. “Kunci mobilku mana?” ucapku. Rajendra terlihat sedikit terkejut dn segera merogoh saku celananya. “Aku mau balik.” “Lho, kok buru-buru?” tanyanya. “Barusan Papa telepon. Aku disuruh balik karena disuruh nemenin anak temennya Papa yang baru sampe di Jakarta,” kilahku. Itu hanya alasanku agar bisa segera pergi dari sana. “Sini kuncinya.” “Kenapa harus kamu yang nemenin anak temennya papa kamu?” ucapnya. “Kayaknya aku mau dijodohin sama dia. Aku pulang duluan.” “Kamu nggak lagi bercanda kan, Yang?” ucapnya. Aku mengangguk. “Jangan bercanda.” “Nanti kita ngobrol lagi. Aku harus buru-buru.” Segera kuraih tas kameranya. “Aku pinjem ini.” Kulihat Rajendra masih terpaku meski aku sudah berjalan beberapa langkah menjauh darinya. Baru ketika aku sadar dia berlari mengejarku, aku juga segera berlari menuju tempat parkir. Aku langsung masuk ke dalam mobil dan menyalakan mesin. Segera kupacu mobil dan tak menghiraukan dia yang berusaha mengejar di belakang. Aku menangis sejadi-jadinya di balik kemudi. Kutepikan mobilku di pinggiran jalan yang lumayan ramai. Kutertawai nasibku kini, kembali dipermainkan untuk kesekian kalinya. Kumatikan ponsel karena tak ingin diganggu olehnya. Rajendra bukanlah tipe laki-laki yang akan dengan gampangnya menyerah, meskipun dirinya jelas salah. Sesampainya di rumah, aku segera masuk ke kamar. Tak ingin diganggu, kuputuskan untuk mengunci diri di dalam kamar. Kudengar berkali-kali Mama memanggilku turun untuk makan. Jangankan untuk makan, aku tak semangat melakukan apa-apa. Aku hanya ingin sendiri. “Ay, lo kenapa? Kata Mama lo nggak keluar sejak pulang tadi. Kenapa, Ay?” ucap Mas Gibran dari balik pintu kamarku. “Buka dulu, Ay.” “Gue nggak apa-apa, Mas. Gue udah makan tadi di luar. Gue mau tidur.” “Nggak biasanya lo tidur jam segini. Buka dulu pintunya. Gue mau masuk.” “Gue ngantuk, Mas. Besok aja, ya.” Mas Gibran menyerah dan akhirnya berhenti mengetuk pintu kamarku. Di dalam kamar, aku kembali menangis. Aku merasa sangat bodoh. Bisa-bisanya berkali-kali dibohongi. Sudah 3 hari ini, aku menjadi lebih pendiam. Ponselku masih kumatikan. Selama beberapa hari ini, aku mencari jalan keluar untuk semua masalah ini. meskipun berat, aku harus segera mengambil keputusan. Pagi-pagi sekali, aku sudah rapih berpakaian. Papa, Mama dan Mas Gibran tentu terlihat terkejut mengingat aku hanyalah seorang kaum rebahan yang lebih sering bangun siang. “Ayya mau kemana?” tanya Papa. “Ayya ada janji sama Sarah, Pa. Kita mau pergi.” OoO Sengaja kuminta Sarah untuk menemaniku. Seharian ini, kuputuskan untuk mengikuti Rajendra. berjam-jam kami habiskan di dalam mobil memantau keadaan di luar bank tempat Rajendra bekerja. Tepat di jam makan siang, kulihat Rajendra keluar dari bank dengan menggandeng seorang wanita. Mereka berdua masuk ke dalam sebuah taksi yang berhenti di pinggir jalan. Kuminta Sarah untuk mengikuti kemana laju taksi membawa mereka berdua. Aku dan Sarah dibuat kaget dengan apa yang kami saksikan saat ini. Taksi berhenti di depan lobby sebuah hotel yang letaknya tak jauh dari bank tempat Rajendra dan wanita itu bekerja. Kupastikan mereka sudah benar-benar masuk ke dalam lift. Aku dan Sarah segera menghampiri meja front office dan menanyakan kamar yang ditempati keduanya. “Maaf, Bu. Ini sudah jadi kebijakan hotel. Kami tidak bisa memberitahukan informasi pribadi karena bisa melanggar privacy pelanggan kami,” ucap seorang pegawai front office hotel. “Mbak, please. Ini temen saya. Yang tadi itu pacarnya lagi bawa selingkuhannya. Kita cuma mau tau nomer kamarnya aja. Tolong, Mbak. Kita kan sama-sama perempuan.” “Maaf, Bu. Dengans sangat menyesal kami tidak bisa membantu.” “Mbak, kalo saya telepon Om Adam langsung apa masih nggak bisa? Saya kenal baik sama Om Adam. Kebetulan, Om Adam itu sahabat Papa saya. Kalo perlu, Mbak bisa hubungi Om Adam langsung. Sampein ke Om Adam kalo Ayya anaknya Pak Hardianto Aditama ada di lobby. Om Adam ada di kantornya, kan?” Pegawai front office itu terlihat sangat tidak nyaman dengan apa yang baru saja kusampaikan. Aku berkata jujur. Pemilik hotel ini memang benar adalah sahabat baik Papa. “Baik, Bu. Saya akan informasikan nomor kamarnya. Mohon tunggu sebentar.” “Mbak, tolong siapkan beberapa orang petugas keamanan juga, ya. Mungkin akan ada pertunjukan yang menarik,” cetus Sarah. Aku dan Sarah segera masuk ke dalam lift. Awalnya, hanya ada kami berdua sampai akhirnya seorang laki-laki ikut masuk ke dalam lift. Sarah memencet lantai yang kami tuju. Laki-laki itu terlihat diam saja dan tak memencet lantai yang ditujunya. Tak hentinya Sarah terus berusaha untuk menenangkanku. “Lo tenang. Jangan gegabah, ya. Coba kita liat annti dia mau ngomong apa.” Setelah pintu lift terbuka, aku dan Sarah keluar dan berjalan menuju kamar dimana Rajendra dan Vanessa berada. Semakin mendekati pintu kamar, aku semakin merasa sesak. Tanganku bergetar tak karuan membayangkan apa saja yang mereka lakukan di dalam sana. Aku menunggu di depan pintu kamar, sementara Sarah memanggil petugas keamanan untuk mengawal kami berdua masuk ke dalam kamar. Tak lama, Sarah kembali dengan dua orang petugas keamanan dan seorang petugas hotel wanita. “Lo siap kan, Ya?” tanya Sarah memastikan. Aku mengangguk. “Bismillah ya, Ya. Apapun hasilnya nanti, semua keputusan lo.” Petugas hotel wanita itu mengetuk pintu kamar dan mengabarkan dirinya adalah petugas pelayanan kamar. Pintu kamar langsung dibuka hanya dalam hitungan detik. Aku, Sarah dan kedua petugas keamanan menunggu di sisi tembok yang tak bisa dijangkau door viewer. “Ya, Mbak. Ada apa?” Itu suara Rajendra. Tanganku refleks mengepal kencang. Aku segera menampakkan diri di hadapannya. Kugeser petugas hotel wanita itu. “Sa-sayang, kamu kok bisa di sini?” “Harusnya aku yang nanya. Ngapain kamu di sini pas jam istirahat makan siang sama perempuan itu?” Kutatap dengan pandangan penuh benci dia yang berdiri di hadapanku dengan hanya selembar handuk yang melilit di pinggangnya. “Aku bisa jelasin. Kamu salah paham,” ucapnya. Rajendra menarik pergelangan tanganku, namun segera ditepis Sarah. “Lo nggak usah ikut campur. Ini urusan gue sama Ayya.” “Mulai sekarang, urusan Ayya jadi urusan gue. Dan lo bener-bener nggak tau diri. Kurang enak apa sela lo berhubungan sama Ayya. Lo tuh cuma modal tampang doang. Apa-apa Ayya yang keluar duit.” “Minggir kamu! Mana perempuan itu? Aku mau ketemu!” Kudorong Rajendra yang berdiri menghalangi pintu. Tenagaku tak cukup kuat sampai akhirnya Sarah membantuku dan membuat Rajendra terhenpas. Aku ditemani Sarah masuk ke dalam kamar. Kutemukan perempuan itu yang tergeletak di atas tempat tidur dengan dibalut selimut. Wajahnya ketakutan saat melihatku. Aku berjalan mendekat ke arahnya. Segera kutarik rambutnya dan kutampar kedua pipinya bergantian. “Masih punya muka lo ngadepin gue?” ucapku. Semakin kukencangkan tarikkan tanganku di rambutnya. Vanessa meringis menahan sakit. “Gue bisa jelasin semuanya, Ayya.” Tangannya berusaha untuk menahan pergerakan tanganku. “Lo mau dia?” tanyaku. Vanessa terdiam dan tak menjawab pertanyaanku. “Jawab pertanyaan gue!” “Ayya, tolong jangan begini.” “Kenapa? Lo malu? Kalo lo punya malu, lo nggak akan selingkuh sama dia. Sekarang, jawab pertanyaan gue. Lo mau Jendra?” Vanessa mengangguk. “Ambil! Ambil! Setelah semua yang gue liat hari ini, jangankan untuk nerima dia lagi. Nyebut namanya aja gue jijik. Sampah itu haarusnya dibuang, bukan disimpen.” “Sayang, tolong jangan begini. Kamu salah paham. Dia yang goda aku.” Rajendra menunjuk ke arah Vanessa dengan telunjuknya. “Bisa-bisanya kamu bilang aku yang goda kamu, Jen?” ucap Vanessa. “Kenyataannya begitu.” “Cukup! Gue nggak mau denger perdebatan di antara kalian. Dan untuk lo,” ucapku menunjuk ke arah Rajendra. “Kita selesai. Tiga tahun ini, gue berusahan sekuat mungkin bertahan. Tapi, ternyata gue buang-buang waktu. Dan, satu lagi. Selama ini, jangan pikir gue nggak tau kalo lo cuma manfaatin gue. Termasuk modalin lo sama dia selingkuh. Lo pake mobil gue. Lo pake kamera dari gue.” “Ayya... .” ucap Rajendra lirih. “Jangan pernah sebut nama gue dengan mulut lo. Gue nggak sudi.” Aku berjalan mendekatinya. Segera kulayangkan satu tamparan yang sangat kencang ke pipinya. “Itu untuk sakit hati yang selama ini gue rasa, meskipun gue tau tamparan aja nggak cukup untuk semuanya yang udah lo lakuin ke gue." Sarah segera mengajakku keluar setelah sebelumnya dia meminta petugas keamanan hotel untuk berjaga di dalam kamar. Di luar, aku merasakan kedua lututku begitu lemas bagaikan tak bertulang. Aku terduduk di atas lantai. Sarah memelukku dengan sangat eratnya. “Sabar, Ya. Semuanya udah ada yang atur. Dia bukan yang terbaik untuk lo. Lo pantes untuk bahagia. Jangan sedih, Ayya.” Setelah puas menangis, aku dan Sarah segera turun ke lantai bawah. Kami tak langsung pulang. Sarah mengajakku untuk duduk menikmati angin di taman yanga da di bagian depan hotel. Aku butuh menuangkan segala sesak yang kurasakan di buku catatanku. Bukan satu atau dua Adakah rasa bosanmu menoreh luka? Ini tak sekedar canda Aku jelas terluka Maaf, aku tak bisa Terima kasih untuk semua derita Tak akan ada lagi tentang kita -T.S- Buku ini adalah tempat dimana aku mencurahkan semua perasaanku, baik suka maupun duka. “Lo nyesel dengan apa yang lo lakuin tadi, Ya?” tanya Sarah. Aku menggeleng. “Bagus. Jangan pernah nyesel untuk laki-laki kayak dia. Dia nggak pantes dapet perlakuan baik dari lo. Please, jangan sedih lagi ya, Ayya.” “Sar, thank you. Lo udah mau nemenin gue seharian ini. terima kasih banyak, ya. Sorry kalo gue udah ngerepotin lo.” “Nggak lah. Justru gue seneng banget dapet pertunjukkan bagus tadi.” Aku terkekeh. “Yaudah, udah sore. Kita pulang, yuk! Keburu macet.” Hari itu, adalah hari terakhirku memegang buku catatan yang selama ini menemaniku. Aku segera meminta Sarah untuk kembali ke taman hotel setelah sadar buku itu tak ada di dalam tasku. Kami menyisir seluruh penjuru taman. Tapi, buku itu tak juga ditemukan. Aku kehilangan buku itu. Rajendra tak langsung menerima keputusanku hari itu. Dia gigih, bahkan terlalu gigih. Berkali-kali dia mencoba untuk menghubungiku dan mendatangi rumahku. Tentu semua itu membuat keluargaku bingung. Setelah kusampaikan semua yang terjadi pada mereka, Papa dan Mas Gibran segera pasang badan untuk menghadapi Rajendra. Sejak hari itu, Papa meminta beberapa orang untuk berjaga di sekitarku. Mereka mengikuti kemanapun aku pergi. Penjagaan yang sangat ketat tak memberi celah sedikit pun untuk Rajendra bisa mendekatiku. Tapi, ada kalanya penjagaan longgar dan dia bisa muncul di hadapanku. “Ayya, dengerin aku dulu. Aku nggak terima kamu putusin aku.” “Kenapa nggak bisa terima? Masih punya muka muncul di depan gue?” ucapku. “Aku sama Vanessa cuma iseng aja. Kita nggak serius.” “Wah, serem dong. Isengnya aja sampe check in di hotel. Gimana kalo sampe serius. Udah, ya. Gue nggak mau berhubungan lagi sama lo. Lo liat kan di sana?” Kutunjuk beberapa orang penjaga yang sudah mulai berjalan mendekat ke arahku. “Bokap gue nggak main-main.” Rajendra terlihat menelan ludahnya kasar. Ekspresi wajahnya berubah seketika. Perlahan, dia berjalan mundur dan lama-kelamaan menjauh. OoO “Ya, ada orang nanya. Katanya di sini nerima private bikin kue nggak,” ucap Sarah. “Siapa?” sahutku. Sarah mengendikkan kedua bahunya. Dia hanya menunjuk ke ke arah luar. Aku segera mengintip lewar pintu dapur yang terbuat dari kaca. “Itu orangnya?” “Iya.” “Siapa, ya? Gue nggak kenal, sih. Baru kali ini liat.” “Yaudah, lo temuin aja dulu.” Tanpa pikir panjang, aku segera keluar dari dapur dan menemui perempuan muda yang sedang duduk sambil menikmati sepotong red velvet di mejanya. Perempuan muda dengan wajah cantik dan usia yang kuperkirakan tak begitu jauh denganku. “Permisi, Mbak. Mbak cari saya?” ucapku. Perempuan itu mengangguk dan tersenyum ke arahku. “Namaku Seruni, Mbak. Ini kali pertama saya ke sini.” “Salam kenal, Mbak Seruni. Saya Tsurayya. Boleh panggil saya Ayya,” ucapku memperkenalkan diri. Kami berdua saling berjabat tangan. “Jadi, apa yang bisa saya bantu, Mbak Seruni?” “Panggil Runi aja ya, Mbak,” ucapnya. Aku mengangguk. “Jadi, apa yang bisa saya bantu, Runi?” “Mbak, kebetulan aku lagi belajar bikin kue. Tapi, nggak pernah berhasil. Terakhir kali, aku hampir bikin rumah kebakaran karena asep yang keluar dari oven,” ucapnya. Aku tersenyum. “Di sini bisa private bikin kue, Mbak?” “Oh, sebenernya kalo untuk private kami belum pernah. Tapi, mungkin akan saya pertimbangkan karena Runi tertarik untuk belajar membuat kue.” “Seriusan, Mbak?” ucapnya semangat. Aku mengangguk. “Kapan bisa dimulai, Mbak?” “Mungkin setiap weekend. Runi bisa? Kalo bisa, kita bisa mulai minggu depan.” “Bisa, Mbak. Bisa banget. Biayanya gimana ya, Mbak?” “Runi bisa bayar saya dengan rajin belajar, ya. Denger kamu punya minat belajar bikin kue aja udah seneng banget. Gimana?” “Wah, nggak bisa begitu. Aku kan di sini belajar. Mbak bisa rugi kalo nanti aku banyak bikin kesalahan.” “Makanya, Runi harus belajar yang giat biar nggak bikin saya rugi, ya.” “Berat juga ya, Mbak.” “Gini aja, deh. Kalo Runi tetep maksa untuk bayar biayanya, nanti Runi bayar aja biaya yang dikeluarkan untuk bahan-bahan yang kamu pake pas praktek. Gimana?” “Nah, itu baru enak. Aku mau, Mbak.” “Yaudah. Kita bisa mulai minggu depan, ya.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN