Datang dan Pergi

1101 Kata
Dara terbangun dan mendapati pembalut yang dipakainya penuh berisi cairan. Perlahan tetapi pasti rasa nyeri mulai menghantam perutnya, hilang dan datang. Begitu secara terus menerus. "Ya Allah, kenapa ini?" Dara berjalan ke kamar mandi dan melihat bahwa ada bercak darah. Wanita itu tampak panik tetapi tetap mencoba menenangkan diri. "Ada apa, Ra?" tanya Arya saat dia sudah keluar dari kamar mandi. "Kak. Tolong aku! Bawa ke depan," katanya dengan gemetaran. Dewa menatap istrinya dengan bingung. Sementara Ciara terdiam melihat mamanya yang kesakitan. "Ra?" tanya Dewa penasaran. Dara mengabaikan panggilan suaminya karena rasa sakit yang semakin menghebat. Hingga dia mengeluh karena merasa tak tahan. "Ayo, Kakak antar!" Arya dengan sigap memegang lengan Dara, ketika adik iparnya itu hendak terjatuh. Lelaki itu bahkan memapah Dara agar bisa berdiri tegak. "Cia tunggu di sini sama papa. Mama mau ke depan. Periksa dedek," pesan Dara sebelum akhirnya mereka keluar. Dara berjalan dengan tertatih. Melihat iparnya yang semakin kesakitan, Arya memanggil seorang perawat yang kebetulan lewat. Lelaki itu meminta sebuah kursi roda dan bergegas menuju instalasi gawat darurat. "Tolong," ucap Arya saat seorang perawat jaga datang menghampiri. "Kenapa?" "Ketubannya bocor, Sus," jawab Dara sambil merintih kesakitan. Arya terkejut saat mendengarnya. Dia tak menyangka jika itu terjadi kepada adik iparnya. Sejak tadi dia hanya menyimak apa yang Dara dan perawat bicarakan. Dara segera diberikan pertolongan. Sementara itu, Arya menelepon orang tuanya untuk memberi tahu kejadian ini. "Istrinya mau lahiran, Pak," kata si perawat. "Tapi belum cukup bulan, Sus," jawab Dara sambil merintih kesakitan. "Tolong dilakukan saja yang terbaik, Suster Saya juga gak ngerti," jawab Arya. "Bapak ini, harusnya mengerti tanda-tanda lahiran. Jadi kalau istrinya mau brojol ya ketahuan." Si perawat dengan cekatan memanggil bidan dan dokter jaga. Seketika terjadi keriuhan di ruangan itu. Dara kemudian dipindahkan ke ruang bersalin. Arya yang kebingungan akhirnya mengikuti mereka sampai di pintu depan ruang bersalin. Cukup lama dia menunggu hingga kedua orang tuanya datang. "Dara kenapa?" tanya mamanya. "Ketuban nyapecah. Kata perawat tadi mau lahiran," jawab Arya ceepat. "Ya Allah, belum cukup bulan. Terus Dewa gimana?" tanya mamanya panik. "Sama Ciara di sana. Tadi kami tinggalin karena panik. Dara udah kesakitan," lanjut Arya. "Ya ampun. Papa sekarang ke ruangan Dewa. Temani mereka. Nanti malah kenapa-kenapa." Mamanya Dewa juga ikut panik. Dalam kondisi begini, semua kejadian datang bersamaan secara tak terduga. "Tenang, Ma." Arya menyentuh bahu sang mama dan memintanya duduk. Perasaan mereka semua sama, kacau dan tak menentu. "Ibunya Dara kemana? Kenapa cuma kalian yang jaga Dewa?" Mamanya bertanya dengan nada meninggi. Jika tahu begini, dia tidak akan pulang. Lama berada di rumah sakit sedikit banyak menimbulkan rasa bosan. Jadi mereka sepakat untuk nergantian menjaga. Kebetulan ini libur, jadi Ciara bisa ikut melihat papanya. "Pulang. Bapaknya sakit." "Haduh bikin pusing," kata mamanya. Wanita itu memijat pelipis lalu mengusap wajah. Mereka berdebar-debar menunggu apa yang akan terjadi. Sambil dalam hati melantunkan doa-doa terbaik untuk Dara. "Semoga gak apa-apa, Ma. Ini di luar keinginan kita," kata Arya. Dia sendiri kebingungan dengan harus berbuat apa, hanya saja mencoba untuk tetap tenang. "Tapi musibahnya beruntun semua. Kasian mereka, baru menikah dapat cobaan begini berat," sesal mamanya. "Mungkin udah jalannya. Jadi, mau gimana lagi? Lagian manusia gak bakal dikasih cobaan yang melampaui kemampuan kita, kan?" kata Arya bijak. Mamanya mengusap air mata yang mulai menetes. "Semoga Dara gak apa-apa. Kasihan dia." Sementara itu di dalam sana, Dara sedang berjuang bertaruh nyawa untuk melahirkan bayinya. Rasa sakit teramat sangat mendera tubuh. "Kak. Jaga Dewa untukku." Sepanjang perjuangan melahirkan anaknya, entah mengapa kata-kata itu terus terngiang di kepala. Bayangan Dewa yang terbaring dengan berbagai selang juga melintas begitu saja. Di antara peluh dan air mata, akhirnya bayi mungil itu lahir. Tubuh Dara lemas seketika. Belum sempat dia melihat, tiba-tiba saja terdengar suara salah seorang bidan. "Innalillahi wa inna ilaihi rojiun. Bayinya meninggal." Dara tersentak dan meraung. Ini pasti salah. Dia pasti salah mendengar. Tidak mungkin buah cintanya dengan Dewa secepat itu diambil oleh Yang Maha Kuasa. "Ibu yang sabar, ya." Saat bayi mungil yang sudah kaku itu diberikan kepadanya, Dara seketika tak sadarkan diri. Dokter yang menanganinya segera mengambil tindakan. Jika bayinya tak dapat diselamatkan, maka jangan sampai ibunya bernasib sama. "Kabari keluarga. Kasihan sekali Ibu ini," titah dokter. Salah seorang bidan yang ikut menangani persalinan Dara segera keluar. "Suami Ibu Dara?" Bidan bertanya saat mendapati dua orang duduk di kursi tunggu. "Ya?" Arya langsung berdiri dan berjalan mendekat. "Saya bidan Anita. Kami sudah berusaha memberikan yang terbaik. Tapi maaf, Pak. Bayinya tidak bisa diselamatkan," ucapnya lirih dengan penuh penyesalan. "Innalillahi wa inna ilaihi rojiun." Dua orang itu tersentak. Air mata mamanya semakin deras menetes. Hingga Arya memeluk tubuh itu dengan erat untuk menguatkan. "Sejak dalam kandungan bayinya sudah minum air ketuban yang cukup banyak. Berat badannya juga jauh dari normal. Apa istrinya tidak pernah dibawa periksa ya, Pak? Harusnya ini terdeteksi sejak awal," jelas bidan itu lagi. "Kami lalai." Hanya itu yang Arya ucapkan. Tidak mungkin dia menjelaskan panjang lebar dalam kondisi seperti ini. "Kami sudah membersihkan jasadnya. Apa mau dibawa pulang ke rumah untuk dikebumikan?" "Ya." Arya mengambil ponsel dan menelepon ibunya Dara. Meminta mereka untuk segera datang. Dara bukan istrinya. Bayi itu bukan anaknya. Namun, hati Arya sakit saat menerima kenyataan ini. *** Dara terbangun saat terdengar suara riuh di sekelilingnya. Ketika wanita itu menoleh ke samping, tampaklah Dewa sedang menangis. Ternyata dia ditempatkan di satu ruangan yang sama dengan sang suami atas permintaan keluarga. "Nak." Ibunya mendekati ranjang dan memeluk putrinya erat. Lalu tangis tertumpah di kedua mata wanita itu. Bapaknya Dara duduk termenung di sofa. Sementara papanya Dewa sedang mencoba menenangkan istrinya. "Mas," panggilnya, hendak berdiri dan mendekati Dewa tetapi tubuhnya lemas. "Ra." "Maaf, Mas. Aku gak bisa jagain anak kita," katanya penuh dengan sesal. Bagaimana dia bisa menjaga Dewa jika menjaga diri sendiri saja lalai. Sehingga menyebabkan bayi mereka pergi. Dewa mengangguk. Dalam kondisi begini, dia sendiri tak bisa berbuat apa-apa. "Mama." Ciara menangis dan memeluk Dara. Anak itu tahu dan mengerti bahwa adiknya sudah tidak ada. Kecelakaan yang menimpa Dewa membuat mereka lupa memperhatikan kesehatan Dara. "Nak Arya lagi ngurusin pemakaman bayi kalian," kata ibunya. Tak lama pintu kamar terbuka. Muncullah Arya dengan seorang perawat menggendong bayi yang sudah dikafani. "Mungkin Dewa mau lihat sebelum dikebumikan." Air mata Dewa mengalir deras. Dengan pelan dia mencium sang putra. Bayi laki-laki yang lucu. Dara juga melakukan hal yang sama. Dengan berat hati mereka melepasnya. "Bapak ikut Nak Arya." "Papa juga. Mama sama Ibunya Dara tunggu di sini. Biar kami yang memakamkan." Tiga laki-laki itu berjalan keluar. Isak tangis kembali terdengar dari seluruh orang yang berada di kamar perawatan itu. Ada yang datang, ada yang pergi. Kehilangan yang paling menyakitkan adalah berpisah karena kematian.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN