Tangguh harus menjaga sikap selama berada dirumah Azkia. Biar bagaimana pun, keputusan ini bukan dirinya yang mau. Semua sudah diatur sedemikian rup aoleh Papa dan Mamanya. Sungguh hebat sekali, kedua orang tuanya menyebunyikan fakta ini mmebuat Tangguh sendiri tidak bisa menjawab tidak dalam pertunangan yang akan diselenggrakan besok.
Sekarang waktunya pulang. Tangguh sudah berpamitan pada kedua orang tua Azkia. Azkia pun ikut mengantar Tangguh sampai ke halaman depan menuju mobil milik calon suaminya itu.
"Jadi besok mulai ngajar dong?" tanya Azkia basa -basi.
"Hu um ..." jawab Tangguh hanya berdehem pelan dan terus menuruni anak tangga.
Azkia ikut turun juga dan berjalan membuntuti Tangguh.
"Aku boleh ke Kampus? Bawain makan siang gitu?" tanya Azkia dengan manis.
"Gak perlu." Tangguh menjawab dengan tegas dan sangat singkat.
"Oke. Tapi inget, besok kita itu bakal tunangan," ucap Azkia menegaskan.
"Hemm ..." jawab tangguh begitu singkat dan membuka pintu mobilnya.
"Kamu kayak gak serius, Mas?" tanya Azkia menariklengan Tangguh agar tak masuk ke dalam mobilnya.
Tangguh melirik tangan Azkia yang memegang erat lengannya.
"Aku serius kok," jawab Tangguh santai. Ia sedang malas berdebat dan ingin cepat pulang. Tangguh taksabar ingin bermimpi tentang Yura dan Ares. Wajah keduanya terus menari di dalam otaknya yang begitu lebar.
"Mas Tangguh, jangan lupa beli cincin," pinta Azkia sedikit merengek.
"Hemm ... Udah kan? Aku lelah. Mau pulang," pinta Tangguh berusaha menepis tangan Azkia yang masih memegang erat tangan Tangguh.
Azkia mengangguk dan melepaskan tangannya lalu membiarkan Tangguh masuk ke dalam mobil VW itu. Mobil tua yang sudah dimodifikasi. Kacanya pun terlihat bening dan bisa terlihat dari luar.
"Hati -hati ya, Mas," ucap Azkia begitu lembut dan perhtian. Azkia tidak pernah merasa malu jika harus memberikan perhatian lebih dulu pada Tangguh.
Dulu pun sewaktu berada di Amerika, Azkia juga seperti ini. Selalu ramah, lembut dan penuh senyum. Sebenarnya Tangguh menyukai sifat Azkia. Tapi, sejak kejadian siang tadi saat bertemu Tangguh yangsedang menggendong anak dan melaporkan yang tidak -tidak pada Mama Ratna. Seketika, Tangguh merasa ilfil pada Azkia.
Tangguh sama sekal tak menjawab dan menyalakan mesin mobilnya lalu menekan klakson dan melajukan mobilnyapelan meninggalkan Azkia yang hanya bisa terdiam menatap Tangguh.
"Sabar Kia ... Sabar ... Besok lelaki itu sudah menjadi milikmu. Walaupun baru bertunangan dan itu menadkan setengah halal." Azkia membtin untuk menenangkan diri.
Azkia memang harus sabar dengan sikap Tangguh yang seperti itu. Dingin, datar, cuek, dan sama sekali tidak romantis. Azkia jarang melihat Tangguh tersenyum, tapi siang tadi Kia berhasil melihat senyum tulus Tangguh yang terus tersemat disudut bibir lelaki itu.
***
Kebahagiaan Davian begitu tercurah dalam sikapnya selama berada di Kafe. Malam ini, ia akan mengajak Yura dan Ares untuk makan malam dirumah, sekaligus mengenalkan secara langsung antara Yura dan Ares kepada Shela, Mamanya.
Yura selalu mengingatkan pada Davian untuk tetap menjaga sikap agar tidak terlalu nampak. Yura tidak ingin pekerjaannya malah tehambat karena ada hubungan khusus diantara mereka. Yura hanay ingin apa adanya di depan teman -teman se -profesi lainnya.
Kafe itu sudah tutup. Saat ini waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Semua karyawan sedang membereskan Kafe sesuai jobdesk- nya masing -masing.
Yura sudah selesai merapikan meja kursi dan mengelap bersih meja serta menyapu dan mengepel lantai. Yura bergegas menuju ruang ganti dan melepas apron miliknya dan memasukkan diloker khusus miliknya. Ia mengambil tas dan membangunkan Ares yang hari ini ikut dibawa bekerja. Untung saja, Ares tidak rewel, walaupun Yura harus bolak -balik melihat keadaan Ares diruang khusus untuk beristirahat para karyawan. Ruangan itu memang tidak besar tapi nyaman sekali untuk istirahat. Ada kasur lengkap dengan bantal dan guling. Ada AC juga agar tetap nyaman dan pulas saat istirahat.
Saat amsuk ke ruangan itu, Davian sudah berada disana dan mengajak Ares bermain. Ditangan Ares sudah ada beberapa mainan yang sama sekali tak dikenal Yura.
"Pak? Dari tadi disini?" tanya Yura lirih.
"Iya Yura. Tadi Ares sempat menangis. Jadi aku temenin aja. Gak apa -apa kan?" tanya Davian begitu ramah
Yura mengangguk keci dan duduk di samping Ares.
"Ini punya siapa?" tanya Yura pada Ares.
Ares pun menunjuk ke arah Davian. Yura mengangkat wajahnya dan menatap Davian dengan lekat.
"Ini dari Bapak?" tanya Yura serius.
"Iya Yura. Ini untuk Ares. Sebenarnya ini sudah lama ada diruangan -ku. Hanya baru bisa ngasih secara langsung malam ini," jelas Davian lembut smabil mencubit gemas pipi Ares.
"Pak ... Jangan memanjakan Ares dengan mainna. ura jarang banget belikan Ares mainan," pinta Yura pada Davian.
"Yura ... Ares itu anak -anak. Dia hanya tahu bahagia. Jangan kamu membatasi kebahagiaan Ares. Apalagi membatasi kebaikan orang yang ingin membahagiakan Ares," jelas Davian pada Yura.
"Iya Pak. Makasih," jawab Yura lembut.
"Yuk ... Mama udah nungguin . Nnati keburu malem," ajak Davian pada Yura.
"Iya. Ini memang sudah malam, Pak. Sudah jam sepuluh malam," jelas Yura terkekeh.
"Benar sekali. Lainnya sudah selesai? Kamu tunggu di dekat mobil. Biar gak kethuan yang lain," titah Davian pada Yura.
Yura mengangguk dan menggendong Ares. Beberapa mainan itu ikut dibawa Ares. Yura segera keluar dari Kafe dan menunggu Davian yang sedang menunggu karyawan lainnya keluar dan mematikan lampu lalu mengunci Kafe.
Hari pertama terasa aman. Teman -teman seperjuangan Yura tidak ada yang curiga dengan perhatian lebih Davian pada Yra. Padahal menurut Yura, Davian tetap memberikan prioritas lebih pada Yura.
"Pak?" Yura memannggil Davian yang terlihat serius menyetir lau melirik sekilas ke arah Yura yang sedang memangku Ares.
"Ya? Kenapa?" tanya Davian pelan.
"Tante Shela suka apa?" tanya Yura agak hati -hati.
"Suka apa? Mama suka uang, suka berlian," jawab Davian terbahak sendiri.
Yura hanya menatap Davian dari arah samping, "Serius Pak."
"Oke. Suka apa nih?" tanya Davian lagi.
"Makanan gitu? Mau beli apa dulu. Tuh banyak, ada martabak manis, martabak telur, kue," jawab Yura smabil menunjuk beberapa gerobak kaki lima dipinggir jalan.
"Gak usah Yura. Mama suka cucu," jawab Davian lirih.
Yura menatap lekat pada Davian.
"Serius Yura," jawab Davian cepat seolah tahu Yura sedang bingung.
"Satu lagi ... Mulai sekarang jangan panggil aku dengan sebutan Pak jika kita hanya berdua saja. Kecuali memang kita sedang berada di Kafe, itu masih aku ijinkan," titah Davian pada Yura.
"Terus? Manggil apa?" tanya Yura polos.
"Terserah ... Sayang, kekasihku, Mas, atau suamiku ..." kekeh Davian.
"Hemm ..."