Malam ini dengan penuh keterpaksaan, Tangguh datang ke rumah Hariantoro.
Mobil VW tangguh sudah masuk ke halaman rumah Azkia. Ia turun dan menekan bel rumah Azkia. Berharap tidak akan ada yang membukakn pintu depan itu. tangguh benar -benar malas. Ini saja, ia datang sudah agak larut. Janji pukul tujuh, Tangguh malah datang pukul delapan malam.
Kalau bukan ratna yang terus berteriak agar Tangguh cepta pergi, mungkin tangguh juga masih bermalas -malasan dikamar.
Ceklek ...
Pintu depan itu sudah terbuka lebar. Azkia yang cantik sudah muncul dari belakang pintu dengan senyum lebar penuh semangat.
"Om Hari dimana?" tanya Tangguh to the point.
"Ada didalam. Diruang tengah. Kamu kenapa telat?" tanya Azkia pada tangguh dengan nada manja.
"Ketiduran," jawab Tangguh santai.
Tangguh sudah akan melangkah masuk ke dalam rumah. Azkia menahan tubuh Tangguh lalu tersenyum manis.
"Kenapa?" tanya Tangguh bingung. "Gak boleh masuk? Aku pulang aja kalau gitu."
"Eits ..." teriak Azkia memegang tangan Tangguh yang sudah akan berbalik ke arah luar.
Tangguh menoleh ke arah Azkia dan menepis tangan Azkia yang menyentuhnya.
"Kenapa sih? Kamu selalu galak kalau sama aku? Wajah kamu juga dingin dan datar. Gak ada manis -manisnya?" tanya Azkia memberondong pertanyaan.
Tanguh melotot lalu memutar dua bola matanya dengan malas.
"Penting?" Tangguh malas membahas hal -hal penuh kelebayan seperti ini.
"Penting dong. Apalagi buat aku," jelas Azkia nampak begitu kesal.
Dulu saat mereka masih berada di Amerika, sikap Tangguh juga seperti ini pada Azkia. Sangat cuek, dan tidak peduli. Azkia harus berteriak meminta tolong baru Tangguh peduli dan peka. Kalau tidak, mu ada gempa lokal atau hujan badai sekali pun, Tangguh tetap diam seribu bahasa.
"Boleh masuk gak? Jangan sampai mood -ku hilang karena kamu bertanya hal yang aku gak suka," jelas Tangguh dengan suara lantang.
Azkia menarik napas panjang dan memberikan jalan masuk kepada Tangguh untuk segera menemui Papanya.
Malam ini, Tangguh memakai pakaian santai. Celana jeans biru tua dengan kaos berkerah bercorak garis -garis vertikal dengan warna dasar putih tulang.
Tangguh berjalan masuk menuju ruang tengah, seperti biasa Hariantoro duduk santai menikmati kopi dan cemilan kue bolu pisang kesukaannya.
"Malam Om?" sapa Tangguh menghampiri Hariantoro dan menyium punggung tangan lelaki paruh baya itu.
"Hei ... Makin ganteng aja kamu, Ngguh. Cocok banget pokoknya," jelas Hariantoro sambil tertawa.
Susi keluar dari arah dapur menuju ruang tengah sambil membawa wedang ronde pesanan suaminya.
"Cocok apa, Om?" tanya Tangguh dengan raut wajah penuh kebingungan.
Tangguh menghampiri Susi dan melakukan hal sama seperti kepada Om Hari tadi sebagai tanda hormatnya.
Azkia masuk juga ke ruang tengah dan duduk disofa bulat tanpa ada sandaran punggung. Tangguh memilih duduk berseberangan dari Hariantoro yang disampingnya ada Susi.
"Hai anak lelaki ganteng. Mau minum apa? Biar Tante yang buatin secara khusus, atau mau dibuatin sama Azkia?" tanya Susi dengan binar mata yang penuh kebahagiaan.
Sejak dulu, Susi memang sangat kagum pada Tangguh. Anak lelaki semata wayang sahabat suaminya itu sangat ganteng dan keren. Apalagi saat SMA dan Kuliah S1 dan S2, Tangguh termasuk remaja yang nakal tapi berprestasi. Kenakalannya semakin menjadi saat akhir menjelang kelulusannya menjadi seorang sarjana. Saat itu, Tangguh memberontak untuk bekerja di Kantor milik Papanya. Saat itu tangguh masih mencari jati diri.
Sudah dirayu dengan berbagai cara, akhirnya Hariantoro menyuruh Tangguh untuk pergi ke Amerika serikat dan melanjutkan kuliah S3 -nya. Tangguh setuju dan hidup bersama dengan Azkia disebuah apartemen. Hariantoro meminta Tangguh untuk menjaga Azkia dengan baik. Itu, Tangguh lakukan sebagai amanat saja.
"Gak usah repot -repot Tante Susi. Terima kasih," jawab Tangguh sopan.
"Cocok menjadi suami," jelas Hariantoro mulai mengangkat sebuah tema.
"Suami? Calon saja belum ada," jelas Tangguh denagn senyum kecut. Sebenarnya ada sih, tapi butuh waktu yang lama untuk membuat Yura jatuh cinta padanya.
"Nah ... Belum punya calon, berarti belum ada pacar kan?" tanya Hariantoro serius dan menegakkan duduknya.
Tngguh mengangguk pelan. Ia tidak tahu kalau dirinya sedang dijebak dengan pertanyaan sederhana.
"Om punya dua permintaan," ucap Hariantoro pada Tangguh.
Tangguh menatap Hariantoro dengan wajah serius.
"Permintaan?" tanya Tangguh masih tak yakin dengan ucapan Hariantoro barusan.
"Ya kan, karena Om, kamu bisa lanjut kulaih S3. Kamu lupa, kalau Papa kamu sudah angkat tangan soal kamu?" jelas Hariantoro terkekeh.
Tangguh menganggukkan kepalanya pelan. Kenapa Tangguh baru kepikiran sekarang soal balas budi. Tidak ada orang yang benar -benar tulus membantunya. Sampai ikut andil bicara dengan Ayahnya saja dianggap hutang budi dan kini Tangguh harus membalas dengan mewujudkan dua permintaan Hariantoro yang belum diungkap itu.
"Apa itu Om? Kalau Tangguh boleh tahu?" tanya Tangguh denagn raut wajah begitu datar tanpa ada kecemasan. Tangguh benar- benar terlihat sangat tenang sekali.
"Oke. Pertama, Om ingin kamu bekerja di Perusahaan Om," pint Hariantoro menegaskan.
"Om ... Tangguh sudah diterima di Kmapus Garuda. Besok, Tangguh sudah mulai bekerja," jelas Tanguh denagn mantap.
"Iya. Om tahu, kamu bisa kerja sepulang mengajar dan dihari sabtu dan minggu. Kamu kan, direktur, hanay perlu ngecek -ngecek aja," jelas Hariantoro begitu mantap.
"Apa? Direktur? Om, Tangguh belum punya pengalaman kerja di Perushaaan apalagi langsung menjadi dirktur. Apa gak sebaiknya jadi staf dulu aja, karyawan biasa gitu," pinta Tangguh. tangguh kurang yakin dengan kemampuannya. Kalau menjadi dosen, memang ini sudah menjadi cita -cita Tangguh sejak dulu. Sekaligus, ia ingin mencari Yura.
"Om itu sangat yakin sama kemampuan kamu, Tangguh. Kamu pasti bisa. Jangan bilang gak bisa dulu, kalau kamu belum coba," titah Hariantoro begitu tegas.
"Oke Om. Tangguh akan coba," jawab Tangguh begitu lantang.
"Nah gitu ... Itu baru laki. Berani maju, masa kebut -kebutan diatas kuda besi hebat, giliran disuruh kerja hanya tanda tangan aja, takut," goda Hariantoro pada Tangguh.
"Iya Om. Tawaran kerjanya, Tangguh terima. Lalu? Permintaan kedua apa?" tanay Tangguh denagn nada datar.
"Oh itu ... Om dan Tante ingin menikahkan kamu dengan Azkia dalam waktu dekat. Om sangat kagum pada kamu, Tangguh. Ini yang mmebuat Om, begitu yakin melepas Azkia untuk kamu," jelas Hariantoro denagn binar mata penuh kebahagiaan. Begitu juga dengan Susi.
Azkia melirik ke arah Tangguh yang raut wajahnya sama sekali tidak berekspresi apapun. Bahagia tidak, sedih pun tidak. Sampai Azkia bingung, sebenarnya perasan Tangguh padanya itu bagaimana?
"Gimana?"