Bab 7

1107 Kata
Sirin melepas jaketnya dan menyampirkannya ke gantungan baju yang berada di belakang pintu kamarnya. Setelah itu ia menghempaskan diri ke kasur empuknya. Ia baru saja sampai di rumah setelah lebih dari dua jam di rumah Pandu untuk merencanakan kejutan untuk Alita besok. Tadi Zidan menjelaskan apa yang harus Sirin lakukan besok. Dan bagi Sirin apa yang diminta Zidan cukup mudah. Ia yakin bisa melakukannya. Hanya berpura-pura jadi hantu apa susahnya. Kecuali bagian Pandu dan Fazan yang tiba-tiba menakutinya tentang kualat dengan hantu gara-gara dirinya berpura-pura jadi salah satu dari mereka. Omong kosong. Sirin tidak takut. Lagian, ini juga permintaan Zidan. Ponsel di dalam tas Sirin bergetar. Segera Sirin bangkit dari posisi tidurannya ke posisi duduk. Ia menyambar tas yang berada di dekatnya lalu merogoh ponsel yang berada di dalam tas. Sebuah panggilan masuk dari kontak nama Alita muncul di layar ponselnya. “Halo, Lit,” sapa Sirin seraya kembali merebahkan dirinya ke atas kasur. “Lo habis dari mana?” tanya Alita. “Gue tadi ke rumah lo.” “Habis keluar,” jawabnya. “Ngapain lo ke rumah?” “Mau main. Tadi di rumah sepi. Zidannya lagi sibuk, nggak bisa diajakin jalan.” Tentu saja pacarnya sibuk. Sibuk mengurus persiapan untuk kejutannya. Andai Alita tahu, dia pasti akan terharu dengan perbuatan Zidan itu. Tentu saja bukan dibagian yang menakut-nakuti, melainkan dibagian bunga mawar dan dinner romantis di atap rumah Pandu yang Zidan sulap menjadi taman lampu. Tadi Sirin sempat membantu Zidan dan yang lain mendekor tempat itu dengan lampu-lampu gantung kecil. Sangat indah. Sirin jadi iri sendiri dan berharap punya pacar yang mau memberinya kejutan romantis seperti itu. Nasib jomblo seperti Sirin memang hanya bisa iri. “Kata Mama lo, lo pergi sama Fazan, ya? Kalian ke mana? Kencan?” tanya Alita penuh curiga. Mendengar pertanyaan Alita itu membuat Sirin tergelak. “Nggaklah. Mana ada gue kencan sama Fazan,” balasnya. Alita terkekeh. “Tapi kan dulu lo sempet naksir dia, Rin. Ya kan kali aja hubungan kalian naik kelas.” “Kan cuma naksir doang. Itu pun dulu banget pas awal-awal kelas sepuluh,” balas Sirin. “Emang kalian pergi ke mana sih? Gue nggak diajak.” Untuk sesaat Sirin bingung harus menjawab apa. Ia menggaruk rambutnya yang tak terasa gatal seraya memikirkan jawaban yang masuk akal yang tak menimbulkan pertanyaan-pertanyaan lainnya. “Fazan minta anter ke rumah temennya.” “Temennya siapa? Anak sekolah kita? Atau anak sekolah lain?” “Hah?” balas Sirin bingung sendiri. “Nggak kenal juga gue,” tambahnya. “Lah gimana, sih? Bukannya tadi lo nganterin dia ke rumah temennya? Lo nggak kenalan sama temennya?” “Nggak,” jawab Sirin. “Maksud gue, tadi nggak jadi. Jalanannya macet banget. Terus Fazan bilang ke sananya besok-besok lagi aja, deh. Gitu. Jadi ya, udah, kami puter balik. Terus pulang.” “Ah, nggak jadi pergi berarti?” Alita tertawa geli. Sirin memaksakan tawa yang terdengar canggung. “Iya nggak jadi.” “Ya paling nggak kalian keluar motor-motoran bareng gitu ya. Berdua. So sweet tahu nggak sih.” “Apanya yang so sweet!” balas Sirin. “Nggak usah ngada-ngada, ya. Lo tahu sendiri tidak ada so sweet-so sweetan di antara kami berdua.” Alita tertawa mendengar ucapan Sirin itu. “Iya, Sirin. Iya….” Sirin memutar bola mata bosan. Jangan sampai ada gosip yang tidak-tidak di antara dirinya dan Fazan. Hubungan mereka kan murni pertemanan. Meskipun dulu Sirin pernah naksir sama Fazan, tapi itu sudah zaman dulu banget! Tidak ada tuh, sisa-sisa rasa naksir yang tertinggal di hati Sirin. “Oh ya, kalau lo mau main. Sini deh. Gue udah di rumah,” kata Sirin. “Nggak jadi, udah dalam posisi meringkuk di dalam selimut gue. Males banget kalau harus ke rumah lo,” balas Alita. “Atau lo aja yang ke sini. Nginep rumah gue, Rin.” “Ogah,” balas Sirin. “Gue pun udah dalam posisi nyaman, terlentang di atas kasur.” Alita terkekeh mendengar balasan dari Sirin. “Ngomong-ngomong, besok lo ikut ke rumah Pandu kan?” tanya Alita. “Iya ikut.” “Asik! Besok gue jemput jam 18.20.” “Oke.” Sirin mengangguk dan tersenyum penuh arti. Siap-siap ketemu Bloody Mary, Lit. *** Sesuai rencana, Sabtu pukul 18.20 Alita menjemput Sirin di rumahnya. Alita tampak cantik dengan dress selutut bermotif garis-garis biru tua dipadu padankan dengan flat shoes putih. Rambut hitamnya ia biarkan tegerai. Tas slempang kecil berwarna cokelat membuat penampilannya sempurna. Sirin sendiri mengenakan celana jins hitam dengan atasan kaos lengan pendek berwarna putih dengan gambar zombie tercetak di bagian d**a. Jaket jins biru tua membalut kaos itu sehingga gambar zombie hanya terlihat sedikit. Ia memakai converse putih agar serasi dengan kaosnya. Kali ini ia membiarkan rambutnya tergerai karena ia tak punya waktu untuk menyisir dan menguncir bentuk ekor kuda. “Kira-kira kita nanti mau nonton apa, ya?” tanya Sirin membuka percakapan. Ia belum tahu mengenai film yang akan mereka tonton nanti. “Gue pengennya sih, film romance komedi gitu. Kayak Mean Girl, The Proposal, Bring It On, Crazy Little Thing Called Love atau The Notebook. Kan lucu, terus so sweet gitu,” jawab Alita tersenyum lebar. “Tapi tentu aja para cowok pada nggak suka. Lo aja yang cewek nggak suka.” Alita mengerucutkan bibir yang membuat Sirin tertawa. “Ya kali lo nyuruh Pandu nonton film begituan, bisa-bisa kita semua langsung diusir,” balas Sirin. Sirin yakin jika Fazan masih mau untuk menonton film yang terlalu cewek seperti itu karena dia tak akan tega menolak permintaan Alita sebab Fazan cowok yang sangat baik. Zidan pasti akan menuruti permintaan Alita jika hal itu membuat pacarnya senang. Pandu? Sirin yakin jika cowok itu pasti langsung menolaknya mentah-mentah tanpa mempertimbangkannya lebih dulu. Alita ikut tertawa bersama Sirin. “Ya, gue yakin Pandu pasti ngusir kita,” katanya. “Oh, gimana kalau nonton film horror aja? Pasti seru.” Dalam hati Sirin langsung mengiyakan, karena ia sangat menyukai film horror. Ia selalu menonton film horror paling tidak seminggu sekali. “Sok ngajakin nonton film horror, bisa-bisa jeritan lo lebih kenceng dari backsound yang diputer,” ledek Sirin. “Gue nggak sepenakut itu kali.” Alita melipat kedua tangannya di d**a, memandang Sirin dengan lirikan tajam. Mencoba menampilkan ekspresi berani yang malah membuat Sirin tertawa. “Gue tuh pemberani!” “Pemberani yang teriak terus kabur dari depan layar TV waktu nonton film Shutter.” “Ya gila aja siapa yang lari lihat hantu nemplok di kaca mobil. Kaget tau.” Alita membela diri. “Gue nggak lari.” Sirin masih tertawa geli melihat ekspresi sebal Alita. “Ya lo emaknya setan mana takut!” Dan tawa Sirin kembali pecah.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN