Semua pekerjaan sudah selesai. Seluruh pesanan kue pun sudah dikirim ke masing-masing pembeli. Di sela-sela waktu senggang, selalu kusempatkan untuk menulis di buku catatanku. Tak banyak memang, hanya sebaris dua baris kalimat. Bukan menulis tentang keseharian, memang. Tapi, setiap kali terlintas bait-bait indah di kepala sebisa mungkin segera kutorehkan di atas kertas.
Kubuka lembar demi lembar halaman buku catatanku. k****a ulang dan terus mengulang apa yang tertulis di sana. Buku ini bukanlah buku catatan pertamaku. Ini buku pengganti milikku yang hilang entah dimana.
Lenteraku sudah menyala.
Ikuti cahayanya.
Dia akan menuntunmu.
Maka kita akan bertemu.
-TS-
Jujur, aku patut bersyukur dengan hilangnya buku itu. Karena banyak tulisan curahan betapa sakitnya hatiku saat itu di dalamnya. Buku itu selalu menjadi saksi betapa beratnya bagi seorang aku menjalani sebuah hubungan yang palsu.
Segera kututup buku catatanku dan memasukkannya ke dalam tas sesaat setelah kudengar Mala yang datang menghampiriku dengan wajah paniknya.
“Lo kenapa?” tanyaku khawatir.
“Gue nggak apa-apa. Tapi, mendingan lo ke depan. Buruan deh, Mbak. Ada Jendra. Jendra nyari lo, Mbak,” ucapnya.
“Ngapain dia ke sini?”
“Gue nggak tau. Gue udah bilang ke dia kalo lo nggak mau ketemu sama dia. Tapi, dia maksa. Dia nggak mau pergi sebelum lo nemuin dia. Buruan deh temuin dia. Toko lagi rame banget. Gue takut dia malah bikin heboh satu toko.”
Aku segera bangkit dari dudukku. Berjalan dengan sangat malas menuju bagian depan toko. Menarik napas panjang dan menghembuskannya perlahan adalah hal paling utama yang kulakukan saat ini. Aku terlalu terlena. Menganggap hidupku sudah sepenuhnya damai setelah sekian lama dia tak pernah datang lagi menggangguku.
Aku membatu melihat dia duduk membelakangiku. Masih jelas teringat di benakku kenangan terburuk yang terjadi 4 tahun silam kala itu. Saat ini, otakku tengah sibuk menduga-duga apa maksud kedatangannya kali ini.
Aku sengaja berdeham agak kencang untuk membuatnya menyadari kehadiranku. Senyum sumringah nampak di kedua bibirnya. Kuputuskan untuk mundur beberapa langkah saat dia bangkit dari kursinya dan berniat untuk memelukku.
“Ngapain ke sini?” tanyaku.
“Aku rindu sama kamu.”
“Kamu boleh keluar dari sini. Dan, tolong jangan pernah kamu dateng ke sini lagi. Aku harap ini yang terakhir kalinya.”
“Ayya ... .” Rajendra mencoba untuk menempatkan kedua telapak tangannya di pundakku. Tapi, segera kutepis.
“Apaan, sih? Nggak usah pegang-pegang, deh.”
“Aku ke sini mau kasih tau kamu sesuatu,” ucapnya.
“Aku nggak mau tau apapun dari kamu.”
“Seenggaknya tolong biarin aku ngomong dulu. Bisa?” pintanya. Dengan malas, akhirnya aku pun mengangguk. “Hidupku nggak pernah bisa tenang 4 tahun ini. Aku ngerasa kosong karena nggak ada kamu di samping aku.”
Tak bisa lagi kutahan rasa muak yang membuncah hebat di dadaku.
“Kamu nggak lagi mabok, kan?” ucapku sarkas. Rajendra menjawabnya dengan sebuah anggukkan. “Kamu tau? Empat tahun ini, hidupku tenang dan bahagia. Akhirnya, aku bisa lepas dari manusia nggak tau malu kayak kamu. Dan, aku nggak pernah ada niatan untuk balik lagi ngerasain hidup kayak dulu. Thank you banget lho, ya.”
Rajendra mengangkat telapak tangan kanannya dan menunjuk jari manisnya. “Udah nggak ada cincin nikah di jariku, Ya. Aku dan Vanesa akan segera bercerai.”
“It’s none of my business, by the way. Bukan urusanku.”
“Tapi, aku lakuin ini semua demi kamu.”
“Aku nggak pernah minta, hey! Jaga ucapan kamu.”
“Dengerin aku. Aku bisa memperbaiki semuanya. Aku bisa jadi Jendra yang dulu kamu kenal. Aku janji nggak akan mengulangi kesalahan yang sama,” ucapnya. Rajendra membuatku menjadi tontonan para pengunjung yang memenuhi toko. Aku merasa sangat risih dengan apa yang dilakukannya saat ini. “Kamu mau ya balikkan sama aku?”
Mataku terbelalak mendengarkan kata-kata yang baru saja diucapkannya. Dimana otaknya sampai dia bisa mengeluarkan kalimat menjijikkan seperti itu. Jangankan kembali padanya. Melihatnya saja sebenarnya aku sangat tak sudi.
Aku benar-benar sudah kehabisan kata-kata untuk menghadapinya kali ini. Betapa tak tahu diri. Tanpa tahu malu dia datang menemuiku yang sudah sangat jelas menolaknya dan lebih gilanya lagi dia memintaku untuk kembali padanya.
“Sorry, ya. Aku bener-bener nggak ada niatan untuk balik sama kamu. Seharusnya, kamu sadar. Kamu nggak perlu repot ke sini nemuin aku untuk minta aku balik sama kamu. Maaf, aku sibuk. Kamu bisa pergi sekarang. Tokoku lagi rame banget. Aku nggak mau kami bikin suasanan di sini malah nggak nyaman.”
Aku segera membalikkan badanku dan bergegas akan kembali ke dalam. Tapi, sebuah suara yang sangat kencang membuatku sangat terkejut. Seisi toko pun ikut menjadi ramai. Ini sudah benar-benar keterlaluan. Aku terpaksa membalik badan dan melihat kembali ke arah Rajendra berada. Dia membanting cangkir kopinya dan dan membalik meja yang ada di hadapannya.
“Apa mau kamu?” ucapku kesal.
“Aku cuma mau kamu, Ayya. Kamu!”
“Pergi dari sini!” teriakku.
“Nggak akan sebelum aku denger dari mulut kamu kalo kamu mau balik sama aku. Aku udah bilang sama kamu kalo aku sama Vanesa akan segera bercerai. Aku lakuin ini semua demi kamu, Ya. Demi kamu!”
“Dan demi apapun aku nggak peduli itu, Jen. Aku nggak akan pernah peduli. Mau kamu cerai sama Vanesa pun, itu bukan urusan aku. Kamu milih dia waktu itu udah jadi keputusan kamu. Dan sejak itu, hubungan kita selesai. Paham?”
Suasana bertambah tegang ketika tiba-tiba ada 4 orang laki-laki dengan memakai pakaian serba hitam masuk ke dalam toko. Seluruh pengunjung dibuat sangat takut melihat kedatangan mereka, begitu pula diriku. Aku tahu siapa mereka.
“Maaf ngerepotin, Pak.”
“Nggak, Mbak. Suda tugas kami. Kami diminta Bapak untuk menjaga Mbak Ayya,” ucap salah satu dari mereka. Aku mengangguk.
“Saya serahin semuanya ke Bapak, ya. Tolong bantu saya, Pak. Saya nggak mau pelanggan toko saya ketakutan kayak begini,” ucapku.
Mereka memaksa Rajendra untuk meninggalkan tokoku. Tak semudah itu, pastinya. Segala daya upaya dikerahkan Rajendra. Dia melawan sebisanya. Tapi, tenaga keempat laki-laki yang diutus Papa jauh lebih kuat dari tenaganya.
“Apa-apaan sih ini? Kenapa saya diperlakukan begini?” ucap Rajendra.
“Anda sudah berulah. Anda sudah menganggu ketenangan Mbak Ayya.”
“Lepasin saya!”
“Anda harus ikut kami dan keluar dari sini.”
Di dalam kungkungan keempat laki-laki itu, Rajendra masih saja terus berulah. Berteriak tak tahu malu dan mencoba untuk melepaskan diri.
“Aku bakalan pastiin kamu balik sama aku, Ya. Catet omonganku. Kalo aku nggak bisa dapetin kamu, maka nggak ada laki-laki lain yang bisa dapetin kamu. Ingat omongan aku!”
Sorot ketakutan di wajah para pengunjung toko sudah mulai surut. Karena merasa sangat tak enak hati, aku meminta maaf untuk semua kejadian yang baru saja terjadi.
“Saya mohon maaf untuk ketidaknyamannya, ya. Sekali lagi, saya mohon maaf. Silahkan dilanjutkan kembali pesanannya.”
“Nggak apa-apa, Mbak. Justru, Mbak harus hati-hati. Laki-laki kayak begitu biasanya serius sama omongannya. Mulai sekarang, Mbak harus hati-hati, ya.”
Ooo
“Jendra ke sini, Ya?” tanya Sarah. Dia abru saja kembali dari distributor telur yang biasa memasok ketersediaan telur ke toko kami. aku mengangguk. sarah segera memakai apronnya dan duduk di dekatku. “Seriusan, lo? Dia ngapain?”
“Iya. Serius. Gue nggak habis pikir sama otaknya dia. Bisa-bisanya dia dateng ke sini minta gue untuk balikkan sama dia. Gila banget nggak, sih?”
“What the hell!! Balikkan sama lo? Gila banget itu. Terus? Lo nggak bilang iya, kan?”
“Gue masih waras banget, Sar. Nggak mungkin kan gue jawab iya. Nggak sudi juga.”
“Mala bilang, katanya sempet ada adegan banting cangkir sama meja. Beneran?” tanyanya. Aku mengangguk. “Yah, gue nggak liat. Nggak asik banget ah.”
“Bisa-bisanya ya lo ngomong begitu. lo nggak tau aja gimana suasananya tadi. Semua orang yang ada di toko teriak ketakutan. Jendra bener-bener udah gila.”
“Terus?”
“Orang-orangnya bokap gue dateng. Mereka yang usir Jendra keluar dari sini. gue bingung. Omongan gue udah nggak mempan lagi. Dan lo tau apa yang bikin gue kaget?” ucapku. Sarah menggeleng. “Dia bilang kalo dia bentar lagi mau cerai sama istrinya. Dia juga sampe nunjukkin tangannya yang udah nggak pake cincin nikah.”
“Sarap! Sakit jiwa itu namanya. Lo nggak lulu, kan?”
“Mau dia bilang dia naek Everest sampe mau mati demi dapetin gue pun, gue nggak akan mau balik sama dia. Gue rela tetep sendiri meskipun di dunia ini cuma dia satu-satunya laki-laki yang tersisa.”
“Keren. Nah, gitu dong. Nggak usah lo inget-inget lagi kenangan sampah sama dia. Toh, selama lo berhubungan sama dia juga nggak pernah bahagia, kan? Justru, lo kudu bersyukur karena lo nggak jadi lanjut sama dia ke jenjang yang lebih serius. Tuhan bongkar semuanya,” ucap Sarah.
Benar apa yang dikatakan Sarah. Kandasnya hubunganku dengan Rajendra memang patut disyukuri. Tak akan pernah bisa kubayangkan apabila kami masih berhubungan sampai detik ini, dan mungkin menikah. Aku akan hidup dalam berbagai timbunan kebohongan dan pengkhianatan yang dilakukannya. Selama berhubungan dengannya, tak hanya satu-dua kali dia berbuat salah. Selama itu aku selalu memaafkan dan memberikannya kesempatan. Tapi, nampaknya apa yang kulakukan dianggap lelucon. Kesalahan terakhir yang dibuatnya membuatku benar-benar menutup pintu maaf dan memutuskan untuk mengakhiri hubungan kami saat itu juga.
“Gimana? Lo udah bilang sama Ko Alvin? Minta dia untuk anter telur grade A yang ukurang large, kan?” tanyaku. Sarah mengangguk.
“Iya. Udah gue sampein semuanya ke dia. Tadi, gue juga sekalian ke supplier butter. Gue minta mereka untuk kirim stok lusa. By the way, Ya. Ada pengaduan soal kue ulangtahun yang dipesen.”
“Positif atau negatif?” tanyaku.
“Menurut lo?” ucapnya. Aku mengendikkan kedua bahuku. “Ya positif, lah. Mana pernah sih toko kita dapet pengaduan negatif sejak pertama kali buka. Bu Tamara bilang dia DM ke akun i********: toko. Kebetulan tadi gue lagi cek-cek i********: toko. Dia ngetag akun toko di postingan foto pesta ulang tahun anaknya. Di DM dia bilang kalo dia puas banget sama rasa kue yang kita buat. Dia suka sama tekstur buttercreamnya. Makanya, tadi gue sekalian minta mereka kirim butter kayak yang lo pake untuk kue anaknya Bu Tamara.”
“Merk yang itu lebih mahal dari merk biasanya lho, Sar. Atau gini aja, kita jadiin option aja untuk mereka.”
“Setuju, sih. Gimana baiknya aja. Oh, iya. Di DM i********: ada beberapa orderan yang masuk. Gue udah minta mereka hubungi kita via w******p untuk mastiin kalo itu bukan orderan fiktif. Coba lo tanya Dito. Dia udah cek WA toko belum.”
“Iya. Nanti gue tanya ke dia. Biar nanti sekalian direkap siapa-siapa aja yang pesen.”
“Ya, nggak mungkin nggak orangtua lo nggak akan tau kalo si Jendra ke sini?” ucap Sarah. Aku mengangguk. “Orang suruhan bokap lo pasti udah ngomong, kan?”
“Alamat gue ditanya-tanya pastinya. Lo tau sendiri bokap gue gimana, kan.” Sarah mengangguk. “Nggak usah heran kalo nanti bakalan banyak orang yang jaga di sekitaran toko kita ya, Sar.”
“Ini bukan kali pertama juga buat toko kita, Ya. Setiap kali Jendra ke sini, pengamanan toko ini jadi super duper ketat. Bokap lo terbaik, sih.”
“Ya mau gimana lagi, Sar. Gue anak perempuan satu-satunya. Bokap sama abang gue rela pasang kapanpun demi gue.”
“Iya juga, sih. Bokap gue juga gitu walopun anaknya cewek semua. Dimana-mana yang namanya bokap ya gitu kan, Ya. Yaudah, kita lanjut kerja lagi, yuk!”
“Gue lupa! Si Mala tadi nitip proofing roti sama gue. Bentar. Gue mau cek dulu.”
Ooo
Pulang di waktu yang kurang tepat, menurutku. Mobil Papa sudah terparkir rapih di dalam garasi, tidak biasanya. Toko memang tutup lebih awal karena roti dan kue sudah habis terjual. Aku masuk ke dalam rumah dengan perasaan yang campur-aduk. Dalam waktu cepat, aku akan segera ditanya-tanya. Begitulah Papa. Apapun yang berkaitan denganku, terlebih soal Rajendra Papa akan sangat khawatir.
Mengendap-endap bagaikan seorang pencuri, aku naik ke lantai atas tanpa membuat suara sama sekali. Suara pintu ditutup membuatku sedikit terkejut dan menghentikan langkah seketika.
“Ayya udah pulang?”
Itu suara Papa. Aku membalik abdan dan mengangguk ke arahnya.
“Iya, Pa. Ayya baru aja nyampe rumah. Papa kok tumben udah pulang jam segini? Ini baru jam setengah enam lho, Pa.”
“Sengaja. Papa mau ngobrol sama Ayya. Ayya mandi terus makan. Setelah itu, kita ngobrol di ruang tengah. Papa sama Mama tunggu di sana, ya.”
Aku sengaja mengulur waktu. Kutambah durasi mandiku, lebih lama dari biasanya. Setelah merasa segar sehabis mandi, aku segera menuju ke ruang makan untuk mengisi perut. Makan dengan perasaan tidak tenang memang sungguh tidak enak. Papa mamng tidak akan marah. Tapi, aku yakin Papa akan semakin mengetatkan penjagaan ke depannya.
Aku segera menuju ke ruang tengah sesuai dengan permintaan Papa. Menjadi sebuah kejutan saat kulihat kakak laki-lakiku juga ikut ada di sana. Aku memilih untuk duduk di sebelah Mas Gibran.
“Jendra ke toko kamu, kan?” ucap Papa. Aku mengangguk. “Papa dikabarin sama orang-orang Papa yang sengaja Papa suruh untuk berjaga di sekitar toko kamu.”
“Ayya beneran nggak tau kalo dia bakalan ke sana, Pa.”
“Kamu nggak apa-apa, kan?” ucap Mama khawatir.
“Ayya nggak apa-apa, Ma. Jendra berbuat macem-macem sama Ayya. Mama tenang aja, ya,” sahutku demi membuat Mama tenang.
“Rencana kamu selanjutnya apa? Papa denger, dia ngancam kamu. Bener begitu?” tanya Papa. Aku kembali mengangguk. “Apa tujuan dia datang ke toko kamu?”
“Jendra maksa Ayya untuk balikkan sama dia, Pa.”
“Lo mau?” sela Mas Gibran. Aku menggeleng dengan cepat. “Gila kalo sampe lo terima ajakkan dia.”
“Dan gue nggak segila itu, Mas. Otak gue masih waras banget.”
“Dia kenapa gila banget, sih? Belum cukup selama ini ancaman dari Papa sama gue? Geregetan banget.”
“Gimana kalo kita pindah toko kamu?” ucap Papa. Aku yang terkejut langsung menatap ke arah Papa. “Pindah toko. Biar dia nggak gampang deketin kamu.”
“Nggak usah lah, Pa. Ayya kurang setuju kalo sampe harus pindah toko. Kasian customer-customer Ayya, Pa. Lagipula, Ayya udah nyaman banget sama lokasi yang sekarang. Tempat itu penuh kenangan untuk Ayya. Saksi bisu perjuangan Ayya merintis usaha sama yang lainnya. Mungkin kalo Papa kasih option lain, Ayya bisa terima.”
“Okay. Mulai besok, Papa akan tambah orang untuk jaga toko kamu. Papa juga akan atur sistem keamanan toko kamu. Kamu nggak apa-apa, kan?” tanya Papa. Aku mengangguk.
“Cara itu jauh lebih baik daripada harus pindah toko kan, Pa.”
Aku belum bisa sepenuhnya tenang. Papa, Mama dan Mas Gibran masih saja mengorek apa-apa saja yang terjadi di toko seharian ini. Untuk masalah satu ini, aku bukanlah orang yang ahli dalam berbohong. Keluargaku akan dengan sangat mudah tahu setiap kali aku menyimpan sesuatu.
“Jendra bilang apa aja sama kamu tadi?” tanya Mama.
“Dia kasih tau Ayya kalo dia mau cerai sama istrinya,” jawabku.
“Urusan perceraian dia sama lo apa?” sahut Mas Gibran. Aku mengendikkan kedau bahuku. “Dia waras?”
”Itu juga yang buat gue bingung. Maksud dia apa kayak begitu? mau dia cerai pun itu bukan urusan gue, Mas. Gue sama sekali udah nggak mau kenal sama dia. Apapun alasannya. Cukup buat gue buang-buang waktu sama nyia-nyiain hidup gue selama berhubungan sama dia dulu. Balikkan? Jangan harap.”
“Lo mau tau cara biar lo bisa aman dari dia?” ucap Mas Gibran. Aku mengangguk.
“Nikah. Gue jamin dia nggak akan berani ganggu lo lagi. Percaya sama gue.”
“Lo nggak ada saran lainnya? Gue belum bisa kalo ngikutin saran lo yang itu.”
“Itu kan cuma saran gue.”
“Lo dulu aja yang nikah. Gue udah bosen dijadiin tukang pos setiap ada cewek yang mau ngsih kado buat lo. Ya meskipun nggak bisa gue pungkiri kalo kehadiran mereka banyak menyumbang rupiah ke toko gue. Tapi, tetep aja. Gue bosen.”
“Gue masih nyaman begini. Lo duluan aja yang nikah.”
Ooo
Keesokan harinya, aku benar-benar dibuat tercengang dengan apa yang kulihat saat ini. Di depan tokoku, ada beberapa orang yang sudah berjaga-jaga. Penampilan mereka lebih terlihat bagai tukang pukul bayaran ketimbang penjaga keamanan toko.
“Pak, boleh nggak kalo mulai besok Bapak dan yang lainnya jangan pake pakaian kayak begini? Coba pake pakaian yang lebih santai ya, Pak,” ucapku pada salah seorang yang berjaga tak jauh dari pintu masuk toko.
“Nanti kalo Bapak marah gimana, Mbak?” sahutnya.
“Bapak tenang aja. Nanti biar saya yang ngomong ke Papa. Saya Cuma nggak mau customer saya ketakutan karena Bapak dan yang lainnya kelihatan sangar,” kekehku.
“Mbak Ayya bisa aja. Baik, Mbak. Besok kami akan pake baju yang lebih santai. Sebelumnya, perkenalkan nama saya Wahyu. Selama ini, kami cuma jaga Mbak Ayya dari jarak jauh. Sesuai dengan perintah Bapak. Jadi, kami juga belum sempat memperkenalkan diri.”
“Salam kenal ya, Pak Wahyu. Nanti, setiap waktunya makan siang Pak Wahyu bisa nemuin saya ke dalam untuk ambil uang makan, ya.”
“Oh, nggak usah, Mbak. Masalah makan, sudah diatur sama Bapak.”
“Oh, begitu. yaudah, kalo nanti Bapak dan yang lainnya mau makan kue, roti atau minum kopi bilang aja sama petugas yang ada di dalam. Nggak usah sungkan,” ucapku. Pak Wahyu mengangguk. “Saya masuk dulu ya, Pak.”
Aku masuk ke dalam toko dengan disambut deretan wajah-wajah penuh keheranan. Ketiga rekanku terlihat sangat bingung dengan adanya para penjaga yang standby di luar toko.
“Bokap lo bener-bener serius ya, Ay.” Sarah yang berdiri di antara Dito dan Mala masih memasang tampang heran sambil sesekali melihat ke luar toko. “Gue kaget banget pas sampe sini.”
“Lo aja kaget. Gimana gue, Mbak? Gue nginep sini semalem. bangun-bangun kaget udah ada banyak bapak-bapak di depan. Gue pikir ada apa. Kan gue jadi ngeri. Gue kira ada pembunuhan atau gimana. Saking keponya gue sampe beraniin untuk nanya.” Dito mulai jalan perlahan sambil mengintip ke luar melalui jendela toko.
“Maaf, ya. Sorry kalo udah bikin kalian semua nggak nyaman. Kalo bokap gue udah bilang A ya harus A. Gue lebih milih cara ini ketimbang pindah toko,” ucapku.
“Pindah toko?” sahut Mala. Aku mengangguk. “Gile bener bokap lo. Saking sayang sama anak perawannya sampe ditawarin suruh pindah toko.”
“Yaudah. Kita kerja, yuk. Nggak ada pesanan khusus kan untuk hari ini?” tanyaku.
“Nggak ada. Belum ada, lebih tepatnya. Mala udah bikin stok roti untuk hari ini. Gue juga lagi manggang chocolate struddle. Lo bisa kan bikin macaron? Stok macaron untuk hari ini habis. Hari ini, kita fokus re-stock kue-kue yang udah habis aja.”
“Dito, jangan lupa tawarin bapak-bapak yang di luar kopi, ya. Kalo mereka mau makan kue suruh masuk aja ke dalem. Nanti, biar masuk ke tagihan gue.”
“Siap, Mbak. Serahin aja ke gue.”