Wejangan

1275 Kata
Gadis kecil itu menunggu dengan gelisah tapi mamanya belum datang. "Cia belum dijemput?" tanya salah seorang guru saat melihat salah satu muridnya itu masih berada di kelas. Dia masih memeriksa pekerjaan rumah sehingga belum pulang. "Mama belum datang." "Katanya tadi gimana?" "Tunggu sampai mama datang,” jawabnya. "Kalau gitu kita tunggu. Ibu temani." Ciara membuka kotak bekal yang tadi disiapkan bibik. Sebagian sudah habis, yang tersisa hanya sandwich isi ayam. "Ibu mau?" tawarnya "Gak usah. Kamu makan aja,” tolak Ibu Guru dengan halus. Ciara langsung melahapnya dan meminum air putih. Dia jarang jajan di kantin, hanya sesekali. Itu sudah dibiasakan sejak pertama kali masuk sekolah saat masih ada Laura. "Maaf mama telat, ya." Dara tergesa-gesa masuk ke kelas, karena sempat tersasar ruangan. "Ayo pulang, Ma. Katanya mau ke rumah nenek." Dara meraih tangan putrinya dan mengucapkan terima kasih kepada guru yang tadi menemani. Sesampai di parkiran, dia memasangkan helm dan mendudukkan Ciara di depan. "Pegangan, ya." Motor melaju membelah jalanan hingga tiba di sebuah rumah di pinggir kota. "Assalamualaikum." Dara mengetuk pintu karena terkunci. "Waalaikumsalam." Seorang wanita paruh baya tergesa-gesa membukakan pintu. "Ibu." Dara tersenyum saat melihat wajah ibunya. "Oalah, Nak!" Wanita itu memeluk ibunya dengan haru karena rindu yang meluap. "Cucu nenek udah makan belum?" tanya ibu kepada Ciara. "Tadi Cia makan roti isi tapi masih lapar," jawaban putrinya membuat Dara dan ibunya saling berpandangan. "Ayo kita ke dapur. Nenek bikin sop ayam sama kerupuk. Enak banget. Tempe goreng juga ada. Suka?" "Sukaaaa ...." "Kalau gitu Cia ganti baju sama cuci tangan dulu. Habis itu kita makan bareng." Dara mengajak putrinya masuk ke kamar dan membersihkan diri. Lalu mereka bertiga mereka duduk di meja dan mulai makan sambil bercerita. "Ibu tungguin katanya libur mau datang, kok malah muncul hari ini." "Pada sakit semua, Bu. Jadi aku baru sempat mampir sekarang," jawab Dara sambil menuang sayur ke piring Ciara. "Loh, sakit apa kalian?" "Cia sakit gigi. Papa sakit perut," jawab anak itu. Sejak dulu memang keluarga mereka sudah tidak asing dengan Ciara ataupun Dewa. Namun, Dara sendiri memang tidak terlalu dekat. "Jadi malam-malam ke dokter gigi, Bu," jelas Dara. "Wah, cucu nenek pasti makan permen." "Memangnya gak boleh ya, Nek?" "Boleh. Tapi jangan terlalu banyak. Terus harus rajin sikat gigi." Ciara mengangguk dan meneruskan makan sampai selesai. Dara membawa putrinya kembali ke kamar dan memutarkan film kartun. Dia sendiri masih ingin berbincang dengan ibu. Ada hal-hal yang baiknya orang dewasa bicarakan tanpa perlu didengar oleh anak-anak. "Bapak kemana? Dari tadi kok gak kelihatan?" "Pergi ndak tau kemana. Mungkin jalan sama temannya." "Tumben bapak keluar. Biasanya betah di rumah." "Sejak kalian ndak ada, rumah jadi sepi," ucap ibu murung. "Ibu udah ziarah ke makam Laura?" "Sudah hari sabtu kemaren. Pergi sama bapak. Tadinya mau ajak kamu, tapi takut ganggu pengantin baru." Dara merasa tak enak hati mendengarnya. Dia lupa memberi kabar karena sudah sibuk mengurus anak suami. "Dara lupa ngabarin. Soalnya Cia sempat demam terus sakit gigi." "Ya ndak apa-apa. Ibu ngerti, kok. Kamu sekarang sudah punya keluarga sendiri." "Masih adaptasi, Bu. Rasanya aneh aja tiba-tiba berada didekat mereka." Dara mulai mencurahkan isi hati. Selama ini memang ibu yang selalu menjadi teman berbagi cerita. Berbeda dengan Laura yang periang dan pandai bergaul dengan siapa saja. Dia lebih pendiam dan sulit terbuka dengan orang lain. "Memang suami istri begitu. Sudah pacaran lama saja masih adaptasi. Apalagi kalian yang baru kenal." Nasihat ibu. "Untungnya Ciara udah besar, jadi udah ngerti kalau dikasih tau." "Eh, tapi kamu baik-baik saja, kan sama Dewa?" "Baik aja, Bu." "Jangan suka bertengkar. Jangan suka membantah suami, apalagi kalau dia ngasih tau yang baik." Wanita itu mengangguk dan mendengarkan semua penuturan ibunya. "Tugas istri itu berbakti. Jalani kewajiban, penuhi haknya." Mata ibu mengerling ke arah putrinya. Wanita paruh baya itu sedikit curiga karena Dara tak seperti pengantin baru yang biasanya berseri-seri. Kenapa putrinya malah terlihat murung? "Dara lagi berusaha, Bu. Dari dulu mereka udah terbiasa sama Laura." "Ya, nanti lama-lama juga semua berubah. Suami istri itu saling melengkapi kekurangan satu dengan yang lain." "Semoga aku sanggup, Bu." "Bertengkar dan berselisih paham itu biasa, Nak. Nanti kalau ada anak, hubungan semakin harmonis." "Sudah ada Ciara, Bu. Cukup." "Loh, maksudnya anak kamu sama Dewa. Ciara itu 'kan bawaan dari istri pertama." Jantung Dara berdetak saat mendengar ucapan ibunya. "Ibu sama bapak juga pingin punya cucu dari kalian. Dari kamu. Biar rumah ini ndak sepi." Dara mengangguk dan kembali terdiam. Entah harus menjawab apa jika sudah disinggung tentang ini. "Lagi diusahakan, Bu. Doakan aja." "Semoga dikasih cepat." "Aamiin." "Kamu kenapa, habis nikahan kok murung? Ibu pikir kamu bakal bahagia. Apa kami salah merestui kalian?" Dara menggelengkan. "Gak kok, Bu. Aku bahagia." Dia mengukir senyum manis supaya ibu tidak curiga. Lama mereka berbincang. Ada banyak wejangan yang diberikan ibu supaya putrinya menjadi istri yang taat. Asyik berbincang, tak lama bapak pun datang. Dara memeluk laki-laki paruh baya itu dengan erat. "Sehat kamu?" "Alhamdulillah sehat, Pak." "Sendirian?" tanya bapak. "Sama Ciara." "Mana cucuku?" "Di kamar lagi nonton. Tadi Dara ngobrol sama ibu." "Kalau gitu bapak mau lihat cucu." "Ndak makan dulu, Pak?" tanya ibu. "Tadi sudah. Sama teman-teman." "Memangnya tadi kemana?" "Muter-muter kota,” jawab bapak seadanya. Ibu terlihat kesal dengan jawaban suaminya. Itu membuat Dara tersenyum. "Tuh, jangankan kalian yang baru nikah. Ibu sama bapak saja masih suka begitu." Dara melirik jam tangan. Tak terasa hari sudah sore. "Habis Magrib kami pulang ya, Bu. Besok Ciara masih sekolah." "Kalau gitu kamu istirahat dulu, sana. Ibu mau bersihkan dapur." Dara berjalan ke dalam hendak menuju kamarnya. Namun, langkahnya terhenti di depan kamar Laura. Pelan dia membuka pintu yang tidak dikunci. Suasananya masih sama, tidak ada yang berubah. Ibu tetap membiarkannya seperti semula. Katanya kalau rindu, ibu kadang tidur disana. Ada foto-foto yang ditempel dinding. Foto adiknya dengan Dewa, juga Ciara. Mereka tampak bahagia dan terrtawa. Dara tersenyum melihatnya. Tangannya mengusap kaca di bagian wajah adiknya. Lalu dia duduk di pinggir ranjang dan menatap sekeliling ruangan. Merasa kelelahan, dia merebahkan tubuh dan memejamkan mata. Kak, jaga Dewa untukku. Dara tersentak saat merasakan ada suara yang berbisik di telinganya. Lalu membuka mata dan melihat bahwa hari sudah gelap. Ternyata dia tertidur dan ini sudah hampir Magrib. Wanita itu segera bangun dan keluar. Kaget saat melihat ada Dewa di ruang tamu sedang berbincang dengan bapak. "Mas kok datang?" "Khawatir sama kalian. Kamu bilang pulangnya agak malam, nanti Cia tidur di motor lagi," jawab Dewa. "Oh, iya. Aku lupa." "Kamu baru bangun? Sana cuci muka. Ada bekas iler," goda lelaki itu sambil tersenyum melihat penampilan istrinya. Dara tampak kusut dengan rambut yang sedikit berantakan. Melihat itu, Dara jadi salah tingkah dan langsung ke kamar mandi untuk mencuci muka, meninggalkan Dewa dan bapak yang sedang tertawa melihat tingkahnya. Setelah selesai salat Magrib berjamaah dan makan malam, mereka berpamitan pulang. Sepanjang perjalanan, bisikan tadi masih terngiang di telinganya. Apalagi setiap melihat Dewa. "Kamu kenapa?" "Pusing." "Mau beli obat dulu?" "Gak usah, Mas. Langsung pulang aja." "Besok mas antar pagi-pagi. Pulangnya naik ojol aja ke rumah ibu," kata Dewa. Benar saja, Ciara tertidur selama di perjalanan karena kelelahan. Sesampainya di rumah, Dara segera masuk ke kamar. Dengan cepat dia mandi, karena Dewa masih di kamar putri mereka. Wanita itu tersentak saat keluar dan melihat suaminya duduk di sofa kamar. "Habis mandi?" "I-ya, Mas," katanya gugup. Wanita itu membuka lemari dan mengambil baju. Sepertinya dia akan berganti pakaian di kamar mandi. Apalagi saat melihat pandangan intens dari Dewa yang baginya cukup menyeramkan. "Tau gak tadi pas ngobrol sama bapak, kami bahas apa?" "Apa?" "Bapak minta cucu." Seperti biasa, Dara berpura-pura tidak mendengar. "Menurut kamu, kita kasih secepatnya atau nanti aja?" Senyum melengkung di bibir lelaki itu. Sementara Dara sibuk mengatur detak jantung yang berdegup semakin kencang.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN