Harapan

1059 Kata
Dara menatap buku di tangannya dengan perasaan hampa. Semangat mengajarnya hilang. Ingin rasanya berhenti dan fokus mengurus Dewa, tapi itu tidak mungkin dilakukan. Siapa yang nanti akan mencukupi kebutuhan hidup mereka? Banyak dana yang dikeluarkan selama suaminya dirawat di ruang intensive. Bantuan memang datang dari banyak pihak, terutama keluarga dan rekan kerja. Dara bersyukur akan hal itu, namun tetap saja dibutuhkan biaya lebih banyak lagi untuk proses penyembuhan. "Gimana kondisi Mas Dewa, Ra?" tanya Riri. Jam mengajar sudah selesai, tapi Dara masih memeriksa tugas murid-muridnya. Dia tak mau membawanya ke rumah, karena Ciara akan meminta perhatian. Anak itu rewel sekali sejak ayahnya dirawat, tidak mau jauh darinya. "Belum ada kemajuan satu minggu ini, Ri. Aku juga gak tau." Matanya bengkak karena setiap hari menangis. Nanti setiba di rumah dia akan istirahat dan makan sebentar kemudian pergi ke rumah sakit. Begitulah rutinitasnya setiap hari. "Jaga kondisi kamu, Ra. Kasihan bayi." "Rasanya aku gak sanggup, Ri. Kalau bukan karena ibu yang menguatkan, mungkin aku udah mau nyerah," ucapnya. "Kamu harus kuat. Demi Ciara. Demi bayi kamu. Kalau memang gak sanggup, mending resign aja, Ra. Jangan dipaksakan." Nasihat Riri. "Kalau aku resign gimana keadaan kami? Mungkin, mobil Mas Dewa bakalan dilelang buat biaya pengobatannya." "Harta bisa dicari, Ra. Yang penting kesehatan dulu," kata Riri bijak. Sejak dulu memang dialah yang selalu menghibur jika sahabatnya ini sedang bersedih hati. Tak hanya berbagi kebahagiaan, namun juga saling menguatkan juga mengingatkan. Bahkan menegur jika salah satu ada yang berbuat kekeliruan. "Kami udah rembukan sekeluarga. Orang tua Mas Dewa setuju," jelas Dara. Mau tak mau ini harus dilakukan mengingat hanya itu jalan keluar yang terbaik. "Kamu break aja dulu, Ra. Cari guru pengganti, nanti sewaktu-waktu kerja lagi," usul Riri. Dara berpikir sejenak lalu berkata, "Mungkin nanti aku akan bicarakan ini dengan keluarga. Saat ini belum bisa memutuskan." Riri memasukkan ponsel dan note book ke dalam tas. Ini sudah sore dan waktunya mereka pulang. "Kamu udah selesai? Ayo aku antar." Dara mengangguk lalu membereskan barang-barangnya. *** "Udah siap?" Kedatangan Arya mengejutkannya. Dara sedang berada di dapur dan membuat secangkir teh untuk teman duduk sambil menunggu jemputan. Tak menyangka jika kakak iparnya itu datang lebih cepat. "Eh, ini baru mau bikin teh. Sebentar Dara siap-siap dulu," jawabnya. Wanita itu sedikit kaget. Setahunya, setiap menjemput Arya akan menunggu di ruang tamu. Mengapa sekarang malah masuk ke dapur? Mungkin karena sudah terbiasa dari dulu karena ini rumah adiknya. "Kakak tunggu di depan." "Kakak gak kerja? Sudah 1 minggu disini. Nanti pekerjaannya terbengkalai," tanya Dara. "Kakak ambil cuti panjang. Kasian kalian, siapa nanti yang ngurusin. Mama papa udah tua," jelasnya. Arya anak pertama, dua bersaudara dengan suaminya. Jarak usia mereka tidak terlalu jauh, selisih dua tahun. Namun sampai sekarang lelaki itu belum menikah. Berbanding terbalik dengan Dewa yang menikah muda. Dara tak terlalu mengenal dekat sosok Arya. Laki-laki itu sibuk bekerja. Hanya pada saat pernikahan mereka dulu mereka bertatap muka lebih lama. "Sebentar Dara siap-siap dulu, ya." "Oh iya, Ra. Baiknya Cia gak usah ikut." Dara mengangguk lalu kembali ke dalam. "Bu. Aku mau ke rumah sakit. Titip Ciara, ya. Tadi dia nonton sama Bibik di kamar," ucap Dara berpamitan kepada kedua orang tuanya. "Berdua Arya?" "Iya, Bu. Katanya Cia gak usah ikut. Lagian nanti aku magrib di rumah sakit. Terus malam baru pulang," jelasnya. "Bekal makanan untuk ibu mertua sudah disiapkan?" "Tadi udah dibungkusin sama Bibik. Tinggal bawa." "Hati-hati." Hanya itu pesan ibu. Dara menutup pintu dan keluar kamar dengan pelan. Jangan menimbulkan suara. Nanti jika terdengar putrinya, Ciara akan memaksa ikut. Dara sudah cukup lelah dengan kondisi fisiknya yang berbadan dua. Ditambah tugas dari sekolah dan tingkah Ciara yang semakin menjadi. Dua hari lalu, dia mendapat telepon dari wali kelas kalau anak itu tidak mau belajar, hanya diam dan melamun. Mungkin nanti jika Dewa sudah sadar, Dara akan memindahkan sekolah Ciara ke tempatnya. Walaupun berbeda gedung, jika masih satu kawasan maka dia akan lebih mudah memantau. "Ayo." Arya mengambil bungkusan dan membukakan pintu mobil. "Pelan-pelan saja ya, Kak." Pesannya. Selalu itu yang Dara ucapkan setiap kali Arya menjemput. Trauma dengan dua kejadian, yaitu Laura dan suaminya. Semua karena kasus kecelakaan. "Tenanga aja, Ra. Insyaallah aman." Sama seperti biasa, sepanjang jalan menuju rumah sakit suasana hening. Pikiran Dara melayang entah kemana, sehingga dia tak mau berbasa-basi atau berbicara apa pun. "Kamu masih sanggup kerja, Ra?" Wanita itu menoleh saat Arya memulai pembicaraan. "Sepertinya masih, Kak. Kalau Dara resign, siapa nanti yang biayai Ciara?" tanya wanita itu. "Kalau memang gak sanggup gak usah paksain, Ra. Kakak siap bantu untuk kebutuhan kalian sehari-hari. Jadi kamu fokus ngurus Dewa," tawarnya. Dara tersentak dengan perasaan yang tak bisa diungkapkan. Sedikit terharu dengan kebaikan Arya, tapi juga merasa agak janggal. Rasanya tak pantas jika laki-laki ini mengambil alih tugas untuk menafkahi mereka di saat Dewa tak mampu. "Makasih, Kak. Nanti bisa dipertimbangkan. Aku belum bisa memutuskan apa pun untuk saat ini," tolaknya halus. Lalu suasana hening kembali hingga mereka tiba di rumah sakit. Dara langsung menuju ke ruang ICU dimana Mama dan Papa Dewa sudah duduk di ruang tunggu. "Gimana, Ma? Apa ada perkembangan?" tanya Dara sambil menyerahkan bungkusan makanan yang berisi snack untuk camilan. "Belum ada, Ra. Masih sama," jawab wanita paruh baya itu lesu. "Kalau begitu makan dulu, Ma. Ini Dara bawain bekal." Dia membantu membuka bungkusan. "Kakak juga mau," kata Arya tepat di dekat telinga Dara. Itu membuatnya kaget. Tadi memang mereka duduk bersebelahan. Dara menggeser duduk, berpindah di sebelah ibu mertua. Rasanya tak nyaman diperlakukan seperti itu oleh Arya sekalipun keluarga sendiri. "Ambil sendiri, Kak," katanya menunjuk. Melihat Arya langsung menyambar box kue dan memakannya dengan lahap, Dara jadi teringat dengan suaminya. Ada sedikit kemiripan dari cara makan. Matanya berkaca-kaca, ingin menangis tapi memilih untuk menahan. Tiba-tiba pintu ruang ICU terbuka. "Keluarga Bapak Dewa?" Serentak mereka berdiri dan menghentikan makan. "Saya Papanya." "Salah satu boleh masuk. Ada sedikit perkembangan dari pasien." "Saya istrinya. Boleh saya masuk?" pinta Dara. Perawat itu terdiam sejenak lalu berkata, "Bergantian. Pak Dewa memberikan respons dengan pergerakan tangan." Alhamdulillah. Semua orang mengucap syukur. Dara mengucurkan air mata bahagia mendengar itu. Berarti ada harapaan bahwa Dewa akan sembuh. "Yang kuat ya, Ra." Spontan Arya merengkuh tubuh adik iparnya. Maksud hati ingin menguatkan tapi rasanya kurang pantas. Dara segera melepaskan diri dan menghapus air mata. Dia malah memeluk ibu mertuanya dan mereka berpelukan erat. Arya merasa tak enak hati dengan sikapnya tadi. Lalu setelah papa keluar, mereka bergantian masuk.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN