"Kamu tinggal disini juga?" tanya Damar. Mereka berhenti tepat di depan pintu. Damar melirik nomor apartemen Bianca. Dia tersenyum tipis, lalu menatap ke arah Bianca yang sedang sibuk membawa beberapa barang-barangnya.
"Iya, aku tinggal disini." Bianca mengibaskan rambutnya. Mengangkat kepalanya sedikit mendongak dengan badan tertunduk setengah. Kedua mata menatap Damar yang sedang mengamatinya. Bianca mengerjapkan kedua matanya, dia bingung tatapan apa itu.
"Kamu bisa bawa?" tanya Damar. "Kalau gak bisa boleh aku bantu kamu untuk bawa masuk ke dalam?" tanya Damar ragu. Dia takut jika Bianca menolak dan marah atau bahkan salah paham dengannya nanti.
"Bentar!" Bianca membuka pintu apartemennya.
"Boleh minta tolong satu lagi bawa masuk ya. Aku capek!" kata Bianca. Dia meletakkan semua belanjaannya di lantai. Bianca berdiri tegak, dia mengerutkan wajahnya, tubuhnya tiba-tiba lunglai. Tangan kanan Bianca memegang pundaknya. "Aku capek!" kata Bianca terlihat merintih capek.
"Iya, pasti aku bantu!" kata Damar. "Boleh aku masuk duluan?" tanya Damar.
"Boleh masuklah duluan, aku mau nunggu teman aku di sini dulu. Kamu letakkan saja nanti di meja makan atau meja dapur. Aku mau masukkan ke dalam kulkas nanti."
"Iya.." Damar segera membawa belanjaan Bianca yang begitu banyak. Sementara Angel belum juga datang. Entah nyasar kemana dia. Sudah di bilangin tadi jika lantai lima. Tapi kenapa dia lupa. Atau, dia salah masuk kamar nantinya. Bahaya! Pikir Bianca dalam hatinya.
Sampai Damar sudah membawa masuk semua barangnya. Dia keluar kembali menemui Bianca. "Gimana teman kamu sudah datang?" tanya Damar.
"Belum! Entah kemana dia pergi. Apa dia nyasar." tanya Bianca dalam dirinya. Bianca segera mengambil ponselnya di dalam tas selempang yang dia bawa. Setelah menemukannya, Bianca menelpon Angel.
Belum lama menelpon. Angel berjalan tepat di depannya. "Kamu dari mana? Aku mencarimu dari tadi." kesal Angel.
"Nah, kamu sendiri dari mana. Angel kenapa kamu pergi sendiri tadi. Aku sudah bilang lantai lima Angel. Nah kamu pergi ke mana." tanya balik Bianca.
"Ya, aku pikir jika masih dibawah tadi. Aku menunggumu. Tapi ternyata kamu disini." ucap Bella, dia menghela napasnya kasar.
Angel melirik ke arah Damar. Dia menyipitkan matanya. "Siapa dia?" tanya Angel. "Oo, jadi kalian pacaran makanya aku tunggu di bawa gak muncul."
"Eh.. Nggak! Nggak! Siapa juga yang pacaran. Aku gak pacaran. Aku tadi bertemu dia gak sengaja. Terus dia mau bantu aku." jawab Bianca gugup,di melirik ke arah Damar.
"Kamu gak mampir dulu, aku buatkan minuman." kata Bianca.
Damar tersenyum tipis. "Gak usah, aku langsung pulang saja."
"Ya, udah! Aku pergi dulu. Aku juga tinggal disini. Kalau kamu mah main ke tempatku silahkan." ucap Damar.
Angel berdesis pelan. Dia merasa muak harus mendengarkan ucapan orang dewasa gang mulai dekat. Meski dia sendiri juga orang dewasa. Angel menggelengkan kepalanya kesal. Dia segera masuk ke dalam apartemen Bianca meninggalkan wanita itu berdua dengan Damar.
"Iya, lain kali aku akan kain jika tidak ada pekerjaan." kata Bianca, dia memang begitu ramah dengan orang. Meski dirinya punya sisi negatif juga.
Damar tersenyum simpul. "Iya, tidak masalah!" kata Damar.
"Em.. Lain kaki aku boleh main kesini?" tanya Damar gugup.
"Boleh!" jawab Bianca.
"Kamu yakin?" tanya Damar lagi memastikan.
"Iya, aku yakin. Jika kamu mau main silahkan. Tidak masalah, lagian aku juga tidak punya teman disini. Aku tinggal sendiri. Dan, Angel juga tidak terus di sini. Dia punya rumah sendiri." kata Bianca. Menghela napasnya. Menarik salah satu sudut bibirnya.
"Baik! Aku pergi dulu." kata Damar. Ria melambaikan tangannya. Dan, segera pergi dari sana. Entah kenapa dirinya tak bisa terlalu lama menatap wajah cantik Bianca. Damar begitu gugup. Dia tidak tahu harus berbicara apalagi saat berada di depannya.
**
Pov Damar
"Eh.. Kamu tau gak. Tadi aku melihat Bianca di luar." kata Samar, yang berjalan menghampiri Diego dan Giandra. Dua laki-laki itu masih duduk santai di sofa. Mereka masih saja sibuk dengan ponselnya. Kedua matanya bahkan setia terus menatap ponselnya. Meski kedua telinganya mendengar apa yang dikatakan Damar.
Damar duduk di antara mereka berdua. Dia duduk di tengah mereka. Mendorong bahu Giandra dan Diego sedikit jaga jarak dengannya. Damar melirik ke arah Giandra dan Diego yang tersulut amarah. Mereka menatap tajam Damar. Dibalas dengan senyuman sumringah, menunjukan gigi putihnya. Dengan kedua jari terangkat membentuk huruf V.
"Maaf!" kata Damar. Giandra dan Diego hanya diam, mereka bahkan tak membuka mulutnya sama sekali tatapannya masih tajam, laku memalingkan wajahnya acuh.
"Kalian lagi apa, kenapa saat aku datang malah diam." kata Damar kesal.
"Bentar! Masih sibuk." kaga Diego.
"Sibuk apaan sih?" tanya Damar. mencoba melirik ponsel Diego. Dengan cepatnya laki-laki itu menarik ponselnya ke belakang punggung.
"Jangan ikut campur. Kamu diam saja dulu. Habis ini aku akan dengar cerita kamu."
"Tapi ini tentang Bianca dan Angel." Damar mengeraskan suaranya. Seketika pandangan mereka khusus kedepan. Mereka terdiam menoleh bersamaan ke arah Damar. Diego dan Giandra menatap tajam ke arah Damar lagi.
"Kenapa mereka?" tanya Diego.
"Bianca ternyata tinggal di apartemen yang sama dengan kita. Di tinggal di apartemen paling mahal di ujung. Dengan pemandangan yang terlihat indah. Menuju ke pantai. Meski pantainya jauh sih. Tapi terlihat dari lantai lima.
"Dia di lantai lima?" tanya Diego penasaran.
"Oke, aku akan urus semuanya." ucap Diego, tersenyum picik.
Damar, dan Giandra mengerutkan keningnya bersamaan. Mereka menatap kompak ke arah Diego.
"Apa yang kamu rencanakan?" tanya Giandra.
"Nanti kamu juga akan tahu." ucap Diego.
"Gak beres ini." ucap Damar. "Kamu kau bermain curang?" tanya Damar.
"Siapa yang curang
Lagian, siapa yang gak mau mendapatkan hati model cantik dan seksi seperti Bianca. Gila, kehilangan uang berapa saja aku tidak masalah. Asalkan aku bisa dekat dengannya. Atau, bahkan tidur dengannya. Akan jadi kebanggaan, dan berita besar nantinya.
"Kamu mulai tidak waras?" tanya Giandra.
"Jangan coba main curang. Aku juga bisa beli apartemen dekat dengannya. Ingat, kita harus main imbang. Sekarang aku akan mulai taruhan baru. Siapa yang bisa tidur dengannya. Maka akan mendapatkan sebuah rumah lengkap dengan mobilnya." tegas Damar mengulurkan tangannya kedepan Diego.
Giandra hanya tersenyum tipis, "Tawaran yang menarik. Boleh juga aku ikut?" tanya Giandra.
Diego menarik tubuhnya duduk lebih tegap. "Eh.. Bentar! Bentar!" ucap Diego. Dia mencoba mengingat ucapan Giandra kemarin di hotel.
"Eh.. Iya! Bukannya kamu suka Angel, kenapa kamu mendekati Bianca. Kamu mau memanfaatkan keadaan juga?" tanya Diego.
"Aku hanya ikut taruhan. Lumayan aku bisa mendapatkan rumah dan mobil." kata Giandra.
"Oke, tidak masalah siapa saja yang ikut." kata Damar.
"Nggak! Nggak! Aku gak mau. Bukanya dia suka Angel. Tidak, dia Angel saja. Jangan Bianca." kata Diego tak setuju.
Giandra tertawa kecil. "Kamu takut bersaing denganku?" tanya Giandra.
"Siapa juga yang takut?" tanya Diego.
"Ya, udah! Dari pada kamu ribut mulu. Sekarang semuanya bisa ikut taruhan. Jika bisa dapatkan salah satu dari mereka. Kita dapat mobil dari Giandra, dan taruhan kedua dari aku. Rumah dan mobil."
"Jika kamu bisa menikah dengan Bianca. Maka akan mendapatkan hal yang lebih berharga lagi dariku." Satu apartemen di ujung sana jadi milik kamu. Di sana, kamu bisa bebas memilih mau tinggal di nomor berapa? Kalian bisa mengelolanya. Dan, ada beberapa mobil di sana. Itu punyaku. Tapi, aku hanya berikan apartemennya saja. Itu sudah cukup mahal." ucap Diego.
"Baiklah!" ucap Giandra dan Damar. Mereka mengulurkan tangannya kedepan. Menumpuk tangan mereka jadi satu. Sebagai tanda jika mereka menyetujui hal itu.