Athaya’s POV
Membaca bait demi bait yang tertulis di buku ini sudah menjadi kegiatan favoritku sejak 4 tahun yang lalu. Bahkan, aku sudah hapal semua hal yang tertulis di dalamnya. Aku jatuh cinta dengan segala hal yang tertuang di dalamnya. Buku ini datang di saat aku merasa benar-benar hancur. Tak hanya hal-hal manis dan indah yang dituangkan oleh penulisnya di buku ini, tapi kutemukan beberapa bait kata-kata bermakna kesedihan yang mendalam.
Halaman terakhir yang k****a berisikan sebait kata-kata yang menggambarkan betapa besar rasa kecewa yang tengah dirasakan sang pemilik buku, seseorang dengan inisial T.S. Berbagai cara sudah kutempuh untuk menemukan si pemilik buku. Tapi, semua sia-sia. Tak ada satupun petunjuk yang menjadi titik terang siapa sebenarnya pemilik buku ini. Lembar terakhir itu berkali-kali k****a di setap sela waktu senggangku. Apa yang tertulis di sana jelas sama dengan apa yang kurasakan saat itu. Itu kenapa aku merasa ada sesuatu yang mengikatku dengan buku ini.
Bukan satu atau dua
Adakah rasa bosanmu menoreh luka?
Ini tak sekedar canda
Aku jelas terluka
Maaf, aku tak bisa
Terima kasih untuk semua derita
Tak akan ada lagi tentang kita
-T.S-
Empat tahun yang lalu...
“Babe, kamu belum transfer ke rekeningku bulan ini. Ada tas limited edition yang mau aku beli. Kamu cepet transferin, ya. Aku nggak mau kehabisan. Bisa malu aku kalo sampe nggak dapet tas itu.” Marissa, gadis yang sudah satu tahun ini berada dalam sebuah hubungan denganku. Aku bertemu dengannya berkat seorang teman yang memperkenalkan kami satu sama lain pada satu kesempatan. Saat itu, dia benar-benar bersikap sangat manis dan langsung membuatku jatuh cinta.
“Kamu kan baru aja beli tas bulan kemarin. Mau beli tas lagi? Buat apa, Sayang?” tanyaku. Marissa mengangguk. Aku hanya bisa menghela napas panjang. Sungguh aku tak pernah merasa keberatan untuk menyokong kehidupannya setiap bulan. Tapi, aku merasa dia tidak cukup bijaksana mengolah keuangannya. Dia beli semua barang yang diinginkannya tanpa memikirkan berapa uang yang dibuang secara percuma. Tak ingin berdebat panjang, segera kutransfer sejumlah uang ke rekeningnya. “Kamu cek rekening kamu. Barusan aku transfer 40 juta ke sana. Gunakan uang itu sebaik-baiknya. Masalah beli tas, coba kamu pikir ulang. Tas kamu udah terlalu banyak. Mau kamu simpan dimana lagi?”
“Kamu nggak pernah tau karena kamu bukan perempuan, Babe. Ya beginilah kami, perempuan.”
“Tapi, Bunda sama adik perempuanku nggak kayak kamu. Mereka nggak pernah menghamburkan uang untuk beli barang-barang mahal nggak jelas.”
“Jangan pernah kamu bandingin aku sama Bunda dan adik perempuan kamu itu. Kami jelas beda,” sahutnya.
“Iya. Kalian beda. Sangat. Sifat kamu inilah yang bikin orangtuaku nggak kasih restu untuk hubungan ini. Sebenernya apa sih yang kamu harapkan dari hubungan kita?”
“Aku cinta sama kamu. Kamu cinta sama aku. Kita berdua saling mencintai. Itu cukup, kan?” ucapnya. Aku tak pernah habis pikir dengan apa yang baru saja diucapkannya. bisa-bisanya dia mengatakan hal itu sementara aku berharap lebih dengan hubungan ini. “Don’t say... kamu mau hubungan ini berakahir ke jenjang yang lebih serius. Correct me if I’m wrong.”
“Ris! Kita udah pernah bicarakan hal ini. Dan kamu setuju, kan? Jangan bilang kalo kamu berubah pikiran.”
“Babe, please. Untuk saat ini, I can’t. Aku masih muda. Karierku baru aku bangun. Menikah bakalan bikin karierku hancur. Terlebih untuk punya anak. Hell no! Aku nggak mau badanku rusak karena melahirkan.”
Akan selalu begitu. setiap kali kami berdebat perilah kemana hubungan ini akan di bawa, Marissa akan selalu mengungkit perjuangannya membangun karir artis yang tengah dibangun dan mulai membuat namanya bersinar. Marissa benar-benar sudah jauh berubah. Tapi, entah kenapa aku tak pernah bisa lepas darinya. Hati ini sudah tertambat jauh padanya. Seburuk apapun dia, ruang di hati ini hanya tersedia untuknya. Bahkan, aku sudah berani menentang kedua orangtuaku yang tak pernah menyetujui hubungan ini.
“Aku pergi dulu, ya. Aku nggak sabar mau beli tas. Oh, iya. Aku lupa kasih tau kamu. Aku ada pemotretan di Bali selama 2 minggu. Kita nggak bisa ketemu dulu, ya.”
“Aku nyusul ke sana, ya.”
“Jangan. Aku ke sana kan untuk kerja. Bukan untuk liburan. Kamu di sini aja, ya,” ucapnya yang kurespon dengan sebuah anggukkan.
“Okay. Kamu jaga kepercayaanku, ya. Aku percaya kamu.” Marissa mengangguk dan segera membuatku lunak dengan pagutan kuat di kedua bibirku.
“Aku masih punya waktu sebentar kalo kamu mau lebih serius,” ucapnya saat pagutan kami terurai. “Kamu selalu nolak setiap kali aku ajak.”
“No, Ris. Aku nggak akan pernah ngelakuin ini sama kamu sebelum kita menikah. Aku nggak mau ngerusak kamu.”
“Aku rela. Aku rela kamu jadi yang pertama ngelakuin ini ke aku.”
“Nggak. Aku nggak bisa,” sahutku tegas. Marissa terlihat sangat kecewa dengan jawabanku. Kulihat dia menghembuskan napasnya dengan kasar. Diraihnya sling bag warna hitam yang baru dibelinya bulan lalu.
“Aku pergi, ya. Aku nggak mau berdebat sama kamu. Bye.” Satu kecupan meluncur di pipi kananku.
OoO
Beberapa hari selama kepergian Marissa ke Bali, kami hanya berhubungan lewat pesan singkat w******p dan juga panggilan video, itu pun juga sebentar. Jadwal kerjanya yang padat membuat kami hanya bisa berkomunikasi sebentar saja, begitu katanya. Ingin rasanya aku menyusulnya ke Bali. Menemaninya yang sedang bekerja. Berharap kedatanganku akan membawa dampak positif baginya. Tapi, dia menolak dan tak membiarkanku untuk menyusul.
Seminggu sudah kami terpisah jarak. Seminggu kepergiannya aku sudah merasa begitu rindu. Aneh memang setiap dipikir. Aku rela melawan keinginan orangtuaku dan tetap menjalankan hubungan dengannya secara diam-diam. Yang orangtuaku tahu, aku dan dia sudah mengakhiri hubungan ini sejak mereka menyampaikan ketidaksetujuan. berkali-kali menolak perjodohan yang mereka rancang demi bisa terus berhubungan dengan Marissa.
Hari ini, pekerjaanku sangat menggunung. Papa memintaku untuk menjadi delegasi perwakilan perusahaan kami dalam membuat kesepakatan kerja dengan perusahaan rekanan. Perusahaan keluarga kami bergerak di bidang pengadaan barang kebutuhan sehari-hari, supermarket dan minimarket.
Stelah selesai membuat kesepakatan, aku kembali ke kantor selepas sholat Dzuhur. Kucoba untuk menghubungi Marissa. Komunikasi terakhir kami terjadi tadi malam sebelum masing-masing dari kami menutup hari. Marissa hanya memberitahukan jadwalnya akan sangat padat hari ini.
Berderet pesan kukirim ke ponselnya. Centang dua, tapi tak kunjung dibaca. Merasa khawatir, kucoba untuk meneleponnya. Puluhan kali kucoba tapi panggilanku tak kunjung dijawab. Tiba-tiba, ada sebuah pesan dari nomor tak dikenal masuk. Betapa terkejutnya aku saat melihat isi pesan yang dikirimkan.
[Unknown Number : Kalau kamu mau tau apa yang sebenarnya dilakukan wanitamu di belakang kamu, datang ke Hotel XXX. Dia ada di sana. Kamar 403.]
Tak pikir panjang. Aku segera menelepon nomor yang mengirimiku pesan kurang ini. Aku benar-benar dibuat sangat marah dengan semua yang terjadi. Tak ada jawaban atas panggilanku. Nomornya langsung tidak aktif.
Aku segera memacu mobil menuju hotel yang dimaksud. Dadaku bergemuruh. Tak sanggup membayangkan apa yang akan kuhadapi nantinya. Segala cara kulakukan untuk mengusir kegelisahanku.
Setibanya di lobby hotel, segera kuserahkan kunci mobil pada petugas vallet parking. Segera kulangkahkan kaki masuk ke dalam lift. Di dalam lift, aku tak sendirian. Ada dua orang wanita muda. Salah seorang dari mereka terlihat sangat muram, sedangkan yang satunya berusaha menenangkan. Kami menuju lantai yang sama. Kami berpisah arah.
Aku tiba di depan pintu kamar dengan nomor 403 yang terpasang di atasnya. Pintu tak tertutup dengan rapat. Ada sedikit celah yang membuatku bisa mendengar suara dari dalam sana. Kupingku terasa panas seketika saat kudengar desahan dan lenguhan yang berpesta pora dari balik pintu. Tanganku terkepal kencang. Ingin rasanya segera kudobrak pintu dan masuk ke dalamnya.
“Baby! Gently...gently. Oh my God! You’re so damn yummy!”
“Easy. Aku bakalan muasin kamu. Kamu tenang aja. Kamu nggak akan pernah nyesel ngelakuin ini sama aku berkali-kali, Ris. Nggak usah kamu pikirin pacar kamu yang pecundang dan sok suci itu!”
“Shut up, David! Tolong kamu fokus aja sama kita. Faster...faster! Deeper! I want you!”
Aku tak sanggup menahan semuanya lebih lama lagi. Segera kudobrak pintu kamar. Kubiarkan pintu kamar tetap terbuka lebar. Aku harus berjaga-jaga dengan kemungkinan-kemungkinan yang mungkin akan terjadi. Kulangkahkan kaki dengan mantap. Kusaksikan keduanya tengah dalam posisi yang sangat menjijikkan. Marissa terbelalak melihat keberadaanku. Dan, seorang laki-laki yang tengah menindihnya segera melepas posisi mereka dan menyambar selimut yang ada di atas kasur untuk menutupi tubuhnya juga Marissa.
“Ba-babe... ka-kamu ngapain di sini?”
“Masih kamu tanya aku ngapain di sini? Kemana otak kamu?” ucapku dengan nada kencang. Kupukul dinding dengan sangat kencang. Aku tak peduli dengan rasa sakit yang mendera kepalanku. Segera kutarik laki-laki itu dan menghajarnya dengan brutal. “Biadab!”
Kulihat dia ambruk ke lantai setelah berkali-kali kutinju wajahnya. Darah segar terlihat mengalir membasahi wajah laki-laki itu. Marissa yang terkejut segera turun dan memeluk laki-laki itu. Tangisannya tersedu.
“Cukup! Kamu bisa bunuh dia!”
“Aku bisa bunuh kamu juga kalo aku mau. Apa salahku sampe kamu berbuat kayak begini? Apa yang kamu minta selalu aku kasih. Aku rela menentang orangtuaku demi kamu, Ris! Kenapa kamu tega? Masih kurang pengorbanan aku di mata kamu? Dimana hati nurani kamu?”
Marissa merangkak dan sujud di kedua kakiku. Masih dengan tubuh yang terbalut selimut lebar dia terus memeluk kedua kakiku. Sebisa mungkin, kusingkirkan dia agar tak menempeliku dengan kedua tanganku. Aku merasa sangat jijik melihat keadaannya saat ini.
“Maafin aku, Babe. Aku khilaf. Aku minta maaf.”
“Maafmu nggak berguna. Kamu bilang apa? Khilaf? Kamu gila? Dimana otak kamu, Ris?” ucapku dengan sangat marah. Kemarahan seolah menutupi logikaku saat ini.
“Aku minta maaf. Tolong maafin aku. Aku minta maaf, Athaya!”
“Nggak. Aku nggak bisa. Ini udah keterlaluan. Aku nggak bisa. Aku ngerasa kamu udah lama berkhianat di belakang aku. Iya, kan? Sejak kapan ini semua dimulai? Jawab aku!”
Marissa bungkam. Cengkramannya di kedua kakiku melemah. Dia terisak. Tangisannya semakin mengencang.
“Aku minta maaf, Athaya. Aku minta maaf. Aku salah.”
“Ya, kamu salah. Sangat salah. Jawab pertanyaanku. Sejak kapan ini semua terjadi?” teriakku. Marissa kaget saat mendengar teriakanku. Kedua bahunya bergetar hebat diiringi isakkan yangs emakin mengencang. Kulihat laki-laki itu masih terkapar di atas lantai. “Sejak kapan kamu berhubungan sama dia? Jawab aku!”
“Se-setengah tahun.”
“Gila!” Kujambak rambutku kasar dan berjalan mengitari kamar. Aku teriak sekeras yang aku bisa. “Gila! Ini gila! Setengah tahun? Kamu berkhiaRis selama itu? Kenapa kamu tega, Ris?”
Teriakanku rupanya terdengar dari luar. Beberapa orang segera berkumpul. Bahkan, dua orang petugas keamanan hotel ikut masuk ke dalam kamar. Mereka semua terlihat sangat terkejut dengan apa yang terjadi di sini. Salah satu dari petugas keaman itu segera meraih apapun yang bisa digunakan untuk menutupi tubuh telanjang laki-laki biadab itu
“Tenang, Pak. Tenang. Kalau Bapak selesaikan dengan emosi, laki-laki itu bisa mati.”
“Saya nggak peduli, Pak. Di sini, saya yang jadi korbannya.”
“Bapak bisa masuk penjara!” ucap salah seorang petugas yang menenangkanku.
Ucapannya terngiang di telingaku. Konyol kalau sampai masuk penjara hanya karena hal ini.
“Bawa dia ke rumah sakit, Pak. Biar saya yang tanggung semua biayanya. Saya permisi,” ucapku. Langkahku terhenti seketika saat Marissa kembali merengkuh kedua kakiku. Menahanku utnuk tidak kelaur dari kamar ini. “Apa yang kamu harapkan, Ris? Di antara kita sudah selesai. Aku nggak mau liat kamu lagi. Jangan pernah hubungi aku. Lepas!”
Marissa merepas rengkuhannya di kedua kakiku. Memberikan pandangan yang sendu ke arahku, berharap aku mau mengikuti keinginannya dan tetap menerimanya.
“Athaya, jangan pergi,” pintanya. “Tolong. Aku cinta kamu.”
“Cinta katamu? Setelah semua yang kamu lakukan, kamu masih berani bilang cinta? Kamu sakit jiwa?”
“Athaya, please.”
“Semuanya selesai, Marissa. Hubungan kita berakhir.”
“Athaya!”
“Kenapa sehari ini banyak kasus perselingkuhan di hotel, ya,” gumam salah seorang petugas keamanan hotel yang bisa kudengar.
Aku berjalan lunglai menuju lift. Kulihat perempuan yang sempat bersama denganku di dalam lift terduduk lemas dilantai sambil dipeluk teman dan petugas hotel wanita. Merasa bukan urusanku, aku segera masuk ke dalam lift dan turun ke lantai bawah.
Merasa energiku habis karena kejadian tadi, kuputuskan untuk makan di restoran hotel. Kuisi perutku dengan berbagai sajian yang ada di sana. Setelah kupastikan diriku sudah benar-benar kenyang, aku segera berjalan keluar hotel.
Aku tak langsung meminta petugas vallet parking untuk menyiapkan mobilku. Aku butuh udara segar. Sebuah taman dengan air mancur yang ada di depan hotel menjadi pilihanku untuk menenangkan diri. Hatiku hancur sehancur-hancurnya. Tak pernah terbesit di pikiranku Marissa akan dengan sangat teganya berkhianat di belakangku. Selama ini, aku selalu menjaga kesucian hubungan yang kami bina. Aku tak pernah sekalipun berniat untuk melirik wanita lain selain dia.
Sebuah bangku yang ada di taman menjadi tujuanku. Kududukkan diriku di atas bangku itu dan meRisap lurus ke arah air mancur yang sedang menyembur. Kujambak rambutku kasar. Menyesal karena sudah menjadi sangat bodoh.
Lamunanku tersadar seketika saat kulihat sebuah buku di atas bangku taman yang kududukki. Sebuah buku kecil dengan sampul merah maroon tergeletak di atasnya. Kubuka lembar demi lembar halaman di dalamnya. k****a tulisan-tulisan yang ada di sana. Seketika, hatiku berubah menjadi sangat teduh. Bait demi bait yang ditulis di buku itu membuatku merasa tenang. Tapi, saat kubuka catatn terakhir, seakan aku dibuat bisa merasakan duka hati yang tengah dirasa si pemilik. Hatiku terasa semakin panas saat kulihat ada bekas basah yang membuat tinta beberapa kata meleleh. Pemiliknya menangis. Dan hari itu, aku merasakan perasaan lain terhadap si pemilik buku.
OoO
“Kamu beli apa lagi?” ucapku saat melihat laporan pemakaian kartu kredit yang masuk ke ponselku. Aku belum sempat mengeceknya karena terlalu sibuk bekerja. Wanita yang tengah duduk di hadapanku sambil memainkan ponselnya langsung menatapku.
Namanya Natasha. Setelah lama menutup hati sejak berpisah dari Marissa, aku memberanikan diri untuk mengenal orang abru di kehidupanku. Kami bertemu karena Natasha merupakan brand ambassador supermarket milik keluargaku. Seakan memang menjadi takdirku. Hubunganku dengan Natasha juga mendapat penolakkan dari kedua orangtuaku. Bahkan, adik perempuanku juga ikut-ikutan menolak.
“Beli sepatu. Aku nggak punya sepatu untuk acara bulan depan. Aku diundang untuk hadir ke acara penghargaan insan pertelevisian,” jawabnya enteng.
“Nat, aku kasih kamu kartu kreditku bukan untuk beli yang kayak begini. Kamu kan bisa pake kartu aku dengan bijaksana. Untuk apa beli sepatu harganya sampe 100 juta lebih?”
“Kamu kan bisa liat sendiri di laporannya. Kalo kamu penasaran sama bentuknya, kamu bisa cari di Google. Setelah kamu liat bentuknya, kamu bakalan ngerti kenapa harganya bisa semahal itu. Kamu keberatan bayarin sepatu ini buat aku?” ucapnya. Aku menggeleng. “Terus, kenapa kamu marah-marah? Kalo kamu keberatan, aku bisa transfer balik uangnya ke rekening kamu.”
“Bukan karena aku keberatan. Tapi, kamu kan bisa pake sepatu kamu yang lain. Kamu punya banyak sepatu, Nat. Dan undangan itu cuma sekali. Terus, kamu mau beli sepatu lagi kalo kamu diundang ke acara yang lainnya?”
Natasha mengangguk sambil menyeruput segelas lemon tea yang ada di hadapannya. “Penampilan itu nomer satu untukku, Tha. Terlebih saat acara besar kayak begini. Aku harus tunjukkin image aku sebagai model papan atas. Pacar kamu ini sedang merambah dunia mancanegara, lho. Nggak mungkin dong aku pake barang dengan merk yang asal-asalan. Mau ditaruh dimana mukaku.”
“Terserah kamu aja, Nat. Toh, mau aku ngomong kayak apapun itu nggak akan kamu denger.”
Sifat Natasha memang tak jauh berbeda dengan Mariss. Masalah uang, itu bukan perkara besar untukku. Setidaknya, Natasha bukan Marissa yang mudah berkhianat di belakangku. Natasha memang buruk dengan kebiasaan belanjanya. Tapi, dia setia. Dan itu menjadi nilai tambah baginya di mataku.
Sejak berpisah dengan Marissa, aku memang sulit membuka hati untuk orang lain. Tapi, Natasha dengan mudahnya bisa masuk ke kehidupanku. Menyadarkanku untuk tak berlarut-larut dengan masa lalu terlalu lama. Dan, dia berhasil membuatku jatuh hati padanya, akhitnya.
“Kamu masih bawa-bawa buku aneh itu?” ucapnya.
Buku aneh yang dimaksudnya adalah buku yang kutemukan di bangku taman hotel 4 tahun yang lalu. Di awal hubungan kami, Natasha tahu tentang keberadaan buku ini. Tapi, pengetahuannya hanya sebatas itu. Aku tak pernah memberitahukannya tentang perasaanku pada si pemilik buku. Konyol memang.
“Buku aneh yang kamu maksud ini udah nemenin aku selama 4 tahun, Nat.”
“Kamu anggap apa keberadaan aku selama ini, Tha? Kamu lebih cinta sama buku itu ketimbang aku?” sahutnya.
Segera kuletakkan buku itu ke dalam tas kerjaku. Membaca buku itu di depannya hanya akan membuatnya semakin kesal.
“Aku minta maaf. Bukan maksudku untuk bikin kamu marah. Aku minta maaf, ya. Kamu sangat berharga untuk aku. Kamu tau itu, kan?” ucapku. Natasha melunak dan menganggukkan kepalanya. “Kamu nggak pernah ragu betapa besar cinta aku buat kamu, kan?”
“Sama sekali nggak pernah.”
“Yaudah. Kamu lanjut makan, ya.”
“Nggak, Tha. Tiga sendok nasi udah cukup untuk aku. Udah terlalu banyak glukosa dan karbohidrat yang masuk ke badanku. Aku ahrus ngegym malam ini. Aku nggak mau terlalu banyak kalori yang masuk ke badanku. Kamu tau, kan. Aku harus jaga penampilan. Berat badanku naik setengah kilo aja, manajemenku bakalan notice. Aku nggak mau ambil resiko.”
“Nat, kamu bisa berhenti jadi model. Aku bisa kasih kamu modal untuk usaha. Kamu nggak harus nyiksa diri kamu kayak begini,” ucapku. Natasha menggeleng. Dia akan selalu menggeleng dan terus menggeleng setiap kali aku memintanya untuk berhenti dari pekerjaannya.
“Nggak, Tha. Jadi model internasional itu mimpiku. Aku nggak mungkin ngelepas ini semua sementara banyak perempuan lain yang berlomba untuk bisa berkarir di dunia internasional. Nggak akan ya, Tha.”
“Kamu nggak mau hubungan kita segera dapet restu dari orang tuaku, Nat?” ucapku. Natasha mengendikan kedua bahunya. “Mungkin mereka akan setuju saa hubungan kita kalo kamu berhenti jadi model dan fokus dengan masa depan.”
“Tha, masa depanku ya ini. Jadi model,” sahutnya.
“Kamu nggak mau berumah tangga sama aku?”
“Bukan nggak mau. Tapi, belum mau. Dan belum kepikiran juga.”
Aku selalu menceritakan apa-apa saja yang kualami padanya, termasuk semua perjodohan yang dirancang kedua orangtuaku. Bagaimana responnya? Natasha tak begitu menanggapi. Dia tahu betappa besar cintaku padanya. Dia yakin aku tak akan menerima perjodohan semudah itu.
“Gimana kalo orangtuaku jodohin aku sama perempuan lain lagi?” ucapku.
“As usual aja sih, Tha. Aku tau kamu cinta banget kan sama aku. Kamu nggak akan nerima perjodohan itu. Iya, kan?”
“Kalo aku terima gimana?” sahutku.
“Kamu yakin kamu mau terima perjodohan? Menikah dengan perempuan yang nggak kamu cintai sama sekali? Kamu yakin?”
“Kalo aku diharuskan, aku bisa apa? Mereka orang tuaku.”
“Terserah kamu. Tapi, kamu harus inget satu hal.”
“Apa?” tanyaku.
“Meskipun kamu terima perjodohan konyol dan nikah sama orang lain, aku nggak mau putus dari kamu. Aku nggak mau kamu bahagia sama perempuan lain. Kamu cuma boleh bahagia sama aku.”
“Aku paham, Nat. Aku cinta banget sama kamu. Itu kenapa aku selalu tanya tentang masa depan hubungan kita. Karena aku mau kita bahagia sama-sama. Aku mau kita berumah tangga, Nat.”
“Cukup, Tha. Berumah tangga bukan prioritasku untuk saat ini. Bahkan, nggak akan pernah jadi prioritasku.”
“Apa prioritas kamu, Nat? Kamu mau bilang kalo aku juga bukan prioritas kamu, begitu?” todongku. Dan yang membuatku terkejut, Natasha mengangguk mengiyakan. “Kamu ngerasa keterlaluan nggak sih udah ngucapin hal ini?”
“Maaf, Tha. Tapi emang begitu kenyataannya. Saat ini, yang jadi prioritas utamaku adalah aku bisa ikut serta di New York Fashion Week, London Fashion Week, Milan Fashion Week dan yang terpenting Paris Fashion Week. Aku pengen banget berkarier di Paris. Aku harap kamu bisa ngertiin aku.”
“Selalu aku yang ngertiin kamu. Tapi, kamu nggak pernah balik ngertiin aku,” ucapku.
“Karena cinta yang sesungguhnya nggak pernah mengharapkan balasan, Tha.”
Memang benar apa yang dikatakannya. Cinta yang sesungguhnya tak pernah mengharapkan balasan. Apa benar rasa cintaku padanya sudah terlalu besar sehingga membuatku rela untuk melakukan apapun itu demi membuatnya bahagia?