Prolog

3056 Kata
“Kayaknya aku enggak mau menikah seumur hidup. Menikah terlalu kompleks buatku. Belum lagi kalau dapat laki-laki jahanam.” Sakit hati membuatku mati rasa. Tidak cukup diselingkuhi, kekerasan pun telah kudapatkan. Meski hanya satu tamparan di pipi kiri, tetapi aku akan mengingatnya sampai mati. “Kamu bilang gitu karena habis disakiti, Shen. Kamu cuma belum nemuin laki-laki yang tepat. Oh ayolah, kita masih terlalu muda buat mikirin nikah. Kita bahkan baru mau masuk semester dua. Pengalaman burukmu kemarin cukup dijadikan pembelajaran aja.” “Aku cuma enggak nyangka aja, Da. Cowok yang selama ini aku harap bisa melindungiku, menjadi imamku kelak, ternyata sebusuk itu. Udah ketahuan selingkuh bukannya minta maaf, malah main tangan. Sikopet!” “Ini cara Tuhan buat nunjukin kejelekan dia. Bagus, dong, ketahuan sekarang? Coba kalau kalian pacaran lama sampai menikah, lalu ketahuan belakangan? Sakitnya bakal lebih-lebih.” “Iya, sih. Cuma aku masih enggak terima banget. Papaku aja enggak pernah main tangan, semenjengkelkan apa pun aku. Ini a**s Babi berani-beraninya nampar pipiku buat melindungi selingkuhannya. Berasa rendah banget, aku! Sialan, emang!” “Udah, udah. Yang penting sekarang kalian udah putus dan bener-bener selesai. Ini aku sengaja ajak kamu ke Semarang biar kamu lupa sesaat sama kehidupan di Jakarta. Mumpung kita libur kuliah juga. Jangan inget-inget dia mulu.” “Aku bukannya inget-inget, tapi keinget. Beda, tahu!” “Iya. Terserah, deh!” “Tapi kayaknya aku mau sendiri dulu, deh, Da.” “Hah?” Aku mengedarkan pandangan, lalu mengangguk. “Iya, aku mau sendiri dulu. Nanti aku pulang maksimal jam sebelas malam.” “Eh, serius? Kamu baru pertama kali ke Semarang, lho, ya! Jangan ngarang!” Aku tersenyum, merasa lucu tiap kali Rizda mengeluarkan logat Semarangnya. “Tenang. Aku bukan anak cupu yang takut keluar sendirian. Please, beneran lagi mau sendiri.” Rizda akhirnya mengangguk. “Ya udah, oke. Asal jangan sampai besok aku baca berita di TV dengan headline ada mahasiswa cantik bunuh diri di atap mall. Diduga patah hati karena diselingkuhi pacarnya.” “Enak aja! Enggaklah! Aku masih mau hidup.” “Yo wes. Nanti telepon aku kalau mau pulang. Biar aku bukain gerbang. Tapi janji, ya? Jangan terlalu larut.” “Iya.” “Punya duit cash atau enggak, Nyonya? Buat jaga-jaga aja. Takutnya tiba-tiba butuh. Di sini enggak semua bisa cashless.” “Enggak. Cash-ku paling tinggal sepuluh ribu.” Rizda meraih dompetnya dan memberiku uang dua ratus ribu. “Kalau enggak kepepet, jangan gunain.” “Yaaa! Udah, sana!” “Jangan ke tempat yang sepi-sepi! Kota ini tetap ada orang jahatnya.” “Iyaaa! Lagian ini ramai!” “Ya makanya aku bilang jangan ke tempat yang sepi, Oneng.” “Iya, ih! Bawel bet lu!” Akhirnya, Rizda pulang dengan mobilnya. Meninggalkanku sendirian yang duduk di bangku taman. Aku menghela napas pelan, lalu memejamkan mata. Aku mencoba merelaksasi diri selama beberapa saat. “b******k, b******k, b******k!” Aku menggeram tertahan, lalu mengembuskan napas panjang. Evin Andika, nama cowok yang sejak tadi kubahas dengan Rizda. Aku berpacaran dengannya sejak kelas dua SMA. Jangan pernah bayangkan yang aneh-aneh tentang pacaran ala kami. Pacaran ala kami hanya makan, nonton, ke perpustakaan, dan hal-hal yang mendekati itu. Aku mau pacaran dengannya karena dia terlihat seperti anak baik-baik. Dia juga tidak pernah ambil kesempatan dalam kesempitan. Makanya aku percaya, kalau kami bisa jaga komitmen, kami akan menikah suatu saat nanti. Tak tahunya, dia penipu ulung. Dia adalah Serigala berbulu Domba. Pantas saja tidak pernah meminta aneh-aneh padaku. Ternyata, ada perempuan lain yang dia gunakan untuk pelampiasan nafsu bejatnya. Tidak cukup sampai di situ, dia masih menamparku saat aku melabrak selingkuhannya. Jujur, untuk yang ini aku menyesal. Kenapa pula aku melabrak? Tidak berkelas sama sekali! Namun, ya sudahlah. Sudah cukup. Aku tidak mau tertipu untuk yang kedua kalinya. Untuk saat ini, aku bahkan tidak tertarik menjalin hubungan dengan lawan jenis lagi. Entah kalau nanti. Aku tidak yakin. “Duh! Lama-lama haus juga.” Aku mengedarkan pandangan, lalu langsung tersenyum ketika melihat bapak-bapak jualan es teh. “Pak, Pak! Saya mau beli es-nya.” “Boleh, boleh. Mau berapa?” “Dua.” Aku beli dua karena sangat haus. Minum satu sepertinya kurang. “Kalau dua, sepuluh ribu.” Wah! Murahnya! “Ini, Pak. Uangnya pas, ya.” “Terimakasih, Mbak.” Setelah mendapat es teh, aku mencari tempat duduk lain. Pasalnya, bangkuku tadi sudah diduduki tiga remaja berpakaian serba pink. “Kok isi semua, sih?” aku celingukan. “Eh, itu ada! Eh, tapi ada cowok! Enggak papa, deh, daripada duduk di tanah?” Aku menghampiri bangku yang kumaksud, lalu berhenti di dekat laki-laki yang saat ini duduk menunduk. Dia mengenakan jaket coklat bata dan bertopi hitam. Entah kenapa, aku langsung dibuat salah fokus dengan bibirnya yang luka dan tangannya yang diperban. “M-mas ... b-boleh saya duduk di sini?” tanyaku hati-hati. “Duduk saja,” jawabnya pelan, tetap menunduk. “Oke.” Saat aku duduk, aku langsung mencium aroma parfum yang mirip sekali dengan parfum milik kakakku, Mas Arfa. Bedanya, yang ini sedikit lebih lembut. Suasana di antara aku dan laki-laki ini sangat canggung. Dia diam, aku pun diam. Lagi pula, memang tidak ada bahasan. “Ehm!” Aku berdehem pelan untuk mengurangi kecanggungan. “Masnya mau minum?” aku menawari minumanku. “Ini baru, kok. Bukan sisa. Saya tadi beli dua.” Aku cukup terkejut karena laki-laki ini langsung mengulurkan tangannya. Dia percaya padaku? “Tapi gimana kalau saya racun?” tanyaku setengah bercanda. Aku hanya kaget karena dia terlalu percaya dengan orang baru. Orang yang bahkan belum dia kenal sama sekali. “Bagus, biar saya cepat mati dan menyusul adik saya.” Deg! Menyusul adik? Dia baru saja kehilangan adiknya? “E-enggak boleh gitu, Mas. Ini minumnya. Aman, kok. Enggak diracun. Barusan saya beli di bapak-bapak yang jualan keliling.” Dia menerima minuman dariku dan langsung menyeruputnya. Sepertinya dia haus, karena dalam sekejap saja, minuman itu sudah mau habis. “Karena Masnya sudah terima minuman dari saya, gimana kalau kita berteman?” Dia menoleh, dan detik itu juga entah kenapa aku langsung berdebar. Padahal bibirnya robek, wajahnya pun tertutup topi, tetapi dia masih terlihat begitu tampan. Iya! Laki-laki di sampingku ini tampan. “Saya cuma bercanda.” Aku nyengir. “Jangan anggap serius ucapan saya.” “Oke, kita berteman.” Oh? Dia yakin? “O-oke,” balasku akhirnya. Hening lagi. Dia menghabiskan minumannya, lalu tiba-tiba berdiri. “Mau ikut saya?” “K-ke mana?” aku mendongak. “Makan.” “Hah?” “Saya lapar.” “A-ah, boleh-boleh.” Katakan aku terlalu nekat karena tiba-tiba ikut orang tidak dikenal. Namun, entah kenapa aku merasa tenang berada di dekatnya. Aku tidak merasa dia orang jahat. Laki-laki itu berjalan lebih dulu dan aku mengekor di belakangnya. Dia mengajakku ke sebuah warung makan pinggir jalan. Warung itu menjual aneka olahan unggas. Kulihat ada ayam, bebek, mentok, juga burung puyuh. “Kamu bisa makan di tempat seperti ini?” Laki-laki itu menatapku dari atas sampai bawah. “Bisalah! Emang saya apaan?” “Mau makan apa?” “Apa aja, asal jangan ayam. Lagi bosen sama ayam.” “Oke.” Laki-laki itu mendekat ke arah penjual. “Bebek bakarnya dua, Pak.” “Siap, Mas.” Karena aku sudah memilih tempat duduk, laki-laki itu menyusulku. Dengan pembawaan yang sangat santai, dia duduk di sampingku. Aku menelan ludah, mendadak grogi. “Berapa umurmu?” tanyanya ketika minuman kami datang. “Enggak usah jawab kalau keberatan.” “Tujuh belas.” “Oh, masih SMA rupanya.” “Enggak, ya! Saya udah kuliah. Mau semester dua, malah. Enak aja, SMA!” “Kok bisa? Kamu ikut akselerasi?” “Iya.” Aku menjawab lirih. “Masnya mahasiswa semester akhir, ya?” Aku sok menebak. “Iya, tiga tahun lalu.” “He? Sekarang udah Om-om, dong?” “Om-om, kamu bilang?” matanya memicing sesaat, tampak sekali tidak terima. “Hehe! Bercanda, Mas. Tapi saya jadi merasa bersalah karena ngajak berteman. Masnya padahal seumuran kakak saya. Atau bahkan mungkin lebih tua. Kakak saya aja belum lama lulus sarjana karena skripsinya agak molor.” “Memang baru kali ini seumur-umur ada anak kecil yang ngajak saya berteman.” “Saya bukan anak kecil lagi!” “Kamu bahkan lebih muda dari almarhum adik saya.” Jujur, tiba-tiba aku merasa sedih hanya karena mendengar kata ‘almarhum.’ “Kalau boleh tahu, adik Masnya umur berapa?” “Delapan belas. Sama sepertimu, dia juga harusnya mau masuk semester dua.” “Kalau pembahasan ini bikin Masnya sedih, berhenti saja. Oh, itu pesanan kita datang.” Makanan datang di waktu yang tepat. Jadi, pembahasan sensitif ini tidak perlu berlanjut. Aku mengambil bagianku, lalu mulai makan. Namun, baru satu suapan, aku sudah berhenti. Pasalnya, aku mendadak fokus dengan laki-laki di sampingku ini yang kini sedang kesusahan makan menggunakan tangan kiri. “Mas ...” panggilku pelan. “Hm?” “Maaf kalau lancang. Sini, biar saya bantu pisahin daging bebeknya. Sebenarnya lembut, pakai sendok juga bisa. Tapi karena satu tangan, apalagi kiri, pasti susah.” Tanpa menunggu persetujuannya, aku menarik piringnya. Aku memisahkan daging bebek dari tulangnya, lalu piringnya kukembalikan lagi begitu selesai. “Sekarang lebih mudah, kan?” Dia menoleh dan menatapku. Kupikir hanya sesaat, ternyata cukup lama. Aku sampai refleks menelan ludah karena mendadak takut. “Masnya m-marah?” “Terima kasih,” katanya pelan yang langsung membuatku tersenyum lebar. “Sama-sama.” Bahkan saat dagingnya sudah kupisah, dia masih kesusahan makan dengan tangan kiri. Sepertinya, luka di tangan kanannya cukup serius. Kalau luka biasa, meski diperban seperti itu, harusnya masih bisa makan dengan sendok. Setelah selesai makan, aku hendak membayar. Namun, laki-laki itu menahanku. “Saya yang ajak kamu makan. Biar saya yang bayar.” “A-ah, oke. Terima kasih.” Begitu keluar warung makan, kami berjalan menyusuri trotoar. Suasana terasa hening karena belum ada yang berbicara lagi di antara kami. “Kamu tidak takut dengan saya?” laki-laki itu akhirnya bersuara. Dia berhenti, membuatku juga ikut berhenti. “Jadi, saya harus takut dengan orang yang bahkan tangan kanannya saja lagi enggak bisa dipakai buat makan? Gini-gini, saya juga bisa taekwondo. Kalau Masnya macam-macam, saya lawan.” “Kelihatannya, kamu bukan orang Semarang.” Dia mulai jalan lagi, jadi aku mengimbanginya. “Saya dari Jakarta. Jujur aja, deh! Saya ke sini diajak teman kuliah. Tujuannya buat nyembuhin luka. Saya habis diselingkuhin, tahu!” aku nyerocos tanpa filter. “Secantik kamu diselingkuhin?” Deg! Sejak kapan aku berdebar hanya karena dipuji cantik? “K-kan! Cantik kaya saya masa diselingkuhin, coba? Enggak masuk akal banget! Emang mantan saya itu buta!” “Mantan? Jadi sudah putus?” Aku mengangguk. “Iyalah. Mana mau saya pacaran sama tukang selingkuh.” “Lalu lukamu sudah sembuh?” “Jelas belum. Tapi ya udah, enggak mau saya pikirin lagi. Saya yakin, waktu yang akan menyembuhkan.” “Mau jadi pacar saya?” “H-HAH?” aku mendelik. Aku juga hampir tersedak ludah sendiri. “Saya enggak salah dengar? Yang bener aja, Mas!” “Hanya malam ini. Begitu kita pisah, kita putus.” Aku tertawa. “Konyol banget, sumpah! Masnya lagi kangen sama adik, ya?” “Hm ... anggap saja begitu. Kamu memang agak mirip dengan adik saya. Tapi kalau saya minta kamu jadi adik saya malam ini saja, saya takut di sana dia akan merajuk.” Entah kenapa, aku tersenyum. “Masnya beneran lagi rindu adik rupanya.” “Begitulah.” Dia mengangguk pelan. “Jadi gimana? Kamu setuju atau enggak?” “Meski konyol, baiklah! Itung-itung ajang move on.” Itu adalah jawaban asal. Sebenarnya, aku hanya ingin menghiburnya. Membayangkan ditinggal saudara sendiri, rasanya aku tak sanggup. Semenyebalkan apa pun Mas Arfa padaku, aku teramat menyayanginya. Aku tidak bisa membayangkan dia pergi untuk selama-lamanya. “Oke.” Aku tersentak ketika tangan kirinya tiba-tiba meraih tanganku “Pegangan tangan harusnya enggak berlebihan, kan?” “C-cuma ini, tapi. Enggak boleh lebih!” “Ya.” Saat dia tersenyum, aku juga ikut tersenyum. “Bilang saja apa yang kamu inginkan malam ini. Akan saya belikan.” “Wow! Yang bener?” “Iya.” “Sebenarnya, perut saya kaya karung. Jadi, saya belum terlalu kenyang.” “Jadi, cari makan lagi?” Aku mengangguk. “Iya.” “Oke. Saya tahu tempat enak di dekat sini. Tapi jalan kaki hampir satu kilo.” “Enggak masalah.” Malam itu, aku diajak keliling. Karena kubilang belum terlalu kenyang, dia mengajakku ke area street food. Di sana, dia benar-benar membelikan apa pun makanan yang kumau. Meski sedikit canggung, aku berusaha menikmati ‘kencan’ konyol ini. Toh malam ini juga kami akan putus dan berpisah. Biarlah malam ini aku sedikit tidak tahu malu. “M-mas, tunggu!” aku menghentikannya saat kami baru saja keluar dari area street food. Perutku sudah benar-benar kenyang dan tidak kuat lagi menampung makanan. “Kenapa?” “Itu ada apotek.” “Iya, lalu?” “Saya obati lukanya, ya? Ya di bibir, ya di tangan. Gini-gini, saya calon dokter.” Aku nyengir. “Tadi kan perbannya juga kena saus. Biar saya ganti.” Tak kusangka, dia langsung mengangguk. Saat dia hendak mengeluarkan uang, aku buru-buru menahannya. “Yang ini biar saya aja, Mas. Tadi saya udah dibayarin banyak makan, sekarang gantian. Masnya nunggu di sana aja.” Aku menunjuk bangku kayu yang ada di dekat tiang listrik. “Ya sudah.” Sepuluh menit berlalu, kami berdua sudah duduk berdampingan. Aku mengeluarkan obat serta perban dari keresek bening yang kubawa. “Mungkin akan perih, jadi tolong ditahan.” “Ya.” Mula-mula, aku mengganti perban di tangannya. Perbannya kotor karena aku tidak sengaja meneteskan saus. Aku merasa harus bertanggung jawab atas itu. Aku juga takut lukanya akan infeksi kalau tidak lekas diganti. Aku cukup kaget ketika perban itu sudah sepenuhnya terbuka. Ternyata, luka di balik perban adalah luka sayatan lebar yang sudah dijahit. Selain itu, ada pula memar di pangkal tulang jari jemari. Aku tidak yakin dia mengalami hal apa sampai lukanya bisa separah ini. Terutama bagian telapak tangan. Jahitannya benar-benar panjang. Herannya, saat aku mengobati, dia tetap tenang. Dia sama sekali tidak meringis kesakitan. Padahal, aku yakin lukanya pasti sangat sakit. “Udah selesai tangannya. Sekarang gantian ... bibir.” “Hm.” Tiba-tiba saja, aku grogi sendiri. Apalagi saat posisi wajah kami cukup dekat. Dengan jantung berdebar-debar, aku mengobati luka di bibirnya. Masih seperti tadi, dia tetap tenang. “Sudah, selesai.” “Terima kasih.” Aku mengangguk. “Sama-sama.” Aku merapikan obat-obatan, lalu membuang bekas perban yang telah dipakai. Setelah itu, aku kembali. Namun, belum ada lima detik aku duduk, dering ponsel sudah berbunyi. Panggilan itu datang dari Rizda. “Kenapa, Da?” “Pulang, woy! Udah jam sebelas lebih!” “Bentar—“ “Betah amat luntang-lantung sendirian di kota orang.” “Kata siapa sendirian? Aku jalan-jalan sama pacarku.” “Manusia sinting!” Aku tertawa. “Ini bercanda, tapi serius.” “Bodoamat, deh! Yang penting buruan pulang!” “Iya, iya. Habis ini aku pulang.” “Buruan, Shen!” “Iyaaa. Galak amat, lu!” Akhirnya, panggilan dari Rizda selesai. Aku langsung menoleh, dan ternyata laki-laki itu sedang menatapku. “Dari teman saya. Saya tinggal di rumahnya selama di sini.” Aku menjawab tanpa ditanya. “Dia menyuruhmu pulang?” Aku mengangguk. “Iya. Itu artinya, sudah satanya kita putus.” Laki-laki itu tersenyum, lalu mengangguk. “Biar saya pesankan gocar. Di mana alamat rumah temanmu?” “Enggak perlu, Mas. Maaf, saya kurang nyaman kalau spill alamat rumah teman.” “Ah, oke. Alasanmu bisa diterima.” Detik berikutnya, aku segera pesan gocar. Hanya dalam hitung menit, mobilnya sudah datang. Aku sendiri langsung menghampiri pak supir. “Pak, tunggu bentar, ya! Nanti saya kasih tip!” “Iya, Mbak.” Aku menghampiri laki-laki itu lagi. Aku harus mengatakan sesuatu sebelum kami berpisah. “Terima kasih banyak, ya, Mas. Makasih buat traktirannya.” “Sama-sama. Terima kasih juga karena mau menemani saya.” “Karena saya udah mau pulang, apa enggak mau lepas topinya? Jujur, saya belum lihat jelas wajah Masnya karena dari tadi pakai topi terus.” Dia menggeleng. “Saya enggak mau. Nanti kamu jatuh cinta, padahal sebentar lagi kita putus.” “Dih!” “Saya serius.” “Ya udah! Namanya, deh. Banyak nama yang sama di dunia ini, jadi jangan khawatir.” Dia terdiam sesaat. “Saya Iqi.” “Iqi?” “Iya. Kamu siapa?” Aku tersenyum. “Saya Shenna.” “Oke. Hati-hati pulangnya, Shenna.” “Iya. Saya pulang dulu, Om Iqi.” “Om?!” Aku tertawa. “Soalnya jeda umur kita jauh. Tapi it’s ok. Bisa buat pamer kalau saya punya mantan Om-om.” Dia menatapku tak percaya, tetapi kemudian dia mengangguk pasrah. “Terserah kamu sajalah!” “Bercanda, Mas. Saya beneran pulang dulu, Mas Iqi. Saya doakan, semoga adik Mas Iqi di sana selalu bahagia. Banyak didoain kalau lagi kangen.” “Iya.” Aku berjalan menuju mobil, lalu melambaikan tangan. Entah kenapa, aku mendadak berat meninggalkannya. Sejak awal aku melihatnya di taman tadi, matanya memang sarat akan kesedihan. Saat mobil yang kutumpangi mulai jalan, aku minta pak supir untuk berhenti di depan laki-laki itu. Maksudku, Mas Iqi. “Mas! Kalau lain kali kita ketemu lagi terus saya dan Mas Iqi masih sama-sama single, boleh enggak saya minta balikan?” “Jadi kamu beneran mau sama Om-om?” Aku tertawa. “Kayaknya, sih.” “Sudah, sana pulang. Kasihan supirnya kalau kelamaan.” “Ih, bentar! Ini beneran, lho! Lain kali saya mau minta balikan kalau kita ketemu lagi.” Sebenarnya ini hanya bercanda. Aku cuma ingin melihatnya tersenyum lebar sebelum kami berpisah. “Terserah kamu.” “Oke, deh! Duluan, Mas Iqi.” Aku kembali melambaikan tangan, dan senyumku langsung merekah lebar karena kali ini dia membalas lambaian tanganku. Dia juga tersenyum, jadi aku merasa lega. Saat mobil sudah kembali jalan, aku menyempatkan menoleh ke belakang. Kulihat Mas Iqi jalan menuju arah yang berlawanan. Aku memegangi d**a kiriku karena tiba-tiba jantungku berdetak sangat cepat dan keras. Saking kerasnya, aku sampai takut kalau pak supir akan mendengarnya. Kurasa, ini detak yang agak berbeda dari yang tadi. “Mas Iqi ...” aku menggumam pelan. “Enggak mungkin aku jatuh cinta beneran, kan?” *** Jateng - 19 Juni 2024
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN