Part 2

1665 Kata
"Besok kita ketemu di restoran hotel pukul 08.00. Sorry for the mess. Dia Edwin, anak tunggalku. Tidak perduli berapa banyak perempuan yang hadir di hidupku, bahkan sekedar untuk mampir atau singgah, akan mendapat perlakuan sama. Make your self comfortable." Pak Eric membuka perbincangan di dalam mobil ketika kami menuju ke hotel. Melewati jalan Malioboro, ah … Jogja memang semenyenangkan itu dan semerindukan itu aku akan kehidupan dan suasana di sini. Aku dan Jogja, kami punya keterikatan yang dijembatani seseorang dan sebuah rasa, tapi, ah, sudahlah. Maka aku hanya mengangguk dan tetap diam, sampai kami pada sebuah hotel yang cukup terkenal di sini, hotel bintang 4, eh, ini dia yang bayarin, kan? Bisa nombok ini mah kalo disuruh bayar sendiri. Dan ketika sampai, aku hanya dia di dalam mobil, sementara dia sudah turun dan menuju lobi, “Gendis, ayo turun.” Dengan wajah ragu, aku bergeming dan membuatnya masuk lagi ke dalam mobil, “Ada masalah? Kamu baik-baik saja?” Aku ragu menyampaikan ini, malu sebenarnya, tapi kalo gak ngomong, ya aku yang runyam. “Ehm … anu, Pak. Ini hotel dan akomodasi saya selama di sini, gimana, ya? jujur, saya gak kuat kalo disuruh bayar hotel di sini. Kita cari hotel lain aja deh, Pak. Atau gak apa-apa saya turun di sini, nanti biar saya cari hotel atau penginapan yang murah di sekitar sini.” Pak Eric tergelak, aduh, deretan gigi putih itu, kok jadi bikin salah fokus. Aku menggelengkan kepalaku, fokus, Gendis, fokus. “Ya gak mungkin, saya nyuruh kamu ke sini, menginap di sini dan bolak-balik ke rumah saya tapi kamu yang bayar semua, saya tau, kok, duitmu gak sebanyak itu, kan? Tenang aja, semua akomodasi, makan, bahkan jajan kamu akan saya tanggung. Yang penting buku saya beres dan kamu jangan banyak protes apalagi banyak alasan menolak ini dan itu, deal?” aku mengangguk, ya sudahlah, itung-itung ini kerja sekaligus jalan-jalan. Udah lama juga gak pergi ke mana-mana. Yang pasti, aku di sini hanya untuk satu atau dua hari. Karena aku gak bisa terlalu lama meninggalkan Bapak di rumah. Maka aku turun dari mobil. Aku sudah tidak perduli lagi urusan rumah tangganya. Entah apa yang terjadi pada rumah tangganya, gak penting sih. Yang penting adalah besok, kelar wawancara dengan Pak Eric, langsung pulang. Karena memang gak nyaman rasanya terlalu lama jauh dari Bapak, badanku di sini tapi pikiranku di rumah. Bapak aku tinggal sama Bi Darmi. Setelah check in, aku segera menuju kamar dan memesan makanan, aku lapar, aku gak mikir lagi harga makanannya, karena tadi Pak Eric bilang “Pesan aja makanan yang mau kamu makan, saya udah open bar untuk kamu, semua akan ditagihkan ke kartu kredit saya, so enjoy.” Maka aku akan enjoy malam malam ini seperti kata Pak Eric. Masuk ke dalam kamar, aku melihat menu yang ada, dan aku memesan beberapa makanan lewat intercom, “Saya pesan nasi gudek lengkap, beef burger double patty dan ekstra keju, lemonade dengan es yang banyak, kentang goreng, dan spageti bolognes. Diantar ke kamar 402, ya. makasih, oiya, restorannya buka sampai jam berapa, ya? baik, berarti kalo jam 11 malam saya order makanan, bisa, ya.” aku memastikan bahwa aku gak akan kelaparan sampai besok pagi, karena malam ini aku harus nyicil tulisan untuk proyek Pak Eric, ngerjain artikel yang harus aku kirim ke klien, dan bikin tulisan yang akan aku upload di platform menulis yang selama ini jadi salah satu sumber uangku. Setelah itu, aku bergegas mandi, karena aku mau segera istirahat dan memejamkan mata sebentar. Sekitar lima belas menit aku menghabiskan waktu di kamar mandi, setelahnya aku menyetel televisi dan menelepon Bapak. Nada dering agak lama tidak disahut, setelah itu Bi Darmi yang angkat telepon, “Loh, kok Bibi yang angkat telepon, Bapak mana? Bapak gak kenapa-napa, kan Bi?” aku panik, dan berdoa dalam hati tidak terjadi apa-apa. Karena biasanya kalo handphone dipegang Bi Darmi, Bapak tidak bisa mengangkatnya entah karena gak kuat liat layar handphonep terlalu lama atau karena kelelahan. “Tenang, Mbak, Bapak sehat, aman. Sekarang Bapak lagi salat isya. Bapak tadi abis ngobrol sama temannya yang sudah lama gak ketemu, mampir ke rumah, makanya baru bisa salat sekarang. Mbak Gendis, aman, kan, di sana? Sudah makan, Mbak?” aku bernapas lega. “Sehat, Bi. Ini lagi pesan makanan. Kalo Bapak sudah selesai salat, bilang Bapak aku nelepon, ya. aku tutup dulu teleponnya, Bi, nanti aku telepon lagi. Assalamualaikum.” Aku menutup telepon tepat berkenaan dengan pegawai hotel membawakan makananku. Maka aku memutuskan untuk makan dulu, baru setelahnya akan menelepon Bapak lagi. Menghabiskan makan malamku dengan tenang, nyaman, dan kenyang. Makanan yang super lezat, membuatku tak putus bersyukur, “Suatu saat, aku akan bawa Bapak ke sini, liburan. Biar Bapak senang.” Entah kenapa, air mata tak kurasakan menetes. Aku sering kali sedih melihat kondisi Bapak. Setelah kecelakaan beberapa tahun kemarin, Bapak harus mengalami lumpuh dan kaki kirinya harus diamputasi. Bapak sudah tidak bisa bekerja. Tapi, aku bahagia, dengan kondisinya sekarang, Bapak justru bisa istirahat di rumah, menikmati masa tuanya. Karena selama ini, Bapak masih saja sibuk bekerja. Aku ingat, ketika Bapak mendengar kabar dia lumpuh dan kakinya harus diamputasi, Bapak bilang, “Yah, sekarang ternyata saatnya aku istirahat dan menikmati masa tuaku. Alhamdulillah, terima kasih Allah.” Aku yang mendengar itu, justru sedih. Bisa-bisanya Bapak menanggapi seperti itu keadaan ini, tapi juga jadi terpacu semangat untuk bisa membahagiakannya. Setelah setengah jam aku menghabiskan makan malamku, kembali aku coba menghubungi telepon Bapak, dan Bapak sendiri yang mengangkat teleponya, "Udah minum obat, Pak? Gimana kakinya, masih ngilu? Tadi kata Bi Darmi ada teman Bapak yang mampir ke rumah, siapa, Pak?" Bapak terkekeh di ujung telepon, “Ya satu-satu, Gendis nanya ke Bapak. Jadi bingung sekarang, pertanyaan yang mana dulu yang harus Bapak jawab. Yang pasti sebelum Bapak jawab pertanyaanmu, Bapak yang mau nanya dulu, sekarang kamu tidur di mana? Bagaimana pekerjaanmu, Pak Eric itu, baik sama kamu? Kamu diperlakukan baik, kan, sama dia?” Tipikal Bapak, gak pernah mau membuat aku khawatir, dia justru mengkhawatirkanku. Begitulah Bapak, cinta pertamaku, orang yang selalu peduli akan diriku. Orang yang akan mengedepankan kebahagian dan kepentingan orang-orang di sekitarnya melebihi kepentingan dan kebutuhannya sendiri. Tapi, Ibu malah justru memilih pergi, di saat seperti ini. Ada butir air mata yang tidak bisa kubendung. Mengingat semua kejadian selama lima tahun belakangan. Ibu yang pergi setelah Bapak mengalami kecelakaan. Awalnya semua tampak baik-baik saja. Sampai suatu malam aku melihat Bapak berdiri di tengah derasnya hujan, menangis, dan terjatuh sehingga tongkat yang membantunya beraktivitas terlempar beberapa jarak darinya. Tidak ada penjelasan apa pun, yang kudengar malam itu hanya perkataan Bapak yang masih terekam jelas dalam ingatanku, "Ibu sudah lelah mengurus Bapak. Kami memutuskan berpisah, semoga dia bahagia dengan pria barunya. Jangan jadikan lumpuhnya Bapak menjadi bebanmu, ya, Gendis. Bekerjalah, menikah, urus dirimu, jangan jadi pendek langkah karena mengasihani Bapak. Bapak  baik-baik saja." Dari situ, aku memutuskan untuk keluar dari kantor dan mulai usaha sendiri, berbekal koneksi mereka yang sering memintaku mengerjakan terjemahan bahasa Inggris, mengetikkan tesis, tugas akhir, hingga menjadi ghost writer seperti yang sedang aku kerjakan sekarang. Awalnya aku pikir, ini akan mengurangi penghasilanku, tapi aku salah. Satu judul naskah saja setara dengan gajiku sebulan. Allah punya kehendak, Dia mengharuskanku mengambil jalan ini, mengurus Bapak dan membiayai kehidupan kami. Bapak tidak setuju dengan keputusanku, "Karirmu  bagus di sana, Nak. Kenapa harus keluar dan mengorbankan hidupmu hanya untuk Bapak? Perempuan juga harus punya kebanggaan. Jangan mau cuma jadi tukang tadah serpihan rupiah dari suamimu, kelak. Laki-laki mana ada yang mau sama perempuan yang gak ada kerja? Kalo kamu mau dapet suami jangan bekerja dari rumah, itu akan mempersempit lingkup gerakmu" Dan lain sebagainya. Tapi aku tidak perduli, kesehatan dan keselamatan Bapak adalah yang utama untukku. Setelah berbincang dengan Bapak di telepon, mengerjakan beberapa tulisan, mengirim tulisan-tulisan tersebut ke tempatnya, aku merasa bosan di kamar. Akhirnya aku memutuskan untuk keluar sekedar menikmati kemegahan bangunan hotel ini. Waktu masih menunjukkan jam 9 malam, belum terlalu malam untukku menikmatinya. Setelah lama berjalan dan berkeliling, aku merasa ingin makan sesuatu. Jadi aku berencana untuk turun ke restoran. Berharap harganya tidak terlalu mahal. Karena jujur aja, aku kurang suka jika harus keluar tanpa tau suatu daerah. Tapi, kenapa juga aku harus memikirkan harganya, toh yang bayar Pak Eric. Maka dengan langkah ringan aku menuju restoran yang buka 24 jam. Saat menuju lift, aku melihat sosok yang, sepertinya aku pernah ketemu, tapi ... Edwin! Menggandeng seorang wanita, cakepnya, masyaallah. Langsing, tinggi, paripurna. Aku mencoba berjalan pelan agar tidak satu lift dengan mereka bahkan tidak ingin bertemu dengan mereka, sebenarnya. Tapi apa daya, "Di sini rupanya, lelaki tua itu menyembunyikanmu. Ya, baguslah, jadi gak merusak kenangan Mama dan keluarga kami." Ucapnya dengan tatapan sinis. Aku hanya diam, berusaha untuk tidak terpancing. Walaupun sebenarnya, dadaku bergemuruh menahan emosi. Dia tidak tau apa pun, bisa-bisanya menuduh tanpa alasan. "Kok diam? Kamu boleh mengambil hartanya tapi tidak raganya. Eric Rahardian hanya milik Emily Theresia, Mamaku, dan milikku. Jangan pernah bermimpi hadir di tengah kehidupan kami." "Almarhum Ibumu, lebih tepatnya, kan?" Aku membalas perkataan dan tatapannya. "Dan dengar, Edwin. Edwin, kan, namamu? Aku tidak ada niat sedikit pun untuk dekat apalagi sampai masuk ke dalam kehidupan kalian. Aku ada di sini, karena keperluan papamu untuk menerbitkan buku. Aku perlu banyak informasi darinya, hanya sebatas itu. Bukan hubungan seperti yang kamu pikirkan." Senyum sininya ituloh, bikin "hatchim" banget. "Aku sudah memperingatkanmu, pegang ucapanmu, jangan melewati batas. Karena wanita yang sudah-sudah pun beralibi sama denganmu." Mereka masuk ke dalam lift yang terbuka lebih dulu dan aku memilih untuk kembali ke kamar. Kesalahan besar, tadi, memutuskan untuk keluar. Harusnya aku pesan makan aja dari kamar, bodoh. "Aku mengirim beberapa baju untukmu, besok malam kita akan bertemu dengan beberapa temanku yang ikut dalam project ini. Aku sudah meminta room boy mengantarkannya ke kamarmu." Pesan dari Pak Eric, masuk bertepatan dengan datangnya pesanan makanku dan baju darinya. But ... Wait, what? Besok malam? Rencananya kan besok siang aku sudah check out dan kembali ke Lampung. Ngaco nih orang, Perjanjian awal kan gak begini, kok tiba-tiba semua rencana jadi berubah? Aneh banget.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN