Ikhlas

1081 Kata
Dewa berjalan mendekati Dara yang masih termenung di depan lemari. Sengaja dia berdiri di belakang wanita itu. "Yang mas transfer tadi udah masuk?" bisiknya lembut. Kedua tangannya memegang bahu istrinya dengan lembut. "Udah, Mas. Makasih," jawab Dara gugup. "Dipakai buat apa?" tanya Dewa berbasa-basi. Sebenarnya lelaki itu tak terlalu mempermasalahkan untuk apa uangnya digunakan. Baginya, nafkah yang sudah diberikan itu hak istri sepenuhnya. Terserah Dara mengaturnya. "Traktir Riri makan siang. Sama ngasih Ibu dikit. Nanti weekend mau ajak Cia jalan," jawab Dara gelisah. Tangannya gemetaran sejak tadi. Jangan tanya degup jantung, serasa hendak melompat keluar karena detaknya begitu kencang. "Siapa Riri?" tanya Dewa lagi. Kali ini dia maju selangkah sehingga kini mereka sudah tak berjarak. "Sahabat aku di sekolah." Dewa menarik napas panjang lalu akhirnya berkata, "Ra--" "Ya?" "Mas udah menunaikan kewajiban sebagai suami. Kamu gak mau juga menunaikan kewajiban sebagai istri?" Kata-kata itu membuat Dara semakin tak berkutik. Dia bingung harus menjawab apa. Baju digenggamannya terlepas. Ketika menunduk dan hendak mengambil, Dewa malah meraih pinggangnya dan membalik tubuh mungil itu hingga kini posisi mereka berhadapan. "Itu--" "Apa?" "Kesepatakan kita," ucap Dara terbata. "Lupakan yang lama. Gimana kalau kita bikin kesepakatan baru." Dewa tak mau memaksa, tetapi berusaha membujuk agar istrinya luluh. Gampang-gampang susah. Namun lelaki itu yakin istrinya bisa menerima semua ini. "Maksudnya?" "Kamu gak cuma jadi ibu buat Cia, tapi juga jadi istri buat aku. Bukan cuma status tapi buat selamanya. Kita mulai kehidupan baru. " Dara menatap Dewa dengan lekat. Seketika Dara menjadi gamang. Entah apa yang wanita itu rasakan saat ini. "Mas gak ingat Laura?" "Ingat. Tapi dia udah tenang disana. Ikhlaskan. Kita yang akan melanjutkan hidup," ucap Dewa sembari mengusap pipi istrinya. Dara kembali menunduk. "Aku mau ganti baju, Mas. Ini udah malam." Dara hendak melepaskan rengkuhan, tetapi Dewa menahannya. Malam ini, lelaki itu tak akan melepaskan istrinya lagi. Rasanya sudah cukup lama dia bersabar. Dua mata saling bertautan dengan perasaan yang bercampur aduk. Malam itu Dara menunaikan kewajiban sebagai seorang istri. *** "Pagi." Dewa duduk di kursi makan dan menatap istrinya dengan bahagia. Melihat suaminya datang, Dara dengan cekatan mengambilkan makanan. Lalu meletakkan piring di hadapan Dewa. "Papa kok senyum-senyum?" tanya Ciara saat melihat ekspresi wajah papanya yang terlihat berbeda hari ini. "Papa lagi liatin mama. Cantik," puji Dewa yang membuat wanita itu merona seketika. "Mama Cia memang cantik." "Cia juga cantik. Papa sayang dua-duanya." "Ayo cepat sarapan. Nanti telat. Papa antar Cia sekalian antar mama." Dara mengambilkan ikan goreng untuk tambahan Ciara. "Kamu bisa jalan gak nanti?" tanya Dewa sambil megerling mesra kepada istrinya. "Bisalah. Memangnya kenapa?" "Ya gak apa-apa. Cuma tanya." "Pelan-pelan, sih," lirihnya. Itu membuat Dewa semakin senang. Dengan cepat dia menghabiskan isi piring kemudian mengambil tas dan menunggu di depan. Sementara itu, Dara memasangkan tas Ciara kemudian mereka berdua berjalan ke depan. "Titip rumah ya, Bik." Pesan Dara sebelum berangkat. "Hari ini mau masak apa?" tanya Bibik kebingungan. "Terserah. Diolah aja yang ada di kulkas. Saya juga pulang sore kayaknya. Ada kegiatan tambahan," jelas Dara. Ciara melambaikan tangan kepada Bibik saat berangkat. Sepanjang perjalanan suasana begitu riang. tiga puluh menit perjalanan, akhirnya mobil Dewa berhenti di sebuah gedung sekolah di pusat kota. Ciara mencium kedua tangan kedua orang tuanya sebelum turun. "Belajar yang rajin." Dara memeluk putrinya saat membukakan pintu. "Dadah Mama," ucap Ciara sembari melambaikan tangan. Mobil kembali melaju dan berbelok ke sebuah jalan. Setelah hanya berduaan dengan Dewa, suasana menjadi hening. Berbeda saat ada Ciara tadi. Anak itu asyik bercerita segala macam sehingga mereka berdua tidak canggung. Dewa melirik istrinya berkali-kali, sementara itu Dara berpura-pura memainkan ponsel. Tanggannya mengutak-atik akun media sosial. Padahal pikirannya entah kemana. "Kamu ngajar sampai jam berapa?" Dewa memulai pembicaraan. Dara menatap suaminya sekilas. "Sore kayaknya, Mas. Hari ini ada kegiatan di sekolah. Sosialisasi peraturan baru," jelas Dara. Wanita itu menunduk lagi. Rasanya dia tak kuat menatap wajah Dewa karena malu. "Terus ke rumah Ibu?" "Iyalah, ambil motor." "Jangan malam pulangnya," pesan Dewa. "Sebentar aja. Paling habis magrib. Masa' baru datang langsung pulang." "Mas tunggu pokoknya," ucap Dewa menggoda. "Memangnya kenapa?" Dewa mengulum senyum, lalu mengucapkan sesuatu yang membuat suasana semakin canggung. "Malam ini kamu tidur di kamar Cia atau di kamar kita?" Dara membuang pandangan, lalu berpura-pura menatap jalanan. "Di ... kamar kita." Dewa tersenyum menang. Lalu dia bertanya tentang kegiatan sehari-hari Dara di sekolah. Mereka asyik berbincang sehingga tak terasa waktu pun berlalu. Akhirnya meteka sampai juga di gerbang depan. Dara meraih tangan sang suami kemudian menciumnya. Dewa mengulum senyum dan memberikan sebuah sentuhan lembut di kening istrinya. "Makasih, Mas. Hati-hati di jalan." Dara melangkahkan kaki memasuki sekolah. Tinggal sepuluh menit lagi bel akan berbunyi. Jadi, dia harus cepat masuk. Matanya masih mengantuk dengan tubuh yang terasa pegal. Tiba-tiba wanita itu tersenyum saat mengingat kebersamaan mereka kemarin malam. "Hayo, pengantin baru senyum-senyum." Tepukam di bahunya membuat Dara kaget. Riri tiba-tiba saja muncul dari belakang dan berjalan di sebelahnya. "Kamu ini bikin kaget aja." "Jalan sambil senyum sendiri itu mencurigakan." "Kamu bisa aja." Dara mencubit pinggang Riri sehingga membuat wanita itu mengaduh. "Jadi istri itu enak, ya. Ada yang transfer jajan sama nganterin kerja." Eh? Dara menatap sahabatnya dengan penuh tanda tanya. "Tadi aku lihat kamu dianter sama Mas Dewa." "Motor aku dititip di rumah ibu. Kemarin Mas Dewa jemput, khawatir Cia ketiduran pas pulangnya," jelas Dara. "Cieee yang suaminya perhatian," goda Riri sembari mengedipkan mata. "Makanya kamu nikah juga." "Belum, lah. Ntar aja." Mereka berhenti di aula depan. Dara meletakkan telunjuk di finger print dan mengucap syukur karena tidak terlambat. Di sekolah ini disiplin berlaku bagi semua orang. Dari guru, murid dan staf yang lain. Ada potongan uang makan jika sampai terlambat. Juga teguran khusus jika berkali-kali melakukannya. Namun, ada dispensasi khusus untuk alasan tertentu. Dengan begitu, suasana menjadi lebih tertib karena setiap orang tahu apa tugas dan tanggung jawab masing-masing. Guru juga mencontohkan dengan perbuatan, bukan hanya ucapan dan himbauan. "Ayo, jalan! Bentar lagi bel." Mereka masuk ke ruangan guru untuk meletakkan barang-barang. Saat bel berbunyi, dua wanita itu masuk ke kelas masing-masing. Seharian ini, Dara lebih banyak duduk saat menjelaskan. Juga meminta murid mengerjakan soal-soal latihan karena badannya terasa tidak enak. Berulang kali dia menguap. Untung saja tidak sampai ketiduran di kelas. Setelah selesai mengajar, dia menuju ruang UKS. "Kenapa, Bu?" "Pusing. Boleh saya istirahat sebentar." "Ibu mau obat?" tanya petugas UKS khawatir. "Gak. Saya cuma mau tidur," jawab Dara cepat. "Bukannya ada pertemuan sebentar lagi ya, Bu?" "Saya udah izin kalau seandainya telat. Saya mau tidur sebentar aja." Dara langsung merebahkan diri dan memejamkan mata. Tak lama dengkur halusnya terdengar.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN