50. Pengakuan yang Ditunggu

1915 Kata

“M-maksudnya, M-mas?” Bukannya menjawab, Mas Rifqi malah mengalihkan pandangan. Kini dia kembali menatap depan, tepatnya ke arah beberapa pasien dan keluarga mereka yang lalu lalang. Rumah sakit ini memang rasanya lebih ramai daripada rumah sakit tempatku koas. “Pada intinya, mau kamu larang saya sekeras apa pun, keputusan saya enggak akan berubah. Jika sewaktu-waktu kamu dalam bahaya lagi dan saya melakukan hal serupa, jangan menyalahkan dirimu. Tanpa kamu sadari, kamu sudah melakukan hal itu lebih dulu. Hanya saja, dalam bentuk yang berbeda.” Kini, aku terdiam lama. Mencerna baik-baik kalimat Mas Rifqi. Bukannya paham, aku malah semakin bingung. Dia ini memang hobi sekali mengatakan kalimat ambigu. “Saya tahu, Shen, kamu pasti bingung berkali-kali karena saya.” “Kalau udah tahu, ken

Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN