Kesetiaan

1094 Kata
Setelah beberapa hari sadar dan kondisinya semakin membaik, Dewa dipindahkan ke ruang rawat inap. Tubuhnya terlihat lebih segar namun tak dapat bergerak, apalagi kaki yang terlanjur patah. Beberapa bagian tubuhnya kaku dan setiap hari mendapatkan terapi agar kembali normal berfungsi. Laki-laki itu hanya bisa pasrah selama menjalani proses penyembuhan. Kadang di saat malam dia merintih kesakitan dan tak seorang pun yang tahu karena sudah tertidur lelap. Namun dia ikhlas menerima takdir. Ada banyak orang-orang terkasih yang menginginkan kesembuhannya. Itu yang membuat semangatnya tetap hidup. Seperti pagi ini, ketika matanya terbuka, tampak sosok sang istri yang setia mendampingi. "Mas, mau makan apa? Buah?" tanya Dara saat melihat suaminya terbangun. Semenjak Dewa dipindahkan ke kamar perawatan, Dara memilih untuk menginap di rumah sakit dan mengurus suaminya bersama ibu mertua. Bergantian, dengan Arya sebagai supir yang mengantar jemput mereka disela kesibukan. Begitu juga Riri, sahabat sejati yang selalu mendampingi. Orang tuanya sendiri diminta untuk mengurus Ciara. Anak itu lebih dekat dengan Ibu dan Bapaknya daripada bersama orang tua Dewa. Mungkin karena dulu sering dibawa oleh mendiang Laura datang ke rumah. Dewa menggeleng. "Bubur?" "Ya." Dewa menganguk. Lengkungan tipis di sudut bibirnya tercetak saat melihat wajah sang istri. Dara mengambilkan semangkuk bubur yang tadi pagi diantarkan oleh petugas katering rumah sakit. Subuh hari dia sudah terjaga dan menungu sang suami terbangun. Tangan mungil itu dengan cekatan mengambil sendok dan mulai menyuapkan sedikit demi sedikit. Dewa membuka mulut dan menikmati sarapan pagi ini. "Cia ...." katanya bertanya. "Masih di rumah sama Ibu. Nanti dibawa kesini. Kan libur," kata Dara sambil mengaduk bubur dan kembali menyuapkan dengan pelan. Lelaki mengangkat tangan kemudian menyentuh wajah istrinya sekilas. "Jangan banyak gerak. Biar cepat pulih," kata Dara dengan senyum manis. Padahal dalam hati sedih melihat kondisi fisik suaminya. Dewa yang semula tampan, kini berubah dengan beberapa bekas luka dan hidung yang patah. Dara selalu saja mengalihkan pembicaraan jika suaminya bertanya akan hal itu. Mungkin dia menyadari bahwa ada yang tak beres dari wajahnya. "Ayo makan lagi." Dara melanjutkan suapan hingga setengah mangkuk habis dimakan oleh Dewa. "Mas, ini obatnya. Bisa minum?" Lelaki itu mengangguk. Dengan sabar Dara menuntunnya meneguk air agar tak tersedak. "Mas istirahat dulu. Aku mau bersih-bersih." Dara meletakkan gelas di meja dan segera berdiri. Tiba-tiba saja dia merasakan ada cairan yang keluar dari bagian bawah tubuhnya. Dengan cepat dia berjalan menuju kamar mandi dan melihatnya. Lalu merasa lega karena hanya sedikit cairan yang keluar. Mungkin penyebabnya karena dia kelelahan. Tidak mungkin juga akan lahiran sekarang karena kandungannya baru memasuki usia 7 bulan. Wanita itu membersihkan diri dan berganti pakaian. Mama mertuanya sedang pulang ke rumah dan beristirahat. Sementara ibunya dan Ciara juga belum datang sampai sekarang. "Ra!" Pintu kamar mandi diketuk. Dara keluar dan mendapati sang ibu berdiri di baliknya. "Kapan datang, Bu?" "Barusan. Ibu lihat kok cuma Dewa sendirian. Ibu pikir kamu kemana. Jadi khawatir kamu kenapa-kenapa," kata wanita paruh baya itu. "Mandi, Bu. Gerah. Bawakan baju ganti?" "Ada di tas. Mama Dewa kemana?" "Pulang. Mungkin besok baru nginap lagi. Sepertinya bosan, soalnya dari awal kan disini terus," jawab Dara. "Ibu juga bosan, Nak. Dulu waktu bapak kamu sakit terus waktu Laura ...." kata-katanya terhenti. Rasanya tak nyaman jika mengingat kejadian itu lagi. "Nanti kalau aku udah lahiran kita ziarah ya, Bu. Udah lama gak ke makam Laura." "Kirim Al Fatihah saja, Ra. Buat adikmu." Mereka berjalan menuju sofa dan memperhatikan Ciara yang sedang asyik berbincang dengan Dewa. Lelaki itu memberikan senyuman sebagai respons sementara Ciara tak hentinya bercerita banyak hal, tentang sekolah juga teman-temannya. "Papa kok gak mau jawab pertanyaan Cia?" tanya anak itu kecewa. "Papa masih sakit, Sayang. Nanti kalau udah sembuh baru bisa ngobrol kayak biasa," jawab Dara. Ciara kembali melanjutkan cerita. Dara mengambil makanan yang dibawakan oleh ibu. Semakin besar kehamilan, porsi makannya semakin meningkat. Apa saja dia makan tanpa banyak memilih. Janin yang ada di perutnya juga mulai aktif, bergerak dan menendang. Kadang dia meletakkan tangan Dewa untuk ikut merasakan pergerakan itu. Dara berharap dengan interaksi seperti ini, suaminya akan semakin cepat pulih. "Kamu gak periksa ke dokter kandungan, Ra? Bulan lalu lupa, loh," kata Ibu mengingatkan. "Iya, Bu. Nanti aku pergi." "Minta diantar Arya saja, Nak. Makin dekat mau lahiran harusnya makin sering dicek." Dara tak menjawab dan melanjutkan makan. Masakan ibu memang enak sekali, hingga dua piring lenyap dalam sekejap. "Jangan disepelekan. Dewa kan sudah membaik, kamu juga harus memperhatikan kesehatan," lanjut ibu. "Iya, nanti kalau Kak Arya datang, Dara minta antar periksa," jawabnya sambil mengunyah. "Beneran pergi loh, ya. Bukan iya-iya aja. Kamu kebiasaan. Bulan lalu juga begitu, bilang iya tapi gak pergi," omel ibu. Kadang sifat keras kepala putrinya membuat sang ibu kesal. Berbeda dengan mendiang Laura yang langsung menuruti. Terkadang Dara suka mengabaikan. Setiap anak memang berbeda karakter. Sebagai ibu juga tidak boleh membandingkan. Hanya saja akibat dari ke'ngeyel'an Dara, itu membuat masalah. "Iya, Bu. Jangan bawel begitu. Nanti Dara pergi." Ibu menarik napas panjang dan berdoa dalam hati semoga putrinya benar-benar menuruti apa yang dia pinta. "Ra. Kayaknya ibu gak bisa nginap. Bapakmu flu dari kemarin. Ibu pulang kalau Nak Arya datang, ya." "Tapi Arya gak kesini, Bu." "Kamu telepon dia. Minta kesini temani kalian. Masa kamu cuma berdua Cia. Nanti kalau Dewa ada apa-apa kan repot." Wanita itu menyelesaikan makan kemudian mengambil ponsel. 'Kak. Datang kesini bisa? Ibu gak jadi nginap.' Begitulah pesan yang Dara kirim kepada kakak iparnya. Lama tidak ada balasan. Pikirnya, mungkin Arya sedang sibuk. Setelah beberapa hari mengambil cuti, pastilah dia disibukkan dengan pekerjaan setelah masuk kembali. "Ibu pulang sekarang, ya. Naik taksi. Apa Arya sudah balas?" "Belum. Ibu pulang aja gak apa-apa. Nanti Dara coba hubungi Kak Arya. Disini juga banyak perawat jaga, Bu. Dokternya stand by. Ibu gak usah khawatir." Dara mengantar ibunya hingga ke depan. Ketika hendak berbalik dan masuk, sebuah tangan menahannya. "Kakak?" "Sorry gak sempat balas pesan kamu. Kakak langsung ke sini," kata laki-laki itu membukakan pintu. Napas Arya naik turun. Sepertinya dia berlari menuju kesini. Tadi Dara tak melihat karena dia muncul dari arah yang berbeda dengan kepergian ibu. Mata Dewa berbinar saat melihat kakaknya datang. Tangannya melambai meminta Arya mendekat. Ciara juga terlihat senang saat melihat omnya datang. Dara kembali duduk di sofa karena tubuhnya terasa pegal. Kaki yang tadinya mulus kini mulai muncul varises. Kepalanya bersandar, lalu Dara kembali merasakan ada cairan yang keluar. Dia mengambil pembalut dan memakainya di kamar mandi, meninggalkan tiga orang yang sedang asyik bersenda gurau. Setelah selesai, Dara kembali duduk dan memejamkan mata. Sejak hamil dia memang gampang mengantuk. Apalagi setelah makan. Udara dingin AC ruangan membuatnya cepat terlelap. Tak sadar bahwa cairan itu lebih banyak keluar saat dia tertidur.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN