4. Penawaran

2005 Kata
Gio melangkah menyelinap memasuki bangunan yang di dekorasi lumayan megah. Mengingat bangunan ini terdapat di hutan yang amat sangat terpencil. "Malam ini kau akan berada di dalam genggamanku untuk selamanya. Sampai aku muak melihat wajahmu tentunya," Batin Gio menyeringai. Gio melangkah menuju sudut demi sudut begitupun para bawahannya. ***** Lain hal dengan Viola yang nampak menyendiri. Malam semakin larut tidak membuat gadis itu mengantuk sama sekali, gadis itu justru merasa menyukai kesunyian. "Kapan semua ini akan berakhir tuhan. Aku benar-benar lelah, lelah akan semua drama ini," Batin Viola sambil memeluk sebuah boneka panda yang merupakan pemberian Meisie." Mom. Dad, Viola kangen," Gadis itu mendesak lelah akan semua yang telah terjadi pada dirinya. Disisi lain Gio menatap penuh rasa benci pada sosok gadis kecil yang telah menghancurkan hidupnya sampai seperti ini. "Aku membenci dirimu bahkan aku seakan muak saat melihat air mata palsumu itu," Gio menatap tajam pada wajah Viola yang tengah dibasahi oleh air mata. "Akhirnya kau datang juga. Sudah kuduga kau akan datang bersama para anak buahmu itu?" Sebuah suara membuat Gio menoleh dengan cepat. Tepat di depannya ada sosok Raymond dan beberapa bawahannya. Tidak lupa senjata milik Raymond kini tepat di depan kepalanya. Mendengar suara Raymond membuat Viola dengan cepat menoleh. "Kak Ray?" Viola terkaget saat berbalik badan. Gadis itu bahkan melihat kumpulan para pria berpakaian serba hitam yang tidak ia kenali. Lebih-lebih kaget lagi adalah Viola menatap tidak percaya pada sosok pria jangkung yang ada di hadapannya saat ini. Dengan moncong pistol Raymond yang mengarah pada kepala lelaki itu. "Gi----Gio," Viola menutup bibirnya mengunakan kedua tangannya. Gadis itu cukup kaget akan kehadiran Gio. Pria dari masa lalunya, meskipun wajah dan tubuh lelaki itu sudah banyak berubah tetapi Viola masih dapat mengenali lelaki itu. "Kau mengingatku?" Sinis Gio menatap penuh kebencian pada Viola. "Gio. Untuk apa kau be...!!! Viola menghentikan ucapannya saat teringat tentang si peneror itu. Tubuh Viola seketika menegang kaku bahkan tanpa diminta. Kedua kaki Viola mulai melangkah mundur membuat kedua sudut bibir Gio berbentuk senyuman sinisnya. "Kau takut padaku?" Tanya Gio dengan tatapan yang dibuat-buat. Viola mengelengkan kepalanya mencoba untuk menolak tentang apa yang saat ini ia pikirkan. "Biar aku perjelas. Akulah orang yang ingin kau tangkap," Ujar Gio dengan wajah bak iblisnya. Membuat tubuh Viola seketika menegang di tempat. "Berhenti berbicara. Saat ini kau berada di daerah kekuasaanku," Suara Raymond membuat Gio menoleh menatap Raymond dengan wajah super datarnya itu. "Lalu? Kau berpikir aku akan takut padamu. Kau kira, dengan adanya benda sialan---itu aku akan takut begitu saja. Kalian para agen tidak BERGUNA tidak akan pernah bisa menangkap diriku. Sebelum kau menangkap ku aku akan lebih dulu membunuhmu." Setelah mengucapkan hal itu. Gio dengan cepat melempar granat tepat diposisi ia berdiri membuat Raymond dengan cepat menyingkir saat ledakan itu terjadi. Tubuh Viola mematung saat dalam sekejap ia sudah berada di dalam genggaman Gio. "Kak Ray?" Teriak Viola takut-takut saat sebuah pisau lipat berada tepat di bawah leher jenjangnya. "Viola?" "Berhenti disana atau aku akan membunuhnya?" Raymond yang berniat mendekati Viola seketika terhenti saat mendengar ancaman Gio pada dirinya. Viola benar-benar tidak bisa bergerak. Jika saja ia bergerak maka benda tajam itu akan melukai dirinya. "Aku peringatkan jangan melukai Viola jika tidak...!?? Raymond menghentikan ucapannya. "Jika tidak apa? Kau berniat membunuhku?" Sinis Gio." Sebaiknya kau mundur saja Ray. Karena tempat ini sudah aku kepung, jadi sebaiknya menyerah saja," Ujar Gio dengan tatapan pembunuhnya. "b******k KAU?" Maki Raymond membuat Gio terkekeh geli. "Tuan?" Zayn berlari menghampiri sang tuan. "Bagaimana?" Gio menatap sang bawahan. "Kami telah berhasil menumbangkan para penjaga di luar," Lapor Zayn membuat Gio melirik sinis Raymond. "Kau dengar. Apa kau masih ingin menumbalkan para rekan-rekan mu yang lain?" Tanya Gio dengan raut wajah sombongnya. "b******n KAU GI...!!! DOR Sebuah tembakan mengenai perut Raymond membuat Raymond meringis menahan rasa sakit pada sekujur tubuhnya. "KAK RAY. LEPASKAN AKU. LEPASKAN AKU GIO. KAU BRENGSEK." Teriak Viola berusaha untuk melepaskan dirinya dari cengkraman pria itu. "Aku BILANG BERHENTI MEMBERONTAK JALANG,!!! Bentak Gio yang mulai gelap mata. PLAK Sebuah tamparan tepat di wajah cantik Viola membuat sudut bibir gadis itu mengeluarkan darah. "BERHENTI MENYAKITI DIRINYA SIALAN," Raymond yang merasa tidak terima tanpa berkata apapun lagi. Raymond langsung melepaskan pelurunya membuat Gio dengan cepat mengelak sehingga peluru itu tidak berhasil melukai dirinya. "Sudah dalam sekarat saja kau masih saja sombong. Zayn bereskan laki-laki tidak berguna itu," Perintah Gio dengan tatapan tajamnya. "Baik tuan." Zayn melangkah ke arah Raymond yang tengah berusaha untuk bangkit melawan Gio dan para bawahannya. Meskipun perutnya terus saja mengeluarkan darah. Melihat keadaan Raymond membuat Viola menangis meraung-raung saat melihat darah yang tanpa henti keluar dari perut lelaki itu. "Kak Ray. Lepaskan aku. Aku mohon jangan sakiti kak Ray, KAK RAY BERTAHANLAH," Teriak Viola berusaha untuk memberontak, apa lagi saat ia melihat Zayn tengah melangkah ke arah Raymond dengan sebuah tongkat di dalam genggamannya. Membuat Viola semakin cemas dibuatnya. "Lepaskan aku Gio. Aku mohon Lepaskan a...!!!! "APA KAU TIDAK BISA DIAM HAH?" Gio menjambak kasar rambut panjang Viola membuat Viola meringis dibuatnya. "Gio sa----sakit." "Ini belum seberapa. Ingat, kau bahkan pernah melukai hatiku lebih sakit dari pada ini," Gio semakin menarik kasar rambut belakang Viola, membuat wajah gadis itu mendongak menatap wajah tampan Gio yang tengah diselimuti oleh kegelapan. "Gio maafkan aku. Aku mohon maafkan aku," Viola menangis dihadapan pria itu berharap Gio akan memberikan belas kasihan pada dirinya. "Maaf kau bilang? Hanya kata maaf yang bisa kau berikan padaku. Kau tahu. Maafmu saja tidak akan pernah cukup," Gio melepaskan jambak kan pada rambut indah milik gadis itu. Membuat beberapa helaian rambut terlepas dari kulit kepalanya. Viola menatap seduh memohon belas kasihan pada lelaki yang ada di hadapannya. Tetapi, nampaknya hal itu tidak berlaku untuk dirinya. "Kau. Ikut aku." Gio menarik paksa tubuh mungil Viola meskipun gadis itu berusaha untuk melepaskan dirinya.. "Tolong lepaskan aku Gio. Ku mohon, aku harus membantu kak Ray. Kak Ray sedang terluka. Gio Lepaskan." AARRGGHH Suara kesakitan Raymond menghentikan ucapan Viola, Viola berbalik badan untuk menatap keberadaan Raymond. "KAK RAYMOND. AKU BILANG HENTIKAN. AKU MOHON JANGAN SAKITI KAKAKKU," Viola berteriak menumpahkan air matanya saat dirinya melihat Raymond tengah dipukulin mengunakan tongkat berukuran lumayan besar." Lepaskan aku Gio. Lepaskan." Viola berusaha untuk melepaskan tarikan Gio pada dirinya, tapi sayangnya. Tenaganya tidak sebanding dengan lelaki itu dan hasilnya Viola harus mengikuti langkah kaki Gio yang cukup lebar itu. Gio dan Viola hampir sampai di depan gerbang yang akan langsung membawa mereka keluar dari bangunan itu. Tetapi sayangnya saat Gio berhasil membawa Viola. Sebuah tembakan tepat sasaran mengenai bahu sebelah kanannya, membuat pegangannya pada Viola terlepas begitu saja. Lain hal dengan Viola yang CUKUP kaget saat melihat kumpulan pasukan agen intelijen yang sudah mengepung tempat ini. Senyuman Viola seketika terbit saat melihat sosok Vino yang ada di barisan para agen intelijen. "Kak Vino," Viola berlari ke arah dimana Vino berada. Dipeluknya Vino dengan pelukan yang amat begitu erat." Kakak. Viola takut," Adu Viola. Vino menatap tajam pada sosok pria jangkung yang tengah menatap dirinya datar. "Pria itu?" Vino cukup kaget saat dirinya melihat Gio. Pria yang sangat ia kenali meskipun hanya satu kali bertemu saja." Kau?" Vino menatap tidak percaya pada sosok Gio yang nampak begitu santai meskipun saat ini bahu pria itu tengah terluka. "Ya. Ini aku. Alfred Sergio. Pria yang merupakan masa lalu dari adikmu," Sinis Gio menatap penuh rasa jijik saat tatapannya dan tatapan Viola bertemu. "Sebenarnya apa mau? Kenapa kau terus saja meneror adikku seperti ini?" Tanya Vino. "Kau mau tahu mauku? Mauku adalah aku ingin wanita JALANG seperti dirinya merasakan penderitaan ku," Ujar Gio. "Jaga bicaramu Gio. Adikku bukanlah seorang JALANG. Jadi aku beritahu, berhenti memanggil di...!! "JIKA DIA BUKAN JALANG LALU APA? p*****r ATAU SAMPAH?" Gio sengaja menekan setiap perkataannya membuat Vino mengepalkan kedua tangannya. "KURANG AJAR KAU," Vino hampir saja berlari untuk menghajar Gio jika tidak dicegah oleh Viola. "Jangan kak. Viola mohon," Viola semakin mempererat memeluk Vino. "Tapi Viola dia su..!!! "Tidak apa kak. Sungguh. Viola tidak apa-apa," Mendengar perkataan Viola membuat Vino berusaha untuk menahan amarahnya sendiri. "Sudah puas kah acara berpelukan Nya. Sekarang bagaimana jika kita kembali pada topik yang sebenarnya." Sinis Gio menatap para agen intelijen yang tengah mengepung tempat ini. "Apa maksudmu?" Vino merasa ada yang tidak beres dari ucapan lelaki itu. Vino menatap tubuh Raymond yang sudah bersimbah darah. Lain hal dengan Gio yang tersenyum penuh kepuasan. "Maksudku adalah. Kau menyerahkan wanita JALANG itu padaku dan aku berjanji akan menjauhi keluargamu." "Itu tidak akan terjadi," Tolak Vino secara mentah-mentah. "Kau yakin? Aku yakin kau akan menyesal bila kau memilih ja...!! "BERHENTI MEMANGGIL ADIKKU SEPERTI ITU b******k," Bentak Vino mulai kehilangan kontrol. "Kakak?" Viola mendongak menatap wajah memerah Vino. "Tuan. Anda terluka?" Zayn merasa panik saat melihat bahu sang tuan yang terluka. "Aku tidak apa-apa Zayn. Luka ini tidak seberapa bagiku," Jawab Gio kembali menoleh pada Vino dan Viola. "Tuan Vino yang terhormat. Saat ini aku meminta dirimu untuk menyerahkan p*****r itu padaku. Jika kau mau menyerahkan dia padaku maka aku jamin keluarga kecilmu tidak akan aku sentuh," Kata Gio membuat sebuah penawaran. "Kau kira aku akan takut pada ancamanmu itu? Jangan bermimpi, sampai matipun aku tidak akan pernah menyerahkan adikku padamu. Sampai dunia kiamat pun aku tidak akan memberikan adikku padamu," Ujar Vino penuh penekanan membuat Viola merasa terharu akan ucapan demi ucapan yang terlontar dari bibir Vino. Jujur, Viola sangat bahagia saat Vino begitu melindungi dirinya. "Kau yakin akan ucapanmu itu?" Tanya Gio dengan tatapan datarnya. "Aku sangat yakin. BAHKAN aku tidak pernah seyakin ini sebelumnya," "Baiklah. Aku memegang ucapanmu itu. Berarti jika aku menculik istrimu kau akan tetap memilih p*****r itu bukan. Baik, aku mengerti sekarang, tadinya aku ingin membuat sebuah penawaran yang sama-sama menguntungkan bagi kita tapi sayangnya kau menolak tawaranku." "Apa maksudmu?" Vino benar-benar merasa was-was kali ini saat nama istrinya disebut-sebut. "Maksudku adalah. Kau boleh mengambil p*****r itu dari genggaman tanganku. Tetapi sebagai gantinya. Istri kecilmu akan menjadi targetku. Bukankah itu cukup adil?" Gio berbicara begitu santai seakan ucapannya tidak berarti sama sekali. "Jangan main-main padaku GIO. Kau pasti sedang berniat menakut-nakuti diriku saja bukan?' "Itu terserah padamu. Kau ingin percaya padaku atau tidak. Sekarang biar aku berikan kau satu kesempatan lagi. Serahkan p*****r itu padaku dan aku berjanji tidak akan pernah menganggu ketentraman hidupmu lagi." "ITU TIDAK AKAN PERNAH AKU LAKUKAN. SAMPAI KAPANPUN AKU TIDAK AKAN MENYERAHKAN VIOLA ATAUPUN ANGGOTA KELUARGAKU YANG LAIN," Teriak Vino setelah itu baku hantam mulai terjadi. Suara ledakan dan baku tembak menjadi akhir dari peperangan. Meskipun jumlah bawahan Gio tidak sebanyak jumlah para agen intelijen. Hal itu tetap tidak mampu untuk melumpuhkan anggota yang dimiliki Gio, justru para anggota agen intelijen yang berakhir merenggang nyawa. Melihat jika pasukan agen intelijen mulai menipis. Vino segera membawa Viola untuk melarikan diri diikuti oleh para bodyguardnya. Beberapa anggota agen intelijen juga ikut membawa Raymond yang sudah dalam keadaan sekarat untuk melakukan pertolongan pertama. Melihat Vino membawa Viola menjauh begitupun para agen intelijen yang lebih memilih untuk mundur, membuat Gio peserta orang-orangnya hanya bisa menatap pelarian mereka. "Tuan. Apa kita perlu mengejar mereka?" Tanya Zayn. "Aku rasa tidak perlu, karena tanpa kita kejar pun p*****r itu pasti akan datang untuk menyerahkan diri," "Maksud Tuan?" Zayn merasa tidak begitu mengerti. "Nanti kau juga akan tahu sendiri," Sinis Gio." Zayn telepon kakakmu tanyakan apakah tugasku sudah ia selesaikan apa belum?" "Tugas? Tugas apa?" Zayn merasa tidak paham akan maksud dari ucapan Gio. MERASA tidak akan mendapatkan jawaban mau tidak mau Zayn segera menelpon kakak tertuanya itu yang tidak lain adalah Zeno yang merupakan tangan kanan dari Gio sebelum dirinya. Tidak begitu lama panggilan teleponnya langsung tersambung. "Hallo. Ada apa Zayn? Kenapa kau menelpon kakak di jam seperti ini?" Tanya Zeno di seberang sana. "Maaf kak jika Zayn menganggu. Zayn hanya ingin tahu apakah tugas yang diberikan oleh tuan Gio telah Kakak selesaikan apa belum?" Tanya Zayn. "Oh. Tugas yang diberikan oleh Tuan Gio telah kakak selesaikan. Bahkan saat ini dia sudah kakak bawah ke markas kita," Jelas Zeno. "Dia?" "Iya. Dia. Apa kau belum mengetahui maksud dari ucapan kakak ini?' selidik Zeno yang ikutan heran akan respon adiknya itu. Lain hal dengan Gio yang nampak begitu santai di sebelahnya saat ini. TBC,
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN