Kritis

1013 Kata
Dara duduk di kursi tunggu bersama kedua orang tuanya dan Ciara. Setelah mendapatkan telepon yang mengabarkan bahwa suaminya kecelakaan, dia langsung menghubungi keluarga dan bergegas menuju ke rumah sakit. Untunglah hujan sudah reda, hanya menyisakan gerimis. Sehingga mereka bisa cepat sampai walaupun ada kemacetan di beberapa jalan yang tergenang. "Sabar, Nak." Ibunya mengusap punggung Dara sambil menenangkan saat mereka bertemu di rumah sakit. "Ini cobaan dari Gusti Allah, Nak. Kamu yang kuat." Bapaknya Dara memberikan nasihat. Lelaki paruh baya itu juga merasa khawatir, tetapi hanya bisa berserah diri. Hal yang sama pernah dia rasakan sewaktu kepergian Laura. Hanya saja Dewa masih bisa diselamatkan. Itu berarti masih ada harapan untuk kembali pulih. Tak hanya Dara, semua orang merasa gelisah dalam penantian. Entah sudah berapa jam suaminya berada di ruang operasi dan belum ada tanda-tanda akan selesai. Keluarga Dewa masih dalam perjalanan menuju rumah sakit. Dara mengusap air mata yang tak berhenti menetes. Sementara itu Ciara tertidur di pangkuan Bibik karena kelelahan menunggu. Suasana begitu hening hingga pintu kamar operasi terbuka dan seorang dokter keluar dari ruangan itu. "Keluarga Bapak Dewa?" "Saya istrinya," jawab Dara. "Bapak Dewa berhasil ditangani. Hanya kondisinya masih kritis. Benturan di kepala cukup keras. Jadi kita belum tau kapan bisa sadar kembali," jelas dokter. "Tapi suami saya bisa sembuh kan, Dokter?" tanya Dara was-was. "Kita berdoa ya, Ibu. Hanya saja proses penyembuhannya mungkin menghabiskan waktu yang cukup lama." "Aamiin." Dara mengucap Hamdalah sambil memeluk ibunya. Baginya yang paling penting saat ini adalah Dewa bisa ditangai dengan baik. Berapapun nominal biaya yang akan dikeluarkan, mereka siap mengusahakan. Tak lama pintu terbuka lebih lebar, lalu sebuah ranjang pasien didorong oleh beberapa orang menuju ke ruang intensive care unit. Tampak Dewa terbaring dengan beberapa selang di tubuhnya. Dara dan keluarganya berjalan mengikuti dari belakang. "Mohon maaf untuk saat ini Bapak Dewa tidak boleh dibesuk oleh siapa pun sampai dokter mengizinkan." Pintu ruangan itu ditutup dengan cepat. Dara hanya bisa menyaksikan dari balik kaca saat tubuh suaminya dipasang beberapa alat untuk membuatnya tetap bertahan hidup. Kaki kanan Dewa berbalut gips dan perban. Dara tahu, itu pasti patah. Tak hanya itu, kepala juga beberapa bagian di wajah suaminya juga berbalut perban. Lelaki itu bahkan tak dapat dikenali karena banyak bekas luka yang menutupi wajahnya. "Sabar, Nak." Hanya itulah yang bisa diucapkan oleh ibunya untuk menguatkan putrinya. "Kenapa harus begini, Bu?" "Namanya cobaan, Nak. Kita ndak tau. Hanya bisa berdoa meminta yang terbaik." "Papa ...." Ciara terbangun dan menatap semua orang dengan bingung. "Papa lagi sakit," jawab Dara. "Cia mau liat Papa." "Belum bisa, Nak. Nanti, ya." Dara memeluk putrinya. Melihat itu, Bibik merasa tak tega. Apalagi hari sudah mulai gelap. "Nyonya. Ini saya sama Non Cia pulang duluan, ya. Kasihan soalnya," kata Bibik berinisiatif. Dara mengangguk dan mencium putrinya. Juga mengucapkan kata-kata untuk membujuk agar Ciara mau ikut pulang bersama Bibik. Dia masih akan menunggu hingga keluarga Dewa datang. "Cia istirahat dulu di rumah ya. Papa belum bisa kita besuk. Nanti kalau udah sadar, Cia sama mama baru boleh masuk," ucapnya sambil sesegukan dan mengusap air mata. "Gak mau." Anak itu menangis dan menolak. "Cia sama Nenek aja. Kamu tunggu di sini jangan kemana-mana," pesan ibunya kepada Dara. Akhirnya, wanita paruh baya itu yang membantu mengantarkan ke depan dan memesan taksi. Dara menatap kaca di mana suaminya sudah selesai diberikan tindakan. Entah bagaimana mereka menjalani hari esok dengan keadaan seperti ini, dia juga tak tahu. "Dara!" Dia menoleh dan mendapati orang tua kakak kandung Dewa sedang berjalan tergesa-gesa menuju ke arahnya. "Mama." Dara memeluk ibu mertuanya dan kembali menumpahkan tangis di pelukan wanita itu. "Ini ujian. Sabar, ya. Kamu harus kuat. Demi anak kalian," ucap mamanya Dewa sambil mengusap rambut sang menantu. "Dara udah larang mas pergi tapi tetap ngotot aja, Ma. Padahal hujan deras." "Baiknya Dara pulang. Biar Papa sama Mama yang nunggu di sini," pinta ayah Dewa. "Tapi, Pa--" "Kamu sedang hamil, Ra. Kasihan bayi kamu. Di sini banyak penyakit. Mau gimana juga kamu harus menjaga kesehatan." Kali ini Arya, kakak Dewa yang berbicara. "Kasihan Mas Dewa," lirih Dara. "Ayo, kakak antar pulang. Biar Mama sama Papa jaga." Arya berusaha membujuk adik iparnya untuk pulang. "Tunggu Ibu sama Bapak dulu. Tadi di depan ngantar Ciara pesan taksi," kata Dara. Tak berapa lama, akhirnya orang tua Dara muncul. Saat bertemu, kedua besan saling menyapa dan berpelukan. Mereka duduk sambil bercerita mengenai kronologis kejadian dari awal hingga menyebabkan Dewa kecelakaan. Papanya Dewa sungguh menyesalkan mengapa putranya nekat pergi di saat cuaca buruk seperti ini. "Saya minta Dara pulang duluan. Biar kami yang jaga. Kasihan bayinya," jelas Mamanya Dewa kepada orang tua Dara. "Baiknya begitu. Kami juga sepertinya akan tinggal di rumah Dara sampai Dewa sadar kembali." Dara akhirnya menurut karena permohonan ibu mertunya. Sebelum berpisah, mereka kembali berpelukan. "Jaga Cia, Ra. Mama titip sama kamu. Besok kalian boleh ke sini lagi." Kata-kata itu membuat Dara menjadi sedikit tenang. Dia melangkah keluar meninggalkan rumah sakit itu dengan berat hati. "Ayo, Bapak sama Ibu sekalian ikut pulang." Arya sudah mengeluarkan kunci mobil dari saku dan mengajak mereka untuk meninggalkan tempat itu. Sepanjang perjalanan suasana hening. Arya hanya mengantar sampai di depan rumah, lalu kembali lagi ke rumah sakit. "Sholat dulu, Nak." Dara mengambil wudu dan menunaikan tiga rakaat berjamaah. Biasanya Dewa yang akan menjadi imam. Namun, kini bapak yang menggantikan. Doanya khusyu'dan panjang meminta kesembuhan sang suami. "Ya Allah, sembuhkanlah dia. Sadarkanlah dia. Apa pun keadaannya nanti, aku ikhlas menerima." Dara mencium tangan kedua orang tuanya lalu melipat mukena dan kembali ke kamar. Dia bahkan belum mau bertemu dengan Ciara, sehingga ibunya yang menemani putrinya itu. Hati Dara begitu gamang dan kacau. Mereka baru saja mereguk manisnya pernikahan, saling berjanji untuk belajar mencintai dan menerima. Namun, cobaan malah datang begitu cepat. Dara memejamkan mata dan mencoba untuk tidur. Namun, hingga tengah malam tak dapat terpejam. Dara mengambil Al Qur'an dan melantunkan ayat suci untuk menenangkan hati. Mungkin selama ini mereka lupa mendekatkan diri kepada sang pencipta. Sibuk menecari kesenangan dunia sehingga lalai akan kewajiban. Jika ini memang ujian, Dara berdoa semoga mereka bisa ikhlas menerima. Namun jika ini teguran, semoga kelak menjadi jalan bagi mereka untuk memperbaiki diri.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN