10 - Berita Duka

1271 Kata
Waktu sudah menunjukkan pukul sembilan lebih sepuluh menit. Sudah tak terhitung berapa kali Ivy berusaha menghubungi Kenan. Sebagai seorang istri, ia mempunyai feeling jika saat ini telah terjadi sesuatu pada Kenan. Ia tidak bisa jika tidak khawatir. Sebab tidak biasanya Kenan terlambat selama ini. “Plis, angkat, Ken! Aku benar-benar bisa gila kalau kamu masih nggak ada kabar,” gumam Ivy. Tak hanya Kenan, bahkan Ivy juga sudah berusaha menghubungi Oma Ratu. Namun, keduanya kompak tak mengangkat telepon Ivy. Hingga setelah belasan kali percobaan yang Ivy lakukan, akhirnya suara nada sambung itu terpotong oleh suara maskulin yang sejak tadi Ivy tunggu-tunggu. “Halo?” “Ken, akhirnya kamu angkat telepon aku juga. Kamu lagi di mana? Kamu baik-baik aja, kan?” Ivy langsung memberondong suaminya itu dengan berbagai pertanyaan. “Vy, maaf aku nggak bisa datang. Kamu bisa kan pulang pakai taksi? Aku jelasin besok kalau aku sudah di rumah.” “Apa?” Ivy tidak mengerti dengan apa yang Kenan katakan. Besok? Apakah itu artinya Kenan tidak akan pulang malam ini? Namun kenapa? “Ken, kamu-” Tuuuuut Telepon dimatikan secara sepihak. Dan setelahnya, Kenan tak lagi menerima panggilan Ivy saat Ivy berkali-kali berusaha menghubunginya. “Sebenarnya ada apa?” Meski setidaknya ia tahu jika Kenan baik-baik saja, tapi tetap saja Ivy tidak bisa tenang. “Pasti Kenan punya alasan kenapa dia seperti ini. Tapi apa?” Tahu Kenan tidak akan datang, Ivy pun segera memesan makanan untuk dibawa pulang. Ia tidak yakin ia akan memakan makanan itu atau tidak. Dalam keadaan yang seperti ini, ia ragu jika dirinya masih dapat menelan sesuap nasi. Dan setibanya di rumah, keadaan rumah masih gelap gulita. Ivy menyalakan satu per satu lampu ruangan yang ia lalui. Benar-benar tidak ada tanda keberadaan Kenan ataupun Oma. “Apa mereka akan menginap di rumah Tisa? Atau ada acara keluarga, jadi Oma juga pergi sama Kenan?” Ivy terus bertanya-tanya. Namun, rasanya akan percuma karena tak ada yang bisa menjelaskan kebingungannya saat ini. *** Ivy bangun kesiangan. Saat sadar sinar matahari sudah masuk ke kamarnya, ia kaget dan langsung berusaha duduk hingga kepalanya terasa pening. Meski bangun cukup siang, tapi kenyataannya wanita itu tidak cukup tidur semalam. Ia baru bisa mulai tidur sekitar pukul setengah tiga dini hari, karena berharap Kenan dan Oma Ratu akan pulang. Namun, faktanya nihil. Tak ada satu pun orang yang mengetuk pintu malam tadi. Mereka benar-benar meninggalkan Ivy semalaman tanpa kabar yang jelas. Sambil memegangi kepalanya yang masih terasa pening, Ivy berusaha bangkit. Ia hendak mengambil air ke dapur kala telinganya mendengar suara pintu utama rumah yang terbuka. Ivy pun segera menuju ke sana. “Vy?” Kenan datang dengan raut wajah lelah menghampiri Ivy. Ivy tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Perasaannya campur aduk melihat kemunculan sang suami yang sejak semalam ia tunggu. “Kamu dari mana?” tanya Ivy. Kenan berjalan lesu menuju ke sofa. Berkali-kali pria itu menghela napas panjang dengan mata panda dan pakaiannya yang tampak lusuh. “Ken, aku tanya sama kamu loh. Apa terjadi sesuatu? Kamu nggak kasih kabar apa-apa sama aku dari semalam,” tegur Ivy. Ia sudah tidak sabar ingin segera mendengar penjelasan dari sang suami. “Aku udah ngabarin kamu dan minta kamu buat pulang, kan?” balas Kenan. “Iya untuk yang satu itu sudah. Tapi kenapa? Kamu tahu aku nungguin kamu, kan? Oma juga nggak ada. Tisa juga nggak pulang. Aku pikir, kalian akan menginap di rumah Tisa. Tapi kenapa nggak ngabarin? Takut aku bakal nyamperin?” cecar Ivy. Ia sangat kesal dengan Kenan yang tidak segera memberinya penjelasan. “Vy, kamu nggak lihat gimana penampilanku saat ini? Aku lelah, semalam aku nggak tidur. Dan sekarang pulang-pulang aku masih harus dengar omelan kamu?” protes Kenan. “Aku nggak lagi protes, Ken. Aku cuma tanya. Ke mana kamu semalam? Nginep di rumah Tisa? Terus-” “Iya, aku nginep di sana, PUAS?” ketus Kenan. Ia segera bangkit dan melangkah meninggalkan Ivy. Lelaki itu tampak ingin menghindar. Ia menuju ke kamar, tapi Ivy mengikutinya. “Ngapain kamu ikutin aku? Kamu kalau nggak bisa diam, mending pergi! Aku butuh istirahat,” ketus Kenan. Ivy terkejut mendapati perlakuan Kenan pagi ini. Ini adalah kali pertama Kenan mengusir Ivy, bahkan tadi juga sempat berbicara dengan nada tinggi dengannya. Ivy menghela napas panjang. “Kamu udah makan?” Kenan terdiam. Ia berjalan ke arah kasur seolah tak mengindahkan keberadaan Ivy yang masih menunggu jawabannya. “Ken,” panggil Ivy lembut. Ia berjalan mendekat, duduk di tepi kasur Kenan dan menyentuh lengan lelaki itu. Biarlah semua orang menganggapnya bodoh. Ivy hanya terlalu mencintai Kenan dan selalu khawatir dengan keadaan lelaki itu. Ivy memiliki kesabaran luar biasa untuk suaminya itu. Apapun akan Ivy lakukan demi rumah tangganya bersama Kenan. “Aku buatin makanan, ya? Kamu tidur dulu aja! Tapi nanti bakalan aku bangunin kalau makanannya sudah matang,” ucap Ivy. Ia segera beranjak menuju dapur untuk membuat dua porsi makanan. Tak mau membuat Kenan menunggu terlalu lama, Ivy memilih menu yang paling sederhana dan cepat, yaitu telur dadar. Kemudian, ia kembali ke kamar untuk memanggil Kenan. Kenan makan dalam diam. Lelaki itu tampak masih tidak terlalu berselera melakukan apapun. Kegiatan makan pagi itu pun berjalan dengan sunyi, hingga tiba-tiba Ivy kembali merasa mual dan pergi ke toilet yang ada di dekat dapur. “Kamu sakit lagi?” tanya Kenan. Tak Ivy sangka, ternyata Kenan mengikutinya. Meski nada bicaranya masih terdengar datar, tapi Ivy dapat menangkap kekhawatiran dari tatapan pria itu. “Enggak kok. Daripada mikirin keadaanku, mending kamu pikir kesehatan kamu dulu, Ken! Kamu kelihatan nggak lagi baik-baik saja,” balas Ivy. Setelah membasuh mulutnya, Ivy berjalan ke arah Kenan yang sudah menunggunya di depan pintu. “Ke ruang makan lagi, yuk!” Kenan mengangguk. Dan keduanya pun kembali ke ruang makan. Ivy hendak melanjutkan kegiatan makannya tanpa banyak bicara. Namun ternyata, tiba-tiba saja Kenan mulai buka suara yang membuat segala kegiatan Ivy terhenti seketika. “Orangtua Tisa mengalami kecelakaan pesawat. Ibunya ditemukan meninggal, dan ayahnya masih belum ditemukan sampai aku pulang tadi.” Meski tak memiliki kedekatan emosial dengan Tisa, tetapi Ivy bisa membayangkan betapa hancurnya perempuan itu sekarang. “Jadi, semalaman aku menemani dia di rumahnya. Sama Oma juga. Kami masih menunggu kedatangan jenazah ibunya dan kabar tentang keberadaan ayahnya. Tapi tadi aku izin pulang sebentar karena aku khawatir sama kamu,” terang Kenan. Ivy merasa bersalah karena sempat berpikiran yang tidak-tidak pada Kenan. Ia sempat menduga jika Kenan mungkin saja mencuranginya di belakangnya. Padahal, ternyata lelaki itu sedang menemani sahabatnya yang sedang berduka. “Aku turut berduka cita. Nanti kamu ke tempat Tisa lagi? Kalau begitu, aku ikut ya, Ken? Mama Papa gimana? Mereka bakalan datang juga?” ucap Ivy. Ia benar-benar tulus ingin menyampaikan rasa dukanya langsung pada Tisa. Biar bagaimana pun, Ivy terlanjur mengenal Tisa. Dan dia adalah orang yang dekat dengan keluarga suaminya. “Mama sama Papa bakalan sampai di rumah Tisa siang nanti. Nggak usah, Vy. Kamu kan lagi sakit. Di sana juga aku nggak bisa stand by sama kamu. Kamu tahu, kan, Tisa lagi berduka, dan sekarang dia sudah tidak punya siapa-siapa selain aku dan keluargaku,” larang Kenan. “Nggak apa-apa. Aku bisa jaga diriku sendiri, kok. Nggak enak kalau aku nggak datang, Ken. Aku juga mau menemani Tisa. Biar bagaimana pun, dia sahabat baik suami aku,” kekeh Ivy. Kenan menghela napas panjang. Dan akhirnya, ia tak dapat menolak permintaan mulia Ivy tersebut. ‘Aku nggak tahu apa yang akan terjadi di sana nanti. Apakah aku akan siap melihat bagaimana Tisa bersandar pada bahu suamiku? Tapi aku harus datang. Aku tidak boleh egois, karena biar bagaimana pun juga, Tisa sudah dianggap keluarga juga sama Kenan,’ batin Ivy.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN