Rasuk

1969 Kata
Lembaran pertama dari kitab kuno sudah membuat jiwaku berantakan. Pagi ini, aku sama sekali tidak berniat untuk membuka halaman berikutnya. Demi menenangkan jiwa dan raga, aku memutuskan untuk kembali ke sekolah. Meskipun, guru dan kepala sekolah memberikan izin selama satu minggu penuh, agar aku bisa beristirahat sebagai tanda ucapan belasungkawa, terhadap kehidupanku yang malang. Namun, jika tetap berada di rumah ini seorang diri dalam waktu 24 jam sehari. Pastinya aku bisa gila dan lebih tertekan lagi. Apalagi, saat ini aku sama sekali tidak mampu berpikir dengan baik. Yang ada hanya ketakutan dan risau jika malam tiba atau ketika aku sendirian. Di rumah ini, aku hanya berteman angin dingin yang sewaktu-waktu dapat menusuk tubuhku dan tiba-tiba saja hujan turun, lalu membuat jiwaku terseret kepada masa lalu yang tidak aku pahami. Tidak seperti biasanya, aku berangkat ke sekolah tanpa memperhatikan wajah dengan seksama. Ternyata, banyak luka lebam di bagian pipi serta bibir yang tampak kontras dengan warna kulitku nan putih dan bersih. Beberapa teman memperhatikan diriku ketika melewati mereka. Tetapi tampaknya, tidak ada satupun diantaranya yang bersedia atau sanggup bertanya tentang apa yang telah terjadi. Hingga aku masuk ke dalam ruang kelas di mana namaku tertulis sebagai siswanya dan seseorang menyapaku dengan suara yang lembut. "Nora? Kamu baik-baik saja?" tanya Adam yang terkejut ketika menatap wajahku. "Wajahmu, kenapa?" tanyanya tampak perduli. "Kenapa?" tanyaku lagi karena tidak paham maksud perkataan Adam. Adam menarik tangan kananku dan mengajak ke ruang UKS. "Lihatlah!" pintanya seraya menunjuk ke arah kaca ukuran besar di dalam ruangan tersebut. Aku bergerak lambat ke arah kaca seukuran tubuhku. Kemudian langsung memperhatikan setiap bagian dari wajah ini yang lebam dan terluka. Tiba-tiba saja, bayangan kejadian semalam, kembali berputar di otakku. Aku tahu penyebabnya, tapi tidak mungkin menceritakan semuanya kepada siapa pun. Sebab, mereka pasti bilang, kalau aku sudah gila. "I-ini ya?" ucapku sambil memaksakan senyum. "Tidak disangka, jadi separah ini." "Apa?" Adam menatap tajam dan sangat ingin tahu. "Ayo jelaskan kepadaku!" pintanya sambil menatap erat. "Semalam, listrik padam. Aku melihat gorden beterbangan dan sepertinya sangat menakutkan. Ha ha ha ha ha." Aku menghela napas panjang. "Lalu aku berlari ke segala arah dan menabrak banyak barang di rumahku." Kali ini aku berbohong demi diriku sendiri. Aku tidak mau dianggap sebagai gadis yang aneh dan kacau. "Haaah ... ya ampun. Bagaimana bisa seperti itu? Kamu sudah berhasil membuatku cemas," kawa Adam sambil memegang kepalanya dan menggeleng. "Maaf, ha ha ha ha ha. Tapi, kenapa kamu jadi begitu?" tanyaku yang memang tidak paham dengan perubahan sikap Adam beberapa hari terakhir ini. "Pertanyaan bodoh, kurang peka. Tauk ah ... ." Adam meninggalkan diriku bersama alis matanya yang terus menukik tajam. Tampaknya ia sangat kesal, hingga meninggalkan aku begitu saja. "Eh, Adam! Jangan meninggalkan aku!" Aku berjalan setengah berlari, demi mengejar sosok yang sudah memperhatikan diriku. "Adam! Tunggu dulu!" pintaku yang terus menyusul langkahnya. Saat ini, aku tengah berada di sisi kiri laki-laki yang merupakan idola di sekolah favorit ini. "Jika aku salah, katakan saja! Jangan sampai membuatku kehilangan teman! Kamu mengerti kan maksudku?" Sesaat setelah mendengarkan perkataanku, Adam menghentikan langkahnya. Kemudian, ia menghela napas panjang sekali lagi dan menoleh ke arahku. Tiba-tiba saja, ia tersenyum palsu seolah kemarahannya tadi telah hilang. Tapi aku tahu persis, bahwa Adam masih menyimpan rasa kesal karenaku. Dalam keadaan yang sama-sama terdiam, perutku berbunyi cukup kencang sehingga Adam menghentikan ketegangan di wajahnya. Dengan cepat, ia menarik tanganku dan membawa ke kantin untuk menikmati sarapan hangat apa saja yang sudah tersedia. "Aneh sekali. Kamu lapar, tapi aku yang baper," kata Adam sambil memesan nasi gemuk dua piring dan dua gelas teh panas. "Benarkah? Bagaimana bisa seperti itu?" tanyaku sambil memperhatikan wajahnya yang tampan. "Tidak tahu. Coba tanya mbah Google saja!" perintahnya sambil mengajakku bercanda "Karena aku tidak memiliki jawabannya." "Hum ... itu terdengar aneh bagiku," jawabku cukup kesal, sambil terus memperhatikan wajahnya dan sama sekali tidak ingin memalingkan tatapan ini. "Kenapa?" tanyanya pura-pura ketus dan itu bukanlah gaya dirinya. "Ya iyalah. Wajah-wajah kamu, tapi kok tidak tahu? Aneh, bukan? "Tidak lebih aneh daripada kamu, Nora. Kamu adalah wanita misterius yang bisa membuat aku penasaran dan terpaksa mencuri pandang di setiap waktu." Pengakuan mengejutkan meluncur dari bibirnya. Hal itu membuatku terkejut, namun suka. "Apa?" tanyaku heran dan mulai penasaran. "Sudah-sudah!" Sebaiknya cepat habiskan sarapanmu! Karena sepuluh menit lagi, jam pelajaran pertama akan segera dimulai dan aku tidak ingin terlambat." "Baiklah siswa terdisiplin di seluruh negeri," jawabku mulai menggodanya karena entah bagaimana perasaan ini tiba-tiba menjadi begitu ringan dan gairah bicaraku meningkat. "Ha ha ha ha ha ha. Aku suka julukan itu," katanya yang tertawa lebar. "Sering-sering saja ya!?" "Hah, terpaksa deh." "Dasar! Nyebelin." Sembari menikmati sarapan dengan suasana yang manis dan hangat, aku terus berbincang-bincang dengan Adam. Detik ini, satu-satunya hal yang bisa membuatku tersenyum dan melupakan segalanya, adalah laki-laki yang bersamaku dan selalu menatapku normal. Adam sama sekali tidak seperti teman lainnya. Setelah ini, aku punya rencana untuk mendatangi makam eyang uti. Bagaimanapun, aku harus mengetahui banyak hal tentang keluargaku. 'Saat ini, satu-satunya tempat bertanya adalah laki-laki tua misterius itu. Semoga saja, aku mendapatkan jawaban atas semua pertanyaan ini. Jika tidak, apakah aku harus terima dan bersedia terkubur di dalam kemalangan ini, seumur hidupku?' "Hei!?" Adam memecah lamunanku. "Cepat habiskan!" sambungnya karena melihat suapan ini terhenti. "Iya ... maaf. Baiklah." Setelah selesai sarapan, kami kembali ke dalam kelas dan melanjutkan belajar. Hanya saja, ketika berada di dalam ruangan ini, aku merasa ada seseorang yang terus saja memperhatikan diriku. Bersama ketidaknyamanan, aku menatap ke segala arah di dalam ruang kelas. Namun tidak ada satu pun yang tampak mencurigakan dan menatap tajam ke arahku. 'Tidak. Mungkin ini hanya perasaanku saja. Lagipula, aku aman di sini, bersama teman-teman.' Kataku tanpa suara dan terus memacu diri untuk berpikir positif. Tak lama, bola-bola kertas mendarat di atas meja belajar. Aku pun langsung mengambil dan membukanya. Ternyata, itu dari Adam. Di sana ia menuliskan bahwa aku tidak boleh melamun seperti itu, di mana pun berada. Lebih baik aku menyibukkan diri dengan membaca atau menulis, sehingga dapat melupakan kesedihan atau pun tekanan yang datang. Aku tersenyum simpul sesaat membaca kalimat yang ia torehkan untukku. Setidaknya, masih ada orang yang bersedia mengganggu dan memperingati aku mengenai hal semacam ini. Setelah 120 menit, bel istirahat berbunyi. Adam pun membalik tubuhku ke arahku dan kembali menyapa. "Mau ke kantin lagi?" Aku menggeleng cepat, "Tidak, nanti saja. Jam istirahat kedua." "Hmmm, yakin?" "Iya. Kamu pergi saja kalau mau! Jangan bergantung kepadaku!" saranku karena Adam berhak untuk melakukan apa pun tanpa aku. "Tidak mau ah, nggak seru," jawabnya yang memutuskan untuk duduk di atas meja. "Seru apanya?" "Kamu memang tidak peka ya? Padahal kelihatannya lembut dan pintar." Adam melanjutkan omelannya. "Benarkah? Ha ha ha ha ha. Mana mungkin aku seperti itu, lembut." "Berarti aku salah?" tanya Adam sambil mengeryitkan dahinya. "Mungkin. Adam, aku sama sekali tidak mengerti tentang diriku." Kemudian aku mengeluh dan Adam kembali memberikan ketenangan. "Eh," panggilnya untuk mengalihkan pembicaraan. "Ke perpustakaan yuk!" "Aku kan ingin di dalam kelas saja." "Ayolah! Lima belas menit saja. Aku ingin mengembalikan buku," rayunya tampak serius. "Baiklah." Aku tidak berniat untuk menolak kali ini, sebab Adam tampak malas jika harus keluar ruang kelas seorang diri. "Gitu dong! Jangan pelit!" sambungnya yang langsung berdiri dan bergerak ke arah meja belajarnya, untuk mengambil buku yang ia pinjam beberapa hari yang lalu. Sepanjang perjalanan dari ruang kelas hingga ke perpustakaan, aku kembali merasakan ada sesuatu yang aneh dan terus saja mengawasi langkahku. Demi mengetahuinya, terkadang aku pura-pura duduk dan mengikat tali sepatu. Sebab, rasanya begitu tidak nyaman dan aku merasa kaku untuk melangkah. Tetapi, lagi-lagi. Aku tidak melihat hal yang aneh dan mengarah kepadaku. Setibanya di perpustakaan, aku memutuskan untuk duduk sambil menunggu Adam yang masih berdiri dan meletakkan kembali buku yang sudah ia pinjam. Setelah beberapa saat, aku menunduk dan melihat tali sepatu yang baru saja aku ikat dan rapikan, kembali terlepas. 'Ah, aneh sekali.' Kataku yang memutuskan untuk kembali merapikannya. Seraya menunduk, aku melihat ke arah depan. Di sebrang kursi di mana aku duduk, aku melihat sepasang kaki pucat di hadapanku. Jarak kami tidak terlalu jauh, jadi semuanya dapat dilihat dengan jelas. Hanya saja, aku yakin sekali jika sebelumnya di hadapanku tidak ada siapa pun. Penasaran, dengan cepat aku mengangkat wajah dan menatap ke arah sepasang kaki tersebut berasal. Benar saja, memang tidak ada siapa pun di sana. 'Tidak ada orang. Lalu, bagaimana kaki itu ada?' Tanyaku tanpa suara. Tak lama, sebuah pulpen menggelinding di bawah kolong meja. Aku pun bergidik dan sadar akan hal tersebut. Tidak ada yang salah dengan semua ini. Di seberang sana, mungkin memang ada seseorang yang sedang melakukan sesuatu. Hanya saja, ia tidak ingin memperlihatkan wajahnya kepadaku. Lama kelamaan, ruangan ini terasa kecil dan menyempit. Padahal perpustakaan sekolah ini terkenal paling mewah dan memiliki ukuran sangat besar. Pulpen tersebut berguling-guling di sisi kaki hingga membuatku tidak punya pilihan dan tak bisa berpura-pura tak melihatnya. Tanpa menatap ke arah depan, aku kembali menundukkan tubuh dan meraih pulpen berwarna hitam yang memiliki tombol di atasnya. Baru saja benda itu aku raih, tiba-tiba terdengar suara seseorang tengah memainkan pulpen tersebut dengan menekan tombolnya berulang. Irama itu terdengar jelas dan cepat hingga membuatku tidak punya pilihan selain mengarahkan wajah kepadanya. Sambil mengatur napas, aku melakukan apa yang diperintah oleh otakku. Kemudian setelah meluruskan pandangan, aku melihat diriku sendirilah yang tengah berada di sana dengan wajah pucat pasi dan tatapan kosong nan dingin. "Tidak!" pekikku seraya tersentak. Adam langsung datang sambil menyapa. "Nora, kamu kenapa?" tanyanya sambil memegang pundak kanan. Aku mengatur napas yang terengah-engah, lalu kembali menatap ke seberang meja dengan cepat. Namun, tidak ada apa-apa di sana. Tidak ada siapa pun dan aku kembali seperti orang gila. "Kita kembali ke kelas yuk!" ajaknya sambil membasuh keringatku dengan tangannya. Aku mengangguk satu kali. Tanpa senyum seperti biasanya, aku mengikuti langkah Adam untuk kembali ke salam kelas. *** Pukul 13.00 WIB, bel panjang berbunyi. Suara sorakan gembira pun, terdengar di sepanjang sekolah. Tetapi, di setiap ujung pekikan siswa yang bahagia tersebut, selalu saja terdengar suara teriakan kesakitan dari Barsha. 'Barsha!' Ucap hatiku tanpa sengaja. 'Suara itu, teriakan itu, benar-benar suara Barsha. Tidak mungkin! Aku pasti salah, mana mungkin erangan Barsha.' Tanpa disadari, aku menyebut namanya sebanyak tiga kali. Seketika, hujan turun dengan lebatnya. Petir dan gemuruh pun saling bersambut, seperti malam sebelumnya, ketika aku menemukan kitab kuno di dalam kamar rahasia. Semua mata tertuju pada langit. Para siswa dan guru pun menghentikan langkah mereka di teras kelas masing-masing. Saat itu, banyak di antara mereka yang berbisik dan bercakap-cakap tentang perubahan susana yang tiba-tiba siang ini. Bukan tanpa alasan, sejak tadi pagi, cuaca tampak cerah bahkan mendekati sangat panas. Selain itu, sama sekali tidak tampak tanda-tanda akan turun hujan. 'Ikuti aku, ikuti jiwaku! Berkelana dalam api yang terus membakar!' Suara asing bersama iringan musik tradisional Jawa dan tangisan yang terus terisak, terdengar jelas di rongga telingaku. 'Suara itu, kata-kata itu? Tidak, mana ada iblis di singa bolong seperti ini. "Ah," keluhku seraya memegang kedua lubang telingaku. Tiba-tiba saja, gendang telingaku terasa bergetar dan hati ini turut terluka. Sepertinya, ada sesuatu atau seseorang yang menyiram cuka panas, pada luka menganga di sekujur tubuhku. "Nora!" panggil Adam. "Kamu baik-baik saja, kan?" tanyanya terlihat khawatir. "Adam ... ," gumamku sambil mengatur napas karena tiba-tiba saja dadaku terasa sempit dan sulit memompa oksigen. Tanpa disadari, air mata menetes dengan sendirinya. Ketika pandangan mata telah kabur karena tumpukan air bening di dalamnya, aku seperti melihat seseorang di seberang kelas dengan wajah tertunduk. Penasaran, aku menajamkan pandangan. Dengan cepat, perempuan itu mengangkat wajah sambil membuka mulutnya lebar-lebat dan berteriak kencang. Tak lama, beberapa orang siswa yang berada di sisi kiri, kanan sosok tersebut, kerasukan tidak terkendali. Suara teriakan dari beberapa teman satu sekolah, membuat banyak orang bingung. Aku pun berniat untuk membantu dengan cara apa pun. Namun pada saat yang bersamaan, Adam menahan tanganku dan mengajak pulang. Bersambung. Halo, n****+ ini akan menggunakan alur lambat ya. Nikmati saja dan kurangi protesnya. Makasih
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN