1. Kondangan

2124 Kata
“Shenna Dzavira! Banguuun!” Suara melengking Mama membuatku seketika terbangun dan duduk tegap. Jantungku berdegup kencang, pun napasku mendadak ngos-ngosan. Aku melirik jam dinding, lalu tidur lagi begitu melihat jam masih menunjukkan pukul enam lebih lima menit. “Shenna—“ “Apa, sih, Ma?” aku bangun lagi, lalu melompat turun. Aku membuka pintu, kini tampaklah Mama yang sedang berkacak pinggang. “Dibangunin dari tadi juga!” “Ma, ini hari liburku. Semalam aku baru pulang jam setengah dua belas. Tiga hari aku tidur di rumah sakit, lho. Kenapa Mama tega banget bangunin aku sepagi ini?” “Kamu dikerjain seniormu lagi?” “Enggak. Kemarin ada kecelakaan beruntun. Banyak banget korbannya. UGD sibuk sampai tengah malam. Justru seniorku baik, nyuruh aku pulang karena sebelum-sebelumnya aku udah stay di rumah sakit, padahal udah bukan sift-ku lagi.” Mama menatapku dari atas sampai bawah, tampak prihatin. “Tapi kamu udah janji mau temenin Mama ke kondangan. Kakakmu enggak bisa karena dia ada acara.” “Acara apa, sih? Perasaan acara mulu manusia itu!” “Penting. Dia lagi kerjain penelitian lanjutan sebelum resign. Lagian kamu udah sanggup waktu itu.” “Kalau Papa, sih, Ma? Kenapa harus aku?” “Papamu ada operasi besar hari ini. Mama enggak mau ganggu. Nanti fokusnya kepecah.” “Ya udah, bentar.” Aku masuk kamar lagi dan Mama menyusulku. Beliau mengusap kepalaku beberapa kali. “Gini banget jadi anak koas. Sabar, ya, sayang.” Dengan mata masih setengah merem, aku menatap Mama. “Ma, bisa atau enggak Mama pergi sendiri?” “Mama maunya sama kamu.” “Oke, sama aku. Tapi ini masih jam enam. Acara masih nanti, kan?” “Kita harus ke sana awal karena diminta ikut saksiin akad.” “Ya ampun, Ma. Wajib banget, apa, ikut akadnya?” “Yang nikah anak temen deket Mama, Shen. Mama enggak enak kalau enggak datang awal. Acara jam delapan.” “Tidur lima belas menit lagi, deh, Ma. Please ...” Mama akhirnya mengangguk. “Ya udah. Tapi beneran lima belas menit. Nanti kalau udah lima belas menit, Mama bangunin lagi.” “Iya.” Begitu Mama keluar dan menutup pintu, aku kembali merebah di ranjang. Bukannya tidur lagi, aku malah melamun sembari menatap langit-langit kamar. “Argh!” aku meremas pelan rambutku. “Kapan penderitaan ini akan berakhir?” Padahal sudah sejauh ini, tetapi aku masih saja sering bertanya pada diri sendiri. Apa aku mampu menuntaskan semuanya sampai akhir? Bertahan dengan kehidupan zombie-ku satu setengah sampai dua tahun kedepan? Rasanya sungguh seperti akan gila! Makan tidak teratur, tidur lebih tidak teratur lagi. Dua hari yang lalu aku bahkan tidak tidur sama sekali. Badan rasanya remuk redam. Mood juga rasanya hancur lebur. Harusnya aku sudah meprediksi ini sejak awal masuk jurusan kedokteran, tetapi aku tidak menyangka kalau kenyataannya akan separah ini. Aku melirik jam dinging, lalu bangun. Aku tidak jadi tidur lagi, melainkan bergegas menuju kamar mandi. Rasa kantukku sudah hilang. Lebih baik aku berendam di bathub untuk mengurangi rasa pegal di sekujur badan. *** “Mama kenapa senyum-senyum mulu?” tanyaku ketika aku dan Mama sudah dalam perjalanan menuju lokasi kondangan. Saat ini masih pukul tujuh lebih lima belas menitan, jadi masih ada waktu sampai acara dimulai. Kebetulan, lokasi juga tidak terlalu jauh. “Mama lagi bayangin kakakmu nikah. Nanti mama gendong cucu. Duh, senangnya!” “Omooo! Masih jauh. Mas Arfa, noh, buruan suruh lamar Mbak Nana!” “Bukannya udah?” Mama menoleh. “Entah. Enggak nanya. Emang beneran udah?” “Harusnya udah. Waktu dia ke Jogja itu Mama sempat lihat dia bawa cincin.” “Ya baguslah. Lekas ada pawang betulan, biar enggak rese lagi.” Mama tertawa. “Kamu bener.” Berselang beberapa saat, akhirnya aku dan Mama tiba di lokasi akad. Akad akan dilangsungkan di salah satu hotel ternama di Bintaro. Ah, aku sudah lama sekali tidak menginjakkan kaki di area ini. “Kenapa, sih, Ma, akadnya sepagi ini? Biasanya juga jam sembilan baru dimulai. Itu juga kalau enggak molor.” “Ya mana Mama tahu. Undangannya jam segitu.” Kondangan kali ini aku sengaja mengenakan kacamata bening yang memang sering kubawa ke mana-mana. Tujuannya satu, yakni untuk menyamarkan area bawah mataku yang pasti sedikit gelap karena kurang tidur. Aku tidak ingin orang lain menyadari ini. Aku juga tidak ingin dikira penyakitan karena tampak pucat. Sebenarnya, wajah mengenaskanku ini bisa ditutup dengan make up, tetapi aku sedang malas dandan tebal-tebal. Yang penting tidak tampak seperti orang sakit saja, itu sudah cukup. Padahal belum lama sejak pertama kali aku mulai koas, tetapi efeknya sudah seperti ini. Entah karena aku belum sepenuhnya adaptasi, atau memang jadwalku saja yang terlampau gila. Selama di lokasi akad, aku banyak melamun. Apalagi setelah Mama ‘diculik’ teman beliau. Aku duduk sendirian di salah satu sudut. Kalau ada kesempatan, aku menyandar dan memejamkan mata. Bagiku, tidur lima menit saja sudah sangat berharga. “Ehm!” Aku yang baru saja memejamkan mata, seketika terjaga begitu mendengar deheman agak keras. Aku menoleh, ternyata di sebelahku sudah duduk seorang laki-laki. Dia juga mengenakan kacamata sepertiku. Aku tidak menggubris keberadaannya dan memilih untuk kembali memejamkan mata. Kupikir aku bisa tidur, tetapi ternyata tidak. Laki-laki di samping membuatku kurang nyaman. Alhasil, aku kembali duduk tegak dan membuka mata lebar-lebar. “Mama mana, lagi?” aku celingukan, mencari keberadaan Mama. Beliau benar-benar menghilang setelah ‘diculik’. Kalau ceritanya seperti ini, alih-alih menemani beliau, sebenarnya aku hanyalah supir. Kebetulan, supir pribadi Mama sedang izin karena ada keluarga yang sakit. Aku sendiri memang harus terima nasib. Salah siapa waktu itu langsung menyanggupi tanpa berpikir panjang. “Mas Rif, kok malah di sini, sih?” tiba-tiba, seorang laki-laki datang menyusul. Wah, dia tampan. Dia menatapku dan tersenyum basa-basi. Aku sendiri hanya membalas sekenanya. “Sampai kapan kita di sini, Fen?” tanya laki-laki berkacamata setelah laki-laki kedua duduk di sebelahnya. “Sampai akad selesai aja. Paling habis itu disuruh makan. Nah, setelah makan kita bisa pulang.” “Oke.” Ketika suasana agak hening, tiba-tiba terdengar bunyi perut. Aku mendelik, lalu mengerjap. Itu adalah bunyi perutku! Dua laki-laki itu juga kompak menoleh. “Mbaknya lapar?” tanya laki-laki kedua dengan intonasi yang sangat ramah. “E-eee ... sedikit.” Aku balik badan, lalu memukul kening berulang kali. Aku memang lapar karena terakhir makan sudah kemarin siang. “Mau saya ambilin makanan, Mbak? Di sana ada banyak.” Aku buru-buru menggeleng. “Enggak, Mas, enggak usah! Terima kasih.” Karena malu, aku berniat untuk lekas pergi. Ke mana pun boleh, asal menjauh dari mereka. Namun, karena terlalu buru-buru, aku tidak sadar kalau dress-ku nyangkut. Alhasil, dress-ku robek panjang bersamaan dengan aku yang berdiri dan melangkah pergi. “Aihhh!” aku langsung balik badan dan menutupi pahaku. “Kenapa robek, sih? Harga doang, mahal, tapi kainnya murahan amat!” Aku langsung mendelik ketika sadar kalau dua laki-laki tadi menatapku. Lagi-lagi, laki-laki kedua menunjukkan kepeduliannya. Dia sigap berdiri hendak menolongku. “E-enggak perlu, Mas! Enggak perlu!” ucapku sambil menggeleng. Sebelah tanganku juga terulur seolah menghentikannya. “Saya bisa atasi ini—“ “Dengan cara?” itu suara laki-laki berkacamata, maksudku laki-laki pertama. Dia masih duduk tenang di kursinya. “Y-ya pokoknya bisa!” Tiba-tiba, dia berdiri dan pergi begitu saja. “Mas Rifqi! Mau ke mana?” teriak laki-laki kedua agak lantang. Namun, suaranya tidak sampai membuat orang lain terinterupsi karena suasana sekitar sedang ramai. “Mbak, apa perlu saya lapor ke yang punya acara? Kebetulan, mereka masih saudara saya. Biar Mbaknya dicarikan baju ganti. Gimana?” “Enggak usah, Mas. Yang punya acara juga masih teman Mama saya, kok.” “A-ah, oke. Tapi beneran enggak papa?” “Enggak papa. Terima kasih banyak atas kepeduliannya.” Aku tersenyum sebisanya. “Saya permisi dulu!” “Oh, iya.” Aku memegangi dress-ku yang robek, lalu jalan cepat menuju kamar mandi terdekat. Selama jalan, aku terus ngedumal. Ya soal dress, juga soal laki-laki nir-empati itu. “Semoga Mas-mas kedua dapat istri cantik, baik hati, enggak sombong, dan suka menabung. Kalau Mas-mas pertama, semoga dapat istri cerewet, berisik, nyebelin, dan tantruman!” Ini adalah doa yang kupanjatkan tulus dari hati. Sekalipun laki-laki kedua tidak jadi membantuku, setidaknya dia menunjukkan kepeduliannya. Tidak seperti laki-laki pertama. Dia pergi begitu saja, seolah-olah tidak peduli kalau ada orang yang sedang terkena musibah. Untuk beberapa waktu lamanya, aku mengurus pakaianku. Mulai dari menghubungi Mama, sampai mendapatkan dress baru. Untungnya, semuanya bisa cepat. Kebetulan, ada toko baju terdekat yang sudah buka. “Katanya akad jam delapan, Ma? Mana? Udah jam setengah sembilan lebih pun belum mulai.” “Biasa, jam Indonesia ada aja yang ngaret.” “Ih! Tahu gini, tadi enggak perlu datang cepet-cepet! Mending tidur lagi.” “Sssst! Udah. Orang udah di sini juga. Percuma ngomong gitu.” Ketika akhirnya akad akan dimulai, aku diajak Mama untuk duduk di barisan para saksi. Beberapa kali aku menahan diri untuk tidak menguap. Aku hanya tidak mau dianggap kurang sopan karena mengantuk di detik-detik sepenting ini. Saat penghulu sudah datang dan mempelai duduk di depannya, tiba-tiba aku melihat laki-laki tadi— maksudku si laki-laki pertama— ikut duduk di barisan para saksi. Bedanya, dia duduk di arah yang berlawanan denganku. “Ngapain tiba-tiba pakai jaket? Udah bagus pakai baju batik kaya tadi!” “Kamu ngomong sama siapa, Shen?” “Hah?” aku menoleh. “Kenapa, Ma?” “Siapa yang kamu bilang bagus pakai batik?” Aku buru-buru menggeleng. “Enggak. Bukan siapa-siapa.” “Ya udah. Jangan berisik. Bentar lagi acara dimulai.” “Iya.” “Jangan berulah lagi. Yang kalem.” “Iyaaa, Ma.” Sampai akad selesai, entah kenapa aku terus salah fokus pada laki-laki tadi. Dia masih mengenakan jaketnya, padahal suasana sekitar agak gerah sekalipun ruangan ber-AC. “Dasar manusia aneh!” *** “Mama tuh beli baju tadi di mana, sih? Rapuh amat! Ketarik dikit udah robek sepanjang ini!” aku masih saja melayangkan protes gara-gara dress yang robek tadi pagi. Dress itu disiapkan Mama karena senada dengan baju yang beliau pakai. “Mana tadi bilang harganya setara motor, makanya aku wajib pakai. Tahunya enggak worth it!” “Mau seharga mobil juga kalau kecantol paku ya robek, Shenna.” “Ya tapi kan tadi sebenernya cuma kecantol dikit.” “Ya udah, sih, udah selesai. Baju juga udah ganti. Masih protes terus.” “Tapi malu, tahu, Ma. Tadi waktu dress-ku robek, ada dua cowok di sampingku. Paha perawanku terekspos, ih!” “Paha perawan? Istilah baru lagi?” “Ya intinya kan ini area tertutup. Cuma aku aja yang boleh lihat.” “Terus mereka nolongin atau enggak?” “Yang satu mau nolongin, tapi aku tolak karena kepalang malu. Yang satu malah kabur.” “Keduanya ganteng atau enggak, Shen?” “Oh, ya ampun! Aku laporin Papa, ya, kalau mata Mama masih aja jelalatan.” Mama tertawa. “Jelalatan apanya? Orang Mama cuma nanya. Kalau ganteng, harusnya terima aja bantuannya. Siapa tahu jalur jodoh.” “Ogah, ih! Kaya laki-laki cuma mereka aja.” Sejujurnya, alih-alih kepikiran laki-laki kedua yang jelas-jelas berniat baik ingin menolongku, entah kenapa aku justru kepikiran laki-laki pertama. Aku masih kesal saja melihat bagaimana dia sebegitu tidak pedulinya padaku. Baiklah, misal dia menawarkan bantuan pun tetap akan kutolak. Tapi setidaknya tunjukan sikap gentle di depan perempuan. Bukan malah kabur begitu! “Ngeselin banget itu orang.” Aku ngedumal pelan. Ketika aku dan Mama baru saja tiba di basement hotel— kami hendak pulang, tiba-tiba aku melihat si laki-laki pertama. Dia sudah melepas jaketnya, tetapi masih dibawa di tangan. Saat dia menoleh, dia melihatku. Detik itu juga, langkahnya langsung terhenti. Sudah pasti, dia mengingatku. Aku adalah gadis yang dalam waktu singkat sudah melakukan dua hal memalukan di depannya. Pertama, tentang bunyi perut. Kedua, tentang dress robek. “Kenapa, sih, lihatin terus?!” Karena dia masih terus menatapku, aku balik melotot padanya. Aku menatapnya seolah menantang. Dia geleng-geleng sebentar, lalu mengalihkan pandangan. “Rif! buruan! Kita udah ditunggu.” “Ya!” Laki-laki itu berjalan ke arah mobil hitam dan duduk di jok depan sebelah kiri. Bahkan saat dia sudah di mobil, aku merasa dia masih menatapku. “Apa aku aja yang kepedean?” gumamku pelan. “Shenna! Kok malah ngelamun di situ?” “Ha? E-eh, enggak, Ma, enggak. Aku masuk sekarang!” Aku buru-buru menuju mobil dan segera masuk. Aku memasang seat belt dan lekas menyalakan mesin. “Langsung pulang, ya, Ma? Pengen tidur. Liburku cuma sampai besok siang soalnya.” “Ya.” Selama perjalanan pulang, entah kenapa aku terus kepikiran laki-laki tadi. Aku juga tidak tahu kenapa. Yang jelas, aku hanya tidak bisa menyingkirkan dia dari otakku. Sebentar ... apa kami pernah bertemu sebelumnya? Kenapa dia selancang ini? ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN