Bab 5

1267 Kata
Sirin menatap pantulan wajahnya di cermin. Merapikan rambut hitamnya yang melebihi bahu agar tampak teratur. Tapi sebanyak apa pun ia merapikannya, masih saja ada anak rambut yang mencuat mengganggu pemandangan. Sampai akhirnya ia memutuskan untuk mengikat rambutnya membentuk ekor kuda. Helaian rambut depan yang tak dapat terikat karena terlalu pendek ia selipkan ke belakang telinga. “Lumayan,” gumamnya mengangguk-anggukkan kepala. Ia cukup puas dengan penampilan rambutnya. Setelah selesai mengecek keseluruhan penampilannya, ia segera menyambar tas slempang kecil yang berada di kasur. Ia mengisi tas tersebut dengan dompet dan ponsel. Lalu ia berjalan meninggalkan kamar menuju ruang tengah. Malam ini ia akan pergi ke rumah Pandu untuk mendiskusikan rencana Zidan. Mereka sepakat untuk sampai di rumah Pandu pukul tujuh malam. Rencananya Fazan akan menjemputnya di rumah pukul setengah tujuh. Dan sebentar lagi Fazan akan sampai di rumah. Di ruang tengah Sirin mendapati mamanya tengah mengobrol di telepon. Sirin mendekat dan berkata dengan lirih, “Ma, Sirin pergi dulu, ya. Nanti sebelum jam setengah sepuluh Sirin bakalan udah sampai rumah.” Mamanya menjauhkan gagang telepon dan mengangguk. “Fazannya udah sampai?” tanyanya. “Belum, Ma. Bentar lagi kayaknya,” balas Sirin. “Sirin mau nunggu di teras aja. Sekalian mau pamitan sama Mama.” Sirin menyalami tangan mamanya. “Papa mana?” tanyanya. “Papa masih di jalan, kejebak macet,” balas mamanya. “Ya udah, hati-hati di jalan, ya. Bilang sama Fazan jangan ngebut.” “Siap! Dadah, Ma.” Sirin meninggalkan mamanya yang kembali sibuk berbincang di telepon. Ia berjalan menuju teras rumah dan duduk di bangku panjang yang berada di sana menunggu kedatangan Fazan. Ia merapatkan jaket biru tua yang dipakainya. Malam ini udara lumayan dingin. Ia bersyukur mengenakan pakaian yang cukup tebal sehingga ia tak begitu khawatir jika terkena terpaan angin malam ketika berkendara. Tak selang berapa lama sebuah motor matic berwarna putih memasuki halaman rumah Sirin. Sang pengendara mengenakan jaket kulit berwarna hitam. Helm hitam membungkus kepalanya demi keselamatan. Segera Sirin melambai dan menghampiri Fazan, sang pengendara motor itu. “Ayo berangkat,” kata Sirin mengambil helm yang Fazan ulurkan kepadanya. “Udah pamitan sama orang tua lo?” tanya Fazan. “Udah,” jawabnya seraya naik ke boncengan Fazan. “Gue nggak perlu pamit ke orang tua lo?” “Nggak perlu. Papa gue belum pulang. Mama lagi sibuk teleponan sama temennya. Udah gue wakilkan kok,” jawab Sirin. “Berangkat.” Butuh waktu sekitar dua puluh menit untuk mereka sampai di rumah Pandu. Pagar tinggi berwarna cokelat menyambut kedatangan mereka. Melihat sebuah motor berhenti di depan pagar, seorang pria paruh baya segera membukakan gerbang. Sepertinya pria tersebut tahu akan kedatangan Fazan dan Sirin. Pria tersebut menyapa keduanya ketika mereka berkendara memasuki halaman rumah. Di halaman tersebut terparkir tiga mobil berbeda warna. Salah satu mobil itu diketahui Sirin adalah mobil milik Zidan. “Zidan sama Vega udah sampai,” kata Sirin kepada Fazan ketika ia turun dari atas motor. “Mereka cepet juga,” balas Fazan seraya melepas helm yang ia pakai. Rumah Pandu terihat megah dan besar. Empat pilar besar menopang atap yang agak menjorok ke depan. Bagian bangunan di sisi kiri terlihat melengkung dan memanjang ke belakang dengan kaca besar mengelilingi. Ada sebuah jalan di samping bangunan itu mengarah ke halaman belakang. Sebuah garasi yang terlihat luas berada di bagian sisi kanan rumah. Ada satu mobil dan dua motor terparkir di sana. Di halaman sebelah garasi terdapat ayunan dan beberapa bangku taman. Beberapa lampu berpijar terang di sana. Rumah berlantai tiga ini menunjukkan kesan mewah. Fazan memimpin jalan menaiki tangga menuju pintu ruang tamu. Sebelum cowok itu menekan bel rumah, pintu tersebut terayun terbuka. Terlihat sosok Pandu yang mengenakan celana jins hitam dan kaos putih polos muncul di sana. “Telat. Pasti gara-gara Sirin,” keluh Pandu melirik ke arah Sirin. “Belum juga jam tujuh!” protes Sirin tak mau disalahkan. Lagian mereka juga tidak telat. “Ayo masuk, Zidan sama Vega udah di dalem,” kata Pandu lagi mengabaikan ucapan Sirin. Pandu berjalan memimpin mereka. Di belakang, Sirin sempat mengamati beberapa ruangan yang mereka lewati. Ia melihat sebuah piano berdiri di ruang tengah. Ada banyak sekali sofa dan meja tertata rapi di ruangan itu. Beberapa lukisan berbingkai emas terpajang di dinding yang mereka lewati. Mata Sirin terpaku pada sebuah foto keluarga yang menampilkan empat orang berpakaian formal tengah tersenyum ke arah kamera. Di foto itu ia mengenali sosok Pandu yang terlihat lebih muda. Sirin berasumsi bahwa foto itu diambil beberapa tahun yang lalu. “Itu kakaknya Pandu,” ucap Fazan yang berada di sampingnya. “Mas Rega. Masih kuliah di Jerman.” “Cakepan kakaknya, ya,” balas Sirin masih menatap foto tersebut, mengagumi wajah Rega yang terlihat manis dengan dua lesung pipit di kanan dan kirinya. “Gue denger.” Suara Pandu membuat Sirin menolehkan kepala. “Ya emang sengaja biar lo denger,” kata Sirin jutek. Fazan yang mendengar perdebatan mereka hanya terkekeh. “Zidan sama Vega di mana?” “Di lantai dua.” Pandu mengedikkan dagu ke arah tangga. “Lo berdua naik aja. Gue mau nyuruh Bibi bikin minum.” Kemudian Pandu berjalan menuju arah dapur yang berada di sebelah kanan tangga. Fazan dan Sirin melanjutkan perjalanan menuju ke tempat di mana Zidan dan Vega berada. “Orang tua Pandu nggak di rumah, ya?” tanya Sirin menyisir sekitar, mencari keberadaan orang lain di sini. “Tadi pagi dia bilang kalau orangtuanya ke luar kota untuk beberapa hari. Orang sibuk.” Sirin menganggukkan kepala. “Ketahuan,” balasnya. Melihat kemewahan yang tergambar di sini, Sirin menyimpulkan bahwa orang tua Pandu itu adalah seorang pengusaha sukses yang sangat sibuk. Paling tidak, itu yang ia pelajari di film dan buku yang ia baca: orang kaya itu adalah orang sibuk yang jarang berada di rumah. Meskipun Sirin tahu tidak semua orang kaya seperti itu. “Hai kalian!” Vega yang tengah duduk di sofa di lantai dua melambai ketika melihat kedatangan Sirin dan Fazan. “Udah dari tadi?” tanya Fazan mendekat ke arah Vega. Lalu ia ikut duduk di sebelahnya. “Nggak juga, sih,” balas Vega. “Kakak lo mana?” tanya Sirin. Ia menyisir ruangan yang difungsikan sebagai ruang santai ini, mencari keberadaan Zidan. Tapi matanya tak menangkap orang lain selain mereka bertiga. Vega menoleh ke arah balkon yang berada di ujung ruangan. “Di balkon. Teleponan sama Kak Alita,” jawabnya/ Sirin menatap balkon tersebut. Tempat itu agak gelap sehingga ia tak melihat sosok Zidan yang tengah berdiri di sana dengan ponsel berada di telinga. Tanpa mempedulikan Zidan lagi, Sirin mengambil duduk di kursi tunggal di sebelah sofa panjang yang Vega dan Fazan duduki. Matanya menangkap tas plastik berukuran besar di sebelah Vega. “Ini apaan?” tanya Sirin menunjuk benda tersebut. “Oh ini,” kata Vega seraya membuka tas plastik tersebut. Lalu dia mengeluarkan dress panjang berwarna putih kusam dengan beberapa bagian seperti tercoreng arang. Dress tersebut tampak kotor. “Ini dress buat lo pakai besok. Udah serem belum dress-nya?” “Gue besok pakai ini?” Sirin mengambil dress tersebut dan membentangkannya di depan wajahnya. “Juga pakai ini,” ucap Vega lagi yang membuat Sirin menoleh. Dilihatnya sebuah rambut palsu berwarna hitam. Rambut tersebut tampak sangat panjang dan acak-acakkan. “Wah, nggak sabar gue lihat lo pakai ini, Rin,” balas Fazan mengambil rambut palsu tersebut. “Kenapa gue bayangin diri sendiri pakai rambut palsu itu dan dress ini malah kayak jadi orang gila ya, bukannya hantu?” Sirin terdengar tak yakin dengan penampilannya besok. “Bukannya takut bisa-bisa Alita malah ngakak lihat gue pakai ginian.” Mendengar ucapan Sirin itu membuat Fazan dan Vega tertawa.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN