H.F -(BAB 9)-

2249 Kata
Suasana kelas terasa sangat sunyi kali ini, para penghuninya memilih diam dan tetap duduk pada tempat masing-masing. Bibir mereka terkunci, tetapi mata mereka senantiasa menatap ke arah Meihua dan Zhang Yuwen yang kini duduk bersama. Keduanya terlihat serasi, dunia bagai milik mereka sendiri, dan para penghuni lainnya hanya pajangan yang menumpang hidup. Sementara teman sekelasnya menatap dalam sunyi, Meihua malah harus meladeni kegilaan Zhang Yuwen yang meminta banyak hal padanya. Seperti menyuapinya camilan, memegangkan gelas berisi minuman, mengelus rambutnya, bicara lembut, dan segala macam yang membuatnya dituntut untuk memanjakan Zhang Yuwen. Bibir gadis itu sudah sangat ingin terbuka dan menyumpahi Zhang Yuwen, tetapi jika ia melakukan protes yang berlebihan, maka Zhang Yuwen akan kembali mencuri ciuman darinya. “Aku ingin minum,” ujar pemuda itu sambil menyandarkan kepalanya pada bahu Meihua, ia merasa nyaman saat terus lengket dengan gadis cantik itu, lalu mendapatkan perlakuan yang begitu baik. Wangi tubuh Meihua jelas terendus oleh indera penciumannya. Begitu harum dan menyegarkan. Meihua memaksakan senyum, ingin sekali ia melemparkan Zhang Yuwen dari jendela, dan pergi sejauh mungkin sampai pemuda itu tak bisa menemukannya. Tapi ... sialnya itu tak bisa ia lakukan. Di tempat ini Zhang Yuwen rajanya, dan ia hanya berperan sebagai boneka yang bisa pemuda itu mainkan sesuka hatinya. “Issei, kau sangat manja.” Meihua mengutuk bibirnya yang bicara sedemikian lembut, ia ingin menghempaskan kepalanya pada tembok sekolah dan hilang ingatan dengan cepat. Zhang Yuwen yang mendengar ucapan Meihua mendekatkan wajahnya pada wajah Meihua, ia kemudian mengamati raut wajah itu dengan saksama. “Issei, ada apa?” tanya Meihua. Tangannya terkepal erat, menahan diri agar tak memukul wajah tampan Zhang Yuwen yang begitu menyebalkan itu. Zhang Yuwen yang terus dan terus mendapatkan keinginannya menjadi lupa daratan, ia yang terlena dalam dunianya yang sempurna mulai meminta banyak hal kepada Meihua. “Kenapa hanya diam? Kau ingin minuman, bukan?” tanya Meihua. Masih dengan senyuman manisnya dan tatapan mata yang begitu lembut. “Aku ingin minum dari bibirmu,” balas Zhang Yuwen yang benar-benar tak tahu diri. Mendengar ucapan itu sontak saja membuat seisi kelas memalingkan tatapannya dari Meihua dan Zhang Yuwen. Mereka tak bisa membayangkan betapa manisnya, dan betapa menyenangkannya bertingkah seromantis itu di dalam kelas. Jia Li yang sejak tadi tak ingin melihat kejadian itu mengepalkan tangan, ia menarik napas panjang, dan mengamati tingkah Wu Chen dan Liang Fai. Keduanya biasa saja, mereka terlihat tak peduli dengan kelakuan Zhang Yuwen. Setelah melihat dua orang itu, Jia Li kembali menatap penghuni kelas lainnya, ia cukup kaget karena semua orang melihat kedekatan Zhang Yuwen dan Meihua sebagai sebuah hiburan. Huaaa ... Jia Li sudah tak tahan berada di kelas itu. Ia sudah tak bisa menahan rasa kesalnya karena Zhang Yuwen dan Meihua begitu dekat dan mesra, apa yang harus ia lakukan? Dirinya benar-benar ingin menarik wig merah yang ada di kepala Meihua. Seharusnya hanya ia yang bisa menjadi pusat perhatian, kenapa sekarang Meihua juga mendapatkan perhatian dalam segi yang lebih positif? Di sekolah ini dia adalah ratunya, dan ia sekarang malah disandingkan dengan Meihua. Jia Li yang sudah tak tahan segera berdiri, ia nyaris menggebrak meja dengan kuat jika saja tidak terdengar langkah kaki memasuki kelas. “Selamat pagi anak-anak,” sapa seorang guru berjenis kelamin laki-laki. Guru itu berumur sekitar empat puluh tahun, ia mengajarkan pelajaran matematika, dan berasal dari Jepang. Sekolah Menengah Atas Yunlei memang memiliki guru dari berbagai negara, sekolah ini bertaraf internasional, dan merupakan sekolah khusus anak-anak orang kaya-raya. Yah ... meski pun Meihua bisa lulus dalam ujian masuk, itu karena ia mendapatkan beasiswa dan otaknya patut dikagumi oleh sekolah berkelas seperti Yunlei. Murid yang belajar di sana juga berasal dari negara-negara yang berbeda, bahasa yang wajib mereka gunakan adalah bahasa Inggris. Tetapi ... sering kali untuk memanggil seorang guru, mereka akan menggunakan bahasa yang berasal dari tempat gurunya berasal. Misalnya saja seperti guru matematika yang sekarang sedang ada di dalam kelas, maka mereka akan memanggilnya dengan sebutan ‘Sensei’, dan sebutan lain yang lazim digunakan orang-orang dari negara bersangkutan. Jia Li yang melihat kehadiran guru itu kembali duduk, sekarang ia tak bisa keluar dan menghindari rasa tak nyamannya di dalam kelas. Guru itu menatap ke seluruh kelas, ia kemudian menghentikan tatapan matanya pada Zhang Yuwen. Ah ... muridnya itu akhirnya bisa hadir di dalam kelas. Tapi ... guru itu tak bisa mengajukan protes saat melihat pakaian sejenis apa yang Zhang Yuwen kenakan, ia juga tak akan mengambil pusing dengan Meihua yang tiba-tiba saja harus berpenampilan seperti itu. Ini pasti ulah Zhang Yuwen, dan ia sebagai seorang guru tak akan mengajukan protes. Baginya otak seorang murid yang pintar adalah segalanya, ia akan membebaskan muridnya melakukan apa saja selama nilai mereka baik dan juga tidak membuat keributan. “Hari ini kita akan mengadakan ulangan, saya harap kalian sudah siap, dan bisa membuktikan kualitas kalian dengan baik.” Ucapan guru itu membuat para penghuni kelas menatap tak percaya, mereka belum belajar, dan sekarang malah ada ulangan mendadak. Meihua yang mendengar hal tersebut hanya bisa mendesah pasrah, ia belum menyiapkan dirinya sama sekali, dan semua itu karena Zhang Yuwen yang mengacaukan jadwal hidupnya dengan sangat baik. Zhang Yuwen yang juga mendengar akan adanya ulangan dadakan hanya menerima keadaan, biasanya ia tak mengikuti hal seperti ini karena terlalu sering menoblos. Pemuda itu menatap ke arah sang guru, ia terlihat agak kesal dengan keputusan gurunya tersebut. “Sensei, tapi kami belum menyiapkan diri untuk ulangan mendadak,” ujar Liang Fai, ia adalah sahabat Zhang Yuwen, dan mengikuti jejak Zhang Yuwen yang tertinggal kelas selama dua tahun. Guru itu menatap ke arah Liang Fai. “Bagaimana jika seandainya ada serangan mendadak dari pasukan musuh, dan kau mengatakan diri belum siap untuk melawan?” Liang Fai diam, ia merengut karena merasa kesal. Sedangkan Wu Chen yang duduk bersama Liang Fai hanya bisa menggelengkan kepala pelan saat melihat tingkah laku teman sebangkunya. Tapi ... hal paling menyebalkan adalah perumpamaan yang gurunya lontarkan. “Segera maju dengan teratur, serahkan semua barang-barang kalian, dan simpan dengan rapi di depan kelas.” Guru itu bersedekap, tak akan ia biarkan murid-muridnya berperilaku curang, ia lebih senang melihat nilai pas-pasan tetapi dikerjakan dengan cara yang sehat dan adil. “Haik ....” Suara itu terdengar ramai, para murid menjawab dengan serempak. Setelah jawaban itu disuarakan, satu persatu dari penghuni kelas maju dengan teratur, mereka menyimpan barang-barang di depan kelas dan menghampiri meja sang guru untuk mengambil kertas soal ulangan, jawaban, lalu kertas polos yang digunakan sebagai tempat menghitung dan mempertimbangkan rumus-rumus. Beberapa menit pun berlalu, semua orang sudah kembali duduk dan berhadapan dengan sederet pertanyaan yang ada pada kertas. Mereka menatap soal ulangan itu dengan wajah tak terima, semuanya esai, dan sialnya lagi mereka harus menjabarkan dengan sempurna saat mengisi lembar jawaban. “Berjuanglah, saya yakin kalian bisa melakukannya dengan baik.” Guru tersebut kemudian duduk, ia terlihat puas dengan reaksi para murid. Ada yang terlihat biasa saja, ada pula yang terlihat tak terima. Benar-benar pemandangan yang sangat mengagumkan untukmu. “Waktu kalian satu jam,” ujar guru itu lagi. Meihua yang mendengar ucapan guru itu merasa tak terima, ia benar-benar bisa gila saat memecahkan masalah hitungan itu. Ada lima soal berbeda, dan setiap soal bernilai 200 poin. Nilai kelulusan harus sempurna, dan lebih sialnya lagi saat ia melihat pada lembar soal milik Zhang Yuwen, soal itu berbeda dengan miliknya. Hah ... sepertinya semua orang di dalam kelas mendapatkan pernyataan yang berbeda, dan ia akui guru itu benar-benar licik dalam menguji otak mereka semua. Daripada memikirkan tentang hal tersebut, Meihua segera mengerjakan tugas ulangannya. Ia melirik ke arah Zhang Yuwen, dan cukup kagum saat pemuda itu terlihat serius. Ia tak boleh kalah, ia harus bisa mendapatkan nilai sempurna. ... Satu jam sudah berakhir, dan ulangan yang diberikan oleh guru matematika juga sudah tak ada lagi. Semua jawaban sudah di kumpulan di atas meja guru, tentu saja siap untuk dikoreksi oleh guru yang bersangkutan. “Kalian cukup baik, saya merasa senang.” Guru itu kemudian merapikan mejanya, ia menatap Zhang Yuwen dan Meihua yang terlihat sedang berselisih paham. “Ehem!” deheman keras itu menggema. Zhang Yuwen dan Meihua segera mengalihkan perhatian, mereka menatap ke depan kelas dan malah melihat senyum manis sang guru. “Kalian berdua, bisakah membantu membawakan lembar jawaban itu?” tanya sang guru tanpa basa-basi. Zhang Yuwen yang ingin mengajukan protes menghentikan niatnya, ia menatap Meihua yang segera berdiri, kode bahwa gadis itu setuju untuk membantu sang guru. Tanpa banyak kata Zhang Yuwen juga melakukan hal yang sama, ia dan Meihua segera bergegas dan mengikuti guru matematika yang keluar dari dalam kelas. Sepeninggal sang guru, Meihua, dan Zhang Yuwen dari dalam kelas, semua orang segera mengeluarkan suaranya. Mereka saling tatap, tak menyangka bisa menjawab pertanyaan dari sang guru sesuai dengan waktu yang diberikan. Meski mereka tak tahu apa itu jawaban yang benar atau pun salah. Jia Li yang sejak tadi menahan diri segera berdiri, ia menghampiri Liang Fai dan Wu Chen yang duduk sambil memainkan ponsel. Kelihatannya mereka sedang bermain game, atau juga membalas beberapa pesan yang masuk. Brak ... Suara gebrakan meja tersebut ribut, membuat kedua pemuda itu segera berhenti tetapi tak menatap orang gila yang berani mencari masalah dan juga membuat keributan. “Apa kau punya masalah?” tanya Wu Chen tanpa menatap ke arah Jia Li. Pemuda itu tetap fokus pada ponselnya, mungkin wajah Jia Li kalah cantik dari layar datar yang ia genggam. “Sepertinya ada seekor serangga,” ujar Liang Fai. Pemuda itu sama dengan Wu Chen, ia lebih memilih ponsel untuk dipandang daripada wajah Jia Li. “Bagaimana kalian berduaan bisa sesantai itu? Zhang Yuwen sedang dekat dengan seorang gadis miskin, gadis yang tak pantas untuknya. Seharusnya kalian yang menjadi temannya bisa memberi nasihat, bukan dengan santainya bersikap seperti sekarang.” Jia Li terlihat benar-benar tak terima jika Meihua bisa dekat dengan Zhang Yuwen. Ia tak akan bisa menyentuh Meihua, dan kedudukan Meihua akan semakin kuat. “Wu Chen, apa kau mendengar ucapannya?” tanya Liang Fai dengan santai, ia menatap Wu Chen yang sama sekali tak mengalihkan perhatian dari layar ponsel sejak tadi. “Apa dia baru saja bicara?” Wu Chen balik bertanya. “Sepertinya ia baru saja mengucapkan sesuatu,” balas Liang Fai. “Mungkin saja kau baru saja mendengar jeritan angin yang keluar dari bagian lubang belakangnya.” Wu Chen terlihat begitu polos saat mengatakan hal tersebut, dan Liang Fai yang mendengar penuturan teman sebangkunya tak mampu menahan tawa. Jia Li yang merasa dipermainkan oleh kedua pemuda itu semakin gusar, ia segera pergi dari hadapan keduanya dan duduk dengan wajah masam pada kursinya. Lihat saja ... ia akan segera membalas semua yang terjadi hari ini. Ribuan ... bahkan jutaan kali lipat lebih menyakitkan. Sementara di dalam kelas Jia Li sedang menahan rasa marah dan kesal, kedua orang yang menyebabkan hal itu terjadi baru saja keluar dari ruangan guru. Mereka terlihat berjalan santai di lorong sekolah yang sepi. Ini belum jam istirahat, wajar saja jika belum ada warga sekolah yang keluar dari sarang mereka masing-masing. Tetapi suasana yang sepi seperti ini membuat Zhang Yuwen dan Meihua merasa lebih bebas, mereka bisa merasakan udara segar, dan tidak terganggu dengan tatapan orang-orang sekitar. Zhang Yuwen merasa sangat malas untuk kembali ke kelas, ia kemudian meraih tangan Meihua dan membawa gadis itu berbelok ke arah lain. Meihua yang mendapatkan perlakuan demikian menatap Zhang Yuwen, ia berusaha melepaskan genggaman tangan pemuda itu tetapi dirinya gagal. “Kenapa kau malah membawaku ke tempat lain?” tanya Meihua dengan suara yang agak keras. Gadis itu masih berusaha lepas dari Zhang Yuwen dan ingin kembali ke dalam kelas. “Aku malas menghadiri kelas,” balas Zhang Yuwen dengan sangat enteng. Pemuda itu seakan tak memiliki beban sama-sekali, yang ada di dalam pikirkan hanya mencapai tempat yang tenang untuk tidur. “Bodoh! Jika aku tak menghadirnya, maka aku tak akan mendapatkan pelajaran.” Meihua masih berusaha untuk lepas. “Sekali pun kau tidak mendapatkan beasiswa, kau akan tetap bersekolah di tempat ini. Karena aku ada di sini, maka kau juga akan terus ada bersamaku.” “Zhang Yuwen! Berhenti, aku ingin kembali ke kelas.” Meihua masih bersikeras, mengikuti kemauan Zhang Yuwen yang seperti ini jelas tak akan ia lakukan. Zhang Yuwen segera berhenti melangkah, mereka kini berada di depan pintu tangga darurat. Pemuda itu segera mendekat ke arah Meihua, ia kembali menggotong tubuh Meihua seperti seorang pekerja kasar membawa karung. Meihua kaget dengan posisi mereka kali ini, ia memukul bagian belakang Zhang Yuwen. “Turunkan aku! Zhang Yuwen, apa yang akan kau lakukan, hah? Cepat ... kita harus kembali ke kelas!” Zhang Yuwen tak mengindahkan rengekan Meihua, ia segera membuka pintu pada tangga darurat, masuk, dan menguncinya dari dalam. Di turunkannya tubuh Meihua, kemudian menyandarkan tubuh gadis itu pada dinding. Didekatkannya wajah Meihua dengan wajahnya, ia kemudian tersenyum. “Apa yang ingin kau lakukan?” tanya Meihua. Napas gadis itu tersengal-sengal, ia mencoba untuk menenangkan detak jantungnya yang tak kalah menggila. “Menurutmu, apa yang akan aku lakukan?” Zhang Yuwen balik bertanya. “Zhang Yuwen!” “Ya ... ada apa, Meihua?” tanya Zhang Yuwen dengan suara serak. Pemuda itu kemudian memeluk pinggang Meihua. “Zhang Yuwen, lepaskan aku!” “Bagaimana jika aku tak ingin?” Zhang Yuwen bertanya, ia mendekatkan bibirnya ke arah telinga Meihua, menjulurkan lidahnya, dan dengan cepat menjilati daun telinga gadis itu. “Sssttt ... Zhang Yuwen ... apa yan-” “Aku sedang bermain bersama bonekaku, apa aku salah? Kau milikku, segalanya tentangmu adalah hakku, dan kau harus menuruti apa yang menjadi kehendakku.” Meihua menutup mata, ia mencoba untuk terus menahan emosi. “Meihuaku, gadisku, boneka cantikku. Kenapa kau ketakutan?” tanya Zhang Yuwen. Meihua tak menjawab, ia merasa sedang dalam bahaya kali ini. “Sudahlah, aku hanya ingin tidur. Jaga aku, dan belai rambutku.” Zhang Yuwen segera menjauh dari Meihua, ia tersenyum geli saat melihat wajah pucat gadis cantik itu. Sementara itu Meihua menyipitkan mata, ia bisa melihat wajah Zhang Yuwen yang sangat senang karena sukses mengerjainya. “Kau menyebalkan!” “Dan aku tak peduli,” balas pemuda itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN